• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah PHP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah PHP"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut JICA (2008), pemeliharaan mutu baik ikan non budidaya maupun ikan yang dibudidayakan lebih sulit dibandingkan dengan pemeliharaan mutu makanan berdaging lainnya. Berbeda dengan penyediaan produk makanan utama lainnya, produksi makanan hasil laut tidak dapat secara langsung dikendalikan, ditingkatkan mutunya atau diprediksi secara akurat. Industri makanan hasil laut sangat beragam, bergantung pada jenis panen, teknik penangkapan ikan, jenis produk, volume produksi, dan lokasinya. Selain itu, sifat makanan hasil laut membuat produk tersebut rentan terhadap berbagai risiko yang terbawa oleh makanan.

Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik. Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin, komposisi, penanganan telur , keberadaan parasit, racun, kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu intrinsik. Dan faktor-faktor ekstrinsik yang mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain, lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali panjang (longline)), atau perangkap, dan lain sebagainya. Penanganan ikan di atas kapal, kondisi kebersihan kapal penangkap ikan, pemrosesan, dan kondisi penyimpanan (JICA, 2008).

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan udang introduksi yang secara ekonomis bernilai tinggi sebagai komoditi ekspor karena diminati oleh pasar dunia. Udang vaname di wilayah Asia disebut udang Hawaii, udang Meksiko atau udang Ekuador. Beberapa keunggulan udang vaneme antara lain dapat tumbuh dengan cepat dan waktu pemeliharaan yang lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari setiap siklusnya, nilai konsumsi pakan atau Food

Consumption Rate (FCR) yang rendah dan mampu beradaptasi terhadap kisaran salinitas yang tinggi serta dapat dipelihara pada padat tebar yang tinggi

(2)

Menurut Wijandi (2003), Jenis-jenis ikan yang termasuk dalam kekayaan perairan Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting yang banyak

diusahakan dan ditangkap adalah diantaranya adalah udang. Udang sangat digemari dipasaran karena rasanya yang khas, oleh karena itu pemasaran udang dalam bentuk segar sangat disukai oleh konsumen. Untuk itu, kualitas dan kesegaran udang harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang tersebut sampai ke pasar atau ke tangan konsumen. Penanganan hasil panen merupakan tindakan teknis, yaitu penanganan secara fisis mekanis berkaitan dengan proses lebih lanjut. Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena kualitas udang mudah rusak. Kesalahan atau keterlambatan penanganan mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana klasifikasi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)? 2. Bagaimana morfologi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)? 3. Bagaimana siklus hidup dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)? 4. Apa sajakah teknik pasca panen dalam penanganan Udang Vannamei

(Litopenaeus vannamei)?

5. Bagaimana sistem pemasaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ke tangan konsumen?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui klasifikasi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 2. Mengetahui morfologi dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 3. Memahami siklus hidup dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 4. Mengetahui teknik pasca panen dalam penanganan Udang Vannamei

(Litopenaeus vannamei).

5. Memahami sistem pemasaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) ke tangan konsumen.

BAB II PEMBAHASAN

(3)

Menurut KPPKK (2011), udang vannamei mempunyai ciri khas yaitu: kaki jalan 1,2, dan 3 bercapit dan kulit chitin.Udang penaeid termasuk crustaceae yang merupakan binatang air memiliki tubuh beruas-ruas, pada setiap ruasnya terdapat sepasang kaki. Udang vaname termasuk salah satu famili penaide termasuk semua jenis udang laut, udang air tawar.

Klasifikasi udang vaname adalah sebagai berikut: Phylum : Arthropoda

Kelas : Crustacea Sub-kelas : Malacostraca Series : Eumalacostraca Super order : Eucarida Order : Decapoda

Sub order : Dendrobranchiata Infra order : Penaeidea

Famili : Penaeidae Udang vanamei (Litopenaeus vannamei)

Genus : Penaeus Sub genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

2.2. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

Ciri-ciri morfologis udang menurut Sembiring (2008), mempunyai tubuh yang bilateral simetris terdiri atas sejumlah ruas yang dibungkus oleh kitin sebagai eksoskeleton. Tiga pasang maksilliped yang terdapat di bagian dada digunakan untuk makan dan mempunyai lima pasang kaki jalan sehingga disebut hewan berkaki sepuluh (Decapoda). Tubuh biasanya beruas dan sistem syarafnya berupa tangga tali. Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu. Bagian kepala tertutup kerapak, bagian perut terdiri dari lima ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang pleopod dan ruas terakhir terdiri dari bagian ruas perut, dan ruas telson serta uropod (ekor kipas). Tubuh udang mempunyai rostrum, sepasang mata, sepasang antena, sepasang antenula bagian dalam dan luar, tiga buah

(4)

maksilipied, lima pasang chelae (periopod), lima pasang pleopod, sepasang telson dan uropod.

Menurut KPPKK (2011), secara morfologi udang dapat di bedakan menjadi 2 bagian, yaitu:

- Cephalothorax (bagian.kepala dan badan yang dilindungi carapace) - Abdomen (bagian perut terdiri dari segmen/ruas-ruas)

Bagian kepala : Pada ruas kepala terdapat mata majemuk yang bertangkai. Selain itu, memiliki 2 antena yaitu: antenna I dan antenna II. Antena I dan antenulles mempunyai dua buah flagellata pendek berfungsi sebagai alat peraba atau penciuman. Antena II atau antenae mempunyai dua cabang, exopodite berbentuk pipih disebut prosantema dan endopodite berupa cambuk panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Juga, pada bagian kepala terdapat mandibula yang berfungsi untuk menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla yang berfungsi membawa makanan ke mandibula.

Bagain dada (thorax): Bagian dada terdiri 8 ruas, masing-masing

mempunyai sepasang anggota badan disebut thoracopoda. Thoracopoda 1-3 disebut maxiliped berfungsi pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda 4-8 berfungsi sebagai kaki jalan (periopoda); sedangkan pada periopoda 1-3 mempunyai capit kecil yang merupakan ciri khas udang penaeidae.

Bagian perut (abdomen) : Bagian abdomen terdiri dari 6 ruas. Ruas 1-5 memiliki sepasang anggota badan berupa kaki renang disebut pleopoda (swimmered). Pleopoda berfungsi sebagai alat untuk berenang bentuknya pendek dan ujungnya berbulu (setae). Pada ruas ke 6, berupa uropoda dan bersama dengan telson berfungsi sebagai kemudi.

Tanda-tanda anatomi L.vannamei yang penting, antara lain. : 1. Pada rostrum ada 2 gigi disisi ventral, dan 9 gigi disisi atas (dorsal). 2. Pada badan tidak ada rambut-rambut halus (setae)

3. Pada jantan Petasma tumbuh dari ruas coxae kaki renang No:1. Yaitu protopodit yang menjulur kearah depan. Panjang petasma kira-kira 12 mm. Lubang

(5)

pengeluaran sperma ada dua kiri dan kanan terletak pada dasar coxae dari pereopoda (kaki jalan) no.5 .

4. Pada betina thelycum terbuka berupa cekungan yang ditepinya banyak

ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, terletak dibagian ventral dada/thorax, antara ruas coxae kaki jalan no: 3 dan 4. Yang juga disebut “Fertilization chamber”. Lubang pengeluaran telur terletak pada coxae kaki jalan no:3. Coxae ialah ruas no:1 dari kaki jalan dan kaki renang.

Keterangan:

1 = Cangkang kepala, 2 = Cucuk kepala, 3 = Mata, 4 = Sungut kecil (antennulus), 5 = Kepet kepala (sisik sungut), 6 = Sungut, 7 = Alat-alat pembantu rahang (maxilipied), 8 = Kaki jalan (periopoda, 5 pasang), 9 = Kaki renang (pleopoda, 5 pasang), 10 = Ekor kipas (uropoda), 11 = Ujung ekor (telson), 12 = Kerongkongan, 13 = Perut, 14 = Hati, 15 = Usus, 16 = Dubur.

2.3. Siklus Hidup dari Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

Menurut Budianto (2012) udang menjalani 2 fase kehidupan, yaitu dase di tengah laut dan fase di perairan muara. Fase di tengah laut adalah fase dewasa, untuk kawin dan bertelur. Beberapa saat sebelum kawin, udang betina terlebih dahulu berganti kulit. Pada beberapa jenis udang biasanya menghasilkan telur sebanyak 100.000 butir sekali memijah. Kira-kira setelah 12 jam telur

dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah alami pergantian kulit beberapa kali, nauphilus menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya. Selanjutnya bentuk zoea akan berubah lagi menjadi mysis. Dari stadium mysis, larva

bermetamorfosis menjadi stadium post-larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya (migrasi) ke daerah tertentu.

(6)

Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah di sekitar pantai atau muara sungai. Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut berupaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah.

Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang Vanneme dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase, yaitu: nauplius, zoea, mysis, post larva, juvenile (udang muda) dan udang dewasa (Sembiring, 2008). Daur hidup udang dapat dilihat seperti pada gambar berikut:

Menurut Sembiring (2008), suhu perairan sangat mempengaruhi kehidupan udang karena makin tinggi suhu, maka kelarutan oksigen makin rendah. Bersamaan dengan itu peningkatan suhu juga mengakibatkan peningkatan aktivitas metabolisme organisme akuatik sehingga kebutuhan oksigen juga akan meningkat. Bahwa 90% dari juvenile udang akan bertahan hidup pada suhu air

(7)

24°C, dan selanjutnya akan berkembang ke fase dewasa di mana udang membutuhkan suhu air kurang lebih 28°C.

Tingkat salinitas dapat mempengaruhi penyebaran spesies dari udang. Kadar garam optimum untuk udang dapat hidup normal dan tumbuh baik adalah pada 15% - 30%. Perubahan kadar garam yang mendadak dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi. Telur udang menetas pada kadar salinitas 20‰ sampai 30%. Pada fase juvenil salinitas yang baik untuk pertumbuhan udang adalah antara 25% - 30‰ namun dapat juga bertahan sampai 34‰. Pada kadar garam lebih tinggi dari 40% udang tidak akan tumbuh lagi (Sembiring, 2008). 2.4. Pasca Panen Udang Vannemei (Litopenaeus vannamei)

2.4.1. Prinsip Penanganan Udang

Menurut KPPKK (2011), pemeliharaan udang vaname pada pertumbuhan normal akan mencapai berat sekitar 17-20 gram setelah berumur 120 hari.

Perhitungan saat panen yang tepat adalah dengan memperhitungkan biaya operasional kususnya pakan yangdibutuhkan harus lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan udang. Nilai kisaran suhu selama masa pemeliharaan pada semua perlakuan berkisar antara 28-30ºC dimana nilai ini merupakan nilai yang optimum bagi udang untuk hidup dengan laju pertumbuhan yang optimal (Widanarni, et al., 2012)

2.4.2. Penanganan Sebelum Pengangkutan

Menurut Departemen Liptam (1993), penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena kualitas udang mudah rusak. Kesalahan atau keterlambatan penanganan mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor.

Agar mutu udang vannemei tetap baik pada saat dipasarkan. Diperlukan

penanganan panen dan pasca panen yang baik sehingga nilai jualnya akan tetap tinggi, maka saat pemanenan udang, dilakukan hal sebagai berikut:

1. Lakukan penangkapan udang pada malam hari atau dinihari, sebab : - Udang aktif mencari makan sehingga mudah ditangkap.

- Udang tidak tahan terhadap sinar matahari langsung.

2. Lakukan panenan dengan menggunakan alat tangkap seperti bubu atau jala lempar.

(8)

3. Tampunglah udang hasil panenan pada bak penampung yang aimya mengalir atau ditampung pada hapa yang ditempatkan pada kolam yang aimya mengalir. 4. Hindari perlakuan kasar sehingga udang tidak rusak atau terluka.

5. Usahakan agar udang hasil panenan terhindardari sinar matahari langsung. Menurut Irianto dan Soesilo (2007) krustasea merupakan hewan yang mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut labirinth. Dengan adanya alat pernapasan tambahan ini, krustasea mampu beradaptasi untuk hidup di luar air selama

beberapa jam dalam lingkungan yang lembab pada suhu rendah. Secara anatomi, pada saat udang dalam keadaan tanpa air, pada rongga karapas masih mengandung air, sehingga masih mampu menyerap oksigen yang terdapat pada air dalam rongga karapas. Dengan memanfaatkan sifat fisiologis yang unik tersebut, maka krustasea dapat diangkut dengan menggunakan sistem kering. Krustasea yang diimotilisasi dengan penurunan suhu bertahap sampai 14–150C dapat

ditransportasikan dengan sistem kering selama 19 jam untuk udang dan 25–40 jam.

Menurut Irianto dan Soesilo (2007), teknologi yang banyak diterapkan adalah transportasi ikan hidup sistem basah, yaitu pengangkutan ikan dengan menggunakan air sebagai media.Dalam hal ini air ditempatkan pada wadah pengangkut dengan sitem tertutup atau sistem terbuka. Pada pengangkutan jarak jauh sebaiknya dilengkapi dengan aerator untuk memungkinkan terjadinya suplai oksigen. Selain itu ikan hidup juga dapat ditransportasikan dengan menempatkan ikan di dalam kantung plastik berisi air dan kemudian diinjeksikan oksigen serta ditutup atau diikat rapat-rapat. Oleh karena itu komoditas ini dihargai sangat tinggi di pasar. Selain ditransportasikan dengan sistem basah produk tersebut juga dapat ditransportasikan dengan sistem kering. Transportasi sistem kering

merupakan sistem transportasi dengan menggunakan media pengangkutan bukan air. Karena tidak menggunakan air, udang diimotilisasi dengan menggunakan suhu rendah sehingga tenang dan berada pada tingkat metabolisme dan respirasi

rendah. Akan tetapi, sebelum diimotilisasi diperlukan beberapa tahap persiapan yang meliputi pemeriksaan kesehatan krustase, pemugaran, pemberokan, dan persiapan media serta kemasan untuk transportasi.

(9)

Udang yang akan ditransportasikan hidup dengan sistem kering harus memenuhi persyaratan tertentu yaitu :

- Ukuran udang komersial untuk konsumsi dan tidak lebih dari 70 gram/ekor

- Kondisi sehat, bugar, tidak ganti kulit

- Tidak cacat fisik

- Udang yang ganti kulit (moulting) dan kurang/tidak bugar memiliki daya tahan hidup rendah dan peluang mati selama transportasi tinggi. Pengamatan dan pembugaran udang yang akan ditransportasikan merupakan tahapan pertama yang perlu dilakukan di dalam transportasi udang hidup. Pemeriksaan kebugaran udang dilakukan dengan mengamati aktivitas dan perilaku udang di dalam maupun di luar air.

- Udang sehat sangat gesit, sangat responsif, dan sangat aktif, posisi tubuh tegak dengan gerakan kaki renang aktif dan cepat

- Udang meloncat-loncat jika diangkat dari air. Udang yang sehat kemudian dipisahkan untuk dipuasakan paling tidak 18-24 jam.

II. Imotilisasi

Ada dua metoda imotilisasi dengan suhu rendah, yaitu imotilisasi pada suhu rendah langsung dan imotilisasi dengan penurunan suhu bertahap. 2. Imotilisasi dengan penurunan suhu bertahap

Dalam metoda ini udang hidup diimotilisasi dengan menurunkan suhu air habitat udang secara bertahap sampai suhu tertentu dan dipertahankan selama waktu tertentu. Adapun caranya adalah sebagai berikut.

- Suhu air diturunkan sampai mencapai 14-150C dengan kecepatan penurunan suhu 500C/jam

- Suhu dipertahankan stabil selama 10-20 menit atau sampai udang imotil yang dapat ditandai dengan posisi tubuh udang roboh, gerakan kaki jalan dan kaki renang lemah atau perlahan.

- Udang dikemas di dalam media gergaji suhu 140C. 3. Imotilisasi langsung pada suhu rendah

(10)

Udang diimotilisasi dengan menempatkan udang langsung di dalam habitat bersuhu rendah selama waktu tertentu

- Udang langsung dimasukkan ke dalam air (salinitas diatur sama dengan salinitas air penampungan) dingin suhu 17-190C dan dipertahankan selama 5-20 menit atau sampai udang imotil.

- Udang imotil diangkat untuk dikemas di dalam media sergaji suhu 140C.

Permintaan konsumen akan komoditas perikanan terutama udang daam keadaan hidup semakin besar dan berkembang. Hal ini menyebabkan persaingan perdagangan udang di pasar internasional dirasakan semakin keras dan ketat. Untuk ikut meningkatkan daya saing ekspor udang di pasar internasional, berbagai tindakan dilakukan, salah satu diantaranya adalah perubahan ekspor dalam bentuk beku atau segar menjadi bentuk segar dan hidup. Pengeksporan dalam bentuk hidup ini adalah harganya yang dapat mencapai 3 hingga 4 kali harga udang mati. Pasar Jepang, Eropa, dan Amerika merupakan

pasar potensial untuk jenis produk ini. (Karnila, et al., 1999)

2.4.3. Penanganan Saat Pengangkutan

Menurut Karnila, et al., (1999), salah satu cara ekspor udang dalam bentuk hidup dan menjadi pilihan yang tepat apabila kondisi optimalnya diketahui adalah dengan penanganan sistem kering (tanpa media air) yaitu penggunaan suhu rendah yang dapat dilakukan dengan penurunan suhu secara bertaliap maitpun secara langsung. Dengan penanganan suhu rendah ini, udang hidup dibuat dalam kondisi terbius sebelum dikemas dan ditransportasikan.

Menurut Departemen Liptan, (1993), hal yang harus dilakukan untuk menjaga kualitas dan kesegara udang vannemei setelah dilakukan penangkapan adalah sebagai berikut :

I. Penyemprotan

- Penyemprotan ditujukan untuk membersihkan udang dari kotoran-kotoran yang melekat pada kulit udang dan untuk mengurangi populasi bakteri pembusuk sehingga mutu udang dapat dipertahankan.

(11)

- Untuk menyemprot, gunakan pompa portable (yang bisa dijinjing) dimana aliran aimya cukup kuat sehingga kotoran-kotoran yang melekat mudah terlepas. - Usahakan air limbah penyemprotan tidak mengenai udang yang lain. II. Sortasi

- Sortasi bertujuan untuk mendapatkan ukuran yang seragam. - Pilih atau pisahkan udang yang besar, sedang dan kecil - Kelompokkan udang tersebutmcnurutjenis, ukuran dan mutu.

Pada prinsipnya, untuk transportasi dengan sistem kering ini udang dikondisikan dalam keadaan metabolisme dan respirasi rendah sehingga daya tahan di luar habitat hidupnya tinggi (Karnila, et al., 1999)

2.4.4. Penanganan Setelah Pengangkutan

Menurut Suryaningrum, et al., (2008) udang yang masih hidup ditempatkan di tempat terbuka untuk di angin-anginkan selama 30 menit, agar gas amonia dan H2S menguap. Kemudian udang dibugarkan kembali dalam air tanpa aerasi, tetapi ketinggian air tidak sampai merendam badan lobster. Setelah dibugarkan selama 1 jam, lobster ditampung dalam bak penampung agar aktivitas metabolisme lobster normal kembali. Setelah dibugarkan selama 24 jam.

2.5. Sistem Pemasaran Udang Vannemei (Litopenaeus vannamei) Menurut Karnila, et al ., (2006) sebagai komoditas ekspor, keberhasilan pemasaran udang diantaranya sangat ditentukan oleh mutu. Biasanya negara pengimpor menetapkan standar mutu yang ketat dan produk yang tidak memenuhi standar akan ditolak. Penolakan ini secara langsung akan merugikan eksportir, nelayan/petani udang sebagai produsen dan negara sebagai penerima devisa. Permasalahan ini perlu mendapatkan perhatian dan penanganan lebih serius. Meskipun udang merupakan komoditas ekspor non migas yang penting, namun mengingat udang tergolong pada jenis bahan pangan yang mudah rusak

(perishable food) terutama pada kondisi iklim tropis, maka diperlukan penanganan yang baik sejak udang ditangkap hingga siap untuk diolah.

Menurut Wahyudi dan Wijandi (2003), salah satu cara untuk mempertahankan mutu dan kesegaran dari udang yang hendak dipasarkan adalah dengan cara pembekuan. Alat-alat pembeku yang banyak digunakan adalah tipe pembeku pelat

(12)

kotak ( Contact Plate Freezer) dan tipe pembeku dengan udara dingin (Air Blast Freezer ). Karena kandungan proteinnya yang tinggi, maka udang termasuk komoditas yang mudah rusak, oleh karena itu penanganan udang sangat

mempengaruhi mutu hasil olahan. Untuk menjaga agar mutunya tetap baik telah ada standarisasi mutu yang mencakup bahan baku, metode penanganan, metode pendinginan dan sanitasi, baik yang dilaksanakan dalam pabrik maupun dalam pemasaran dan distribusi. Kualitas dan kesegaran udang harus tetap dijaga dengan baik sehingga udang tersebut sampai ke pasar atau ke tangan konsumen.

Penanganan hasil panen merupakan tindakan teknis, yaitu penanganan secara fisis mekanis berkaitan dengan proses lebih lanjut. Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena kualitas udang mudah rusak.

Kesalahan atau keterlambatan penanganan mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor. Untuk mempertahankan agar mutu udang tetap baik, harus ditangani dengan hati –hati dan jangan sembarangan,

penanganan tersebut yang harus diperhatikan adalah kebersihan peralatan yang digunakan, penanganan harus cepat dan cermat, hindarkan terkena sinar matahari secara langsung, mencuci udang dari kotoran dan lumpur dengan air bersih, memasukkan ke dalam keranjang, ember atau tong dan disiram dengan air bersih, lebih baik lagi dari mulai awal menggunakan es batu untuk mendinginkannya, dan mengelompokkannya menurut jenis dan ukuranya (Wahyudi dan Wijandi, 2003).

Menurut Utomo, et al., (2012), pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke

konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga

pemasaran. Banyak sedikitnya lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran suatu komoditi akan menentukan panjang dan pendeknya saluran pemasaran yang terbentuk. Pemasaran udang vannamei yang hanya melibatkan dua lembaga pemasaran tersebut, maka saluran pemasaran yang terjadi di tambak desa Gedangan hanya terbentuk 2 pola, yaitu :

4. Pola Pemasaran 1: Produsen  Konsumen.

5. Pola Pemasaran 2 :

(13)

Berdasarkan pola pemasaran I, konsumen uadang vannamei langsung

mendatangi tambak petani untuk membeli udang biasanya konsumen ini sebagian besar adalah warga desa Gedangan dan warga desa lain yang membeli udang dengan jumlah reltif kecil seperti 3 – 5 kg. Berdasarkan pola pemasaran II pedagang besar dari luar kota seperti : pedagang besar dari Cilacap, langsung mendatangi tambak petani desa Gedangan untuk membeli udang dalam jumlah besar, dan rata – rata pedagang besar mendatangi petani tambak yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha.

(14)

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Berikut merupakan kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut : - Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan

ekstrinsik.

- Faktor-faktor intrinsik adalah ukuran, jenis kelamin, komposisi,

penanganan telur , keberadaan parasit, racun, kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu intrinsik.

- Faktor-faktor ekstrinsik yang mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain, lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali panjang (longline)), atau perangkap, dan lain sebagainya.

- Udang vaname (Litopenaeus vannamei) merupakan udang introduksi yang secara ekonomis bernilai tinggi sebagai komoditi ekspor karena diminati oleh pasar dunia.

- Beberapa keunggulan udang vaneme antara lain dapat tumbuh dengan cepat dan waktu pemeliharaan yang lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari setiap siklusnya.

- Penanganan hasil panen merupakan tindakan teknis, yaitu penanganan secara fisis mekanis berkaitan dengan proses lebih lanjut.

- Penanganan udang hasil panen harus dilakukan dengan cepat, karena kualitas udang mudah rusak.

- Kesalahan atau keterlambatan penanganan mengakibatkan udang tidak bisa diharapkan menjadi komoditas ekspor.

- Penanganan pada udang hidup saat pengangkutan dibagi menjadi 3: 1. Penanganan Sebelum Pengangkutan

2. Penanganan Saat Pengangkutan 3. Penanganan Setelah Pengangkutan

- Keberhasilan pemasaran udang diantaranya sangat ditentukan oleh mutu udang tergolong pada jenis bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) terutama pada kondisi iklim tropis, maka diperlukan penanganan yang baik sejak udang ditangkap hingga siap untuk diolah.

3.2. Saran

Sebaiknya dalam penanganan Udang Vanneme dilakukan secara hati-hati agar tidak menurunkan nilai kualitas dan mutu dari udang itu sendiri. Serta dalam

(15)

proses pemasaran harus dilakukan strategi tertentu dalam penjualan udang Vanneme untuk meningkatkan harga produk perikanan tersebut di pasar nasional maupun internasional.

Daftar Pustaka

Budianto, Sahono, 2012. Pengelolaan Perikanan Tangkap Komoditas Udang Secara Berkelanutan di Kabupaten Cilacap. Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.

(16)

Departeman Liptan, 1993. Penanganan Panen dan Pasca Panen Udang Vannemei Tambak (Litopenaues Vannamei). Lembar Informasi Pertanian. Balai Informasi Pertanian Riau.

Irianto, H.E., Soesilo, I., 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.

JICA (Japan International Cooperation Agency), 2008. Bantuan Teknis Untuk Industri Ikan dan Udang Skala Kecil dan Menengah Di Indonesia (Teknik Pasca Panen dan Produk Perikanan). Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Jakarta.

Karnila, R., Sam H., Made A., Rudy R.N., 1999. Pengaruh Suhu Dan Waktu Pembiusan Bertahap Terhadap Kelulusan Hidup Udang Vannemei Tambak (Litopenaues Vannamei) Selama Transportasi Sistem Kering. Vo. 13. No.1. Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, FAPERI-UNRI.

Karnila, R., Suparmi, dan Mei Romaida, 2006. Kajian Sifat Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Segar pada Penyyimpanan Suhu Kamar. Berkala Perikanan Terubuk. Vol.33, No. 2. Hlm. 121-125.

KPPKK (Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan), 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan (Budidaya Udang Vaneme (Littopenaeus vannamei)). Jakarta.

Panjaitan, A.S. 2012. Pemeliharaan Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Dengan Pemberian Jenis Fitoplankton yang Berbeda. Program Pasca Sarjana, Universitas Terbuka. Jakarta.

Sembiring, Herlina. 2008. Keanekaragaman Dan Distribusi Udang Serta

Kaitannya dengan Faktor Fisik Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Suryaningrum T.D., Ikasari, D., Syamdidi. 2008. Pengaruh Kepadatan Dan Durasi Dalam Kondisi Transportasi Sistem Kering Terhadap Kelulusan Hidup Udang Vannemei (Litopenaues Vannamei). Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Vol. 3, No. 2.

Utomo, N.B., Istiyanti, E., Zulfanita. 2012. Analisis Usaha Budidaya Udang Vannamei (Litopenaues vannamei) di Desa Gedangan Kecamatan Purwodadi Kabupaten Purworejo. Fakultas Pertanian. Universitas Muhammadiyah.

Widanarni, Dinamella W., Fiska P., 2012. Aplikasi Bakteri Probiotik Melalui Pakan Buatan untuk Meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon). Jurnal Sains Terapan Edisi II Vol-2 (1) : 32 – 49 Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.

(17)

Wahyudi dan Wijandi, Soesarsono. 2003. Memilah dan Membersihkan Udang. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Departemen Pendidikan Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan desa wisata di Desa Lubuk Dagang dapat berjalan dengan lancar dan telah menghasilkan rencana

Baik kerangka konseptual maupun kerangka teori tidak digambarkan secara jelas dalam jurnal penelitian tersebut, namun pada bagian pembahasan, tinjauan pustaka

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

• Yang menjadi norma adalah nilai rata-rata yang diperoleh kelompok usia sampel standar pada tes tersebut. • Terdapat pada skala Binet – Simon (item dikelompokkan menurut

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa kelemahan-kelemahan dalam sistem informasi akuntansi pendapatan yaitu sering terjadi ketidak cocokan antara kwitansi yang

Penggunaan Media Permainan Kartu Kuartet Dalam Meningkatkan Penguasaan Mufradat Bahasa Arab (Eksperimen Pada Siswa Kelas VIII di MTs N Wonokromo Pleret Bantul

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih