• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pengembangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pengembangan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan dan Pengembangan

Pembangunan merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) ke arah tersedianya alternatif-alternatif/pilihan-pilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian dalam Riyadi dan Bratakusumah (2003) pembangunan sebagai suatu upaya perubahan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang.

Selain itu, Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan.

Sedangkan pengembangan mengandung konotasi pemberdayaan, kedaerahan, kewilayahan dan atau proses meningkatkan. Pengembangan berarti melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan. Jadi dalam hal pengembangan ekonomi masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat di suatu kawasan telah memiliki kapasitas tetapi perlu ditingkatkan lagi. Meskipun demikian secara hakiki pengertian pengembangan dengan pembangunan umumnya sama dan dapat dipertukarkan. Kedua istilah tersebut diterjemahkan dari kata

(2)

Dengan demikian, dalam penelitian ini istilah pembangunan dan pengembangan dapat dipertukarkan yang dimaknai sebagai upaya untuk mengembangkan ekonomi wilayah perbatasan yang selama ini telah ada, meskipun belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan. Pembangunan atau pengembangan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melakukan perubahan dalam arti meningkatkan kapasitas ekonomi melalui penentuan prioritas sumberdaya pembangunan (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan) agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.

2.2. Wilayah

Istilah “wilayah”, “kawasan” atau “daerah” sering dipertukarkan penggunaannya dalam beberapa literatur, namun berbeda dalam cakupan ruang, dimana “wilayah” digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah “daerah” digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Rustiadi et al., 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan juridiksi administratif. Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang menyatakan bahwa wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, politik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.

Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah didefinisikan sebagai ruang yang mempunyai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau fungsional. Kemudian menurut Rustiadi et al. (2007), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional). Definisi-definisi tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat “meaningful” untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

(3)

Pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas 3 bagian, yakni (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini (Rustiadi et al., 2007).

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover, 1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al., 2007). Kemudian konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi artinya suatu wilayah memiliki otoritas dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan sendiri untuk mengelola sumberdaya-sumberdaya di dalamnya. Misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan. Selain itu, wilayah nasional dipilah berdasarkan fungsi-fungsi tertentu, misalnya: kawasan pengembangan ekonomi terpadu, kawasan perbatasan, dll.

Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembangunan wilayah/daerah seperti seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefenisikan sebagai wilayah tertentu yang secara spasial ditetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain. Wilayah pembangunan tersebut bisa mencakup wilayah kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, kawasan perbatasan negara dan lain sebagainya. Lebih spesifik wilayah pengembangan yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah wilayah Kabupaten TTU yang berbatasan dengan RDTL (district enclave Oekusi).

(4)

Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan konteks tipologi wilayah, wilayah perbatasan dipandang sebagai salah satu wilayah perencanaan, namun karena belum ada lembaga formal yang menangani kawasan perbatasan dan kebijakan-kebijakan lain yang menyertainya masih dalam pembahasan sehingga dalam pelaksanaan pembangunan wilayah perbatasan masih dipandang sebagai wilayah homogen. Oleh karena wilayah di sepanjang perbatasan memiliki kesamaan dalam berbagai aspek terutama dalam aspek politik dan pertahanan keamanan sehingga pembangunannya perlu dilakukan secara bersama di sepanjang perbatasan.

2.3. Wilayah Perbatasan

Nurdjaman dan Rahardjo (2005) menyatakan bahwa perbatasan negara adalah wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara lain, dan batas-batas wilayahnya ditentukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan Bappenas (2005) menyatakan bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, dimana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan ekonomi, dan sosio-budaya dengan cakupan wilayah administratif tertentu setelah ada kesepakatan negara yang berbatasan. Kawasan perbatasan Indonesia terdiri atas perbatasan kontinen yang berbatasan langsung dengan negara lain yakni: Malaysia, Papua New Guniea (PNG) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) serta perbatasan maritim yang berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietam, Filipina, Repulik Palau, Australia, RDTL, dan PNG.

Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan perbatasan negara adalah kegiatan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara geografis berbatasan dengan negara tetangga. Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing dan potensi yang berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Potensi yang dimiliki kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan di sekitar kawasan perbatasan. Meskipun demikian, wilayah perbatasan selalu menjadi wilayah

(5)

yang hampir luput dari perhatian pemerintah dalam proses pembangunan sehingga masyarakat wilayah perbatasan menjadi masyarakat yang termarginalkan.

Namun demikian, masih menurut Nurdjaman dan Rahardjo (2005), secara umum kebutuhan dan kepentingan percepatan pembangunan wilayah perbatasan menghadapi tantangan antara lain mencakup delapan aspek kehidupan sebagai berikut: (1) aspek geografis yang meliputi kebutuhan jalan penghubung, landasan pacu dan sarana komunikasi yang memadai untuk keperluan pembangunan wilayah perbatasan antar negara. (2) aspek demografis, yang meliputi pengisian dan pemerataan penduduk untuk keperluan sistem hankamrata termasuk kekuatan cadangannya melalui kegiatan transmigrasi dan pemukiman kembali penduduk setempat; (3) aspek sumberdaya alam (SDA), yang meliputi survei dan pemetaan sumberdaya alam guna menunjang pembangunan dan sebagai obyek yang perlu dilindungi pelestarian dan keamanannya; (4) aspek ideologi, yang meliputi pembinaan dan penghayatan ideologi yang mantap untuk menangkal ideologi asing yang masuk dari negara tetangga; (5) aspek politik, yang meliputi pemahaman sistem politik nasional, terselenggaranya aparat pemerintahan yang berkualitas sebagai mitra aparat hankam dalam pembinaan teritorial setempat; (6) aspek ekonomi, yang meliputi pembangunan kesatuan wilayah ekonomi yang dapat berfungsi sebagai penyangga wilayah sekitarnya; (7) aspek sosial budaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang memadai untuk mengurangi kerawanan di bidang keamanan, serta nilai sosial budaya setempat yang tangguh terhadap penetrasi budaya asing; (8) aspek hankam, yang meliputi pembangunan pos-pos perbatasan, pembentukan sabuk pengamanan (security belt), dan pembentukan kekuatan pembinaan teritorial yang memadai serta perangkat komando dan pengendalian yang mencukupi.

Sedangkan Bappenas (2005) menyatakan bahwa pengelolaan perbatasan negara harus didasarkan pada permasalahan pembangunan di perbatasan. Permasalahan di wilayah perbatasan negara yang membutuhkan penanganan adalah berkaitan dengan beberapa aspek, yakni (1) aspek demarkasi dan deliniasi batas, (2) aspek kesenjangan pembangunan baik dengan wilayah lainnya di Indonesia maupun dengan negara tetangga, (3) aspek politik, hukum dan keamanan.

(6)

Pengelolaan wilayah perbatasan belum terencana dengan baik sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan dan kemiskinan masyarakat wilayah perbatasan. Oleh karena itu, kajian terhadap aspek-aspek tersebut di atas akan memberikan kontribusi yang berarti terhadap pengembangan wilayah perbatasan yang merupakan halaman depan wilayah NKRI. Penelitian ini menekankan pada pengembangan aspek ekonomi wilayah perbatasan sebagai katalisator utama di wilayah perbatasan dengan memanfaatkan aspek SDM, sumberdaya alam, sosial budaya, sumberdaya buatan yang selanjutnya akan dapat menggerakkan dan meningkatkan aspek lainnya di wilayah perbatasan sehingga dapat menjadi solusi bagi pengurangan kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.

Kondisi wilayah kawasan perbatasan darat NTT umumnya masih terbelakang. Hal ini ditunjukkan oleh terbatasnya infrastruktur di wilayah perbatasan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, banyaknya masyarakat miskin di wilayah perbatasan. Dampak selanjutnya adalah terjadinya aktivitas ekonomi lintas batas illegal yang merugikan perekonomian setempat. Selanjutnya menurut Pemerintah Daerah Provinsi NTT isu dan permasalahan pengelolaan perbatasan negara di NTT dan Timor Leste adalah berkaitan dengan beberapa hal, yakni (1) kebijakan dan pendekatan pembangunan, (2) kemiskinan, (3) keterbatasan sarana dan prasarana, (4) hukum dan kelembagaan, (5) pengelolaan daerah aliran sungai dan keamanan, dan (6) kerjasama ekonomi yang belum terjalin dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan yang dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antara wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya dan mengurangi kemiskinan di wilayah perbatasan.

2.4. Kebijakan Pengembangan Wilayah Perbatasan

Pengembangan wilayah perbatasan memerlukan manajemen pengelolaan kawasan perbatasan yang tepat diantaranya berupa koordinasi antar pengambil kebijakan pada berbagai tingkatan baik pusat, provinsi dan kabupaten sehingga perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah perbatasan dapat menjadi solusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan. Adapun peran dari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten serta pihak lainnya menurut Hamid dan Alkadri (2003) seperti tertera pada Tabel 4.

(7)

Tabel 4. Peran pemerintah dan pihak lainnya dalam pengembangan kawasan perbatasan

No Pihak Terkait Peranan

1 Pemerintah pusat Penyusunan kebijakan umum dan fasilitasi dalam hal : -Perluasan jaringan informasi dan telekomunikasi -Pengembangan kerjasama dengan negara tetangga

-Pengembangan infrastruktur & tata ruang wilayah perbatasan

-Pemetaan potensi wilayah perbatasan -Pemasangan patok-patok perbatasan negara 2 Pemerintah

provinsi

Mengkoordinasikan semua rencana kerjasama pengembangan kawasan perbatasan antar kabupaten/kota yang memiliki wilayah perbatasan

3 Pemerintah kabupaten/kota

-Menyusun perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian operasional di kawasan perbatasan yang disesuaikan dengan RTRW nasional.

-Meningkatkan kemampuan masyarakat di kawasan perbatasan

-Merencanakan dan menyelenggarakan forum perencanaan lintas batas antarnegara sesuai dengan kewenangannya -Melaksanakan kegiatan pengelolaan perbatasan antar

negara sesuai dengan kewenangannya

4 Pihak lainnya -Perguruan tinggi diharapkan dapat menjembatani kepentingan pemerintah dengan masyarakat

-LSM diharapkan dapat melakukan pengontrolan demi kepentingan umum

-Swasta diharapkan turut berperan dalam investasi di wilayah perbatasan

-Meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan

Sumber : Hamid dan Alkadri, (2003)

Berdasarkan peran dari setiap tingkatan pemerintahan dan tentunya didasarkan pada kondisi serta permasalahan di wilayah perbatasan tersebut maka dalam RPJM nasional tahun 2004–2009 direncanakan akan dilaksanakan kegiatan-kegiatan pokok untuk memfasilitasi pemerintah daerah di wilayah perbatasan yakni:

1. Penguatan pemerintah daerah dalam mempercepat peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui: (a) peningkatan pembangunan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi, (b) peningkatan kapasitas SDM, (c) pemberdayaan kapasitas aparatur pemerintah dan kelembagaan, (d) peningkatan mobilisasi pendanaan pembangunan;

(8)

2. Peningkatan keberpihakan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan terutama untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi di wilayah-wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil melalui, antara lain, penerapan berbagai skema pembiayaan pembangunan seperti: pemberian prioritas dana alokasi khusus (DAK), public

service obligation (PSO) untuk telekomunikasi, program listrik masuk desa;

3. Percepatan pendeklarasian dan penetapan garis perbatasan antar negara dengan tanda- tanda batas yang jelas serta dilindungi oleh hukum internasional;

4. Peningkatan kerjasama masyarakat dalam memelihara lingkungan (hutan) dan mencegah penyelundupan barang, termasuk hasil hutan (illegal logging) dan perdagangan manusia (human trafficking). Namun demikian perlu pula diupayakan kemudahan pergerakan barang dan orang secara sah, melalui peningkatan penyediaan fasilitas kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan;

5. Peningkatan kemampuan kerjasama kegiatan ekonomi antar kawasan perbatasan dengan kawasan negara tetangga dalam rangka mewujudkan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang lintas negara. Selain itu, perlu pula dilakukan pengembangan wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sumberdaya alam lokal melalui pengembangan sektor-sektor unggulan;

6. Peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat, dan penegakan supremasi hukum serta aturan perundang-undangan terhadap setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah perbatasan.

Selanjutnya dalam pengembangan wilayah Indonesia yang berbatasan dengan negara lain perlu dilakukan zonasi wilayah pengembangan yang didasarkan pada perbedaan jumlah penduduk, ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan, kondisi sosial ekonomi dan budaya sebagaimana dikemukakan oleh Depdagri (2005) bahwa zonasi wilayah pengembangan meliputi: a) program pengembangan wilayah perbatasan bertipologi wilayah perekonomian maju (RI–Malaysia); b) program pengembangan wilayah perbatasan bertipologi wilayah perekonomian menengah (RI–PNG); c) program pengembangan wilayah perbatasan berorientasi freeport zones (RI–Singapura dan RI- Filipina); d) program pengembangan wilayah perbatasan inisiatif baru (RI–RDTL).

(9)

Pemerintah dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) merespon dampak pisahnya Timor Leste dengan menetapkan berbagai kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dimuat dalam RPJM dan RTRW baik nasional, provinsi maupun kabupaten. a. Kebijakan Pemerintah Pusat

Kabupaten TTU ditetapkan sebagai salah satu dari 20 kabupaten yang menjadi prioritas pembangunan sebagaimana tertuang dalam RPJM Nasional tahun 2004–2009. Sedangkan dalam RTRWN dinyatakan tentang kawasan strategis nasional termasuk perbatasan darat NTT dengan Timor Leste dengan kategori E2 yang berarti lebih menekankan pada aspek keamanan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong kawasan strategis nasional, dan Kefamenanu sebagai ibu kota Kabupaten TTU termasuk dalam kategori tersebut yang dikelompokkan ke dalam kawasan pengembangan baru dari kawasan strategis nasional.

b. Kebijakan Pemerintah Provinsi

Pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dalam Propeda dan Renstrada NTT tahun 2004-2008 telah menetapkan kawasan perbatasan sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan. Perda Provinsi NTT No.9 tahun 2005 tentang RTRW Provinsi NTT tahun 2006-2020 pasal 20 menyatakan bahwa kawasan strategis daerah meliputi kawasan perbatasan negara yang pengembangannya dilakukan dengan cara (a) mendorong pengembangan kawasan perbatasan Republik Indonesia, Timor Leste dan Australia sebagai beranda depan Negara Indonesia di daerah; (b) percepatan pembangunan kawasan perbatasan negara yang berlandaskan pada pola kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan. Kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan ditingkatkan dengan menetapkan kawasan andalan Noelbesi yang meliputi sub kawasan: Kapan (TTS) – Eban (TTU) – Amfoang (Kupang) yang berada di wilayah perbatasan dengan district enclave Oekusi; sedangkan kelestarian lingkungan dilakukan dengan menetapkan kawasan prioritas negara yang berfungsi lindung dan mendukung pengelolaan sungai batas negara yang juga memiliki fungsi ekonomi dan bernilai strategis terhadap keamanan. Hal ini dilanjutkan dengan membuat rencana tata ruang wilayah perbatasan Provinsi NTT dengan district enclave Oekusi, meskipun belum ditetapkan sebagai perda. Pemerintah

(10)

Provinsi NTT juga mengusulkan adanya kelembagaan formal yang bertugas mengelola wilayah perbatasan sehingga dapat mengkoordinir kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan.

c. Kebijakan Pemerintah Kabupaten

Sedangkan dalam RPJM Kabupaten TTU tahun 2005–2010 telah ditegaskan bahwa potensi pendapatan di Kabupaten TTU dapat diperoleh dari dibukanya pasar perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi, meskipun belum difungsikan. Selanjutnya Kabupaten TTU juga telah mengembangkan Kota Wini sebagai kota satelit yang salah satu pertimbangannya karena letak Wini yang hanya berjarak 8 km dari Oekusi sehingga Wini dapat pula dijadikan kota transito. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamid dan Alkadri (2003) bahwa wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai model pengembangan kawasan transito, kawasan agropolitan, kawasan wisata. Sedangkan strategi yang dikembangkan dapat berupa pengembangan spasial dan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, pengembangan investasi, pengembangan jaringan regional dan pengembangan komoditas unggulan. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian tentang penentuan komoditas unggulan dan jaringan regional yang dapat meningkatkan interaksi spasial di wilayah perbatasan.

Selain itu, pemerintah Kabupaten TTU sebagai daerah otonom merespon dengan melakukan pemekaran kecamatan dari 9 kecamatan menjadi 24 kecamatan sehingga kecamatan di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste berjumlah 5 kecamatan (semula 3 kecamatan) dengan maksud mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran kecamatan juga secara ekonomi dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah dalam hal menciptakan daerah pertumbuhan baru yang dapat meningkatkan interaksi antar sektor di wilayah tersebut sebagaimana dikatakan oleh Losch dalam Rustiadi et al.(2007).

2.5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Wilayah

Pembangunan wilayah perbatasan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari perencanaan yang merupakan suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas

(11)

kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang menyeluruh, lengkap tetapi berpegang pada azas prioritas.

Perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan, yakni: (a) perencanaan, (b) organizing, (c) pelaksanaan rencana, (d) pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi pelaksanaan rencana. Suatu perencanaan pembangunan yang baik harus didasarkan pada data dan fakta yang tepat sehingga dapat menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan. Kondisi wilayah perbatasan sebagai bagian dari wilayah NKRI memiliki keunikan karena selalu dipengaruhi oleh wilayah negara lainnya sebagai dampak dari interaksi dengan wilayah negara lainnya baik legal maupun ilegal dengan berbagai tantangan pengembangan seperti aspek geografis, demografis, SDA, sosial budaya, ekonomi, ideologi, politik dan hankam.

Wilayah perbatasan umumnya termarginalkan dan masih terbelakang sehingga berdampak pada kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan yang diakibatkan oleh minimnya infrastruktur wilayah perbatasan, buruknya kinerja agribisnis akibat terbatasnya perkembangan sektor off-farm. Kesenjangan pembangunan merupakan suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada perkembangan struktur ekonomi dan struktur wilayah yakni perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi (seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, telekomunikasi, air bersih, penerangan) serta keterkaitan antar sektor dan antar wilayah yang didukung oleh kualitas sumberdaya manusia yang memadai serta kelembagaan yang baik (Rustiadi et al., 2007). Sedangkan definisi dan kriteria kemiskinan secara nasional masih sangat sulit ditentukan, diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan berbagai permasalahan kemiskinan yang kompleks baik dari segi ekonomi, budaya, sosial, psikologik, dan

(12)

geografik yang sangat bervariasi di Indonesia. Namun demikian, beberapa ukuran kemiskinan yang dikembangkan dan digunakan di Indonesia, yakni: (1) Biro Pusat Statistik (BPS) yang mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan jumlah rupiah yang dikeluarkan rumahtangga untuk konsumsi, yakni berupa konsumsi makanan kurang dari 2.100 kalori per orang per hari dan konsumsi non makanan. (2) Bank Dunia mengukur kemiskinan didasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (3) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang mengukur kemiskinan berdasarkan kriteria keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. (4) UNDP memperkenalkan pendekatan human development index (indeks pembangunan manusia) yang mencakup dimensi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (UNDP et al., 2004).

Kesenjangan pembangunan dan kemiskinan tidaklah terjadi dengan sendirinya tetapi disebabkan oleh berbagai faktor, sebagaimana dikemukakan oleh Tambunan (2003) antara lain: (a) konsentrasi kegiatan ekonomi hanya berada pada wilayah tertentu, (b) alokasi investasi yang terkonsentrasi pada wilayah tertentu, (c) mobilitas faktor produksi yang rendah, (d) perbedaan sumberdaya alam pada setiap daerah, (e) perbedaan kondisi demografis/SDM antar wilayah, (f) perdagangan output yang terhambat. Sedangkan penyebab kemiskinan menurut USAID (2005) adalah karena (a) adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya dalam kuantitas dan kualitas, (b) adanya perbedaan kualitas sumberdaya manusia sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas, (c) adanya perbedaan akses terhadap modal.

Merujuk pada hal tersebut, penyebab kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan adalah karena sumber daya pembangunan yang terbatas, dalam arti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya sosial dan sumberdaya buatan yang terbatas. Selain itu, belum dikelolanya sumberdaya pembangunan dengan tepat karena perencanaan pembangunan yang kurang tepat.

Perencanaan pengembangan ekonomi wilayah mengandung dimensi pengendalian ekonomi untuk mencapai sasaran dan tujuan tertentu. Variabel yang dikendalikan adalah berupa pertumbuhan penduduk, pengangguran, produksi, inflasi, dan lain sebagainya. Variabel-variabel tersebut dikendalikan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan pembangunan. Namun demikian, masalah umum yang sering dipertanyakan berkaitan dengan

(13)

perencanaan pengembangan ekonomi wilayah adalah bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah terhadap tingkat produksi dan distribusi pendapatan. Hal ini menjadi tugas dari analis pengembangan wilayah untuk membantu merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi wilayah secara tepat.

Pembangunan wilayah perbatasan merupakan upaya spesifik dalam rangka mendorong pemanfaatan seluruh potensi wilayah yang ada. Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan infrastruktur di perdesaan yang memungkinkan bisnis di perdesaan mudah mengakses pasar input dan pasar output dengan biaya transaksi yang lebih rendah sehingga dapat meningkatkan perkembangan ekonomi. Selanjutnya melalui pembangunan infrastruktur juga dapat mengoptimumkan pemanfaatan dan mobilisasi sumberdaya sebagai wujud distribusi sumberdaya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Selain itu, dapat pula meningkatkan pemerataan, keberimbangan, keadilan, dan keberlanjutan maka dibutuhkan penataan ruang (Rustiadi et al., 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur. Sedangkan unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai aturan-aturan main penataan ruang.

2.6. Perencanaan Partisipatif

Pembangunan wilayah perbatasan sebagaimana dimaksud belum mampu memberikan effect terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelolaan wilayah perbatasan yang bersifat menyeluruh dan mengintegrasikan seluruh sektor, menekankan keterkaitan antar wilayah dan meningkatkan koordinasi antar pelaku ekonomi serta seluruh stakeholder wilayah perbatasan, baik di pusat maupun di daerah. Stakeholder yang terlibat dalam perencanaan pembangunan wilayah perbatasan harus benar-benar mengetahui permasalahan wilayah perbatasan. Stakeholder yang dimaksud adalah pemerintahan,

(14)

swasta, masyarakat madani (LSM, tokoh masyarakat dan tokoh adat di sepanjang perbatasan), akademisi.

Dengan demikian, perlu perencanaan secara partisipatif yang dapat mengakomodir kepentingan perencanaan secara top-down dan bottom-up secara bersamaan. Sebagaimana dikatakan Rustiadi et al. (2007) bahwa perencanaan komprehensif sangat menuntut adanya pengetahuan yang sempurna. Suatu kondisi yang sangat sulit dipenuhi dimana kapasitas pengetahuan, pengalaman, dan teknologi perencana sangat terbatas, informasi mengenai objek yang direncanakan terbatas, namun permasalahan yang ada terus berkembang sedemikian kompleks. Keterbatasan informasi tersebut akan berakibat pada rasionalitas perencana yang terbatas terhadap objek yang direncanakan terutama wilayah perbatasan yang umumnya memiliki data dan informasi yang terbatas pula.

Selanjutnya masih menurut Rustiadi et al. (2007) sifat komprehensif suatu perencanaan pada dasarnya dapat dipenuhi dengan membangun partisipasi seluruh

stakeholder agar memperoleh informasi yang lengkap dan memiliki pemahaman yang

sama terhadap informasi tersebut sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan terbaik. Pendekatan perencanaan secara partisipatif akan mampu mendekatkan pemahaman dan visi terhadap pengembangan ekonomi wilayah perbatasan sehingga dapat menjamin kemudahan-kemudahan dalam pelaksanaan dan pengendalian karena adanya rasa memiliki sehingga turut bertanggungjawab terhadap keputusan-keputusan yang telah ditetapkan.

Keputusan-keputusan yang melibatkan stakeholder tersebut mencerminkan

adanya demokratisasi, partisipasi, transparansi dan sistem pertanggungjawaban yang melibatkan kearifan lokal. Hal ini berarti perencanaan partisipatif harus diaktualisasikan dengan tepat dan bukan hanya merupakan retorika belaka karena perencanaan partisipatif dipandang sebagai cara yang tepat dalam melibatkan pelaku-pelaku pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan. Meskipun tidak ada jaminan bahwa hasil perencanaan partisipatif akan dijadikan keputusan final, akan tetapi melalui perencanaan partisipatif keinginan stakeholder dapat diketahui dan diakomodir oleh pengambil keputusan dengan memperhatikan model-model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan yang merupakan upaya pengembangan pusat pertumbuhan baru.

(15)

2.7. Teori Pusat Pertumbuhan

Perencanaan pengembangan ekonomi wilayah seharusnya dapat menentukan lokasi tertentu yang dapat menjadi pusat pengembangan. Hipotesa dasar dari pentingnya pusat pengembangan adalah (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat pertumbuhan, (2) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi disebarkan di pusat-pusat pertumbuhan ini, secara nasional melalui hierarki kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing. Sinkron dengan yang dikemukakan oleh Weber dalam Adisasmita (2005) bahwa faktor penentu suatu lokasi industri adalah : (1) biaya bahan baku, (2) konsentrasi tenaga kerja, (3) gejala aglomerasi.

Daerah hinterland yang umumnya memiliki sektor yang homogen juga berfungsi untuk menopang pusat pengembangan dengan menyediakan sumberdaya yang dapat digunakan oleh pusat pengembangan yang umumnya merupakan multisektor. Sumberdaya yang disediakan daerah hinterland dapat berupa bahan baku dan tenaga kerja. Suatu lokasi dapat menjadi pusat pengembangan yang berkelanjutan karena tingginya permintaan dari daerah hinterland terhadap produk yang dihasilkan oleh pusat pertumbuhan.

Sebagaimana dikatakan Losch dalam Rustiadi et al. (2007) bahwa pusat pengembangan diharapkan mampu melayani semua wilayah pasar karena jaringannya ditata sedemikian rupa sehingga dari titik pusat tersebar banyak alternatif sektor sehingga mampu meminimumkan biaya transportasi dan memaksimumkan jumlah usaha yang beroperasi di wilayah pusat. Ada dua konsekuensi penting dari model Losch tersebut yakni berhubungan dengan pengaturan sektoral pada pergerakan dan yang berimplikasi terhadap distribusi populasi. Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi, perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland.

Sedangkan Christaller dalam Adisasmita (2005) menyatakan bahwa permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Hal tersebut diperkuat oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa dalam pergerakan menuju lokasi pusat untuk

(16)

mempertukarkan pendapatan dengan barang dan jasa, seorang konsumen harus menghabiskan sumberdaya yang langka (uang, waktu, fisik, dan energi) untuk mengatasi friksi jarak tersebut. Teori Christaller tersebut terus berkembang yang dikenal central

place theory yang menyatakan bahwa jarak antara pusat-pusat kota berorde tinggi lebih

jauh dan jarak tersebut akan semakin berkurang dengan semakin rendahnya orde pusat kota. Pusat–pusat pertumbuhan tersebut telah dimodifikasi dan dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal, (2) titik pertumbuhan pada tingkat subwilayah, (3) pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah, (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional. Selanjutnya menurut Rustiadi et al. (2007) dalam menelaah pengembangan suatu lokasi menjadi pusat pertumbuhan perlu dikembangkan interaksi spread effect yang menguntungkan daerah belakang bukan sebaliknya menimbulkan fenomena backwash

effect yang akan merugikan daerah hinterland.

Oleh karena itu, pengembangan ekonomi wilayah perbatasan seharusnya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah yang dapat menjadi pusat pertumbuhan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah perbatasan. Pusat pertumbuhan tersebut harus dianalisa dengan cermat dalam arti lokasi pusat pertumbuhan tersebut tidak harus tepat berada di garis batas negara. Lokasi pengembangan dapat berada di daerah pendukung maupun penyangga batas negara, namun pengembangannya menjadi pusat pertumbuhan tersebut mampu memberikan manfaat yang besar bagi wilayah Kabupaten TTU termasuk di desa-desa yang berbatasan langsung melalui jaringan interaksi yang saling menguntungkan bahkan dengan negara tetangga. Dengan demikian pengembangan ekonomi wilayah perbatasan perlu direncanakan dengan mengembangkan pusat pertumbuhan dengan model ekonomi yang tepat sehingga dapat memberikan manfaat bagi pusat pertumbuhan tersebut dan daerah

hinterland.

2.8. Model Pengembangan Ekonomi Wilayah Perbatasan

Wilayah perbatasan setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan zonasi wilayah pengembangan sehingga pengembangan wilayah perbatasan lebih tepat sasaran dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Kawasan perbatasan sebagai kawasan yang unik karena kebijakan pembangunan suatu negara juga

(17)

akan berpengaruh terhadap negara lain yang berbatasan terutama negara-negara yang memiliki perbatasan darat. Pengembangan kawasan perbatasan selain mempertimbangkan aspek hukum, politik, keamanan juga selayaknya memperhatikan aspek sosial, budaya dan ekonomi kawasan perbatasan. Kompleksitas permasalahan wilayah perbatasan tersebut membutuhkan perencanaan pengembangan wilayah perbatasan yang komprehensif. Sebagaimana dikatakan Rustiadi et al. (2007) bahwa perencanaan pengembangan wilayah tidak hanya bersifat administratif tetapi juga memperhatikan tipologi wilayah yang lainnya misalnya aspek homogenitas dan heterogenitas, aspek keterkaitan antar wilayah, sistem ekonomi, wilayah sistem sosial. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Berbagai konsep wilayah beserta tujuan dan contoh penggunaan

No Wilayah Tujuan Contoh

1 Homogen Penyederhanaan dan pendeskripsian wilayah, zonasi kawasan fungsional

Pola penggunaan lahan, pewilayahan komoditas 2 Nodal Deskripsi hubungan nodalitas, identifikasi

daerah pelayanan, penyusunan hierarki pelayanan

Keterkaitan CBD dan daerah pelayanannya, central place dan periphery, sistem/ordo 3 Sistem ekologi Pengelolaan wilayah sumber daya

berkelanjutan, identifikasi carrying capacity kawasan, siklus alam aliran sumber daya, biomasa energi, limbah,dll

Pengelolaan DAS, cagar alam, ekosistem

mangrove 4 Sistem ekonomi Percepatan pertumbuhan wilayah,

produktifitas dan mobilisasi sumber daya, efisiensi Wilayah pembangunan, kawasan andalan, KAPET, kawasan agropolitan, kawasan cepat tumbuh 5 Sistem sosial Pewilayahan menurut sistem budaya,

optimalisasi interaksi sosial, community development, keberimbangan, pemerataan dan keadilan, distribusi penguasaan sumber daya, pengelolaan konflik

Kawasan adat,

perlindungan / pelestarian budaya, pengelolaan kawasan publik kota 6 Politik Menjaga keutuhan dan integritas wilayah

teritorial, menjaga pengaruh / kekuasaan teritorial, menjaga pemerataan(equity) antar sub wilayah

negara, provinsi, kabupaten, desa

7 Administratif Optimalisasi fungsi-fungsi administrasi dan pelayanan publik pemerintahan

negara, provinsi, kabupaten, desa

(18)

Oleh karena itu, Hamid dan Alkadri (2003) menawarkan beberapa model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan, tentunya dengan penekanan yang berbeda pada aspek tertentu dari setiap wilayah perbatasan. Model-model pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut adalah sebagai berikut:

1). Kawasan Cepat Tumbuh

Kawasan cepat tumbuh merupakan salah satu bentuk kawasan tertentu sebagaimana tertuang dalam RTRWN. Suatu wilayah dikatakan sebagai kawasan cepat tumbuh karena wilayah tersebut merupakan kawasan budidaya yang di dalamnya terdapat kegiatan-kegiatan produksi, jasa, dan permukiman yang keberadaannya memberikan kontribusi penting bagi pengembangan ekonomi nasional dan daerah. Selanjutnya dikatakan bahwa kawasan cepat tumbuh memiliki ciri: (a) sebagai kawasan dimana terjadi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi motor penggerak bagi kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya, misalnya kawasan industri dan kawasan perdagangan bebas; (b) perekonomian wilayah menunjukkan prospek yang baik; (c) kapasitas sumberdaya alam mencukupi; (d) tersedianya ruang, infrastruktur dan daya dukung lingkungan; (e) kapasitas sumberdaya manusia mencukupi; (f) kapasitas kelembagaan dan regulasi cukup kondusif.

Keterbatasan sumberdaya wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district

enclave Oekusi bukanlah merupakan penghalang untuk dijadikan sebagai kawasan cepat

tumbuh karena memiliki ruang cukup luas yang belum dimanfaatkan sehingga penataan wilayah perbatasan dengan model kawasan cepat tumbuh dapat dilakukan dengan baik. Kelembagaan dan regulasi juga dapat disesuaikan sehingga dapat menarik minat investor untuk melakukan investasi di wilayah perbatasan dengan memperhatikan posisi strategis wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi yang berada tepat di pusat Pulau Timor dan berada di seberang Kabupaten Alor, Lembata dan Flores, Wetar (Maluku) sehingga memudahkan akses terhadap sumberdaya lainnya maupun akses terhadap pasar.

2). Kawasan Agropolitan

Kawasan agropolitan secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kawasan pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada sektor pertanian, baik tanaman pangan, palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan maupun kehutanan. Agropolitan sendiri

(19)

pertama kali diperkenalkan oleh Mc Douglass dan Friedman pada tahun 1974 (Rustiadi dan Pribadi, 2007) sebagai upaya pengembangan terhadap kawasan perdesaan. Konsep agropolitan tersebut dilengkapi oleh Soenarso dalam Rustiadi et al.(2006) bahwa sistem fungsional desa-desa dengan hierarki keruangan desa yakni adanya pusat pertumbuhan agropolitan dan desa-desa di sekitarnya dengan ciri berjalannya sistem dan usaha agropolitan yang melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian agribisnis di sekitarnya. Strategi pengembangan agropolitan dilakukan dengan (a) menetapkan dan mengembangkan kawasan agropolitan sebagai pusat pertumbuhan agroindustri; (b) melakukan zonasi komoditas dan menetapkan wilayah pengembangan lain yang berfungsi sebagai pusat-pusat pertumbuhan satelit atau pusat pertumbuhan agribisnis; (c) mengembangkan infrastruktur pendukung seperti transportasi, komunikasi, air bersih dan energi bagi pengembangan kawasan agropolitan maupun pengembangan agribisnis di wilayah hinterland. Selanjutnya dikatakan bahwa model pengembangan agropolitan dapat dikembangkan melalui kawasan sentra produksi dan kawasan agribisnis. Kawasan sentra produksi sebagai kawasan budidaya yang potensial dan prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sebaran pengembangan kegiatan produksi pertanian. Sedangkan kawasan agribisnis meliputi seluruh kegiatan yang termasuk dalam manufaktur dan distribusi input produksi, proses produksi pertanian, pengolahan dan pemasaran komoditas pertanian dan jasa-jasa penunjang lainnya yang terkait.

Kawasan perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi umumnya adalah wilayah perdesaan dengan aktivitas utama masyarakatnya pada sektor pertanian, walaupun demikian terdapat lahan tidur seluas 37.344,5 ha yang belum diolah. Pemanfaatan lahan-lahan tidur tersebut menjadi lahan produktif yang ditunjang dengan pengolahan hasil-hasil pertanian akan meningkatkan nilai tambah produk bagi masyarakat perdesaan di wilayah perbatasan. Selain itu, penguatan lembaga keuangan mikro perdesaan yang ditunjang dengan pembangunan infrastruktur akan memacu perekonomian perdesaan di wilayah perbatasan untuk berkembang.

3) Kawasan Transito

Kawasan transito diartikan sebagai suatu kawasan yang memiliki fungsi menetap sementara karena kawasan tersebut merupakan wilayah yang menghubungkan suatu wilayah tertentu dengan wilayah lainnya. Pengembangan wilayah Kabupaten TTU

(20)

sebagai kawasan transito sangat dimungkinkan karena Kabupaten TTU merupakan wilayah yang dilintasi oleh diplomat asing maupun masyarakat TL yang ingin bepergian ke wilayah district Oekusi yang enclave atau sebaliknya. Pengembangan kawasan transito dilakukan dengan meningkatkan sumberdaya manusia, menyiapkan infrastruktur transito seperti perhotelan dan restoran baik internasional maupun lokal yang menyediakan komoditas-komoditas unggulan lokal yang dapat diandalkan serta kawasan tertentu untuk dijadikan tempat wisata.

4) Kawasan Wisata

Kebijakan pariwisata di Indonesia adalah menjaga Indonesia sebagai tujuan wisata domestik dan mancanegara untuk berbagai tujuan. Pembangunan wisata dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan pembangunan dan memperkaya keragaman budaya nasional. Pengembangan pariwisata diharapkan dapat membangun wilayah-wilayah yang unik dan indah di Indonesia yang tidak memiliki sumberdaya lainnya. Model pengembangan wisata dimaksudkan untuk (a) mengintegrasikan wisata dengan konservasi; (b) model untuk menekan biaya pembangunan; (c) sarana pendidikan bagi masyarakat untuk lebih mencintai lingkungan dan budaya; (d) pembangunan berkelanjutan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat.

Kabupaten TTU memiliki beberapa potensi ekowisata seperti kawasan wisata Tunbaba raya (Miomafo Timur), Mutis-Timau (Miomafo Barat), kawasan wisata bahari seperti Tanjung Bastian (Insana Utara), dan kawasan wisata budaya seperti rumah adat Nilulat (Miomafo Timur) dan Mumi Tola (Miomafo Barat) serta kawasan wisata lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten TTU sejumlah 22 daerah tujuan wisata. Kawasan-kawasan wisata tersebut bila diberi sentuhan teknis dan manajemen yang profesional akan menjadikan Kabupaten TTU sebagai daerah tujuan wisata yang cukup menjanjikan dan akan menarik serta mendorong usaha-usaha ekonomi produktif lainnya yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan PAD.

2.9. Agropolitan

Rustiadi dan Pranoto (2007) mengatakan bahwa suatu kawasan agropolitan dicirikan oleh kegiatan masyarakat di suatu kawasan yang didominasi oleh kegiatan pertanian dan atau agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan terintegrasi.

(21)

Penerapan konsep agropolitan harus didahului dengan mempersiapkan hal-hal berikut: (1) identifikasi potensi sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah, (2) kemudahan transportasi sehingga hubungan (interaksi) dengan luar dapat berjalan dengan baik, (3) memfungsikan wilayah sebagai pusat perdagangan maupun transit bagi pihak-pihak yang melakukan perdagangan.

Pada intinya, pusat-pusat wilayah perdesaan harus mampu menciptakan suatu program/proyek/sumber produksi/investasi/sabuk ekonomi yang mampu menghidupi masyarakat wilayahnya. Kapital yang ditanam di sana, diputar, dan memberikan

multiplier secara lokal. Untuk menghindari kebocoran wilayah (regional leakages)

diperlukan adanya kemampuan kelembagaan lokal dengan difasilitasi oleh pemerintah yang mengarah kepada pembentukan struktur insentif dan disinsentif yang dapat mendukung penanaman dan terjadinya akumulasi modal di tingkat daerah atau lokal. Rustiadi dan Dardak (2008) mengatakan bahwa berdasarkan skala nilai strategisnya, agropolitan dapat diklasifikasikan menjadi 3 yakni: (a) agropolitan kabupaten, (b) agropolitan provinsi, (c) agropolitan nasional yang memiliki nilai strategis secara nasional karena berada pada kawasan perbatasan dan kawasan tertinggal nasional.

Selanjutnya Rustiadi dan Pranoto (2007) mengatakan bahwa penetapan suatu kawasan menjadi kawasan agropolitan didasarkan pada kriteria-kriteria berikut:

1. Memiliki komoditas dan produk olahan pertanian unggulan. Komoditas pertanian unggulan yang dimaksud seperti tanaman pangan (jagung, padi), hortikultura (sayur-mayur, bunga, buah-buahan), perkebunan, perikanan darat/laut, peternakan. 2. Memiliki daya dukung dan potensi fisik yang baik yang berarti daya dukung lahan

untuk pengembangan agropolitan harus sesuai syarat pengembangan jenis komoditi unggulan yang meliputi: kemiringan lahan, ketinggian, kesuburan lahan, dan kesesuaian lahan.

3. Luas kawasan dan jumlah penduduk yang memadai sehingga memperoleh hasil produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pasar secara berkelanjutan dan mencapai skala ekonomi.

4. Tersedianya dukungan sarana dan prasarana pemukiman dan produksi yang memadai untuk mendukung kelancaran usahatani dan pemasaran hasil produksi.

(22)

Prasarana dan sarana tersebut antara lain adalah jalan poros desa, pasar, irigasi, terminal, listrik dan sebagainya.

Berkaitan dengan syarat dan kriteria pengembangan suatu kawasan menjadi kawasan agropolitan maka dapat diklasifikasikan tipologi kawasan agropolitan berdasarkan agroekosistem, potensi unggulan dan pemukiman. Perincian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

TIPOLOGI

Agroekosistem Potensi Unggulan Permukiman 1. Pesisir/ pantai 2. Dataran rendah 3. Dataran tinggi Komoditas primer Sistem pengolahan Distribusi

dan pasar Penunjang 1. tanaman pangan 2. tanaman hortikultura 3. perkebunan 4. peternakan 5. perikanan 6. perhutani 7. wanapolitan 8. Agrowisata 1. sorting/ paking 2. industri olahan makanan 3. Industri olahan non makanan 1.pusat-pusat pengumpul distribusi skala kecil/lokal 2. pusat-pusat pengumpul skala sedang 3.Sub terminal agribisnis 1. kios/ toko saprotan 2. Lembaga keuangan 1. Monosentrik 2. Polisentrik 3. Network/ tanpa pusat Skala Agropolis 1. Desa pusat pertumbuhan 2. Pusat kegiatan lokal 3. Kota kecil/ menengah

Komoditas primer produk olahan unggulan

Gambar 3. Bagan tipologi kawasan agropolitan (Rustiadi dan Pranoto, 2007) Penetapan tipologi kawasan agropolitan yang tepat diharapkan dapat mengikutsertakan pembangunan kapasitas lokal dan partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat mutual bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan (Douglas dalam Rustiadi dan Pribadi, 2007). Melihat kota-desa sebagai situs utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi, pengembangan agropolitan di banyak negara lebih cocok dilakukan pada skala kecamatan atau dalam beberapa kecamatan. Pengembangan kawasan agropolitan dengan luasan atau skala kecamatan akan memungkinkan hal-hal sebagai berikut: (1) akses lebih mudah bagi rumahtangga atau masyarakat perdesaan untuk menjangkau kota, (2) cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan cukup luas dalam upaya pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan

(23)

pemanfaatan desa sebagai unit ekonomi, (3) pengetahuan lokal mudah diinkorporasikan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan produsen perdesaan.

2.10. Sektor Basis, Sektor Unggulan dan Leading Sector

Jhingan (2004) mengatakan bahwa model perencanaan pembangunan ekonomi dikategorikan atas 3 yakni: (1) model agregat, yang menyajikan aspek perekonomian secara keseluruhan; (2) model antar industri, yang didasarkan pada keterkaitan seluruh sektor ekonomi yang produktif; (3) model sektoral, yang lebih menekankan pada industri yang memberikan kontribusi paling besar pada perekonomian. Sebagaimana diperkuat oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa suatu perencanaan pembangunan yang baik harus menetapkan skala prioritas pembangunan dengan pertimbangan bahwa (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda, (3) aktivitas sektor-sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, buatan dan sosial yang ada. Oleh karena itu, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor strategis yang memiliki sumbangan terbesar dalam perekonomian wilayah, memiliki keterkaitan sektoral dan spasial yang kuat.

Tarigan (2005) menyatakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa sektor ekonomi yang outputnya lebih banyak diekspor merupakan sektor basis, sedangkan sektor ekonomi yang outputnya lebih banyak digunakan untuk memenuhi permintaan dalam negeri merupakan sektor nonbasis. Analisis yang digunakan untuk mengukur suatu sektor merupakan sektor basis atau nonbasis adalah dengan menggunakan analisis LQ (location quotient). Sektor basis tersebut juga mengindikasikan suatu wilayah memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah lainnya karena wilayah tersebut memiliki keunggulan iklim dan kesesuaian lahan, sosial ekonomi, kelembagaan, suberdaya manusia, sumberdaya alam dan kemungkinan pemasaran. Sedangkan suatu wilayah memiliki keungulan kompetitif dibanding wilayah lainnya dapat dianalisis dengan SSA (shift share analysis).

(24)

Oleh karena itu, dalam penelitian ini sektor yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dibanding dengan sektor lainnya dikategorikan sebagai sektor unggulan. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya serta memberikan nilai tambah bruto yang tinggi bagi wilayah tertentu disebut dengan

leading sector.

Oleh karena itu, setiap wilayah seharusnya dapat menentukan leading sector yang berarti output suatu sektor ekonomi lebih banyak digunakan sebagai input dari sektor lainnya di suatu wilayah atau dengan kata lain memiliki keterkaitan yang tinggi dengan sektor lainnya. Keterkaitan dimaksud adalah output dari leading sector akan mampu meningkatkan permintaan terhadap input dari sektor ekonomi lain yang juga berada di wilayah tersebut dan sekaligus meningkatkan penggunaan output sektor tersebut sebagai input bagi sektor lainnya di wilayah tersebut. Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh akibat peningkatan output suatu sektor tetap berada pada wilayah tersebut. Alat analisis yang sering digunakan dalam menganalisa keterkaitan antar sektor di suatu wilayah adalah analisis Input-Output (I-O).

Nazara (1997) menyatakan bahwa Tabel I-O biasa pada dasarnya hanya melihat perekonomian suatu wilayah secara eksklusif/tertutup yakni seluruh output dari suatu sektor pada suatu wilayah digunakan sebagai input oleh sektor lainnya pada wilayah tersebut. Demikian pula sebaliknya input pada suatu sektor di wilayah tersebut dipenuhi dari output yang dihasilkan oleh sektor lainnya pada wilayah yang sama. Dalam bentuk persamaan sebagai berikut: A=AR dimana A merupakan matriks A yang menggambarkan transaksi I-O pada wilayah tertentu (misalnya: wilayah R).

2.11. Interaksi Spasial

Interaksi spasial pada prinsipnya dipengaruhi oleh tiga hal yakni (1) hubungan komplementer antar dua wilayah (hubungan supply-demand); (2) adanya penghalang kesempatan yang menghambat interaksi antar dua wilayah sehingga dibutuhkan alternatif

supply dari wilayah lain; (3) adanya biaya pergerakan yang berlebihan akan mengurangi

interaksi antar dua wilayah (Ullman dalam Rustiadi et al., 2007). Hal ini sinkron dengan yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2007) bahwa pengembangan wilayah baru dapat didekati dengan dua cara yakni supply side strategy dan atau demand side strategy.

(25)

Pengembangan wilayah perbatasan Kabupaten TTU dengan district enclave Oekusi dapat didekati dengan supply side strategy karena memiliki beberapa keuntungan yakni prosesnya cepat sehingga efek yang ditimbulkan akan cepat terlihat, selanjutnya

demand side strategy dapat diterapkan untuk memperkuat pengembangan wilayah

perbatasan. Pengembangan wilayah perbatasan seperti itu menunjukkan penekanan pada interaksi spasial.

Perencanaan pembangunan wilayah tidaklah cukup hanya menggunakan pendekatan sektoral atau pendekatan regional saja. Pendekatan pembangunan wilayah mestinya memadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Oleh karena itu, Nazara (1997) menyatakan bahwa keterkaitan antar wilayah (misalnya wilayah R dan S) dapat dianalisis dengan menggunakan Tabel I-O inter-regional sehingga dapat digunakan untuk mengestimasi efek pergerakan tersebut untuk wilayah lainnya. Output setiap sektor pada suatu wilayah (misalnya: wilayah R) tidak saja digunakan untuk wilayah tersebut tetapi juga diekspor untuk wilayah lainnya (misalnya: wilayah S). Demikian pula sebaliknya, input produksi yang digunakan oleh suatu sektor pada wilayah tertentu (misalnya: wilayah R) tidak hanya berasal dari wilayah tersebut tetapi dapat pula berasal dari sektor pada wilayah lainnya (misalnya: wilayah S).

Lebih jauh Hoover dan Giarratani dalam Saefulhakim (2008) menjelaskan tentang adanya tiga pilar teori lokasi yang menentukan pola spasial pengorganisasian berbagai aktivitas ekonomi yaitu (1) imperfect factor mobility (ketidaksempurnaan mobilitas faktor produksi), (2) Imperfect factor divisibility (ketidaksempurnaan pemisahan faktor produksi), (3) imperfect mobility of goods and services (ketidaksempurnaan mobilitas barang dan jasa). Adanya berbagai ketidaksempurnaan ini memperkukuh pentingnya pertimbangan atas konfigurasi spasial dan interaksi spasial antar berbagai sumberdaya, aktivitas dan kinerja ekonomi dalam perencanaan pembangunan.

Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah harus mampu menentukan prioritas pembangunan dengan mengidentifikasi potensi-potensi ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan pembangunan akan dapat dicapai bila perencanaan pembangunan memperhatikan aspek keterkaitan antar sektor dan antar wilayah. Sebagaimana dikemukakan oleh Tarigan (2002) bahwa pendekatan sektoral saja tidak akan mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih

(26)

dalam penggunaan lahan, perubahan struktur ruang, perubahan pergerakan arus orang dan barang. Sedangkan pendekatan regional saja juga tidak cukup karena analisisnya akan bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detil untuk membahas sektor per sektor apalagi komoditas per komoditas, misalnya komoditas apa yang dikembangkan (luas, pasar, input, perilaku pesaing).

2.12. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan wilayah perbatasan di Indonesia masih sedikit karena berbagai pertimbangan diantaranya tidak menarik untuk diteliti karena kurang memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara, penyediaan data wilayah perbatasan yang terbatas dan resiko kegagalan penelitian yang tinggi karena wilayah perbatasan umumnya kurang kondusif. Belum lagi sumberdaya manusia wilayah perbatasan yang rendah sehingga tidak mampu memperjuangkan hak-hak mereka untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai anak kandung ibu pertiwi. Namun demikian, ada beberapa penelitian di wilayah perbatasan yang dapat dijadikan rujukan.

Rustiadi dan Pribadi (2006) mengatakan bahwa dalam perspektif keterkaitan wilayah, kemiskinan di suatu tempat (misalnya: di wilayah perbatasan) akan sangat berbahaya bagi wilayah lainnya, oleh karenanya kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan secara berkeadilan ke seluruh wilayah. Kinerja pembangunan wilayah perbatasan, umumnya belum dapat diukur secara komprehensif mengingat adanya keterbatasan informasi mengenai wilayah perbatasan. Namun berdasarkan data PDRB 20 kabupaten wilayah perbatasan diketahui bahwa sumbangan PDRB 20 kabupaten tersebut sebesar 2,22% dari total PDRB nasional. Umumnya masyarakat di 20 kabupaten wilayah perbatasan bekerja di sektor pertanian dimana 82,17% rumahtangga bekerja di sektor pertanian yang umumnya didominasi oleh rumahtangga prasejahtera sebanyak 55,18% dan rumahtangga miskin sebanyak 39,21% dari total rumahtangga di wilayah perbatasan.

Yagung (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Alternatif Pembangunan Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur (Studi Kasus Kecamatan Krayan) menyatakan bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia melalui pendidikan formal dan informal dengan sumber dana yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya alam di daerah perbatasan yang dapat meningkatkan

(27)

produksi komoditi unggulan antara lain: perkebunan, tanaman bahan makanan, peternakan dan jasa pariwisata serta pentingnya peningkatan mutu infrastruktur transportasi sebagai pendukung sehingga kesejahteraan masyarakat akan mengalami peningkatan. Penelitian dengan tema yang sama yang dilakukan oleh Apdyllah (2006) di perbatasan Indonesia - Malaysia (Studi Kasus Pulau Karimun Kecil, Kepulauan Riau) menyatakan bahwa kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar memerlukan perangkat hukum dan kelembagaan yang kuat guna menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemanfaatannya. Selanjutnya, strategi pengelolaan Pulau Karimun Kecil sebagai pulau terluar adalah sebagai berikut: (1) pengembangan pulau untuk konservasi dan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tangkap, (2) penegasan batas laut Indonesia dan Malaysia yang belum jelas di Selat Malaka, (3) Pembangunan pos dan penetapan petugas keamanan perairan di pulau Karimun Kecil, (4) pembangunan sarana pelabuhan laut dan perhubungan laut.

Samudra (2005) dalam penelitiannya mengenai kajian pengelolaan Pulau Sebatik sebagai pulau kecil perbatasan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur secara terpadu, berkelanjutan dan berbasis masyarakat menyatakan bahwa alternatif strategi pengelolaan sumberdaya Pulau Sebatik berdasarkan analisis SWOT meliputi 9 komponen utama yakni: (1) panduan pembangunan dan penyusunan tata ruang, (2) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan (> 6 mil laut), (3) pengembangan kapasitas SDM lokal, (4) keberpihakan pemerintah pusat dan daerah, (5) peningkatan koordinasi dan kerjasama secara terpadu, (6) pengawasan perairan dan penegakan hukum, (7) pengembangan Pulau Sebatik sebagai pulau kecil perbatasan dalam kerangka NKRI, (8) pemanfaatan sumberdaya pascapanen, (9) pengembangan mata pencaharian alternatif.

Penelitian dengan tema yang sama pada kawasan perbatasan dilakukan oleh Suryansyah (2005) menyatakan bahwa teknologi perikanan dan kelautan yang akan digunakan untuk pengembangan pulau kecil perbatasan memiliki kriteria: (1) harus ada tenaga terampil yang dapat mengoperasikan teknologi, (2) dapat diterima masyarakat setempat dan tidak bertentangan dengan adat–istiadat atau peraturan desa, (3) hemat energi, (4) adanya ketersediaan bahan baku lokal atau minimal dapat diakses, (5) ramah lingkungan, (6) umur teknis teknologi panjang, (7) sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, (8) adanya manajemen teknologi, (9) pemeliharaan teknologi dapat dilakukan

(28)

secara lokal, (10) adanya kebijakan/peraturan lokal dalam pemanfaatan teknologi, (11) transportasi dan teknologi.

Penelitian yang dilakukan oleh Haba dan Siburian (LIPI, 2006) mengenai potensi ekonomi, sosial budaya masyarakat perbatasan RI dan RDTL sebagai pengembangan standar hidup, menyatakan bahwa pembangunan wilayah perbatasan harus berorientasi ke dalam dan luar negeri sehingga tidak menimbulkan kecemburuan tetapi sebaliknya kedua wilayah dapat mengambil manfaat dari pembangunan wilayah perbatasan dengan memanfaatkan potensi ekonomi lokal dan sumberdaya manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan wilayah perbatasan membutuhkan organisasi pelaksana yang menangani pengembangan wilayah perbatasan dengan melaksanakan program–program intervensi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah perbatasan.

Semua kegiatan yang mengarah pada peningkatan ekonomi harus didukung oleh fasilitas, aksesibilitas dan kelembagaan serta kebijakan yang kondusif bagi pengembangan usaha. Oleh karena itu, pemerintah perlu menentukan komoditi unggulan yang patut dikembangkan agar dapat menjawab kebutuhan pasar di wilayah perbatasan sehingga dapat berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi wilayah perbatasan. Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa langkah yang dapat dilaksanakan adalah: (1) penguatan pusat pertumbuhan sebagai pendukung kebutuhan pasar perbatasan, (2) penguatan kota-kota atau wilayah-wilayah penghasil komoditi yang dapat menjamin distribusi, (3) pengembangan berbagai fasilitas yang diperlukan seperti lembaga keuangan, informasi pasar, jasa teknologi, kelembagaan ekonomi dan transportasi, (4) kajian kebutuhan pasar di Timor Leste maupun di wilayah NTT, (5) penguatan pasar lokal sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi lokal (Savitri, dkk dalam LIPI, 2006).

Oleh karena itu, penelitian yang relevan untuk mendukung dan mempertajam hasil-hasil penelitian terdahulu serta dapat dijadikan sebagai rekomendasi dalam pengambilan kebijakan adalah berkaitan dengan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan. Penelitian ini menekankan pada persepsi stakeholder berkaitan dengan penentuan prioritas pembangunan yang dipadukan dengan analisis keterkaitan antar sektor tanpa mengesampingkan interaksi dengan district enclave Oekusi dengan memanfaatkan sumberdaya pembangunan wilayah perbatasan dalam rangka memberikan solusi terhadap kesenjangan pembangunan dan kemiskinan di wilayah perbatasan.

Gambar

Tabel 4. Peran pemerintah dan pihak lainnya dalam pengembangan kawasan perbatasan
Tabel 5. Berbagai konsep wilayah beserta tujuan dan contoh penggunaan
Gambar  3. Bagan tipologi kawasan agropolitan (Rustiadi dan Pranoto, 2007)  Penetapan tipologi kawasan agropolitan yang tepat diharapkan dapat  mengikutsertakan pembangunan kapasitas lokal dan partisipasi masyarakat dalam suatu  program yang menumbuhkan ma

Referensi

Dokumen terkait

Antarmuka halaman detail Alamat digunakan sebagai tampilan detail data alamat mahasiswa pada aplikasi sistem informasi biaya studi mahasiswa STTT-NF, pada tampilan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi terhadap perjanjian keija bersama (PKB) dengan motivasi berprestasi

Secara umum keuntungan pembelajaran matematika berbasis media TIK yang dapat diperoleh bagi peserta didik, khususnya bagi siswa tunarungu adalah: (1) peserta

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi dalam pelayanan administrasi perizinan, dari aspek Kelembagaan bahwa pelayanan perizinan Kabupaten

Predictors: (Constant), Reputasi Auditor, Profitabilitas, Umur Obligasi, Likuiditas,

Jumlah proses yang disubkontrakkan (number of processes subcontracted) 2.. Proses yang

Penggunaan keranjang menghasilkan susut bobot lebih besar yaitu 14,3% dibandingkan dengan kemasan lain, karena respirasi kubis meningkat akibat keranjang lebih

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Kepala Urusan Keuangan memiliki fungsi melaksanakan urusan keuangan seperti pengurusan administrasi