• Tidak ada hasil yang ditemukan

MOTIVASI DAN KINERJA. Jurica Lucyanda ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MOTIVASI DAN KINERJA. Jurica Lucyanda ABSTRACT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MOTIVASI DAN KINERJA

Jurica Lucyanda

ABSTRACT

The role of motivational processes in determining a worker’s level performance is now widely recognized by industrial psychologists. Viteles (1953) has identified the development of the ”will to work” as industry’s core problem in the utilization of its manpower; Maier (1955) indicates the need for greater attention to problems of motivation and frustration by industrial firms. The objective of this paper is to explain the nature of the relationship between motivation and performance. Hence, the more motivated the worker to performance effectively, the more effective his or her performance.

Keywords: motivation, performance.

PENDAHULUAN

Bentuk studi dari motivasi saat ini terbentuk dalam suatu bagian integral dari industri dan psikologi. Vitele (1953) dan Maier (1955) menunjukkan adanya perhatian yang serius terhadap psikologi industri yang memberikan banyak masalah seperti supervisi, gaji dan norma-norma kelompok pada kinerja. Konsep motivasional berada pada fungsi utama untuk menganalisis dan menjelaskan perilaku individu maupun kelompok (Vroom, 1995).

Selain itu, pemahaman yang baik mengenai motivasi dapat memberikan suatu valuable tool untuk memahami sebab-sebab perilaku dalam suatu organisasi, untuk memprediksi pengaruh-pengaruh dari beberapa sikap-sikap manajerial, dan untuk memahami perilaku secara langsung dari individual maupun organisasi sehingga tujuan organisasi dapat dicapai (Nadler dan Lawler, 1977).

Dalam dua puluh tahun yang lalu, manajer memperdebatkan berbagai pendekatan yang berbeda mengenai motivasi. Dimana setiap pendekatan tersebut memiliki sesuatu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan motivasi. Setiap

(2)

pendekatan tersebut juga memiliki masalah-masalah baik dalam teori maupun praktik.

Motivasi menjadi perdebatan manajer dalam organisasi, karena memiliki hubungannya dengan kinerja. Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa adanya hubungan motivasi dengan kinerja (Brownell dan McInnes, 1986). Penelitian lain juga menemukan bahwa dengan motivasi yang tinggi akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula, ataupun sebaliknya (Riyadi, 1998).

Tulisan ini akan membahas hubungan motivasi dengan kinerja, fungsi motivasi dalam kinerja, variabel-variabel motivasional yang menentukan kinerja yang efektif. Motivasi yang akan dibahas menggunakan pendekatan yang diperkenalkan oleh Vroom (1995) yang dikenal dengan Expectancy Theory.

MOTIVASI: SUATU PENDEKATAN DAN TEORI

Mithchell (1982) mendefinisikan motivasi kerja, sebagai suatu derajat dimana seseorang indvidu ingin dan berusaha untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. Karyawan yang memiliki motivasi yang lebih tinggi akan memperbaiki kesalahan atau merasa khawatir, jika kinerja mereka dibawah tingkat pengharapannya (Festiger, 1957), teori ini dikenal dengan nama Theory of Cognitive Dissonance.

Sedangkan Vroom (1995) mendefinisikan motivasi sebagai suatu proses menentuan pilihan di antara bentuk-bentuk alternatif dari suatu aktivitas. Penjelasan yang paling popular dari motivasi, dikembangkan oleh Vroom (1995) yang dikenal dengan expectancy theory. Expectancy theory digunakan berdasarkan beberapa asumsi, yang merupakan penyebab perilaku dalam suatu organisasi, yaitu: Nadler dan Lawler (1977).

Asumsi 1 : Perilaku ditentukan oleh suatu kombinasi dari kekuatan individu dan kekuatan lingkungan.

Asumsi 2 : Orang membuat keputusan mengenai perilaku mereka sendiri dalam organisasi.

(3)

keinginan, dan tujuan.

Asumsi 4 : Orang membuat keputusan diantara rencana-rencana alternatif dari perilaku mereka berdasarkan pada persepsi mereka masing-masing (ekpektansi).

Motivasi seseorang dalam menggunakan usahanya untuk mengahasilkan suatu kinerja berdasarkan pada persepsi masing-masing yang merupakan gabungan antara tindakan (action) dan hasil (outcome). Berdasarkan asumsi-asumsi umum tersebut, expectancy theory memberikan tiga konsep utama, yaitu:

1. Effort – Performance Expectancy (E  P)

Konsep ini mengacu pada subjektivitas seseorang tentang kemungkinan bahwa mereka dapat melakukan sesuatu pada level tertentu.

2. Performance – Outcome Expectancy (P  O)

Konsep ini mengacu pada kepercayaan (belief) individu bahwa perilaku akan membawa pada suatu hasil atau hasil apa yang akan diperoleh atas kinerja yang sukses. Outcome (reward) disini dibagi dalam dua katagori, yaitu: (a) individual memperoleh outcome dari lingkungan, ketika seseorang melakukan sesuatu pada level tertentu akan merasakan suatu outcome yang positif atau negatif dari supervisor atau sistem reward yang ada dalam organisasi, dan (b) sumber dari outcome adalah individual, dimana outcome benar-benar terjadi dari kinerja atas pekerjaan yang dilakukan oleh individu.

3. Valence

Konsep yang mengacu pada hasil yang telah dicapai memiliki nilai yang positif untuk valence yang telah dilakukan.

Berdasarkan kunci utama tersebut dapat digambarkan model umum dari dasar motivasi – rangkaian perilaku: (Nadler and Lawler, 1977) sebagai berikut:

(4)

Gambar 1. Dasar Motivasi – Rangkaian Perilaku.

Motivasi seseorang merupakan fungsi dari: a. Effort -to-performance expectancies b. Performance-to-outcome expectancies c. Perceived valence of outcomes

MOTIVASI DAN KINERJA: FUNGSI DAN HUBUNGANNYA

Psikologi industri selama ini telah tertarik akan suatu kondisi bagaimana membuat seorang pekerja efektif dalam kerjaannya. Penelitian-penelitian psikologi industri sebelumnya menggunakan banyak metode untuk menunjukkan hubungan langsung dalam meningkatkan level kinerja dari pekerja. Dalam tiga dekade ini telah banyak perhatian atas fungsi motivasi dalam kinerja.

Usaha-usaha yang telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja, seperti simplifikasi dan standarisasi dari metode-metode pekerjaan dan pengembangan test atas bakat dan kemampuan untuk digunakan dalam seleksi pegawai baru telah dibuat sedemikian rupa namun tidak sukses dalam mengurangi adanya keterbatasan-keterbatasan dari output (Vroom, 1995). Fungsi motivasional dalam menentukan level kinerja pekerja sekarang banyak telah diakui oleh psikologi industri. Viteles (1953), mengidenfikasi pengembangan dari keinginan untuk bekerja, yang merupakan masalah utama dalam industri, dan Maier (1955) menunjukkan bahwa keinginan untuk lebih memperhatikan masalah-masalah dari motivasi. Motivasi (motiva- tion) Usaha (Effort) Kinerja (perfor- mance) Hasil (outcome) Kemampuan (ability)

(5)

Ketika seorang pekerja berusaha untuk melakukan suatu pekerjaan, maka kemungkinan akan adanya suatu hasil yang berbeda antara pekerja satu dengan pekerja yang lainnya. Dalam situasi seperti ini, ada suatu standar yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja, contohnya: jika seorang pekerja menghasilkan 300 unit per jam, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerja tersebut mempunyai level kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang menghasilkan 200 unit per jam, dan pekerja yang menghasilkan 200 unit per jam ini level kinerjanya lebih tinggi dibandingkan pekerja yang menghasilkan 100 unit per jam (Vroom, 1995).

Dalam menentukan standar yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja bukanlah suatu masalah psikologi, karena tidak ada dasar psikologikal untuk hasil kinerja yang menunjukkan baik atau buruk dalam beberapa fungsi pekerjaan yang ada (Vroom, 1995). Hal ini memang sulit untuk mendefinisi dan pengukuran kinerja dengan segala keterbatasan dalam studi motivasi yang mempengaruhi kinerja.

Usaha yang dilakukan oleh psikologi industri untuk memprediksi atau menjelaskan perbedaan dalam level kinerja diantara pekerja dalam suatu tugas yang sama berdasarakan pada dua asumsi yang berbeda (Vroom, 1995), yaitu: asumsi pertama adalah, bahwa kinerja dari seseorang akan dipahami dari bentuk kemampuannya dan hal ini relevan terhadap tugas yang dilakukan, dan asumsi kedua adalah, bahwa kinerja dari seseorang akan dipahami dalam bentuk motif (keinginan atau preferensi) dan kondisi untuk kepuasaan mereka dalam suasana kerja.

Festinger (1957) mengemukkaan, bahwa karyawan yang memikili motivasi yang lebih baik (tinggi) akan memperbaiki kesalahan atau merasa khawatir, jika kinerja mereka dibawah tingkat pengharapannya (rendah). Untuk mengurangi kesalahan dan rasa khawatir tersebut, mereka akan mencoba memperbaiki kinerja mereka (Hammer dan Organ, 1978).

Vroom (1995) menggambarkan hubungan antara motivasi dan kinerja. Dimana diasumsikan jika nilai dari kemampuan lebih dari nol, maka level kinerja secara konstan meningkat seiring dengan meningkatnya motivasi. Namun

(6)

menurut Vroom setidak-tidaknya ada dua alternatif yang masuk akal untuk hubungan ini, yaitu: (a) akselerasi kurva negatif yang mendekati batas yang lebih tinggi, dan (b) suatu fungsi U terbalik. Hal ini dapat dilihat dalam gambar 2.

X

Y 2: Hubungan Antara Motivasi dan Level Kinerja

(7)

Keterangan atas gambar 2:

X : Level of performance

Y : Amount of motivation for performance Constantly increasing function

Dorongan dari pekerja untuk melakukan sesuatu lebih efektif. Negatively accelerated function approaching upper limit

Menunjukkan suatu hukum diminishing return, kenaikan yang berturut-turut dalam motivasi yang jumlahnya lebih kecil dan kenaikan yang lebih kecil dalam kinerja hingga dicapainya titik pada kondisi dimana tidak adanya kenaikan kinerja selanjutnya.

Inverted U function

Sama dengan kurva pertama kecuali untuk penurunan kinerja dalam level motivasi yang tinggi, kinerja rendah pada level motivasi yang rendah, titik maksimum yang dicapai dalam level motivasi sedang (menengah) dan kemudian turun lagi dalam level motivasi tinggi.

VARIABEL-VARIABEL MOTIVASIONAL YANG MENENTUKAN

KINERJA

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pekerja mencapai suatu kinerja yang paling efektif ketika mereka ingin mencapai suatu tujuan tertentu. Level kinerja dari pekerja berhubungan dengan adanya instrumental untuk mencapai gaji yang lebih tinggi, promosi dan lainnya.

Menurut Vroom (1995) ada beberapa variabel-variabel motivasional yang menentukan kinerja yang efektif, yaitu:

1. Level kinerja berubah secara langsung dengan kekuatan dari keinginan individual untuk mencapai sesuatu, khususnya ketika tugas-tugas yang

(8)

dihadapi sulit dan menantang.

2. Pekerja dibayar berdasarkan jam kerja pada level yang lebih tinggi jika mereka melakukan pekerjaannya melebihi dari yang telah ditetapkan untuk pekerjaannya.

3. Individual melakukan sesuatu pada level yang lebih tinggi jika mereka percaya bahwa tugas membutuhkan kemampuan.

4. Pekerja lebih mempelajari suatu tugas pada level yang lebih tinggi ketika mereka memberi umpan balik sehubungan dengan level kinerja mereka. 5. Seseorang yang memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam

pembuatan keputusan yang memiliki pengaruh kedepan menghasilkan level kinerja yang lebih tinggi

SIMPULAN

Motivasi kerja adalah suatu derajat dimana seseorang indvidu ingin dan berusaha untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan dengan baik. Karyawan yang memiliki motivasi yang lebih tinggi akan memperbaiki kesalahan atau merasa khawatir, jika kinerja mereka di bawah tingkat pengharapannya (Festiger, 1957).

Motivasi seseorang dalam menggunakan usahanya untuk mengahasilkan suatu kinerja berdasarkan pada persepsi masing-masing yang merupakan gabungan antara tindakan (action) dan hasil (outcome). Berdasarkan asumsi-asumsi umum tersebut, expectancy theory memberikan tiga konsep utama, yaitu:

1. Effort – Performance Expectancy (E  P) 2. Performance – Outcome Expectancy (P  O) 3. Valence

Perbedaan dalam level kinerja diantara pekerja dalam suatu tugas yang sama memiliki dua asumsi yang berbeda: (a) kinerja dari seseorang akan dipahami dari bentuk kemampuannya dan hal ini relevan terhadap tugas yang dilakukan,

(9)

dan (b) kinerja dari seseorang akan dipahami dalam bentuk motif (keinginan atau preferensi) dan kondisi untuk kepuasaan mereka dalam suasana kerja. Beberapa variabel motivasional yang menentukan kinerja adalah: supervisi (supervision), kelompok kerja (work group), isi pekerjaan (job content), gaji (wages), dan kesempatan promosi (promotional opportunities).

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, J. W. 1957. Motivational Determinants of Risk-Taking Behavior. Psychology Review. 12: 359-372.

_____________ and Reitmen, W. R. 1956. Performance as A Function of Motivate Strength and Expectancy of Goal Attaiment. Journal of Abnormal Soc. Psychology. 53: 361-366.

Brownel, P. and Moris McInnes. 1986. Budgetary Participation, Motivation, and Managerial Performance. The Accounting Review. Vol. LXI/4. October: 587-600.

Bryan, J. F. and Locke E. A. 1967. Goal Setting as a Means of Increasing Motivation, and Managerial Performance. Journal of Applied Psychology. June: 274-277.

Ferris, K. R. 1977. A Test of Expectancy Theory of Motivation in Accounting Environment. The Accounting Review: 587-600.

Festinger, L. A. 1957. Theory of Cognitive Dissonance. Evanston, IL: Row-Peterson.

Gibson, J. L. et al. 1997. Organizations: Behavior Structure Processes. Ninth Edition. New York: McGraw-Hill.

Maier, N. R. F. 1955. Psychology in Industry. Second Edition. Boston: Houghton Mifflin.

Mitchell, T. R. 1982. Motivation: A New Direction for Theory, Research, and Practice. Academy of Management Review. Vol. 7/1: 80-88.

Hammer, W. C, and D. W. Organ. 1978. Organizational Behavior: An Applied Psychological Approach. Business Publication.

Nadler, D. A, and Edward E. L. 1977. Perspectives on Behavior in Organizations, Second Edition. New York: McGraw-Hill.

Riyadi, S. 1998. Motivasi dan Pelimpahan Wewenang Sebagai Variabel Moderating dalam Hubungan Antara Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Kinerja Manajerial. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2/2: 15-19.

(10)

Viteles, M. S. 1953. Motivation and Morale in Industry. New York: W. W. Norton.

Gambar

Gambar 1. Dasar Motivasi – Rangkaian Perilaku.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilaksanakan dapat di simpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together

Jika melihat rentangan nilai pada kategori keterbacaan instruksional (40%-60%), maka persentase tersebut menunjukkan kategori instruksionalnya masih berada pada

dikategorikan sangat baik yang terdiri dari rasio kepuasan pelanggan, rasio ketepatan pembayaran order, rasio penciptaan lapangan kerja, jumlah keluhan/masukan

Melalui pendidikan berbasis edutainment di SD Muhammadiyah 1 Purbalingga berupaya mengembangkan sekolah ramah anak dengan menciptakan lingkungan secara pribadi dan

- Honorarium Panitia Pelaksana Kegiatan - Honorarium Pegawai Honorer/Tidak Tetap - Belanja Bahan Pakai Habis - Belanja Pemeliharaan Jalan - Honorarium Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

Dalam rangka masukan perbaikan dalam penyusunan rancangan standar mutu gaharu (SNI 7531:2011), parameter kadar resin dan komposisi kimia dimasukkan dalam penentuan kelas

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan