“(Hadis sahih ialah) hadis yang bersambung sanad-nya, (diriwayatkan oleh orang-orang yang) ‘adl dan dlabth, serta tidak terdapat (di dalam hadis itu) kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘illat)”
Kalau kita perhatikan pengertian hadis shahih pada masa berikutnya, maka kita dapatkan makna yang sama.
Kendatipun terjadi perbedaan pada bentuk redaksinya. Hal ini menunjukkan, bahwa pada umumnya ulama hadis dari kalangan al-Mutaakhkhirin setelah masa Ibn al-Shalâh dan al- Nawâwiy, memberikan pengertian yang sama tentang hadis shahih. Walaupun demikian halnya, tidak berarti telah terjadi kesepakatan diantara mereka dalam memberikan pengertian tentang hadis shahih. Misalnya Ibn Katsir dalam kitab al Ba’it al Hatsits, menerangkan pengertian hadis shahih sebegaia berikut:142
َىهَتْني ىّىت َح ِهِلْثِم ْن َع ِطِبا َّضلا ِل ْدَعلا ِلْقَنِب ُه َدَن َس ُل ِصّىتُلما
ْنِم ُهَاهَتْنُم َلىِإ ْوَأ مّىل َس َو ِهيَلَع ُللها ّىلى َص للها ِل ْو ُسَر َلىِإ
141Suyuthiy, Tadrib al-Râwiy …, 52-54
142Ahmad Muhammad Syakir, al-Bã’its al-Hatsîts Syarh Ikhtishar Ulum al- Hadîts, (Baerut: Dã�r al-Kutub al ‘Ilmiyah, 1994), 20.
َلاو ًاد ْوُدْرَم َلاو ًاذا َش ُنْوُكَي َلاو ُهَنْوُد ْنَم ْوَأ ّىبيا َح َص
ًابْيِرَغ ْوَأ اًرْوُه ْشَم ُنْو ُكَي ْدَقَو ٍةحِداَق ٍةّىلِعِب لاّىلَعُم
Pengertian di atas menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan hadis shahih bukan hanya yamg sanad-nya bersambung kepada Nabi saja, melainkan juga yang bersambung sampai ketingkat sahabat atau lainnya. Sekalipun Ibn Katsir mengakui bahwa pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ialah pendapat yang dikemukakan oleh Ibn al-Shalâh dan al-Nawâwiy. Dan kemudian diikuti oleh Shubhi al Shalih.143
Dari bebrapa kriteria hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama di atas, dapat dipahami bahwa untuk menentukan kualitas suatu hadis, haruslah diadakan penyelidikan terhadap kualitas sanad dan matn hadis, kerena hadis yang sanad-nya sahih belum tentu matn-nya juga sahih, demikian juga sebaliknya. Hadis yang memiliki matn sahih belum tentu sanad-nya shahih. Oleh sebab itu perhatian ulama tidak hanya terfokus kepada matn hadis saja, akan tetapi juga pada sanad-nya. Hal ini terbukti dengan pendapat mayoritas ulama dalam memberikan pengertian tentang hadis shahih.
Berkenaan dengan kajian dan kriteria di atas, maka pengertian hadis sahih yang dikemukakan oleh mayoritas ulama tersebut dapat dijadikan sebagai kriteria kesahihan sanad dan matn hadis, yakni:
Sanad
1. bersambung
Seluruh periwayat dalam
2. sanad bersifat ‘adil
Seluruh periwayat dalam
3. sanad bersifat dlabith
Hadis tersebut terhindar dari
4. syudzudz
Hadis tersebut terhindar dari
5. ‘illah
143Shubhi al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadits wa Musthalahuhu, (Baerut: Dã�r almi li al Malayin, 1998), 145.
Menurut Nuruddin ‘Itr ; bila diperhatikan kelima kriteria hadis sahih di atas, maka kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian periwayat dalam sanad haruslah bersambung kepada Nabi, seluruh periwayat yang terdapat di dalamnya haruslah orang yang ‘adl dan dlâbith, adalah merupakan pembahasan tentang kesahihan sanad hadis. Sedangkan kriteria terhindarnya dari cacat (‘illah) dan kejanggalan (syudzudz), disamping sebagai pembahasaan tentang kesahihan sanad hadis juga merupakan pembahasan tentang kesahihan matn hadis.144
Kriteria Hadis Sahih
Dengan kelima kriteria tersebut di atas dapat dipahami, bahwa untuk menentukan suatu hadis sahih haruslah diadakan penelitian terhadap kualitas sanad dan matn hadis. Penelitian yang berpangkal pada sanad dikenal dengan istilah al-naqd al-khârijiy atau dikenal juga dengan istilah kritik eksternal, yang diukur keabsahannya berdasrkan kelima kriteria di atas.
Sedangkan yang berpangkal pada matn dikenal dengan istilah al-naqd al-dâkhiliy atau disebut juga sebagai kritik internal, yang diukur keabsahannya berdarkan kriteria terhindar dari syudzudz dan ‘illah.
a. Kriteria sanad
Penelitian terhadap sanad (kritik sanad) atau yang dikenal dengan istilah kritik eksternal (al-naqd al-khârijiy), merupakan telaah atas prosedur periwayatan (sanad) dari sejumlah perawi yang terdapat dalam satu riwayat secara berurutan hingga perawi terahir yang diukur keabsahannya berdasarkan lima kriteria, yakni:
144Nuruddin ‘Itr, al-Madkhal ilã ‘Ulûm al-Hadîts, (al-Madinah al- Munawwarah: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1972), 15.
1. Sanad bersambung
Menurut Nuruddin ‘Itr dan Subhiy al Shalih, yang dimaksud dengan sanad-nya bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir sanad hadis. Jadi semua periwayat yang terdapat dalam riwayat tersebut, mulai dari tingkat terakhir (mukharrij) sampai kepada periwayat pertama yakni sahabat yang menerima riwayat tersebut dari Nabi saw. bersambung dalam periwayatan.145
Menurut Ibn al-Shalâh, para ulama berbeda pendapat tentang nama hadis yang sanad-nya bersambung. Kelompok pertama Abû Bakr al-Khatîb al-Bagdâdiy menamainya dengan musnad. Yakni suatu riwayat yang bersambung (al-muttashil) sanad-nya mulai dari periwayat terdekat sampai terakhir.
Menurut al-Bagdâdiy; musnad itu lebih banyak digunakan untuk sesutu yang berasal dari Rasulullah saw. bukan pada sahabat atau tâbi’în. Kelompok kedua, Abû ‘Umar Ibn ‘Abdilbar (w.463 H.).
menurutnya yang dimaksud dengan musnad ialah segala sesutu yang disandarkan (al-marfû’) kepada Nabi saw. secara khusus.
Akan tetapi kadangkala sanad-nya bersambung (muttashil) seperti; Riwayat Mâlik dari Nâfi’ dari Ibn ‘Umar dari Rasulullah saw. dan kadangkala sanad-nya terputus (munqathi’) seperti riwayat Mâlik dari al-Zuhriy dari Ibn ‘Abbas dari Rasulullah saw.
lebih lanjut Ibn ‘Abdilbar berkata; riwayat ini disebut musnad karena riwayatnya bersambung ke Rasulullah saw. dan dipandang terputus (munqathi’) karena periwayatnya yakni al-Zuhriy tidak mendengar dari Ibn ‘Abbas ra.
Kelompok ketiga mereka yang menyatakan bahwa musnad itu dipergunakan untuk sesuatu yang bersambung (marfu’) kepada Nabi saw. Diantara ulama yang berpegang pada pendapat
145Ibid., 242. al-Shalih, ‘Ulumul Hadîts…, 145.
ini ialah al-Hâkim Abû ‘Abdullah. Menurutnya yang dimaksud dengan musnad ialah:146