Komunikasi Politik Serat Kala Tida
(Analisis Wacana Komunikasi Politik Serat Kala Tida Karya R.Ng. Ranggawarsito) Oleh: Agung Purnomo
Dosen Ilmu Komunikasi UYP
AbstractSerat/ syair merupakan salah satu media komunikasi pujangga untuk menyampaikan pesannya tentang apa yang dianggapnya penting dan pantas di kenang, baik itu suatu peristiwa, petuah, hiburan atau cerita mitos. Dalam Serat Kalatidha pujangga Ronggowarsito menceritakan tentang keterpurukan kondisi pemerintahan, pemimpin, dan abdi keraton pada massa itu..
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi politik yang disampaikan oleh pujangga Ronggowarsito dalam serat Kala Tida dan juga untuk mengetahui pesan dalam teks Serat Kala Tida serta bagaimana komunikasi pujangga kerajaan dalam menyampaikan pendapatnya kepada kerajaan dan masyarakat luas. Meode yang digunakan dalam melakukan analisis komunikasi politik pesan Serat Kala Tida adalah menggunakan pendekatan analisis wacana Sara Mills. Dimana Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks.
Dari pesan komunikasi politik serat Kala Tida, dapat ditarik kesimpulan bawa subjek dalam hal ini adalah Pujangga memberikan gambaran yang dominan pada rusaknya tatanan negara dikarenakan oleh objek Kala Tida, Raja dan abdi kerajaan. Dari ketiga objek, Kala Tida merupakan objek dominan yang menjadi tumpuan segala kerusakan tatanan negara. Sedangkan yang kedua adalah pada abdi kerajaan, disini abdi kerajaan digambarkan sebagai penyebab rusaknya tatanan karena sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan lama.
Kata Kunci: Serat Kala Tida, Komunikasi Politik,
1. Latarbelakang
Serat Kala Tida atau lebih sering
dikenal sebagai syair “Zaman Edan”
merupakan sebuah hasil karya pujangga
dan sastrawan Jawa yang berjenis Suluk/
tembang mocopat. Ditulis pada tahun
1860 oleh Raden Ngabehi
Ronggowarsito pada masa pemerintahan
Pakubuwono VIII. Raden Ngabehi
Rangga Warsita (lahir di Surakarta, Jawa
Tengah, 15 Maret 1802 – meninggal di
Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember
1873 pada umur 71 tahun) adalah
pujangga besar budaya Jawa yang hidup
di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap
sebagai pujangga besar terakhir tanah
Jawa (wikipedia.com). Ronggowarsito
atau terakhir dikarenakan setelahnya
tidak ada pujangga lagi yang diangkat
secara resmi menggantikan
Ronggowarsito oleh keraton Surakarta.
Ronggowarsito menjabat sebagai
pujangga kraton kasunanan Surakarta
dalam tiga periode kepemimpinan, yang
pertama adalah kepemimpinan
Pakubuwono VII yang notabene
pengangkat Ronggowarsito sebagai
pujangga kerajaan, Pakubuwono ke VIII
dan kepemimpinan Pakubuwono ke IX.
Namun pengabdiannya pada keraton
kasunanan Surakarta sejak masa
kepemimpinan Sri Susuhan Pakubuwono
VI atau Sinuhun Bangun Tapa.
Serat/ syair merupakan salah satu
media komunikasi pujangga untuk
menyampaikan pesannya tentang apa
yang dianggapnya penting dan pantas di
kenang, baik itu suatu peristiwa, petuah,
hiburan atau cerita mitos. Dalam Serat
Kalatidha pujangga Ronggowarsito
menceritakan tentang keterpurukan
kondisi pemerintahan, pemimpin, dan
abdi keraton pada massa itu. Dimana
pemerintahan kerajaan pada saat itu
dianggap oleh Ronggowarsito sudah
mulai rusak, karena dipengaruhi oleh
pola-pola penjajahan Belanda, yang
memang memliki kepentingan untuk
penguasaan kebijakan, wilayah dan hasil
bumi dipulau Jawa.
Pola-pola penjajahan inilah yang
akhitnya membuat setiap
kebijakan-kebijakan kerajaan bergeser sesuai
dengan keinginan Belanda, misalnya
pemilihan bupati atau pamong yang
didasarkan pada kepatuhan dan besaran
upeti. Pola lain yang sudah tidak asing
lagi adalah politik adu domba, dimana
Belanda pada saat itu membuat kondisi
kesultanan kurang nyaman, misalnya
membantu beberapa pihak keluarga yang
menginginkan untuk merebut tahta
kesultanan. Bahkan Belanda tidak hanya
mempengaruhi untuk perebutan
kekuasaan antar keluarga keraton, tapi
juga menyingkirkan dan
yang bisa mempengaruhi kepentingan
Belanda.
Takheran jika terjadi banyak
penjilat dilingkungan keraton. Dalam
serat ini pujangga Ronggowarsito
menceritakan dirinya yang merupakan
bagian dari korban kepentingan Belanda.
Kuatnya pengaruh adu domba yang
dilakukan oleh Belanda, mengakibatkan
Ronggowarsito pada saat itu tidak
dinaikkan pangkat sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Dengan kondisi
seperti inilah Serat Kala Tida dibuat.
Suatu kondisi yang menurut
Ronggowarsito adalah “jaman edan”.
Hingga saat ini kemasyuran dan
kedalalam makna Serat Kala Tida masih
dapat kita nikmati. Bahkan masih
banyak orang yang hafal beberapa
petikan dari Serat Kalatidha atau
mengambil kesimpulan dari serat
Kalatidha seperti “Jaman edan yen ora
melu ora keduman” (Jaman gila bila
tidak ikut-ikutan tidak kebagian) atau
lebih pendek lagi ketika orang
menggangap suatu fenomena atau
pranata sosial yang rusak tidak sesuai
aturan dan norma dengan meyebutnya
“Jaman Edan”.
Bukti kemasyuran, kebesaran dan
kedalaman makna yang tersimpan dalam
Serat Kala Tida samapai ke negeri
seberang seperti tulisan karya Anwar
Ibrahim mantan wakil perdana menteri
Malaysia dengan judul Kupasan Karya
Ronggowarsito yang diterbitkan pada
situs harapanmalaysia.com. Bahkan di
negeri Belanda, petikan Serat Kala Tida
tertulis di salah satu tembok di disudut
kota Leiden.
(sumber foto: www.wikipedia.com)
Karya-karya Ng.Ronggowarsito
dalam halini sangat kental dengan
pengaruh kepemimpinan. Pergantian
kepemimpinan kerajaan menjadi ukuran
siklus hubungan antara Raja dan
Pujangga yang dapat berdampak pada
karya-karya pujangga. Seperti pada masa
kepemimpinan Pakubuwono VII kondisi
pemerintahan kasunanan Surakarta bisa
dibilang kondusif, ini dapat dilihat pada
karya-karya pujangga pada massa itu
yang banyak menceritakan tentang
kehidupan damai dan konsep-konsep
hidup bagi orang Jawa. Selain itu juga
kehidupan harmonis, terlihat pada
hubungan kerajaan Surakarta dengan
kerajaan-kerajaan sekitarnya, semisal
Yogyakarta Hadiningrat. Meski
pemerintah Belanda telah memasuki
wilayah-wilayah kerajaan namun bisa
dibilang kondusif.
Pemerintahan Pakubuwana VII
relatif damai dibandingkan raja-raja
sebelumya. Tidak ada lagi bangsawan
yang memberontak secara fisik
besar-besaran setelah Pangeran Diponegoro.
Jika pun ada hanyalah pemberontakan
kecil yang tidak sampai mengganggu
stabilitas keraton (wikipedia). Pada masa
inilah karya-karya sastra pujangga
kraton berkembang pesat, hal ini terjadi
karena hubungan harmonis antara raja
dan pujangga. Keadaan yang damai itu
mendorong tumbuhnya kegiatan sastra
secara besar-besaran di lingkungan
keraton. Masa pemerintahan
Pakubuwana VII dianggap sebagai
puncak kejayaan sastra di Kasunanan
Surakarta dengan pujangga besar
Ronggowarsito sebagai pelopornya.
Hampir sebagian besar karya
Ronggowarsito lahir pada masa ini.
tersebut juga dikisahkan sangat
harmonis. (wikipedia)
Hubungan harmonis pujangga
dan raja harus berakhir sejak
meninggalnya Pakubuwono VII dan
digantikan oleh Pakubuwono VIII.
Hubungan tidak harmonis ini berlanjut
hingga kepemimpinan Pakubuwono ke
IX. Ada beberapa factor yang
menyebabkan kurang baiknya hubungan
pujangga Ronggowarsito dengan
Pakubuwono VIII dan Pakubuwono IX.
Yang pertama adalah factor kepentingan
Pakubuwono VIII untuk merebut
kekuasaan dari Pakubuwono ke VII
dengan memfitnah Pakubuwono VII,
bahwa Pakubuwono VII telah berupaya
bekerjasama dengan Pangeran
Diponegoro dalam penyerangannya ke
Batavia.
Selain itu juga ada kepentingan
Belanda untuk menyingkirkan
Ronggowarsito karena tulisan-tulisannya
yang dibuat di bulletin Bramartani bisa
mengundang perlawanan rakyat pribumi
kepada Belanda. Faktor kedua adalah
fitnah yang dilakukan Belanda kepada
Pakubuwono IX, bahwa penyebab
dibunuhnya Pakubuwono VI karena
telah dibocorkannya persekongkolan
antara Pakubuwono ke VI dengan
Diponegoro oleh Pajangswara yang
merupakan ayah dari Ronggowarsito.
Diterimanya isi Serat Kala Tida
oleh berbagai pihak bahkan lintas negara
dan budaya merupakan bukti bahwa
serat Kalatidha yang ditulis berdasarkan
pengalaman, pengetahuan, dan kondisi
di pulau Jawa juga terjadi diberbagai
negara lain. Dari paparan diatas dapat
dirumuskan bahwa terdapat komunikasi
politik yang telah disampaikan oleh
Ronggowarsito, pada syairnya serat Kala
Tida.
1.2. Tujuan
1. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui komunikasi politik
Ronggowarsito dalam serat Kala
Tida.
2. Mengetahui pesan dalam teks
Serat Kala Tida dan bagaimana
komunikasi pujangga kerajaan
dalam menyampaikan
pendapatnya kepada kerajaan dan
masyarakat luas.
2. Kerangka Konseptual 2.1. Komunikasi Politik
Komunikasi politik merupakan
pengetahuan baru dalam memahami
proses perjalanan kegiatan politik,
meskipun dalam prakteknya sudah
berlangsung sejak manusia mengenal
kekuasaan. Istilah komunikasi politik
muncul seiring dengan perkembangan
ilmu komunikasi yang memang
melintasi kehususan ilmu politik, yang
pada mulanya karakteristik ilmu
komunikasi memang melintasi berbagai
disiplin ilmu dan dibesarkan secara
multidisipliner.“Poitical communication
as a field of inquiry is cross disciplinary”(Nimmo,1981).
Ada beberapa pendapat pakar
komunikasi yang berupaya
mendefinisikan pengertian dari
komunikasi politik. Jalaludin Rahmad
memberikan pernyataan dari Fagen dan
Medow , bahwa definisi komunikasi
politik sebagai “commanicatory activity
considered political by virtue of its consequences, actual and potential, that it has for the functioning of political system”. Begitu pula pendapat Medow,
”political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system” (Nimmo, vi:2000). Sedangkan
pendapat dari Nimmo, bahwa
komunikasi politik yaitu (kegiatan)
komunikasi yang dianggap komunikasi
politik berdasarkan
konsekuensi-konsekuensi (actual maupun potensial)
didalam kondisi-kondisi konflik
(Nimmo, 2000:9)
Dapat disimpulkan bahwa Fagen
memberikan pernyataan yang menitik
beratkan komunikasi politik pada segala
bentuk aktifitas komunikasi yang
memiliki konsekuensi actual dan
potensial untuk keperluan system politik.
Sedangkan Medow, memberikan
penjelasan bahwa komunikasi politik
merupakan pertukaran symbol dan pesan
untuk kegiatan system politik. Pada sisi
yang agak berbeda Dan Nimmo
menekankan pada kegiatan komunikasi
pada kondisi konflik. Dari pendapat
tersebut bisa kita tarik benang merahnya,
terdapat tiga faktor yang mendasari dari
paktek komunikasi politik, yang pertama
adalah pesan komunikator terhadap
pebicaraan-pembicaraan yang berkaitan
dengan system politik, pemerintahan
atau negara. Kedua adalah pesan
pembicaraan yang menunjukkan kondisi
pertukaran symbol dan pesan yang tejadi
pada system politik. Sedangkan yang
ketiga adalah bagaimana komunikasi
dilakukan pada kondisi konflik.
Konsep pengertian ilmu
komunikasi terhadap komunikasi politik,
esensinya tidak jauh berda. Seperti
pengertian komunikasi yang
disampaikan oleh Harold Lasswell
mengatakan bahwa cara yang terbaik
menjelaskan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan sebagai berikut: Who Says
What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau pendapat Hovland
yang menyatakan bahwa
“Communication is the process to modify the behavior of other individuals.
(Efendy:10:2002).
Jika mengamati dari pendapat
Harold Lasswell, komunikator
merupakan bagian pokok dalam proses
komunikasi, juga pada komunikasi
politik. Komunikasi politik berdasarkan
tujuannya adalah untuk memberikan
kontribusi pada system politik yang
sedang atau akan berjalan. Posisi
pada penanggapan politik, yang
berdasarkan konsep politik. Politik
adalah siapa memperoleh apa, kapan,
dan bagaimana, pembagian nilai-nilai
oleh yang berwenang, kekuasaan dan
pemegang kekuasaan, pengaruh,
tindakan yang diarahkan untuk
mempertahankan dan atau memperluas
tindakannya (Nimmo,2000:8).
Pada tahapan politik sebenarnya
merupakan bagian yang memiliki ikatan
dari tindakan perpaduan antara system
komunikasi makro dan mikro, namun
untuk memperjelas garis batasnya adalah
pada tujuan politik itu sendiri
diantaranya adalah yang meliputi
kekuasaan. Yang secara prinsip tidak
bisa lebas dari manusia, disebabkan pada
tiap diri manusia mengandung zoon
politicon(manusia politik)
Komunikator politik merupakan
bagian ujung tombak dari keberhasisan
strategi komunikasi politik. Maka peran
startegi komunikasi menjadi bagian yang
tak kalah penting. Strategi komunikasi
menurut, R.Wayne Pace, Brent D
Peterson, dan M Dallas Burnett
memberikan pendapat dalam tujuan
sentarl dari strategi komunikasi, yaitu: to
secure understanding, to establish acceptance, to motivate action.
(Efendy:32:2002). Sehingga pesan
komunikator politik akan sangat efektif
jika pengaturan strategi pesan yang
disampaikan dapat diterima dan
memiliki persamaan persepsi antara
komunikator dan komunikan.
Dalam tindakan strategi
komunikasi tentu akan
mempertimbangkan elemen dalam
proses komunikasi, serta system
komunikasi makro dan mikro. Sisi lain
yang tak kalah pentingnya dalam
pelaksanaan strategi komunikasi adalah
factor situasional. Communication
always involves at least one massage, transmitted by a source, via a medium, to a receiver, within a situasional context. Demikian kata Herbert W.
Ini banyak terbukti bahwa media
dan penyampai pesan menjadi rujukan
kebenaran bagi masyarakat. Pada level
komunikator, komunikator politik
merupakan bagian sentral dalam
kegiatan politik, terutama pada saat
menyampaikan gagasan kepada
pemerintah. Komunikator politik ini
memainkan peran social yang utama,
terutama pada proses opini publik
(Nimmo, 2000:29). Peran dan startegi
komunikator politik selain sebagai
opinion leader adalah mempersuasi
khalayak, suatu cara pembicaraan
politik. Dengan sadar atau tidak, orang
yang turut serta dalam politik bertujuan
membuat orang lain bertinfak dengan
cara yang mingkin tidak akan
dilakukannyajika tidak ada persuasi
-mengubah persepsi, pikiran, perasaan
dan pengharapannya (Nimmo,
121:2000). Pada tahapan komunikator
selain muatan opini yang disampaikan
oleh komunikator, juga kedudukan
komunikator secara pribadi akan
mempengaruhi tanggapan masyarakat
pada pesan yang disampaikannya.
Misalnya adalah kedudukan Kiyai,
Pendeta atau yang lainnnya, akan
memiliki tanggapan yang berbeda pada
masyarakat atau golongan yang
dipimpinnya. Aristoteles menyebut
karakter komunikator ini sebagai ethos.
Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak
yang baik, dan maksud yang baik (good
sense, good moral character, good will)
(Rahmad, 225:2003)
Faktor berikutnya setelah peran
komunikator dalam startegi komunikasi
politik adalah pesan. Dimana pesan
adalah seperangkat lambang yang
bermakna yang disampaikan oleh
komunikator (Efendy,18:2001). Pada
tahapan ini seorang komunikator dalam
melakukan strategi politik harus mampu,
menempatkan pesan pada konteks dan
media yang akan digunakan. Bila
pesan-pesan kita maksudkan untuk
mempengaruhi orang lain maka kita
menggerakkan atau mendorong prilaku
komunikate (Rahmad, 298:2003).
Dengan kekuatan pesan dan strategi
yang tepat akan mampu merubah serta
mempengaruhi tanggapan/ pandangan
masyarakat terhadap isu politik. Pesan
(message) yang disampaikan oleh
komunikator kepada lomunikan tediri
atas isi (the content) dan lambing
(symbol). (Efendy, 12:2001)
Serat Kalatidha merupakan pesan
yang disampaikan oleh pujangga
kerajaan yang berjenis suluk dengan
bentuk tembang macapat. Jenis suluk
dalam kategori syair jawa, merupakan isi
syair yang mengarah pada aturan hidup
dan tatanan agama. Menempuh jalan
suluk (bersuluk) mencakup sebuah
disiplin seumur hidup dalam
melaksanakan aturan-aturan eksoteris
agama Islam (syariat) sekaligus
aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat).
Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk
Mengenal Diri, Memahami Esensi
Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan
Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah),
melalui penempaan diri seumur hidup
dengan melakukan syariat lahiriah
sekaligus syariat batiniah demi mencapai
kesucian hati untuk mengenal diri dan
Tuhan. (wikipedia). Dengan berjenis
suluk, serat Kalaitdha disampaikan
dengan teknik lagu tembang macapat,
dalam bahasa jawa macapat merupakan
singkatan dari maca papat-papat
(membaca empat-empat), berarti dalam
teknik membacanya pada serta Kalatidha
adalah membaca syairnya terjalin tiap
empat suku kata. Macapat merupakan
teknik membaca yang paling mudah
dalam pembacaan syair jawa
dibandingkan denga yang lainnya seperti
teknik Kakawin.
Tahapan akhir dalam komunikasi
politik adalah penggunaan media,
sebagai sarana penyampai pesan politik
atau berkaitan dengan system politik.
Posisi media sebenarnya hanya sebagai
perpanjangan tangan dari pesan yang
komunikan yang homogen atau
heterogen. Namun posisi ini juga
merupakan bagian penting dalam proses
strategi komunikasi politik, mengingat
karakteristik komunikator akan
menentukan penggunaan saluran media
yang dibutuhkan. Antonio Gramsci
melihat media sebagai runang dimana
berbagai idiologi direpresantikan. Ini
berarti, disatu sisi media bisa menjadi
sarana penyebaran idiologi penguasa,
alat legitimasi dan kontrol atas wacana
publik (Sobur, 30:2001).
3. Metode Penelitian
Dalam melakukan tahapan
analisis komunikasi politik pesan Serat
Kala Tida, akan menggunakan teknik
analisis wacana. Merupakan study
tentang struktur pesan dalam
komunikasi. Lebih tepatnya lagi analisis
wacana adalah telaah mengenai aneka
fingsi (prakmatik) bahasa. (Sobur,
48:2001).
Pengolahan data yang diperoleh
dari Serat Kala Tida akan dianalisa
dengan pendekatan analisis wacana Sara
Mills. Data disini diperoleh dari hasil
pengamatan (opservasi) pada teks serat
Kalatidha yang merujuk pada konsep
analisis wacana Sara Mills. Dimana Sara
Mills lebih melihat pada bagaimana
posisi-posisi aktor ditampilkan dalam
teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa
yang menjadi subjek penceritraan dan
siapa yang menjadi objek penceritaan
akan menentukan bagaimana struktur
teks dan bagaimana diperlakukan dalam
teks secara keseluruhan (Erianto,
200:2001).
Posisi subyek dan objek yang
dimaksud oleh Sara Mills adalah
bagaimana suatu peristiwa itu dilihat
oleh seseorang. Siapa yang diposisikan
sebagai pencerita (subjek) dan siapa
yang menjadi objek yang diceritakan.
Jadi posisi subjek dan objek disini
adalah menentukan posisi dari subjek
diceritakan, serta bagaimana seorang
pencerita menceritakan objek yang
diceritakan.
Selanjutnya adalah mengamati
dan menganalisis bagaimana posisi
penulis dan pembaca dikonstrusi pada
teks Serat Kala Tida. Bagaimana posisi
pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan
dirinya dalam teks yang ditampilkan.
Pada kelompok manakah pembaca
mengidentifikasikan dirinya. (Erianto,
211:2001).
Dengan menganalisis isi pesan
Serat Kala Tida diharapkan akan dapat
melihat komunikasi politik secara
mendasar. Sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini.
4. Analisis Data
4.1. Pesan Komunikasi Politik dalam Serat Kalatidha: Posisi Subjek dan Objek
Serat Kala Tida merupakan hasil
karya pujangga kraton Surakarta
R.Ng.Ronggowarsito yang diangkat oleh
pujangga terakir kraton, karena tidak ada
pujangga lain yang diangkat oleh kraton
sesudahnya. Menurut H.H. Juynbell
dalam Oud Javansche Woodenlijst
terbitan Leiden tahun 1923, Pujangga
dapat diartikan sebagai cendekiawan,
atau rohaniawan. (Any, 153:1980).
Sedangkan dalam Serat Wirid Hidayat
Jati seorang pujangga memiliki kritria:
1. Paramasastra artinya mahir
dalam hal sastra.
2. Parama Kawi artinya mahir
dalam memakai bahasa kawi.
3. Mardibasa artinya paham
memainkan kata-kata dalam
bahasa.
4. Mardawalagu berarti mahir
dalam seni suara (tembang).
5. Awicara berarti pandai berbicara,
bercerita maupun mengarang.
6. Mandraguna berarti menguasai
kepandaian/ pengetahuan yang
7. Nawungkrida artinya menguasai
pengetahuan lahir batin serta arif
bijaksana dan waksita.
8. Sambegana yang berarti memiliki
daya ingatan yang kuat.
(Any, 153-154:1980)
Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya bahwa serat Kala Tida
ditulis dengan tembang macapat.
Penggunaan teknik baca macapat
membuat pembaca lebih mudah
disbanding dengan tembang lain, karena
tembang macapat merupakan teknik
membaca tembang paling ringkas
dibandingkan dengan tembang kidung
atau kakawin. Macapat dalam
pembagian tembang jawa berada pada
urutan tembang yang paling kecil,
selanjutnya adalah tembang tengahan
atau biasa disebut kidung, dan yang
terakhir adalah tembang gedhe atau
kakawin.
Penggunaan tembang macapat
pada serat Kala Tida merupakan target
penulisnya untuk memberi kemudahan
pada pembaca dalam membawakan
syairnya, dan sudah barang tentu akan
lebih cepat menerima maksud dan tujuan
pesan yang disampaikan pada syair
tembangnya. Berikut adalah syair serat
Kala Tida dapat dilihat dibawah ini:
Serat Kala Tida
Karya R.Ng.Ronggowarsito
Sinom Terjemah
1. Mangkya darajating praja. Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara. Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda
Pada waktu ki Pujangga menulis karyanya tersebut keadaan negara telah nampak merosot (kosong). Situasinya telah hancur, Sebab tidak ada yang dapat diikuti lagi, Banyak yang meninggalkan sopan santun Orang cerdik cendekia terbawa arus Kala Tida (zaman yang penuh keragu-raguan dan ketidak tentuan). Suasananya semakin mencekam, karena dunia penuh dengan kejahiliahan
2. Ratune ratu utama, Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik, Paranedene tan dadi, Paliyasing Kala Bendu, Mandar mangkin andadra, Rubeda angrebedi, Beda-beda ardaning wong saknegara
Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, Patihnya juga cerdik, Semua anak buah hatinya baik, Pemuka-pemuka masyarakat juga bagus, Namun segalanya itu tidak dapat menciptakan kebaikan. Sebab daya kekuatan zaman Kala Bendu (zaman durhaka). Kerepotan-kerepotan semakin menjadi-jadi. Sebab kemauan orang berlainan. 3. Katetangi tangisira. Sira sang
paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, Katamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara,
Dikala itulah sang Pujangga menangis, Bersedih hati sebab mendapat aib, Karena tadinya muncul suatu harapan yang menghibur hati, dengan pamrih mendapatkan sesuatu, sehingga hilanglah kegembiraan karena kurang waspada.
karsa tanpa wiwek.
4. Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri, Yan pinikir sayekti, Mundhak apa aneng ngayun, Andhedher kaluputan, Siniraman banyu lali, Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Persoalannya berpangkal karena ada berita palsu. Dikabarkan akan menjadi pejabat yang lebih tinggi (Bupati) ternyata tidak. Karena kecewa akhirnya berpikir, apa gunanya ada didepan sebagai pejabat. Nantinya apabila tidak hati-hati akan mendapat kesalahan lebih-lebih kalau sudah lupa diri akan menimbulkan malapetaka saja.
5. Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni, Pedah apa amituhu, Pawarta lolawara, Mundhuk angreranta ati, Angurbaya angiket cariteng kuna.
Menurut buku Panitisastra, sebenarnya sudah ada peringatan. Di zaman yang penuh kebatilan ini, orang yang baik tidak terpakai. Demikian itu apabila dapat menilai. Maka apapula gunanya mendengar berita tidak benar. Kalau dirasakan hanya akan menyakitkan hati saja. Untuk ki Pujangga lebih baik membuat kisah-kisah lama
6. Keni kinarta darsana, Panglimbang ala lan becik, Sayekti akeh kewala, Lelakon kang dadi tamsil, Masalahing ngaurip, Wahaninira tinemu, Temahan anarima, Mupus pepesthening takdir. Puluh-Puluh anglakoni kaelokan
Kisah-kisah ini dapat dipakai sebagai contoh yang baik serta yang buruk. Memang banyak kejadian-kejadian yang pantas menjadi teladan, tentang kehidupan, dengan demikian akan dijumpai intinya. Kemudian lebih baikmenerima keadaan, memang demikian takdir hidup ini dalam masa yang penuh keajaiban.
7. Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan milu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada.
Zaman yang dilalui itu memang zaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga sebahagia bahagia yang lupa diri masih bahagia yang senantiasa ingat serta waspada.
8. Semono iku bebasan, Padu-padune kepengin, Enggih mekoten man Doblang, Bener ingkang angarani, Nanging sajroning batin, Sejatine nyamut-nyamut, Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma.
Itu hanya perumpamaan saja sebenarnya ada masa keinginan juga. Bukan demikian? Memang benar yang mengatakan tetapi di dalam hati repot. Ki Pujangga sudah tua, mau apa lagi. Lebih baik menyendiri agar mendapat ampunan dari Tuhan.
9. Beda lan kang wus santosa, Kinarilah ing Hyang Widhi, Satiba malanganeya, Tan susah ngupaya kasil, Saking mangunah prapti, Pangeran paring pitulung, Marga samaning titah, Rupa sabarang pakolih, Parandene maksih taberi ikhtiyar.
Lain dengan yang sudah kuat atau berkuasa. Mendapat rakhmat Tuhan, Bagaimanapun juga keadaannya tidak repot dalam mencari nafkah, Tidak perlu bersusah payah, Tuhan memberikan pertolongan lewat sesama mahluk berupa apapun juga, Walaupun demikian masih juga berikhtiar.
10. Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana riwayat muni, Ikhtiyar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kanti kaesthi antuka parmaning Suksma.
Segalanya dijalankan. Dengan cara membuat senang pihak atasan. Pokoknya jangan sampai menimbulkan persoalan. Dalam riwayat lama dikatakan bahwa ikhtiar itu harus dengan memakai cara yang baik, sambil berusaha tetap waras dan waspada. Cita-citanya hanyalah agar supaya mendapat rahmad Tuhan.
11. Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi aparinga, Pitulung ingkang martani, Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi, Mula mugi wontena pitulung Tuwan.
Oh Tuhan yang bersifat Maha Murah dan Maha Asih, semoga Tuhan memberikan pertolongan kepada badan kami (ki Pujangga) yang berguna dialam sekarang dan akherat nanti selama hidup kami. Sekarang kami (ki Pujangga) telah merasa tua bagimanakah nasib kami selanjutnya terserah ditangan Tuhan (mudah-mudahan Tuhan mau menolong kami)
12. Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruraha, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badharing sapudhendha, Antuk mayar sawetawis, Borong angga sawarga mesimartaya
Semoga kami dapat sabar dan sentosa, seolah-olah dapat mati didalam hidup ini (artinya tidak dihanyutkan oleh nafsu-nafsu serakah). Lepas dari kerepotan dan jauhkanlah dari angakara murka. Biarkanlah kami hanya memohon kepada-Mu, agar mendapatkan ampunan sekedarnya. Kemudian kami serahkan jiwa dan raga dan kami ke tangan-Mu ya Tuhan yang di Sorga.
Peristiwa Kala Tida diliat dari pandangan pujangga. Jadi subjek (sebagai pencerita menurut Sara Mills) yang menceritakan dan menggambarkan kondisi/ zaman Kala Tida disini adalah R.Ng.Ronggowarsito. Ini dapat dilihat pada pernyataan-pernytaannya dalam syair Kala Tida seperti pada paragraph ke tiga, delapan dan sebelas.
Paragraf ke tiga “Katetangi tangisira, siro sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita” (Dikala itulah sang Pujangga menangis, Bersedih hati sebab mendapat aib).
Paragraf ke delapan “Wis tuwa arep apa, Muhung mahas ing asepi, Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma” (Ki Pujangga sudah tua, mau apa lagi. Lebih baik
menyendiri agar mendapat ampunan dari Tuhan).
Ke sebelas “Ya Allah ya Rasulullah, Kang sipat murah lan asih, Mugi-mugi paringa, Pitulung ingkang martani, Ing alam awal akhir, Dumununging gesang ulun, Mangkya sampun awredha, Ing wekasan kadi pundi, Mula mugi wontena pitulung Tuwan”. (Oh Tuhan yang bersifat Maha Murah dan Maha Asih, semoga Tuhan memberikan pertolongan kepada badan kami (ki Pujangga) yang berguna dialam sekarang dan akherat nanti selama hidup kami. Sekarang kami (ki Pujangga) telah merasa tua bagimanakah nasib kami selanjutnya terserah ditangan Tuhan (mudah-mudahan Tuhan mau menolong kami.).
Dengan beberapa pernyataan-pernyataan syair serat Kala Tida yang melibatkan serta menyatakan keberadaan subjek pencerita, jelas bahwa yang terdapat didalamnya merupakan pandangan, pengalaman dan pengetahuan yang dilihat dalam kacamata Pujangga R.Ng.Ronggowarsito. Jika dimasukkan dalam struktur kata penegasan yang merujuk pada subjek pencerita pandangan Sara Mills adalah pada kata “tangisira” paragraph ke tiga, karena kata“ira”yang bisa diartikan “aku” menjadikan ungkapan diri penulis.
Objek komunikasi politik yang diceritakan disini diletakkan pada tiga objek, yang pertama adalah penceritaan pada objek Kala Tida/ kondisi yang terjadi pada waktu itu atau bisa disebut jamannya. Kedua adalah penceritaan objek raja dan para pembantunya (komponen pembantu raja). Ketiga adalah Pujangga, yang notabene sebagai subjek/ pencerita
Memang secara harfiah dalam penelitian ini keterangan waktu dimasukkan sebagai objek kajian, karena terdapat garis tegas diantaranya. Hal ini disebabkan subjek memang menekankan dan membuat waktu sebagai bahan pembanding pada beberapa peristiwa yang seolah-olah mempunyai wujud dan sifat. Oleh karenanya peneliti menjadikannya keterangan waktu sebagai objek kajian komunikasi politik serat Kala Tida.
4.2. Komunikasi Politik: Objek Kala Tida
Arti dari Kala Tida adalah zaman yang penuh keragu-raguan dan ketidak tentuan. Dari judulnya, subjek (R.Ng.Ronggowarsito) telah mengkomunikasikan suatu gambaran tentang waktu/ kondisi yang mengarah pada ketidak stabilan suatu tatanan kenegaraan dan masyarakat. Dalam bahasa Jawa Kuno kata “Tida”/ “keragu-raguan/ ketidak tentuan” merupakan bentuk penggambaran ketidak stabilan kondisi. Upaya subjek untuk memberi judul Kala Tida merupakan bentuk generalisasi dari apa yang dikandung dalam keseluruhan isi syair.
Pada judul ini pembaca diberi ruang imajinasi dari arti kata keragu-raguan/ tidak menentu bisa merujuk pada upaya penyelesaian masalah kenegaraan yang tidak tegas, gamang, abu-abu atau malah membingungkan. Dimana subjek memposisikan pembaca pada kebenaran subjek untuk menilai bahwa objek yang akan disampaikan adalah sebuah kondisi/ keadaan yang tidak ideal. Judul Kala Tida memiliki potensi menarik pembaca untuk lebih mendalami isi kandungan syair. Mengingat posisi penulis yang notabene adalah pujangga kerajaan, menulis pesan kritiknya untuk kerajaan. Yang pesan syairnya dinikmati oleh berbagai lapisan (massa).
Pada bagian awal paragraph kritik sudah mulai terasa. Sperti pada paragraph pertama subjek menggambarkan suatu kondisi tata Negara yang tidak stabil dan cenderung merosot karena dampak dari Kala Tida (jaman keragu-raguan), yang disebabkan ditinggalkannya aturan/ petuah lama. Pada paragraph pertama ini jelas subjek menunjuk pada tatanan negara: “Mangkya darajating praja. Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara. Karana tanpa palupi, Atilar silastuti”( Pada waktu ki Pujangga menulis karyanya tersebut keadaan negara telah nampak merosot (kosong). Situasinya telah hancur, Sebab tidak ada yang dapat diikuti lagi, Banyak yang meninggalkan sopan santun)
Penekanan pada objek penceritaan Kala Tida, objek komunikasi politik digambarkan hampir pada seluruh paragraph atau paragraph yang berkitan yaitu, paragraph satu samapai paragraph sepuluh. Kala Tida merupakan objek yang digambarkan sebagai tumpuan
kelsalahan-kesalahan pada semua pristiwa kerepotan dan rusaknya situasi tata negara yang terjadi.
Hal itu dapat dilihat pada paragraph pertama“Sujono sarjono kelu kalulun kala tida” (Orang cerdik cendekiawan terbawa arus kalatida). Kerepotan negara meski pemimpin dan pamongnya baik yang terjadi dikarenakan sudah jamannya, seperti yang tertuang pada paragraph ke dua “Ratune ratu utama, patihe patih linuwih, pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik, paranedene tan dadi paliyasing Kala Bendu”. (Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik, patihnya juga cerdik, semua anak buah hatinya baik,pmuka-pemuka masyarakat baik,namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan.Oleh karena daya jaman Kala Bendu. Yang paling menonjol adalah pada paragraph yang ketujuh. “Amenangi jaman edan. Ewuh aya ing pambudi. Milu edan nora tahan yen tan milu anglakoni boya kaduman melik kaliren wekasanipun” (Zaman yang dilalui itu memang zaman gila, untuk menentukan sikap repot sekali. Akan ikut gila (menggila) seringkali hati tak tega. Namun apabila tidak mengikuti tidak akan mendapatkan hasil akhirnya kelaparan)
Disini subjek menggambarkan Kala Tida merupakan situasi yang luar biasa, dimana orang cerdik cedekiawan saja bisa hanyut terbawa arus Kala Tida, bukan hanya itu, raja yang baik, patih yang baik dan para pembantu raja yang baik, dapat masuk dalam arus Kala Tida. Kala Tida digambarkan sebagai ruang yang multi fungsi, disipliner, dan multi level serta menjadi tumpuan kahidupan. Ini mengakibatkan jika orang tidak mengikuti arus Kala Tida maka tidak akan mendapatkan apapun didunia ini dan hanya akan mendapatkan kelaparan/ kesusahan. Jadi subjek disini menggambarkan Kala Tida merupakan kenikmatan dunia dan yang wajib diikuti kalau tidak mau hidup sengsara.
Penekanan subjek pada objek Kala Tida, memiliki kesan menguntungkan posisi raja dan para abdinya. Karena segala kerusakan kerajaan dan tatanan masyarakat yang digambarkan oleh subjek memang sudah jamannya, atau ememang sudah diatur oleh yang maha kuasa. Jadi bagi yang merasakan kecil hati atau merasa disakiti oleh kebijakan pemerintahan pada waktu itu harap dimaklumi karena memang jamannya demikian adanya. Atau kalau maumenyalahkan, silahkan menyalahkan jamannya, atau karena sudah kehendak jaman dari yang maha kuasa/ Tuhan. Disini jelas bahwa Kala Tida memang dijadikan “kambing hitam” pada segala keputusan dan kebijakan negara yang sifatnya kurang baik dalam anggapan masyarakat.
Selain sebagai “bamper” Kala Tida juga digambarkan sebagai bukti berlakunya ramalan dari buku Panitisastra (ahli sastra), yang dikarenakan akibat dari tidak berlakunya
“Ujaring panitisastra, Awewarah asung peling, Ing jaman keneng musibat, Wong ambeg jatmika kontit, Mengkono yen niteni” (Menurut buku Panitisastra, sebenarnya sudah ada peringatan. Di zaman yang penuh kebatilan ini, orang yang baik tidak terpakai ).
Disini subjek mengajak pembaca untuk menaruh simpati pada kondsisi zaman itu (Kala Tida). Dimana kerusakan jaman bukan dikarenakan pada raja dan para pembantunya naumun pada suatu kondisi yang mengabaikan tatanan lama, yang mengakibatkan perbedaan pandangan pada para abdi kerajaan, akirnya terjadi kekacauan seperti yang digambarkan oleh subjek. Juga karena sudah kehendak Tuhan.
4.3. Penggambaran Komunikasi Politik: Raja, Abdi Kerajaan dan Pujangga
Terdapat beberapa paragraph yang menggambarkan tentang raja, kondisi pemerintahan, abdi kerajaan (termasuk pujangga) yang merupakan objek dalam serat Kala Tida. Subjek dalam menggambarkan objek raja hanya sekali saja, yaitu pada paragraph ke dua “Ratune ratu utama” (Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik). Penggambaran objek raja disini menunjukkan bahwa subjek menggambarkan raja yang baik, namun dalam rangkaian kalimat-kalimat selanjutnya adalah mengarah pada ketidak mampuan raja mengetahui cara kerja bawahannya, meski tidak ada teks yang menegaskan tentang ketidak mampuan raja.
Merosotnya keadaan negara dan ketidak mampuan raja ditutupi oleh penggambaran sikap para abdi kerajaan yang digambarkan berperilaku “asal babak senang”, ramalan pada buku Panitisastra dan karena sudah jamannya. Prilaku “asal bapak senang” oleh abdi kerajaan seperti yang terdapat pada paragraph ke sepuluh“Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara”. (Segalanya dijalankan. Dengan cara membuat senang pihak atasan. Pokoknya jangan sampai menimbulkan persoalan). Disini jelas bahwa subjek dalam menggambarkan raja dalam kondisi Kala Tida masih ditempatkan pada posisi yang baik. Sedangkan keburukan dan berbagai kesalahan yang menyebabkan Kala Tida merupakan perbuatan bawahan raja yang membuat sedemikian rupa supaya rajanya senang.
Pada level ini jelas, bahwa subjek mengajak pembaca untuk memberi pandangan kurang baik pada abdi kerajaan. Namun disini terjadi penyeimbanggan penggambaran abdi kerajaan yang dilakukan oleh subjek. Misalnya adalah pada paragraph kedua “Patihe patih linuwih, Pra nayaka tyas raharja, Panekare becik-becik”(Patihnya juga cerdik, Semua anak
selanjutnya adalah “Beda-beda ardaning wong saknegara” (Sebab kemauan orang berlainan). Nampak yang mengakibatkan kesalahan adalah kemauan orang yang berlainan/ berbeda-beda. Pada posisi ini sebenarnya terjadi pengaburan objek dimana terjadi banyak abdi kerajaan yang melakukan tindakan “asal bapak senang” namun tidak semuanya.
Klimaks rusaknya moral abdi kerajaan digambarkan oleh subjek pada paragraph ke empat yang menggambarkan tentang kebijakan/ putusan pemerintah “Dasar karoban pawarta, Bebaratun ujar lamis, Pinudya dadya pangarsa“.(Persoalannya berpangkal karena ada berita palsu. Dikabarkan akan menjadi pejabat yang lebih tinggi (Bupati) ternyata tidak). Ini merupakan ungkapan kejengkelan subjek/ pujangga karena menjadi korban dari keputusan kerajaan yang dianggap merugikan dirinya.
Dari beberapa paragraph yang digambarkan oleh subjek diatas, abdi kerajaan merupakan bagian objek yang digambarkan tidak baik. Rusaknya moral abdi kerajaan lebih mendominasi dari pada penggambaran yang memberikan penyeimbang dari rusaknya moral abdi kerajaan. Sedangkan pada posisi raja masih digambarkan dengan baik meski terjadi banyak kerusakan yang terjadi dalam kepemimpinannya.
Pada tahap ini subjek mengajak pembaca untuk bersimpati pada objek Pujangga, karena merupakan bagian dari objek yang terkena dampak Kala Tida. Dapat dilihat pada paragraph yang ke tiga “Katetangi tangisira. Sira sang paramengkawi, Kawileting tyas duhkita, Katamen ing ren wirangi, Dening upaya sandi, Sumaruna angrawung, Mangimur manuhara, Met pamrih melik pakolih, Temah suka ing karsa tanpa wiwek”. (Dikala itulah sang Pujangga menangis, Bersedih hati sebab mendapat aib, Karena tadinya muncul suatu harapan yang menghibur hati, dengan pamrih mendapatkan sesuatu, sehingga hilanglah kegembiraan karena kurang waspada).
Penggambaran subjek terhadapt sosok objek pujangga terlihat sangat bertolak belakang dengan penggambaran objek yang lain. Dalam hal ini perlu dipahami seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa subjek merupakan objek Pujangga sendiri. Jadi objek pujangga dimenceritakan sebagai korban dari Kala Tida, ini dapat dilihat pada paragraph ketiga dan ke empat. Disitu diceritakan bahwa pujangga bersedih, kecewa dan malu yang disebabkan oleh berita bohong tentang kenaikan pangkatnya kejenjang yang lebih tinggi ternyata tidak terjadi.
Posisi pujangga ditegaskan lagi pada paragraph kelima, dimana subjek mengutip dari Panitisastra tentang tidak berlakunya orang-orang baik. Jadi secara tidak langsung pujangga disini digambarkan dan memposisikan dirinya merupakan bagian dari orang-orang yang baik.
4.4. Penampilan Posisi Pembaca dalam Serat Kalatidha
Serat Kala Tida memiliki sekmentasi pembaca yang luas serta melintasi tingkatan pranata sosial, mengingat jenis tembang dan penggunaan bahasa yang mudah diserap oleh masyarakat dibanding dengan penggunaan bahasa-bahasa pada tembang yang lain. Faktor inilah yang menjadi pemicu, hingga isi, penggalan dan kandungan Serat Kala Tida dapat populer hingga sekarang sampai manca negara.
Dalam Serat Kala Tida subjek mengajak pembaca untuk merasakan, mengamati dan mempersepsikan kelompok-kelompok dalam elemen kerajaan. Seperti bagaimana raja, abdi kerajaan ditampilkan dengan citra kurang baik yang menyebabkan kekacauan pada kebijakan kerajaan.
Dalam penggambaran isi serat Kala Tida subjek menempatkan posisi pembaca pada apa yang dialami oleh Pujangga. Digambarkan disini pujangga merupakan bagian dari korban rusaknya tatanan kerajaan. Hingga digambarkan pada paragraph kedua ,keempat, sebelas dan dua belas, bahwa pujangga digambarkan dengan dirundung permasalahan berat karena melihat Kala Tida (zaman keragu-raguan). Pada paragraph ini pujangga menangis, kecewa dan putus asa. Keputus asaan dapat dilihat pada paragraph ke sebelas dan dua belas, dimana Pujangga menyandarkan permasalahan yang terjadi pada yang maha kuasa (Tuhan). Pada posisi ini jelas bahwa subjek memposisikan pembaca pada keadaan yang dialami oleh Pujangga.
Dari penggambaran subjek, pembaca jelas mengidentifikasikan dirinya pada kelompok yang berada dibelakang Peujangga. Jadi munculah rasa iba dan simpati dari pembaca pada Pujangga dan bertolak belakang pada kerajaan.
5. Hasil Penelitian.
Pertama komunikasi politik dalam serat Kala Tida merupakan kritik terhadap sikap kebijakan kerajaan atas rusaknya prilaku abdi kerajaan yang menyebabkan rusaknya tatanan negara. Kedua adalah kritik kepada raja atas tidak diangkatnya dirinya sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketiga adalah penunjukan sikap keputus asaan diri Pujangga Ronggowarsito atas pengabdiannya pada kerajaan.
Dari pesan komunikasi politik serat Kala Tida, dapat ditarik kesimpulan bawa subjek dalam hal ini adalah Pujangga memberikan gambaran yang dominan pada rusaknya tatanan
Tida merupakan objek dominan yang menjadi tumpuan segala kerusakan tatanan negara. Sedangkan yang kedua adalah pada abdi kerajaan, disini abdi kerajaan digambarkan sebagai penyebab rusaknya tatanan karena sudah tidak lagi mengindahkan aturan-aturan lama.
Penggambaran sosok pribadi raja menempati posisi yang terakhir, artinya penggambaran citra paling sedikit ditampilkan. Dalam menggambarkan citra raja, Pujangga menggambarkan dengan kalimat “Ratune Ratu Utama” yang berartirajanya raja yang baik.
Ini menunjukkan penggambaran yang baik pada sosok pribadi raja. Penggambaran raja yang bertolak belakang dari teks yang menyatakan “rajanya raja yang baik” dengan keseluruhan isi yang banyak mengungkapkan ketidak puasan disini menunjukkan bagaimana seorang pujangga kerajaan masih menghormati rajanya meski kurang berkenan dalam diri pujangga.
Komunikasi politik yang tidak harmonis sangat nampak pada serat Kala Tida, ini menunjukkan bahwa serat Kala Tida ditulis karena hubungan kurang baik antara Pujangga Ronggowarsito dengan kerajaan termasuk disini adalah rajanya yang notabene dipimpin oleh pemerintahan Pakubuwono VIII.
Daftar Pustaka
Any, Andjar. 1980.Raden Ngabehi Ronggowarsito Apa yang terjadi?. Aneka Ilmu.Semarang
Effendy, Onong Uchjana.2002.Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Rosda.Bandung Sobur, Alex. 2001.Analisis Teks Media. Rosda. Bandung
Eriyanto. 2001.Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. LkiS. Yogyakarta Rahmad, Jalaludin. 2003.Psikologi Komunikasi. Rosda. Bandung
Nimmo, Dan. 2000.Komunikasi Politik. Rosda Bandung