A. Pendahuluan
D
alam kajian ushul fiqh disepakti ada dua sumber tasyri’ dalam Islam (ماكحلاا رداصم), yaitu wahyu (يللاا يحولا) dan akal (لقعلا). Kemudian dikembangkan menjadi empat dalil (ماكحلاا ةلدا), yaitu al-Qur’an dan Hadis perwujudan dari sumber wahyu dan Ijma’ dan Qiyas sebagai perwujudan dari sumber akal. Kesepakatan ini dibangun dari sumber wahyu berupa al-Qur’an al-Karim pada ayat 59 Surat an-Nisa’ [4] sebagai hasil pemahaman akal melalui ijtihad dengan metode عاجملاا dan سايقلا.Kedudukan hadis sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an memiliki beberapa fungsi, yaitu; (a) لييصفتلانايب (b) صييصختلانايب (c) يديكأتلا وا ينيعتلا نايب dan (d) يخسنلانايب dan (e) يعيشتلانايب. Keberadaan salah satu fungsi hadis sebagai bayan tasyri’ mengandung konsekuensi lainnya, yakni pembagian hadis menjadi dua; hadis
non-tasyri’ (يعيرشتلا ريغ ثيدلحا) dan hadis taysri’ (يعيرشتلا ثيدلحا).
Istilah taysri’ identik dengan syariah, salah satu dari tiga pilar doktri Islam, yaitu aqidah, akhlak dan syariah. Dengan demikian, maka hadis dengan beragam bentuknya (qawli, fi’li, taqriri, ahwali dan himmi), tetap menjadi sumber doktrin Islam yang terklasifikasi dalam tiga bidang tersebut, sesuai karekteristiknya masing-masing.
Tariq Ramadhan menemukan ada 6 kecenderungan pemikiran Islam akhir abad ke 20 dan abad ke 21, yaitu (1) Scholastic Traditionalism. (2) Salafi-Literalisme. (3) Salafi-Reformism.
(4) Political Literalist Salafism. (5) “Liberal” or “Rationalist”
Reformism. (6) Sufisme.13 Hal yang sama juga ditemukan oleh Abdullah Saeed dengan istilah yang berbeda, yiatu (a) The Legalist-Traditionalist (b) The Political Islamist (c) The secular muslims (d) Teological Puritans (e) The Islamist Extremist (f ) The Progressive Ijtihadist.14 Perbedaan trend pemikiran ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dan pemahaman yang bermuara pada al-Qur’an dan Hadis dan turutserta menjadi pemicu beberapa ketegangan di internal ummat Islam maupun antar ummat beragama bahkan berujung tindakan kekerasan dan teror.
Upaya memberikan pemahaman terhadap kedudukan dan fungsi hadis di era ini menemukan relevansi dan urgensinya dengan kondisi ummat Islam, terutama di masa kini, yang semakin terbelah dalam trend pemikiran, dan cenderung terjadi gesekan antar pengikutnya. Pemahaman terhadap kedudukan dan fungsi hadis ini bertujuan untuk (1) memperluas wawasan dan pemahaman tentang hadis secara konprehensif dan dinamis dan (2) menggunakan hadis sebagai sumber doktrin hendaknya disesuaikan dengan bentuk, macam, jenis dan fungsinya,
13Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam, (New York:
Oxford University Press, 2004), 24-28
14Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction, (London and New York, Routledge, 2006), 142-54.
sehingga tidak bersifat memaksakan atau ahistoris dengan kondisi kontemporer, bahkan mis-macth dengan nilai-nilai universal atau visi profetik kenabian, berupa keadilan, kesetaraan, anti- diskriminasi, nir-kekerasan dan sebagainya.
B. Kedudukan dan Fungsi Hadis
Ulama ushul sepakat bahwa sumber doktrin Islam berasal dari wahyu dan akal. Sumber wahyu termaktub dalam dua bentuk kodifikasi wahyu, yaitu al-Qur’an dan Hadis, sedangkan sumber akal terlembagakan dalam dua metode, yaitu konsensus atau ijma’ dan analogi atau qiyas yang dilakukan oleh para ahli (ulama’). Kesepakatan ulama tentang kedudukan empat sumber ini juga mencakup urutan yang berjenjang dari al-Qur’an, al- Hadist, al-Ijma’ dan al-Qiyas.
1. Kedudukan Hadis
Apa saja yang disampaikan nabi Muhamamd SAW selama masa kenabian dan kerasulan diyakini bersumber dari wahyu Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat an-Najm [53], ayat 3-4.
)4( ى َحوُي ٌي ْح َو َّلاِإ َوُه ْنِإ )3( ى َوَ ْلا ِنَع ُقِطْنَي اَم َو
Artinya; dan tidaklah Muhammad berbicara berdasarkan hawa nafsu melainkan bersumber dari wahyu dari Allah SWT.
Ummat Islam memiliki keyakinan dasar yang sama tentang keberadaan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang mendapatkan dan menyampaikan wahyu dari Allah melalui perantaraan malaikat Jibril, namun terdapat perbedaan terhadap keberadaan eksistensi wahyu tersebut pasca wafatnya Muhammad SAW. Sebagian kecil ummat Islam mengakui keberadaaan wahyu hanya dalam bentuk al-Qur’an al-Karim dan tidak mengakui keberadaanya dalam bentuk hadis. Mereka
menyatakan bahwa al-Qur’an telah sempurna dan tidak membutuhkan penjelas lain, termasuk hadis. Pendapat ini didasarkan pada dua ayat al-Qur’an, yaitu ayat 38 Surat al-An’am, dan ayat 3 Surat al-Maidah, sebagai berikut;
a. Surat al-An’am [6] Ayat 38
لاِإ ِهْي َحاَن َجِب ُيرِطَي ٍرِئا َط َلا َو ِضْرَ ْلا ِفي ٍةَّباَد ْنِم اَم َو
ْمِ ِّبه َر َلىِإ َّمُث ٍء ْ َش ْنِم ِباَتِكْلا ِفي اَن ْط َّرَف اَم ْم ُكُلاَثْمَأ ٌمَمُأ )38( َنو ُ َشْ ُيح
Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
b. Surat al-Maidah [5], ayat 3
ْم ُه ْو َشْ َت َلاَف ْم ُكِنيِد ْنِم او ُرَفَك َنيِذَّلا َسِئَي َم ْوَيْلا
ْم ُكْيَلَع ُتْمَ ْتَأ َو ْم ُكَنيِد ْم ُكَل ُتْلَمْكَأ َم ْوَيْلا ِن ْو َش ْخا َو في َّر ُط ْضا ِنَمَف اًنيِد َم َلا ْسِ ْلإا ُم ُكَل ُتي ِضَر َو يِتَمْعِن )3( ٌميِحَر ٌروُفَغ َللها َّنِإَف ٍمْثِ ِلإ ٍفِنا َجَتُم َ ْيرَغ ٍة َصَمْ َم
Artinya: …Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Mencukupkan diri hanya dengan al-Qur’an sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan tanpa hadirnya pigur yang menjadi pemegang otoritas kebenaran makna al-Qur’an,
yakni nabi Muhammad, dipastikan banyak menemui kerancuan makna. Pada awal ayat 3 surat al-Maidah [5] dijelaskan bahwa Allah SWT mengharamkan 4 perkara bagi manusia, yakni bangkai, darah, daging babi dan binatang sembelihan yang dipersembahkan untuk selain Allah. Padahal di dalam hadis masih terdapat dua jenis bangkai yang dihalalkan yakni ikan dan belalang, bahkan siroh nabawiyyah Nabi membiarkan para Sahabat yang memakan biawak, jika mereka tidak jijik, sekalipun Nabi sendiri tidak menikmatinya. Dengan demikian, mencukupkan diri dengan al-Qur’an dan menafikan hadis apalagi akal sebagai sumber doktrin, maka dipastikan banyak menemukan kebuntuan.
Sementara jumhur ulama bersepakat bahwa wahyu yang disampaikan oleh Nabi selama masa kenabian dan kerasulannya terkodifikasi setelah wafatnya menjadi al-Qur’an dan juga Hadis melalui proses dan waktu yang berbeda, sehingga diposisikan sama sebagai sebagai sumber doktrin Islam sekalipun dengan posisi yang berbeda. Ada beberapa dalil yang diajukan para ulama sebagai argumen atas kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam, baik berupa ayat al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut;
1) Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk taat kepadaNya dan diikuti dengan perintah taat kepada Nabi-Nya kemudian diikuti perintah untuk taat kepada pemimpin, sebagaimana dalam surat al-Nisa [4], ayat 59.
لوُأ َو َلو ُسَّرلا اوُعيِطَأ َو َللها اوُعيِطَأ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَ ُّهيَأ اَي
ِلو ُسَّرلاَو ِللها َلىِإ ُهوُّهدُرَف ٍء ْ َش ِفي ْمُتْعَزاَنَت ْنِإَف ْم ُكْنِم ِرْمَ ْلا
ُن َس ْحَأ َو ٌ ْير َخ َكِلَذ ِر ِخ ْلا ِم ْوَيْلا َو ِللهاِب َنوُنِم ْؤُت ْمُتْنُك ْنِإ
)59( ًلايِوْأَت
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (hadis), jika kamu benar- benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah sebaik-baik takwil.
2) Bahkan dalam ayat 80 Surat al-Nisa [4], Allah menjadikan ketataan kepada Rasulullah sebagai batas kewajiban Muhammad untuk memberikan pelayanan.
َكاَنْل َسْرَأ َمَف َّلىَوَت ْنَمَو َللها َعاَطَأ ْدَقَف َلو ُسَّرلا ِعِطُي ْنَم )80( ا ًظيِف َح ْمِهْيَلَع
Artinya; barangsiapa taat menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang berpaling dari (ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
3) Bentuk ketaatan kepada Rasulullah juga dijelaskan oleh Allah dengan menerima segala bentuk perkataan, perbuatan, ketetapan dan hal –ihwal dari Muhammad, dan meninggalkan semua yang dilarangnya, sebagaimana dalam surat al-Hasyr [59], ayat 7 sebagai berikut.
اوُهَتْناَف ُهْنَع ْمُكاَ َن اَم َو ُهو ُذ ُخَف ُلو ُسَّرلا ُمُكاَتآ اَم َو )7( ِباَقِعْلا ُديِد َش َللها َّنِإ َللها اوُقَّتا َو
Artinya;... Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha keras hukuman-Nya.
4) Dalam diri nabi Muhammad SAW terdapat suritauladan yang dapat menjadi model atau public figure yang patut
diguru dan ditiru, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 21.
و ُجْرَي َناَك ْنَِلم ٌةَن َس َح ٌة َو ْسُأ ِللها ِلو ُسَر ِفي ْم ُكَل َناَك ْدَقَل )12( اًيرِثَك َللها َرَكَذ َو َرِخ ْلا َم ْوَيْلا َو َللها
Artinya; Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Ayat di atas juga dijelaskan melalui hadis ahwali, para Sahabat awal yang datang dari Yastrib (Madinah) untuk belajar langsung dari Muhammad SAW selama beberapa minggu di Mekkah menceritakan akhlak Muhamamad sebagai sosok yang patut dirindukan, sehingga keberadaaannya sebagai Nabi dan Rasul telah diterima luas di Madinah jauh sebelum Nabi secara fisik datang ke kota itu, sebagaimana riwayat Imam Bukhari dari jalur Sahabat Malik sebagai berikut;
اَنَث َّد َح َلاَق ِباَّه َوْلا ُدْبَع اَنَث َّد َح َلاَق ىَّنَثُْلما ُنْب ُدَّمَ ُم اَنَث َّد َح
ِّيِبَّنلا َلىِإ اَنْيَتَأ ٌكِلاَم اَنَث َّد َح َلاَق َةَب َلاِق ِبيَأ ْنَع ُبوُّهيَأ
ُه َدْنِع اَنْمَقَأَف َنوُبِراَقَتُم ٌةَبَب َش ُن ْحَن َو َمَّل َس َو ِهْيَلَع ُللها َّلى َص
َمَّلَسَو ِهْيَلَع َُّللا ىَّل َص ِللا ُلوُسَر َناَكَو ًةَلْيَل َو اًمْوَي َنيِ ْشِع اَنْقَت�ْشا ْدَق ْوَأ اَنَلْهَأ اَنْتيَهَت�ْشا ْدَق نَأ َّنَظ اَّمَلَت� اًقيِ�َر اًميِحَر
ْم ُكيِلْهَأ َلىِإ اوُع ِج ْرا َلاَق ُهاَنْ َبر ْخَأَف نَدْعَت� اَنْكَرَت� ْنَّمَع اَنَلَأَس
اَه ُظَف ْحَأ َءاَي ْشَأ َرَكَذ َو ْمُهوُرُم َو ْمُهوُمِّلَع َو ْمِهيِف اوُميِقَأَف
ْت َ َض َح اَذِإَف ِّلي َصُأ ِنيو ُمُتْيَأَر َمَك اوُّهل َص َو اَه ُظَف ْحَأ َلا ْوَأ
ْمُكُ َبرْكَأ ْم ُكَّم ُؤَيْل َو ْمُك ُد َحَأ ْم ُكَل ْنِّذ َؤُيْلَف ُة َلا َّصلا
Keberadaan para Sahabat dan Tabi’in sebagai generasi awal sangat besar bagi keberlangsungan risalah hingga memasuki era kini. Keimanan yang kokoh dalam diri mereka membuat mereka
“hijrah” dengan segala bentuk konsekuensinya mulai dari tindakan mendukung, mendampingi, dan membela Rasulullah dari segala bentuk tantangan dan rintangan. Upaya mereka untuk menjaga eksistensi dan otentisitas wahyu Allah yang telah disampaikan dan diterimanya dari Rasulullah dengan segala bentuk, termasuk kodifikasinya dalam bentuk al-Qur’an al-Karim dan al-Hadits al-Nabaway, sehingga teksnya dapat sampai secara utuh kepada semua ummat sepanjnag zaman. Kegigihan dan eksistensi para Sahabat dan Tabi’in dalam penyampaian risalah diakui dalam al-Qur’an, sehingga Nabi pun menyebut mereka sebagai generasi terbaik, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab sahihnya masing-masing sebagai berikut;
ْمُ َن ْوُلَي َنْيِذَّلا َّمُث ْمُ َن ْوُلَي َنْيِذَّلا َّمُث ِني ْرَق ِساَّنلا ُ ْير َخ
Artinya; sebaik-baik manusia adalah pada generasiki, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi setelahnya. (HR.
Syaikhani)
Sekalipun hadis juga diyakini bersumber dari wahyu Allah, sebagaimana al-Qur’an al-Karim, namun dalam posisinya sebagai sumber hukum Islam tidak dapat disetarakan, melainkan al-Qur’an menjadi pertama dan utama, sementara hadis diposisikan sebagai sumber kedua. Setidaknya ada tiga peta yang membedakan posisi al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber doktrin Islam, yaitu;
a. Sisi datanganya (wurud) antara keduanya, al-Qur’an bersifat دورولا يعطق karena penulisannya zaman Nabi hingga kodifikasinya zaman Khulafa’a-Rasyidun tidak ada pertentangan, sementara sementara hadis bersifat دورولا ينظ, disebabkan banyak faktor, namun yang utama faktor adanya perselisihan sikap Sahabat tentang penulisannya baik zaman Nabi maupun era Sahabat, sehingga dari sisi waktu dan mekanisme kodifikasinya berbeda dengan al-Qur’an. Hal yang berstatus دورولا يعطق harus diutamakan dari yang berstatus دورولاينظ, dan yang دورولا ينظ mengemban banyak fungsi bagi yang دورولايعطق.
b. Problem dalam disiplin ilmu hadis yang belum menemukan indikator-indikator rigit dalam membangun kreteria hadis menjadi mutawatir masyshur, ahad atau sahih, hasan dan dha’if, layaknya instrumen penelitian jenis kuantitatif, sehingga menghasilkan data yang beragam tentang status satu hadis dengan hadis lain di antara ulama hadis, dan menimbulkan sikap berbeda atas kehujjahannya.
c. Berbasis pada teks (nash) yang menjadi dalil keabsahan hadis sebagai sumber hokum, baik al-Qur’an yang memposisikan ketaatan kepada rasul (al-hadis), sebagaimana surat al-Nisa’ [4], ayat 59, maupun redaksi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari jalur Mu’az ibn Jabal yang menyebutkan urutan sumber dalam memutuskan perkara, yakni kitabullah disusul sunnatu rasulih dan ajtihad bi ra’yi dalam kapasitanya sebagai utusan Rasulullah di Yaman.15
15Wahyudin Darmalaksana, dkk, Kontroversi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam dalam Wawasan; Jurnal Ilmiah Agama dam Sosial Budaya (Desember 2017), 253-254.
2. Fungsi Hadis
Al-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Wahyudin menetapkan lima bentuk fungsi hadis sebagai penjelas bagi al-Qur’an; (a) bayan tafsili dan (b) bayan takhsis yang merinci kandungan al- Qur’an yang masih global, sekaligus membatasi ayat-ayat bersifat umum, (c) bayan ta’yin / ta’kid yang menegaskan dan menguatkan maksud al-Qur’an yang masih samar, (d) bayan nasakh yang menegaskan status penaskhan (penghapusan
“fungsi”) ayat tertentu oleh ayat tertentu lainnya, dan (e) bayan tasyri’ yang menetapkan hukum tertentu/baru terhadap perkaran yang didiamkan al-Qur’an.16
Sementara Amir Syarifuddin dengan redaksi berbeda menjelaskan ada tiga fungsi hadis sebagai sumber doktrin kedua; (1) al-Ta’kid wa al-Taqrir, yaitu fungsi menguatkan dan menegaskan (2) al-Bayan, yaitu fungsi menjelaskan makna yang samar, merinci yang global, membatasi yang umum, dan (3) al- Istbat wa al-Insya’, yaitu fungsi menetapkan hukum baru.17 Dari pendapat al-Syatibi dan Amir Syarifuddin dapat dipadukan dan dikerucutkan menjadi dua fungsi hadis terhadap al-Qur’an; al- Bayan dan al-Tasyri’.
a. Fungsi Hadis sebagai al-Bayan
Hadis sebagai al-bayan mengadung makna bahwa hadis memiliki sebagai al-bayan terhadap al-Qur’an. Keberadaan hadis sebagai al-bayan terhadap al-Qur’an menjadi urgen disebabkan oleh kondisi al-Qur’an itu sendiri yang masih membutuhkan penjelasan (al-bayan), sebagaimana diisyarakatkan melalui tumbuhnya beragama ilmu yang menjelaskan karekteristik al- Qur’an secara spesifik, seperti ilm al-makky wa al-madany, ilm asbab al-nuzul, ilm al-tafsir, ilm al-ta’wil, ilm nasikh wa al-mansukh,
16Ibid. 253-254.
17Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta; Kencana Prenada, 2008), 99-100.
ilm al-muhkam wa al-mutasyabih, dan lain-lain. Hampir sebagian besar ilmu-ilmu al-Qur’an tersebut bersumber dari hadis. Imam Malik ibn Anas, Imam al-Syafi’I dan Imam Ahmad Ibn Hanbal yang mendapat sebagai ulama hadis juga ulama fiqh memiliki pendapat yang berbeda tentang fungsi hadis sebagai al-bayan bagi al-Qur’an pada sisi jenis dan jumlahnya. Menurut Malik ada lima; bayan al-taqrir, bayan al-tafsir, bayan al-tafshil, bayan al- basth, bayan al-tasyri’. Syafi’i ada enam; bayan al-tafshil, bayan al- takhshish, bayan al-ta’yin, bayan al-tasyri’, bayan al-naskh, bayan, bayan al-isyarah. Ahmad ada empat; bayan al-taqyid, bayan al- tafsir, bayan al-tsyari’ dan bayan al-takhshish.18
Dari pendapat yang beragam dimaksud, dapat dikerucutkan menjadi empat fungsi utama hadis sebagai al-bayan bagi al- Qur’an, yaitu tafshili, takhshish, ta’yin dan nasikh
1. Bayan al-Tafsili
Bayan al-tafshili adalah fungsi hadis untuk merinci apa yang terkandung dalam ayat al-Qur’an yang bersifat mujmal atau ringkas dan singkat seperti ayat-ayat al-Qur’an tentang sholat, dan puasa. Sholat dan puasa menjadi kewajiban setiap muslim yang sering disebutkan dalam al-Qur’an, namun bersifat konsep tanpa penjelasan rinci terkait tatacaranya. Hadis memberikan penjelasan lebih rinci terkait puasa dan sholat, sehingga hadis disebut memiliki fungsi bayan al-tafshili. Contoh hadis dengan fungsi bayan al-tafshili adalah hadis tentang tata cara sholat dan puasa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahih al-Bukhari, masing-masing sebagai berikiut.