• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda).15 Pengertian tersebut secara harfiah diartikan

sebagai ”orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu” atau ”sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.16

Pengertian consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok manakah penggunaan tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.17

Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (vitendelijke gebruiker Van goerderen

endiesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (Ondernamer)”.18

Dalam buku Az. Nasution yang berjudul Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata

15

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Ketiga Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 22

16

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 7

17

Az. Nasution, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Jakarta, Binacipta, hal 12

18

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman, Simposium, Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen , Binacipta, Agustus 1986

(2)

consumer (Inggris-Amerika), atau consument/Konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut.19

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, pengertian konsumen adalah setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, konsumen adalah pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.20

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen ”.21 Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Departemen Perdagangan Republik Indonesia mengemukakan tentang pengertian dari konsumen, yaitu: “Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan."22

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

Az. Nasution juga mengemukakan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu :

19

Az. Nasution, Op cit, hal. 3 20

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran tentang RUU Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal 4

21

Az. Nasution, Op cit, hal. 3. 22

(3)

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang atau jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga, dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).23

Dalam berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “ hukum konsumen “ dan “hukum perlindungan konsumen “. Istilah “ hukum konsumen “ dan “ hukum perlindungan konsumen “ sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua cabang hukum itu identik.24 M.J Leder menyatakan : In a sence there is no such creature

as consumer law . Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum

konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe, yakni : ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the

individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploted. 25

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

23

Ibid. hal 11-14 24

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hal 9. 25

(4)

Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda, yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Hukum konsumen menurut beliau adalah : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.26

Sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan sebagai : Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen. Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Az. Nasution menjelaskan sebagai berikut :27

Pada dasarnya, baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi pembahasannya. Dengan demikian, hukum perlindungan

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.

26

Az. Nasution, Op cit, hal. 3. 27

(5)

konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.

Kata keseluruhan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa di dalamnya termasuk seluruh pembedaan hukum menurut jenisnya. Jadi, termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Sedangkan cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi : informasi, memilih, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena penggunaan kebutuhan itu, misalnya untuk mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk itu.

Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen tiada lain adalah hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

(6)

konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (konsideran huruf d, UUPK).

Khusus mengenai perlindungan konsumen, menurut Yusuf Shofie, Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:28

1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku.

Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat dirinci bidang-bidang perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :29

1. Keselamatan fisik;

2. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen; 3. Standard untuk keselamatan dan kualitas barang serta jasa;

4. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok;

5. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti kerugian;

6. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi;

28

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal 26

29

Taufik Simatupang, Aspek Hukum Periklanan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hal 11-13

(7)

7. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik.

Sementara itu, Janus Sidabalok mengemukakan ada 4 (empat) alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut :30

1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;

2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional;

4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

Menurut Ali Mansyur, kepentingan konsumen dapat dibagi menjadi empat macam kepentingan, yaitu sebagai berikut :31

30

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hal 6.

31

M. Ali Mansyur, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Yogyakarta Genta Press, 2007, hal. 81

1. Kepentingan fisik;

Kepentingan fisik berkenaan dengan badan atau tubuh yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan tubuh dan jiwa dalam penggunaan barang

(8)

dan/atau jasa. Kepentingan fisik ini juga berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan jiwa. Kepentingan fisik konsumen ini harus diperhatikan oleh pelaku usaha.

2. Kepentingan sosial dan lingkungan;

Kepentingan sosial dan lingkungan konsumen adalah terwujudnya keinginan konsumen untuk memperoleh hasil yang optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam mendapatkan barang dan jasa yang merupakan kebutuhan hidup, sehingga konsumen memerlukan informasi yang benar mengenai produk yang mereka konsumen, sebab jika tidak maka akan terjadi gejolak sosial apabila konsumen mengkonsumsi produk yang tidak aman. 3. Kepentingan ekonomi;

Kepentingan ekonomi para pelaku usaha untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya adalah sesuatu yang wajar, akan tetapi daya beli konsumen juga harus dipertimbangkan dalam artian pelaku usaha jangan memikirkan keuntungan semata tanpa merinci biaya riil produksi atas suatu produk yang dihasilkan.

4. Kepentingan perlindungan hukum.

Kepentingan hukum konsumen adalah akses terhadap keadilan (acces to

justice), konsumen berhak untuk dilindungi dari perlakuan-perlakuan pelaku

usaha yang merugikan.

B. Asas, Tujuan dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam setiap Undang-undang yang dibuat pembentuk Undang-undang, biasanya dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya

(9)

undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.32 Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan Undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya.33

“ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut “.

Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut :

34

Sejalan dengan pendapat Sudikno tersebut, Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya, asas-asas hukum memberi makna etis kepada setiap peraturan-peraturan hukum serta tata hukum.

35

32

Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hal. 3.

33

Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, (selanjutnya disingkat Yusuf Sofie II), 2002, hal. 25.

34

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Jakarta, 1996, hal. 5-6

35

Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I),hal 87.

Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan

(10)

antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.36

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

Di dalam usaha memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat beberapa asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan pemerintah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2 UUPK. Kelima asas tersebut adalah

1. Asas manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.

2. Asas keadilan

36

(11)

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu, UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak pun yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu

(12)

Undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.

5. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya Undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung di dalam Undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan 3. Asas kepastian hukum.

(13)

Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokkan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen disamping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan

Asas keseimbangan dikelompokkan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Roscoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.37

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hal 28.

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan

(14)

hukum yang bersifat publik maupun privat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas.38

bermasyarakat yang merupakan modus survival manusia. Melalui prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan berama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan di atas yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum ekonomi. Sejak masuknya paham welfare state, negara telah ikut campur dalam perekonomian rakyatnya melalui berbagai kebijakan yang terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen. Pengaturan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan masuknya paham negara modern melalui welfare state, kita tidak menemukan lagi pengurusan kepentingan ekonomi oleh rakyat tanpa

Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial.

Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. Sedangkan prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah hak, maka di dalam prinsip atau asas solidaritas yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan

38 Ibid

(15)

melibatkan pemerintah sebagai lembaga eksekutif di dalam suatu negara. Sesuai fungsi kehadiran negara, maka pemerintah sebagai lembaga eksekutif bertanggung jawab memajukan kesejahteraan rakyatnya yang diwujudkan dalam suatu pembangunan nasional. Campur tangan pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi pembukaan dan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, serta dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 2 UUPK secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah mengacu pada Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa : “ perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen .“ Kata segala upaya adalah menyiratkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan dan agar pihak pelaku usaha memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana mestinya. Agar segala upaya tersebut berjalan efektif, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang-undang lainnya juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen, baik dalam hukum privat (perdata) maupun dalam bidang hukum publik (hukum pidana maupun hukum administrasi negara).

(16)

C. Peraturan Hukum tentang Perlindungan Konsumen

Disamping UUPK, hukum konsumen ditemukan didalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. UUPK berlaku setahun sejak disahkannya tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-undang ini, berarti untuk membela kepentingan konsumen masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen setidak-tidaknya ia merupakan sumber agar juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen.

1. Undang-undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum konsumen, terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-undang Dasar 1945, pembukaan, alinea ke-4 berbunyi : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenab bangsa Indonesia.”

Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata “segenap bangsa” sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa). Akan tetapi, disamping itu, dari kata “melindungi” manurut Az. Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah sebagai segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang

(17)

kaya atau orang miskin, orang kota atau desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha pelaku usaha atau konsumen.39

Kalau pada TAP-MPR 1988 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya, dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi : “Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.“

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh pihak.pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh.

Penjelasan autentik Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi : Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara. Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.

39

(18)

tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam satu nafas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dan konsumen. Susunan kalimat tersebut berbunyi ;

“...meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan kosumen”.

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen. Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepatnya pelaku usaha atau pengusaha) telah ditunjukkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelumnya telah diterangkan bahwa pengusaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku bahan tambahan, bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan barang atau jasa untuk kegiatan usaha memproduksi dan/atau berdagang itu, adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersil).

Adapun bagi konsumen akhir, sebagai pribadi penggunaan barang dan jasa itu adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (kepentingan non komersil). Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam memenuhi kebutuhan raga dan jiwa konsumen. Oleh karena itu, nyata bahwa konsumen tidak semata-mata menggunakan ukuran-ukuran komersial

(19)

sebagaimana yang terjadi ukuran pelaku usaha dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang mereka konsumsi.

Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku usaha adalah dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam hubungannya dengan para konsumen, kegiatan usaha pengusaha adalah dalam rangka memproduksi, menawarkan, tidak merosot atau bahkan hilang sama sekali baik karena :

a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan) atau;

b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum, penguasa pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).

Kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan barang/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang

(20)

berbeda pula. Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan komersil mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana mendapatkan bahan baku, bahan tambahan dan penolong, bagaimana memproduksinya, mengangkutnya dan memasarkannya, termasuk didalamnya bagaimana menghadapi persaingan usaha. Harus ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan itu. Persaingan haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkat pendapatannya, bahkan mati usahanya.

Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu hal yang biasa dalam dunia usaha, tetapi persaingan antar kalangan usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

Bagi konsumen, kepentingan non komersial mereka yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap jiwa, tubuh atau harta benda mereka. Dalam keadaan bagaimanapun, tetap harus dijaga keseimbangan, keselarasan, dan keserasian di antara keduanya. Oleh karena itu, dalam penyusunan perundang-undangan haruslah jelas siapa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dan siapa pula konsumen, apa hak-hak dan/atau kewajiban yang sesuai kepentingan masing-masing pihak. Percampuradukan keduanya, seperti pemikiran sementara orang pada saat ini, lebih banyak menimbulkan kerancuan dan kesulitan dari pada kemanfaatan.

(21)

Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen, haruslah diciptakan keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam kehidupan di antara keduanya.

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu ada juga kaidah-kaidah hukum perdata adat, yang tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Patut kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakukan berbagai kaidah hukum perdata tersebut.

Pada tahun 1963, Mahkamah Agung menganggap Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) tidak sebagai Undang-undang tetapi sebagai dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis. Selanjutnya menganggap tidak berlaku beberapa pasal dari KUH Perdata. Akan tetapi, untuk selebihnya dalam pengalaman di pengadilan sepanjang zaman kemerdekaan sampai waktu ini, KUH Perdata bahkan tampak seperti dominan berlakunya dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum tidak tertulis dan putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilan-pengadilan luar negeri yang berkaitan. KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan hukum dan masalah antar pelaku usaha penyedia

(22)

barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang), baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terlibat dari khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.

Hubungan hukum perdata dan masalahnya dalam lingkungan berlaku hukum adat, sekalipun sudah amat berkurang, masih tampak hidup dan terlihat dalam berbagai putusan pengadilan. Beberapa putusan pengadilan tentang masalah keperdataan berkaitan dengan perlindungan konsumen masih terlihat. Adapun hubungan-hubungan hukum atau masalah antara penyediaan barang atau jasa dan konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan hukum internasional dan asas-asas hukum internasional, khususnya hukum perdata internasional, memuat pola berbagai ketentuan hukum perdata bagi konsumen

Akan tetapi disamping itu, dalam berbagai peraturan perundang-undangan lain, tampaknya termuat pula kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan

(23)

Jadi, kalau dirangkum keseluruhannya, terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum yang menganut hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat dalam:

1. KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat; 2. KUHD, buku kesatu dan buku kedua;

3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Perbuatan melawan hukum (Pasal 1362 KUH Perdata) dalam sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Rumusan norma dalam rumusan ini unik tidak seperti ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih merupakan struktur norma dari pada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap. Oleh karena itu, substansi ketentuan Pasal 1365 KUH perdata senantiasa memerlukan materialisasi di luar KUH Perdata. Dilihat dari dimensi waktu, ketentuan ini akan “abadi” karena hanya merupakan struktur. Dengan kata lain, seperti kiasan yang sudah dikenal bahwa Pasal 1365 KUH Perdata ini “Tak lekang kena panas, tak lapuk kena

(24)

hujan”. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan melawan Undang-undang (onwetmatigedaad).40

Ketiga, perbuatan melawan hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372 menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan Perbuatan melawan hukum di Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas Perbuatan Melawan hukum yang terbagi atas :

Pertama, tanggung jawab tidak hanya karena perbuatan melawan hukum yang dilakukan diri sendiri tetapi juga berkenaan dengan perbuatan melawan hukum orang lain dan barang-barang di bawah pengawasannya. Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

”Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.”

Kedua, perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal 1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya maka suami atau istri, anak, orang tua korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi yang harus dinilai oleh keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.

40

Rosa Agustina, Makalah Penerapan Dalil Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), dalam Sengketa Antara Konsumen dengan Pelaku Usaha, dalam Buku Masalah-masalah Hukum Ekonomi Kontemporer, Ridwan Khairandy, Editor (Jakarta: FH UI, 2006), hal 239

(25)

untuk mendapat ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan para pihak.

Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum ialah:

1. Ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;

2. Ganti rugi dalam bentuk aturan atau dikembalikan dalam bentuk semula; 3. Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum; 4. Melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perubahan melalui putusan pengadilan dan Undang-undang telah secara khusus mengatur tentang ganti rugi karena perbuatan melawan hukum, misalnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen. Sebelum Undang-undang tersebut lahir, gugatan yang berkenaan dengan ganti rugi berkaitan dengan materi yang kemudian diatur dalam Undang-undang tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata. Namun dengan lahirnya Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tuntutan ganti kerugian maka telah terjadi perubahan dalam penerapan Pasal 1365 KUH Perdata.

Perkara berikut ini menunjukkan perubahan penerapan Pasal 1365 KUH Perdata dalam hubungan dengan sengketa antara kosumen dan pelaku usaha, perkara bermula dari pembelian mobil jenis BMW 318i yang dilakukan oleh Penggugat, menurut Tergugat salah satu kecanggihan mobil BMW adalah sistem elektroniknya akan memberi keamanan dan kenyamanan, dan kunci elektroniknya tidak mungkin dipalsukan.

(26)

Pada suatu hari Penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW tersebut. Sesampainya dirumah, Penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup pintu mobil yang menggunakan remote control. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh Penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun di kunci dari luar, penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari dalam mobil dengan cara membuka pintu dari dalam.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau masalah dengan penyediaan barang atau penyelenggaraan jasa, dapat pula diberlakukan. Dalam kaitan ini antara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan-ketetuan hukum dan berbagai konvensi dan/atau ketentuan hukum perdata internasional.

(27)

Di antara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undnag-undang tentang Rumah Susun, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75).

Selanjutnya dalam Undang-undang Kesehatan, Undang-undang No. 23 Tahun 1992, Pasal 73 disebutkan : “Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam Pasal 76 Undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedang pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah untuk mengambil berbagai tindakan administrasi terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-undang ini.”

Dari peraturan perundang-undangan di atas terlihat beberapa dapartemen dan atau lembaga pemerinah tertentu menjalankan tindakan administrasi berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tersebut. Misalnya tindakan administrasi

(28)

terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melanggar Undang-undang (Pasal 77 Undabg-Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).

Pasal 77 itu berbunyi : “Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini. Penjelasan pasal ini menetukan : tindakan administratif dalam pasal ini dapat berupa pencabutan izin usaha, izin praktik atau izin lain yang diberikan serta penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.”

Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam mengesahkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya sebagaimana termuat dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 29 menegaskan bahwa tugas pembinaan pengawasan bank-bank di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank Indonesia mendapat ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, pasal 52 dan pasal 53 (ketentuan pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan pertimbangan kepada Menteri Keuangan untuk mencabut izin usaha bank bersangkutan.

(29)

D. Pihak-pihak dalam Perlindungan Konsumen

Dalam UU Perlindungan Konsumen ada tiga lembaga yang berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, yaitu : 1). Menteri dan/atau Menteri teknis terkait yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan; 2). Badan Perlindungan Konsumen Nasional ; dan 3). LSM yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pada poin 1 dan 2 mewakili pemerintah sedangkan LSM pada poin 3 mewakili kepentingan masyarakat. Untuk penyelesaian sengketa dimungkinkan tanpa melalui Lembaga Peradilan yaitu melalui Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdiri atas unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha.

E. Pengertian dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pasal 1 butir 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun secara bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Kalangan ekonomi (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia), menetapkan bahwa pelaku ekonomi bersama dengan pelaku usaha, terdiri dari tiga kelompok besar,yaitu:

(30)

b. Kelompok pembuat barang atau jasa (produsen) c. Kelompok pengedar barang atau jasa (distributor)

Hukum tentang tanggung jawab produk (pelaku usaha) ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).41

Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and Manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen. Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product

Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang

bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).42

41

Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu

21 Juni 2014 42

(31)

produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa:

product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing

seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product

to a person injured by the use of product.”43

Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

(32)

Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUH Perdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUH Perdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.

Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak

(strict liability principle).

Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.

Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:44

a. Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang

44 Ibid

(33)

memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;

b. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab

c. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjawaban. Undang-undang Perlindungan Konsumen tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Pasal 19

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

(34)

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20

“Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.”

Pasal 21

(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.

(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.

(35)

Pasal 22

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Pasal 23

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Pasal 24

(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila

a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut

b. Pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.

(36)

Pasal 25

(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas

perbaikan

b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Pasal 26

“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.”

Pasal 27

Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari

c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

(37)

e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

Pasal 28

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”

Inti dari pasal-pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang disebutkan pada pasal 19 ayat 1, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.45

45

Berdasarkan ayat (2) pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

(38)

F. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut :46

1) Membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk : a. Memberikan hak dan kewajiban;

b. Menjamin hak-hak para subyek hukum;

2) Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui :

a. Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak-hak konsumen, dengan perijinan dan pengawasan; b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman;

c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.

Istilah “perlindungan konsumen“ berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melainkan hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

46

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hal. 31.

(39)

Menurut Munir Fuadi, kehadiran suatu kaedah hukum (legal procept), aturan hukum (regulayuris), alat hukum (remedium juris) dan ketegakan hukum

(law enforcement) yang menatap adalah dambaan masyarakat Indonesia sekarang,

sehingga para konsumen, produsen, bahkan segenap masyarakat akan memetik hasilnya.47

Secara historis mengenai hak-hak dasar konsumen pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. Beliau adalah presiden yang pertama kali mengangkat martabat konsumen saat menyampaikan pidato revolusioner di depan kongres (US Congress) pada tanggal 15 Maret 1962 tentang Hak Konsumen. Ia berujar, “Menurut definisi, konsumen adalah kita semua. Mereka adalah kelompok ekonomi paling besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi publik dan swasta, tetapi mereka hanya sekelompok penting yang suaranya nyaris tak didengar.”48

47

Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku II, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hal 184

48 Amstrong Sembiring, Menggapai Hak Konsumen Menggapai Keadilan, Jakarta:

PT.Gramedia Pustaka, 1985, hal 78

Dalam pesannya kepada Kongres dengan judul A Special Massage of

Protection the Consumer Interest, Presiden J.F. Kennedy menjabarkan empat hak

konsumen sebagai berikut:

(1). The right to safety (hak atas keamanan); (2). The right to choose (hak untuk memilih);

(3). The right to be informed (hak mendapatkan informasi); (4). The right to be heard (hak untuk didengar pendapatnya).

(40)

Dalam perkembangannya hak-hak tersebut dituangkan di dalam Piagam Hak Konsumen yang juga dikenal dengan Kennedy’s Hill of Right. Kemudian muncul beberapa hak konsumen selain itu, yaitu hak ganti rugi, hak pendidikan konsumen, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar dan hak atas lingkungan yang sehat. Selanjutnya, keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada pasal 3, 8, 19, 21 dan pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union- IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, hak untuk memperoleh ganti rugi, hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.49

1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn

gezendheid en veiligheid);

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :

2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn

economische belangen);

3. Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

(41)

Dua dekade kemudian setelah Kennedy menyampaikan pidato, pada tanggal 15 Maret 1983, maka Hari Hak Konsumen dirayakan untuk pertama kali, dan setelah perjalanan panjang gerakan konsumen sejak pidatonya, hak konsumen akhirnya diterima secara prinsip oleh pemerintah seluruh dunia dalam Sidang Majelis Umum PBB (UN General Assembly). Pengakuan hak konsumen dilakukan melalui adopsi UN Guidelines for Consumers Protection. Di dalam pedoman Perlindungan Bagi Konsumen yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-Guidelines for Consumer Protection) melalui Resolusi PBB No. 39/248 pada tanggal 9 April 1985, pada Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum, Nomor 3 dikemukakan bahwa kebutuhan-kebutuhan konsumen yang diharapkan dapat dilindungi oleh setiap negara di dunia adalah :50

1. Perlindungan dari barang-barang yang berbahaya bagi kesehatan dan keamanan konsumen;

2. Perlindungan kepentingan-kepentingan ekonomis konsumen;

3. Hak konsumen untuk mendapatkan informasi sehingga mereka dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya;

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya ganti rugi bagi konsumen;

6. Kebebasan dalam membentuk lembaga konsumen atau lembaga lain yang sejenis dan memberikan kesempatan bagi lembaga-lembaga tersebut untuk mengemukakan pandangan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

(42)

Dalam perdagangan pelaku usaha memiliki hak-hak yang harus diberikan dan dihormati oleh pihak-pihak lain dalam perdagangan tersebut, misalnya konsumen. Hak tersebut diimbangi dengan dibebankannya kewajiban pada pelaku usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya antara hak dan kewajiban tersebut adalah seimbang. Adapun hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UUPK adalah :51

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam pasal 7, yakni : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

(43)

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Oleh karena itu dalam ketentuan Bab IV UUPK Pasal 8 sampai dengan 17 menyebutkan perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pada

(44)

hakikatnya menurut Nurmanjito, larangan-larangan terhadap pelaku usaha tersebut adalah mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, yang menyangkut asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, iklan, dan lain sebagainya52

Tujuan pengaturan ini menurut Nurmandjito adalah untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat.53

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

Hal ini sebagai salah satu bentuk perlindungan konsumen, larangan-larangan tersebut dibuat berupaya untuk memastikan bahwa produk yang diproduksi produsen aman, layak konsumsi bagi konsumen. Dalam ketentuan pasal 8 UUPK, disebutkan larangan-larangan tentang produksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa, antara lain :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

52

Nurmandjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia, “ dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting “ Hukum Perlindungan Konsmen, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 18.

53 Ibid

(45)

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(46)

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan larangan-larangan representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai dengan peraturan yang berlaku/tidak melanggar hukum. Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau menyesatkan konsumen.54

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk mengingkari untuk memberikan hadiah melalui undian berhadiah kemudian melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 14 UUPK yang menyebutkan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

(47)

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan cara-cara penjualan dengan cara tidak benar karena dapat mengganggu secara fisik maupun psikis konsumen. Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya : “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.”

Salah satu cara pemaksaan produk yang dimaksud adalah door to door sale, rayuan dari sales tersebut ke rumah-rumah konsumen disadari baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi psikologis konsumen. Penawaran barang melalui cara ini, dapat mengusik ketenangan konsumen, karena walaupun konsumen telah menyatakan tidak berminat terhadap barang yang ditawarkan, namun sales tetap berusaha merayu agar konsumen membelinya.

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat dua daripada tiga item berada dalam kedudukan paling rendah yang merupakan item dalam indikator penilaian terhadap rangsangan luar (item 8: Saya berasa risau

Berdasarkan uraian tersebut, maka suatu pernikahan yang walinya berpindah dari wali nasab (karena ketiadaannya) ke wali hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 23

Subyek penelitian adalah pasien berusia 0-14 tahun yang didiagnosis mengalami dermatitis atopik dan orang tua yang mengantarkan untuk berobat di poli anak dan

 Namun pengamat tidak bisa mencatat burung yang di luar waktu dan jarak yang di tentukan..

4 Berkaitan dengan latar belakang masalah tersebut di atas maka sangat menarik untuk dituangkan dalam skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Oleh karena itu, kesadaran aktor perpustakaan tersebut harus dibangun kembali untuk memiliki sebuah habitus baru yang memperhatikan elemen modal yang menjadi

[r]