• Tidak ada hasil yang ditemukan

Q FEVER DITINJAU DARI ASPEK ZOONOSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Q FEVER DITINJAU DARI ASPEK ZOONOSIS"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Q FEVER DITINJAU DARI ASPEK ZOONOSIS

(Review on Zoonosis of Q Fever)

AGUS SETIYONO

Bagian Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor Jl. Agatis Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

ABSTRACT

Q fever is a zoonosis caused by Coxiella burnetii, gram negative and an obligate intracellular microorganism. Outbreak of Q fever firstly reported in Australia in 1935, then spread to almost worldwide up to date. Clinically, acute Q fever in human showed flu-like symptom often followed by pneumonia, whereas chronic type of the disease showed endocarditis and caused the death. Q fever firstly found in Indonesia in 1937 on cattle and in 1978 was reported had been infected the high-risk occupational exposure. In 2001, It was reported that a Japanese tourist had been infected by C. burnetii after several days living in Indonesia. Due to dangerous risk, surveillance system that then followed by confirmation diagnosis of Q fever and proper medication would be important in the control of the disease.

Key Words: Q Fever, Coxiella burnetii, Zoonosis

ABSTRAK

Q fever adalah zoonosis yang disebabkan oleh Coxiella burnetii, bakteri gram negative dan bersifat obligat intraseluler. Q fever pertama kali dilaporkan berjangkit di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia hingga saat ini. Gejala klinis Q fever akut pada manusia adalah menyerupai influenza yang sering diikuti dengan pneumonia, sedangkan bentuk kronis berupa radang jantung (endocarditis) dan dapat berakibat kematian. Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1937 di sejumlah sapi dan pada tahun 1978 dilaporkan menginfeksi para pekerja resiko tinggi terpapar. Laporan tahun 2001 menyatakan bahwa seorang wisatawan Jepang terinfeksi C. burnetii setelah beberapa hari tinggal di Indonesia. Mengingat bahaya yang ditimbulkan, maka sistem surveillance yang diikuti dengan peneguhan diagnosis Q fever dan pengobatan yang sesuai menjadi penting dalam kontrol penyakit ini.

Kata Kunci: Q Fever, Coxiella burnetii, Zoonosis

PENDAHULUAN

Q fever adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii (C.

burnetii). Q fever pertama kali dilaporkan

berjangkit di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia hingga saat ini. Laporan World Health

Organization (WHO) berdasarkan pemeriksaan

serologis menyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1937, dimana dari 188 serum sapi yang diperiksa ternyata positip mengandung antibodi terhadap C. burnetii (KAPLAN dan BERTAGNA,

1955). Selanjutnya VAN PEENEN et al. (1978)

melaporkan adanya bukti serologis Q fever di Indonesia pada para pekerja dengan resiko tinggi terpapar agen penyakit.

Q fever bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan yang paling umum menjadi target Q fever adalah hewan domestik terutama sapi, domba dan kambing. C. burnetii sangat infeksius di alam dan dengan penyebarannya secara aerosol berpotensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (RAOULT et al., 2005),

sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi penting bila terjadi wabah. Namun demikian, hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang penyakit Q fever di Indonesia.

Gejala klinis Q fever akut pada manusia yang tampak adalah berupa demam mirip dengan gejala influenza dan seringkali diikuti dengan radang paru (pneumonia). Sedangkan pada hewan Q fever seringkali bersifat

(2)

subklinis. Penyakit Q fever menahun (kronis) akan menimbulkan kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi adalah peradangan jantung (endokarditis) yang berakibat kematian (FOURNIER et al., 1998). Penelitian terbaru yang dilaporkan oleh STEIN et al. (2005)

menjelaskan bahwa penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi pada paru-paru.

Penentuan diagnosa yang cepat dan akurat terhadap Q fever merupakan suatu keniscayaan yang sampai saat ini terus dikembangkan di negara-negara maju. Diagnosis secara serologi masih merupakan pilihan yang aman dan tepat untuk saat ini. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh SETIYONO et al. (2004),

membuktikan bahwa enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) memiliki

akurasi yang baik untuk diagnosa Q fever yang didukung dengan immunofluorescence assay (IFA), namun hal ini sangat dipengaruhi oleh antigen standar yang dipakai.

PENYEBAB DAN KEJADIAN Q FEVER

Q fever disebabkan oleh bakteri Coxiella

burnetii, bersifat obligat intraseluler,

menyerupai bakteri gram negatip dan berukuran 0,3–1,0 µm. Kuman C. burnetii memiliki 2 fase antigen yaitu fase I bersifat virulen (patogenik) yang dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di alam maupun di laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen diperoleh selama dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas (STOCKER dan FISET, 1956).

Fase I memiliki susunan lipopolisakarida diantaranya L-vironosa, dihidrohidroksistrepto sa dan galaktosamin uronil (1,6)-glukosamin yang tidak terdapat pada fase II. Hal inilah yang diduga membedakan patogenisitas diantara kedua fase C. burnetii tersebut. Secara serologis, antibodi anti-fase I ditemukan dengan titer tinggi hanya selama dalam bentuk penyakit yang kronis, sedangkan antibodi anti-fase II ditemukan dominan dalam penyakit Q fever akut (PEACOCK et al., 1983).

Q fever telah menjadi problem kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand dan beberapa negara lain.

Namun demikian zoonosis ini ”belum” menjadi problem di Indonesia. Hal ini bukanlah karena tidak ada Q fever, tetapi lebih disebabkan oleh gejala klinis yang tidak begitu menciri sehingga kurang menjadi perhatian oleh masyarakat. Padahal dampak jangka panjangnya sangatlah membahayakan dan fatal bagi manusia. Laporan terbaru menyebutkan bahwa seorang wisatawan Jepang dinyatakan positive terserang Q fever pneumonia setelah beberapa waktu tinggal di Indonesia (MIYASHITA et al., 2001).

Di beberapa negara maju seperti Amerika, negara-negara Eropa dan Jepang, C. burnetii dikelompokan kedalam salah satu bakteri yang berbahaya yang perlu diberi perhatian khusus karena dampak jangka panjangnya pada penderita dan juga dikatagorikan sebagai bakteri yang berpeluang sebagai sarana bioterorisme seperti halnya Bacillus anthracis.

CARA PENULARAN Q FEVER

Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti peternak, pekerja rumah potong dan juga masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever.

Adanya hewan perantara (vektor) sangat berperan dalam penyebaran penyakit Q fever. Beberapa vektor yang telah diketahui diantaranya adalah mamalia, burung dan arthropoda khususnya caplak. Caplak dapat sebagai perantara pada hewan tetapi tidak pada manusia (MAURIN dan DIDIER, 1999). Selain

hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, tikus juga merupakan hewan perantara yang potensial dalam penularan ke manusia. Hewan mamalia betina yang terinfeksi pada umumnya akan mengeluarkan bakteri pada urine, feses, susu dan placenta dari fetus yang dilahirkan (BACA dan PARETSKY, 1983).

(3)

Pada manusia penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah ataupun luka pada kulit. Infeksi C. Burnetii pada tenaga laboratorium terjadi secara aerosol dari udara laboratorium yang tercemar.

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA

Gejala klinis Q fever pada hewan umumnya bersifat subklinis, sering ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan, gangguan pernafasan dan gangguan reproduksi berupa abortus. Sedangkan gejala klinis pada manusia berupa demam mirip dengan gejala influenza dan seringkali diikuti dengan pneumonia. Selain itu Q fever juga mempunyai 2 bentuk penyakit yaitu akut dan kronis.

Uji serologis untuk mendiagnosis kedua bentuk penyakit Q fever akut dan kronis menjadi penting mengingat memperkembang-biakan kuman di laboratorium sangat berbahaya, memerlukan banyak waktu dan peralatan yang memadai yakni Bio-Safety

Laboratory 3. Uji imunologi berbasis enzim

seperti enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan untuk mendiagnosis Q fever (FIELD et al., 2000;

2002), dan perbandingan diantara uji tersebut dengan immunofluorescence assay (IFA) juga telah dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii didalam sera (PETER et al.,

1985). Didalam upaya standardisasi diagnosis Q fever, SETIYONO et al. (2004) telah melakukan studi untuk mengevaluasi performan kit ELISA komersial, uji IFA dan uji Western blotting dalam mendeteksi antibodi terhadap C. burnetii di serum manusia.

PERKEMBANGAN STUDI Q FEVER DI DUNIA DAN INDONESIA

Penelitian tentang Q fever di beberapa negara seperti Perancis, Inggris, Itali, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Slovakia, Amerika, Australia bahkan Thailand telah berkembang pesat. Bahkan sekuensing genom dari C.

burnetii secara lengkap sudah dilakukan

(SESHADRI et al., 2003). Hal ini mengingat

C.burnetii mempunyai potensi untuk dipakai

sebagai senjata biologis, sehingga langkah-langkah antisipatif dalam kerangka pencegahan

dan pengendalian Q fever menjadi sangat penting.

Hasil survei di Jepang pada tahun 1992 yang dilakukan oleh EJERCITO et al.,

menggunakan ELISA diperoleh data bahwa 26,2% satwa liar yang diperiksa menunjukkan adanya antibodi terhadap C. burnetii. Kemudian data seroepidemiologi pada tahun 1996 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kasus yaitu dari 168 ekor satwa yang diperiksa ternyata 42,9% positip (YASUMOTO et al., 1997). Sedangkan pada hewan domestikasi, dari 256 ekor domba yang diperiksa-28,1% positip, dan dari 85 ekor kambing-23,5% positip mengandung antibodi terhadap C.

burnetii (HTWE et al., 1992). Laporan epidemiologi di Jerman menyatakan bahwa sejak tahun 1947 hingga 1999 terdapat 40 kejadian Q fever dan 24 diantaranya disebarkan oleh domba (HELLENBRAND et al., 2001).

Beberapa tahun terakhir suatu studi di Australia menyatakan bahwa Q fever bahkan dapat ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted Q fever). Uji serologis menggunakan IFA dan terdeteksinya DNA C.

burnetii pada pasien 15 hari setelah koitus

telah menguatkan diagnosis Q fever (MILLAZO

et al., 2001). Selanjutnya penulis dkk, juga

telah menggunakan uji serologis IFA dan teknik polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis Q fever pada wisatawan Jepang yang sebelumnya telah melakukan kunjungan ke lokasi peternakan domba dan RPH di Australia dan Selandia Baru (OGAWA et al., 2003).

Dari studi surveillance yang telah dilakukan, peneguhan diagnosis Q fever menggunakan serangkaian uji serologis mutlak diperlukan (SETIYONO et al., 2003).

Pertimbangan ini didasarkan atas adanya kemungkinan reaksi silang pada uji

immunofluorescence dengan bakteri lain

seperti Legionella spp., Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia dan Chlamydia psittaci (LEE et al., 2002).

Sehingga untuk mengatasi hal ini, kriteria baru uji immunofluorescence untuk mendiagnosis Q fever telah ditetapkan kembali (SETIYONO et

al., 2005). Tambahan pula, kit ELISA Q fever

komersial yang sudah beredar di lapangan masih menyisakan kelemahan berupa munculnya positive palsu maupun negative palsu.

(4)

Hingga saat ini penelitian tentang Q fever di Indonesia telah dan sedang dilakukan oleh penulis. Untuk mengetahui keberadaan dan prevalensi Q fever, penelitian diawali dengan studi surveillance menggunakan teknik

molekuler untuk mendeteksi DNA C. burnetii. Sebanyak 30 sampel yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan (RPH) di Propinsi Bali telah diperiksa dan menunjukkan negative

C.burnetii. Pemilihan wilayah pengambilan

sampel selanjutnya akan dikembangkan dengan tidak hanya di RPH saja tetapi juga di lokasi kantong-kantong ternak. Selain uji deteksi DNA, uji serologis juga akan dilakukan dalam rangka mengetahui status penyakit pada hewan-hewan yang terinfeksi.

PENUTUP

Q fever merupakan salah satu penyakit zoonosis yang perlu diwaspadai mengingat bahaya dan kerugian ekonomi yang dapat ditimbulkan. Studi tentang Q fever di Indonesia perlu terus dikembangkan untuk mengetahui sejauh mana prevalensi penyakit di lapang sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dini sebelum Q fever mewabah. Dimasa mendatang studi Q fever yang semakin mendalam diharapkan dapat memberikan solusi dalam pengendalian penyakit zoonosis ini.

DAFTAR PUSTAKA

BACA, O.G. and PARETSKY, D.1983. Q fever and Coxiella burnetii: a Model for host-parasite interaction. Microbiol. Review. 47(2): 127– 149.

EJERCITO, C.L., L. CAI, K.K. HTWE, M. TAKI, Y. INOSHIMA, T. KONDO, C. KANO, S. ABE, K. SHIROTA, T. SUGIMOTO, T. YAMAGUCHI, H. FUKUSHI, N. MINAMOTO, T. KINJO, E. ISOGAI and K. HIRAI. 1993. Serological evidence of Coxiella burnetii infection in wild animals in Japan. J. Wild Dis. 29: 481−484.

FIELD, P.R., A. SANTIAGO, S.-W. CHAN, D.B. PATEL, D. DICKENSON, J.L. MITCHEL, P.L. DEVINE and A.M. MURPHY. 2002. Evaluation of a Novel Commercial Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Detecting Coxiella Burnetii-Specific Immunoglobulin G for Q Fever Prevaccination Screening and Diagnosis. J. Clin. Microbiol. 40: 3526−3529.

FIELD, P.R., J.L. MITCHELL, A. SANTIAGO, D.J. DICKENSON, S.-W. CHAN, D.W.T. HO, A.M. MURPHY, A.J. CUZZUBBO and P.L. DEVINE. 2000. Comparison of a commercial enzyme-linked immunosorbent assay with immunofluorescence and complement fixation tests for detection of Coxiella burnetii (Q fever) immunoglobulin M. J. Clin. Microbiol. 38: 1645−1647.

FOURNIER, P.E., J.M. THOMAS and D. RAOULT. 1998. Minireview: diagnosis of Q fever. J. Clin. Microbiol. 36(7): 1823−1834.

HELLENBRAND, M., B. THOMAS and P. LYLE. 2001. Changing epidemiology of Q fever in Germany, 1947−1999. Emerging Infect. Dis. 7(5): 789−796.

HTWE, K.K., K. AMANO, Y. SUGIYAMA, K. YAGAMI,

N. MINAMOTO, A. HASHIMOTO, T.

YAMAGUCHI, H. FUKUSHI and K. HIRAI. 1992. Seroepidemiology of Coxiella burnetii in domestic and companion animals in Japan. Vet. Rec. 131: 490.

KAPLAN, M.M. and P. ERTAGNA. 1955. The geographical distribution of Q fever. Bull. Wld. Health. Org. 13: 829−860.

LEE, S.S., M.G. LEE, M.J. JEON, K.S. JUNG, H.K. LEE and T. KISHIMOTO. 2002. Atypical pathogens in adult patients admitted with community-acquired pneumonia in Korea. Jpn. J. Infect.Dis. 55: 157−159.

MAURIN, M. and R. DIDIER. 1999. Q fever. Clin. Microbiol. Rev. 12: 518−553.

MIYASHITA, N., H. FUKANO, H. HARA, F. HARA, T. NAKAJIMA, Y. NIKI and T. MATSUSHIMA. 2001. A case of Coxiella burnetii pneumonia in an adult. Nihon Kokyuki Gakkai Zasshi. 39(6): 446−451.

OGAWA, M., T. KAWAMOTO, A. KAWAMOTO, T. YAMASHITA, Y. UCHIDA, K. KATO and A. SETIYONO. 2003. Time course of the levels of antibodies to Coxiella burnetii and detection of C. burnetii-DNA in three imported cases of acute Q. J. Jpn. Infect. Dis. 77: 127−132 (in Japanese).

PEACOCK, M.G., R.N. PHILIP, J.C. WILLIAMS and R.S. FAULKNER. 1983. Serological evaluation of Q fever in humans: enhanced phase I titers of immunoglobulins G and A are diagnostic for Q fever endocarditis. Infect. Immun. 41: 1089−1098.

(5)

PETER, O., G. DUPUIS, W. BURGDORFER and M. PEACOCK. 1985. Evaluation of complement fixation and indirect immunofluorescence tests in the early diagnosis of primary Q fever. Eur. J. Clin. Microbiol. 4: 394−396.

RAOULT, D., T. MARRIE and J. MEGE. 2005. Natural history and patophysiology of Q fever. Lancet Infect. Dis. 5(4): 219.

SESHADRI, R., T.P. IAN, A.E. JONATHAN, D.R. TIMOTHY, E.N. KAREN, C.N. WILLIAM, L.W. NAOMI, T. HERVE, M.D. DAVIDSEN, M.D. TANJA, J.B. MAUREEN, T.D. ROBERT, C.D. SEAN, M.B. LAUREN, M. RAMANA, J.D. ROBERT, M.K. HODA, H.L. KATHY, A.C. HEATHER, S. DAVID, A.H. ROBERT, A.T. HERBERT, E.S. JAMES, M.F. CLAIRE and F.H. JOHN. 2003. Complete genome sequence of the Q fever pathogen Coxiella burnetii. PNAS. 100(9): 5455−5460.

SETIYONO, A. 2002. Evaluation of the commercial ELISA Kit in the diagnosis of acute Q fever. Proc. Temu Ilmiah XI- Indonesian Students Association in Japan. pp. 25–29.

SETIYONO, A. and M. OGAWA. 2003. Rapid method of preparing phase II Coxiella burnetii antigen for detection of Q fever anti bodies in human sera. Proceeding of the 12th Indonesian

Scientific Meeting in Japan, Osaka University. pp. 195–198.

SETIYONO, A. 2004. The Development of new surveillance system for prevention of zoonosis, especially Q fever. Post Doctoral Report Supported by the Japan Health Sciences Foundation. Laboratory of Rickettsia and Chlamydia, Department of Virology I, National Institute of Infectious Diseases 1-23-1 Toyama, Shinjuku-Ku, Tokyo, Japan.

SETIYONO, A., M. OGAWA and T. KISHIMOTO. 2003. Serodiagnosis of Coxiella burnetii infection in human sera: A consecutive assay is needed. Proc. of the 12th Indonesian Scientific Meeting

in Japan, Osaka University. pp. 258–261. SETIYONO, A., M. OGAWA, Y. CAI, S. SHIGA, T.

KISHIMOTO and I. KURANE. 2005. New criteria of immunofluorescence assay for Q fever diagnosis in Japan. J. Clin. Microbiol. 43: 5555–5559.

SETIYONO, A., M. OGAWA, Y. CAI, S. SHIGA, T. KISHIMOTO and I. KURANE. 2005. Evaluation of the commercial Q fever enzyme-linked immunosorbent assay kit for Japanese patiens. Jpn. J. Infect. Dis. (in press).

STEIN, A., C. LOUVEAU, H. LEPIDI, F. RICCI, P. BAYLAC, B. DAVOUST and D. RAOULT. 2005. Q fever pneumonia: Virulence of Coxiella burnetii pathovars in a murine model aerosol Infection. Infect. Immun. 73(4): 2469–2477. STOCKER, M.G.P. and P. FISET. 1956. Phase

variation of the Nine Mile and other strains of Rickettsia burnetii. Can. J. Microbiol. 2: 310– 321.

VAN PEENEN, P.F., P.F. GUNDELFINGER, C.

KOESHARJONO and R. SEE. 1978.

Seroepidemiological evidence for occupational exposure to Q fever in Indonesia. J. Occup. Med. 20(7): 488–489.

YASUMOTO, M., T. YANASE, Y. MURAMATSU, C.

MORITA and H. UENO. 1997.

Seroepidemiological study of Coxiella burnetii in Cervus nippon in Northen Japan. Jpn. J. Zoo Wild. Med. 2: 101–106.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar kortisol plasma tubuh untuk menganalisis tingkat stres ikan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan dengan

Sementara itu, sumber lain menerangkan bahwa WhatsApp adalah aplikasi pesan instan untuk smartphone. Jika dilihat dari fungsinya WhatsApp hampir sama dengan aplikasi SMS

Guru merupakan profesi atau jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang cii Iuar

Dari data yang dikumpulkan, hasil menemukan bahwa kehandalan, nilai kenyamanan dan komitmen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap loyalitas pelanggan dari BJB

Penulisan skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE). Penulisan ini tidak menjadi sebuah skripsi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai transformasi identitas radio pada radio PRFM 107,5 Bandung dari format radio lifestyle menjadi radio news ini,

Di sini kedua-duanya merupakan kegiatan dalam perawatan peralat an mesin yang berhubungan dengan dengan kegiatan proses produksi, kegiatan inspeksi adalah dalam rangka

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya