A. Pendahuluan
K
etika ummat Islam kekinian banyak menyerukan‘hijrah”, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah atau al- hadits dalam segala aspek kehidupan. Hal ini dilandaskan pada cara berpikir bahwa keduanya merupakan wahyu dari Allah dan dipraktekkan langsung oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
Pertanyaannya, mana yang kita maksud dengan al-Qur’an dan Hadis sebagai wahyu Allah itu?. Ulama dalam ulum al-Qur’an sepakat menjadikan mushaf utmani, hasil kodifikasi al-Qur’an pada masa Sahabat, sebagai ontologi kajiannya secara final, sehingga al-Qur’an disepakati bersifat qath’iy al-wurud.
Ulama ulum al-Hadis, sekalipun tidak bersepakat, namun ontologinya berkutat pada sanad dan matan. Sebab, hingga kini, yang disebut sebagai hadis adalah yang memenuhi struktur
pokok berupa sanad dan matan. Tidak dinyatakan sebagai hadis, kalau hanya terdiri dari salah satunya; sanad atau matan, saja.
Lantas, dimana kita menjumpai hadis, dalam maknanya lengkap dengan sanad dan matan, secara utuh sebagaimana mushhaf utsmani untuk al-Qur’an? Jawaban terhadap pertanyaan ini tentu beragam di kalangan ummat Islam, terutama antara Sunni dan Syi’ah.
Di kalangan Sunni, dokumen hasil kodifikasi hadis dari sejak diperbolehkannya, secara resmi, oleh khalifah Umar ibn Abdul Aziz, di penghujung abad pertama Hijriah, yang masih dapat dijumpai adalah produk ulama generasi pertengahan abad kedua Hijriah (atba’ al-tabi’in), seperti karya Imam Malik berupa al-muwaththa’ dan karya Imam Ahmad berupa Musnad, dan karya-karya monumental para ulama di abad III Hijriah.
Akhirnya, oleh ulama, di kalangan Sunni, ada sembilan kitab hasil kodifikasi hadis (al-kutub al-tis’ah) disepkati sebagai sumber rujukan dalam kajian hadis sekaligus sebagai kitab hadis itu sendiri. Kesepakatan ulama ini bersifat praktek pemanfaatannya (ijma’ ‘amaly), bukan dalam bentuk ijma’ qawly. Dengan demikian, kajian hadis kekinian terfokus pada hadis yang terdapat dalam al-kutub al-tis’ah.
Kajian hadis dari sisi ontologinya mencakup dua objek kajian, yaitu sanad dan matan. Aisyah ra sudah mencontohkan pentingnya kritik sanad dan matan hadis, sebagaimana kritiknya terhadap matan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Kerja kritik sanad dan matan hadis terus berkembang hingga kini, dengan memanfaatkan perkembangan pada sisi epistimologi hadis berupa teori (kaidah-kaidah) dan metodologi kajian hadis yang bertumpu pada sanad dan matan. Perkembangan kajian hadis dari sisi ontologi dan epistimologi dimaksudkan agar sisi aksiologi hadis sebagai sumber doktrin dan sekaligus hujjah kedua setelah al-Qur’an, lebih valid, lebih sahih, dan lebih update dengan perkembangan kontemporer.
Mengkaji hasil kajian ulama terhadap hadis berdasarkan sanadnya menjadi mutawatir, masyhur, ahad, sohih, hasan dan dhoif, setidaknya dapat menggugah sekaligus menambah pengetahuan dan wawasan tentang (1) kesungguhan para ulama dalam menjaga otentisitas hadis, karena fungsinya sebagai sumber kedua doktrin Islam setelah al-Qur’an, (2) sikap dan budaya ilmiah para ulama dalam bidang kajian hadis yang dilandasi semangat toleran, bijaksana, dan adil dan setara dalam memperlakukan para rowi tanpa perbedaan suku, mazhab, dan gender, (3) mengembangkan aspek teori dan metodologi dalam kajian hadis guna mewujudkan hadis sebagai sumber doktrin Islam yang rahmatan li al-alamin.
B. Pembagian Hadis Berbasis Sanad
Kajian hadis berbasis sanad oleh para ulama telah menghasilkan beragam jenis dan tingkat validitasnya. Secara umum kajian ulama dalam bidang sanad dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kajian berbasis pada kuantitas (jumlah) periwayat dalam sanad, dan kajian berbasis kualitas periwayat dalam sanad.
1. Pembagian Hadis Berdasar Kuantitas Sanad
Hasil kajian para ulama terhadap hadis berbasis pada kuantitas atau jumlah periwayat dalam sanad, secara umum dikelompoknya menjadi dua kategori hadis, yaitu hadis mutawatir, dan hadis ahad. Masing-masing kategori juga memiliki klasifikasi sendiri-sendiri.
a. Hadis Mutawatir
1. Definisi Hadis Mutawatir
Secara sederhana, Fatchur Rahman menjelaskan hadis disebut mutawatir sebagai berikut.
“Karena rawi terakhir yang mendewankan hadis secara resmi ke dalam dewan hadis itu, tidak hidup sezaman dengan Rasulullah s.a.w., maka barang tentu hadis Rasulullah yang sampai/kepadanya untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber pemberita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu hadis itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi Tabi’in yang menerima hadis dari rawi- rawi generasi pertama (Sahabat) juga banyak jumlahnya dan tabi’in-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in-pun seimbang jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama, sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadis, maka hadis tersebut dinamakan hadis mutawatir.116
Penjelasan Fatchur tentang hadis mutawatir, dapat ditarik satu definisi dalam kalimat ringkas sebagai berikut;
ُةَلا َحِا ِةَداَعْلا ِف ُبِ َي ٌّم َج ٌد َدَع ُهاَوَر ٍسْو ُسْ َم ٌ َبر َخ َوُه . َبِذ َكْلا َلىَع ْمِهِئ ُطا َوَت َو ْمِهِع َمِت ْجِإ
Artinya, hadis mutawatir adalah suatu hadis hasil tangkapan panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
2. Kriteria Hadis Mutawatir
Dengan memperhatikan definisi tersebut di atas, maka suatu hadis, baru dapat dikatakan mutawatir, bila telah memenuhi kriteria di bawah ini:
a. Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tangkapan panca indera. Yakni warta
116Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT. Alma’arif, 1995), 59.
yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Kalau pewartaan itu hasil pemikiran semata-mata atau hasil rangkuman dari suatu peristiwa yang lain atau hasil istinbath dari suatu dalil dengan dalil yang lain, bukan berita mutawatir. Misalnya, pewartaan yang banyak tentang kebaharuan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baharu (yang diciptakan oleh pencipta). Oleh karena alam semesta ini bisa rusak, sudah barang tentu ia benda baharu. Demikian juga pewartaan para ahli filsafat tentang keesaan Tuhan menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita mutawatir.117
b. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat dalam kebohongan. Para ulama berbeda-beda pendapatnya tentang batasan yang diperlukan untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta:
1. Abu At-Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, karena diqiyaskan dengan banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk memberi vonis kepada terdakwa.
2. Ashhabu Asy-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, karena mengqiyaskannya dengan jumlah para Nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
3. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah dalam Surah Al-Anfaal ayat 65, tentang sugesti Tuhan kepada orang mukmin yang tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu
117Ahmad bin ‘Aly bin Hajar al-Asqalaniy, Syarah an-Nukhbah Nuzhah an-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr fî Mushthalah ahl al-Atsar, (Damaskus:
Matba’ah al-Shabah: 1993), 29-30.
mengalahkan orang kafir yang sejumlah lebih banyak, yaitu 200 orang.
ْم ُكْنِم ْن ُكَي ْنِإ ِلاَتِقْلا َلىَع َينِنِم ْؤُْلما ِض ِّر َح ُّهيِبَّنلا اَ ُّهيَأ اَي
ِ ْينَتَئاِم اوُبِلْغَي َنوُرِبا َص َنو ُ ْشِع
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”.
4. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang, karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah dalam surat al- anfaal, ayat 64 sebagai berikut:
)64( َينِنِم ْؤُْلما َنِم َكَعَبَّتا ِنَمَو ُللها َكُب ْس َح ُّهيِبَّنلا اَ ُّهيَأ اَي
“Ya Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang Mu’min yang mengikutimu (menjadi penolongmu)”.
Jumlah orang mukmin pada waktu turunnya ayat ini baru 40 orang. Angka 40 merupakan jumlah minimal untuk dijadikan penolong-penolong yang setia dalam mencapai suatu tujuan, sehingga di kalangan syafi’iyyah diberlakukan angka 40 sebagai syarat diperbolehkannya pelaksanaan sholat jum’at.
Jumlah rawi-rawi sebagaimana yang telah mereka tentukan batas minimal dan maksimalnya itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat, karena alasan yang mereka kemukakan untuk mempertahankan pendapatnya adalah lemah serta menyimpang dari inti pokok persoalan. Sebab persoalan prinsip yang dijadikan ukuran dalam menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah rawi-rawi tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur kepada tercapainya ilmu
adh-dharuri. Walaupun jumlah rawi-rawi itu tidak banyak, selama dapat memberi kesan bahwa berita yang mereka sampaikan itu benar-benar meyakinkan, maka hadis itu sudah dapat dimasukkan hadis mutawatir.118
5. Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadis diriwayatkan oleh sepuluh Sahabat, umpamanya, kemudian diterima oleh lima orang Tabi’i dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang Tabi’ at-Tabi’in, bukan hadis mutawatir.
Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.119
Karena ketatnya syarat bagi hadis dmasukkan sebagai hadis mutawatir, maka sebagian ulama seperti Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menganggap bahwa hadis mutawatir itu tidak mungkin terdapat. Ibnu Ash-Shalah berpendapat, bahwa hadis mutawatir itu memang ada, hanya jumlahnya terlalu kecil. Kedua pendapat tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Hajar, disebabkan kekurangan mereka dalam menelaah jalan- jalan hadis, kelakuan dan sifat-sifat para rawinya yang dapat memustahilkan bersepakat bohong.
Menurut Ibn Hajar, hadis mutawatir itu banyak kita dapati dalam kitab-kitab yang masyhur. Bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis mutawatir, seperti:
Al-Azhar Al-Mutanãtsirah fî Al-Akhbari Al-Mutawatirah
1. ,
karya As-Suyuthi (911 H). Dalam kitab itu disusunnya menurut bab demi bab dan setiap hadis diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya.
118Ibid., 38.
119Rahman, Ikhtisar…, 61.
Kemudian kitab tersebut diringkas dengan diberi nama:
Qathfu al-Azhar
2. .
Nadhmu Al-Mutanatsir min Hadis Al-Mutawatir
3. , karya
Muhammad ‘Abdullah bin Ja’far Al-Kattani (1345 H).
3. Klasifikasi Hadis Mutawatir
Para ahli ushul membagi hadis mutawatir kepada dua bagian; Mutawatir Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi.
a. Hadis Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzihi ialah Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang susunan redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dengan lainnya. Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi, adalah hadis tentang larangan berbohang atau berdusta, yang matannya berbunyi sebagai berikut;
ِراَّنلا َنِم ُه َدَعْقَم ْأ َّوَبَتَيْلَف ا ًدِّمَعَتُم َّ َليَع َب َذَك ْنَم
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, matan hadis ini diriwayatkan oleh 40 orang Sahabat, dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang Sahabat dengan susunan redaksi makna yang sama.120 Proses periwayatan hadis dengan jumlah rowi dalam sanadnya dapat dilihat dalam bagan berikut;
Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi, adalah hadis tentang larangan berbohang atau berdusta:
120Jalal al Din Abd al Rahman bin Abi Bakar -Suyuthiy, Juz ke 2, Tadrib al-Râwiy fi syarah taqrib al nawawiy (Baerut.Dar al Fikr: t.th), 177.
b. Hadis Mutawatir Ma’nawi,
Hadis mutawatir ma’nawi ialah hadis mutawatir yang rawi-rawinya memiliki perbedaa dalam menyusun redaksi pemberitaan, tetapi berita yang berlain-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada prinsipnya. Dengan istilah lain:
ِبِذ َكْلا َلىَع ْمُهُئ ُطاَوَت ًةَداَع ُلْي ِحَت ْسَي ٌةَعاَ َجم َلُقْنَت ْنَأ َوُه
ُر ْدَقْلا َكِلَذ ُرَتا َوَتَي ٍرمَأ ِف ْتَكَ َت ْشِإ ًةَفِلَتْ ُم َعِئاَق َو . ُكَ َت ْشُْلما
“Ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat kebiasaan mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda- beda, tetapi bertemu pada titik persamaan”.
Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim tentang mengangkat tangan di kala berdo’a:
ِهْيَطْبِا ُضاَيَب َيِؤُر ىَّت َح ِهْيَدَي َمَّل َس َو ِهْيَلَع ُللها َّلى َص َعَفَر اَم )هيلع قفتم( .ِءاَق ْسِت ْسِ ْلاا ِفي َّلاِا ِهِئاَعُد ْنِم ٍء ْ َش ِفي
“Konon Nabi Muhammad SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam do’a-do’a beliau, selain dalam do’a shalat Istisqa.
Dan beliau mengangkat tangannya, hingga nampak putih-putih kedua ketiaknya”. (Riwayat Bukhari – Muslim)
Hadis yang seperti jumlahnya tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad, Al-Hakim dan Abu Dawud, yang berbunyi:
.ِهْيَبِكْنَم َو ْذ َح ِهْي َدَي ُعَفْرَي َناَك
“Rasulullah SAW mengangkat kedua tangan, sejajar dengan kedua pundak beliau”.
Kendatipun hadis-hadis tersebut berbeda redaksinya, namun karena mempunyai kadar musytarak (titik persamaan) yang sama, yakni beliau mengangkat tangan di kala berdo’a, sehingga disebut Hadis Mutawatir Ma’nawi.121
Hadis Mutawatir, itu memberi faidah ilmu adh-dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya bulat-bulat. Sesuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti). Rawi-rawi hadis mutawatir, tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabithannya (kuatnya ingatan), karena kuantitas rawi-rawinya sudah menjamin keterbebasan mereka dari persepakatan dusta. Oleh karena itu kita yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sebagai mana yang diberitakan oleh rawi-rawi mutawatir.
121Rahman, Ikhtisar…, 64.
Skema Pembagian Hadis
c. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir disebut Hadis Ahad. Ulama muhadditsin menta’rifk hadis ahad sebagai berikut:
.ِرُتا َوَّلا َلىِإ ىِهَتْنَي َلا اَم َوُه
“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”.
2. Klasifikasi Hadis Ahad
Jumlah perawi dalam thabaqat (tingkatan) pertama, kedua atau ketiga dan seterusnya pada hadis ahad itu, mungkin ada yang terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau hanya seorang. Maka mengingat dari banyak atau sedikitnya perawi yang berada pada setiap tingkatan sebagaimana dijelaskan di atas para muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis ahad, yaitu; Hadis Masyhur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.
a. Hadis Masyhur
Yang dimaksud dengan Hadis Masyhur, ialah:
.ِرُتا َوَّتلا َة َجَرَد ْل ِصَي ْ َلم َو َرَثْكَأَف ُةَثَلاَّثلا ُها َوَر اَم
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir”.
Menurut Ulama fiqh, Hadis Masyhur itu adalah muradif dengan Hadis Mustafidh. Sedang Ulama yang lain membedakannya.
Yakni, suatu hadis dikatakan dengan mustafidh bila jumlah rawi- rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir. Sedang hadis masyhur lebih umum daripada hadis mustafidh. Yakni jumlah rawi-rawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam hadis masyhur, bisa terjadi jumlah perawinya dalam thabaqah pertama, Sahabat, thabaqah kedua, Tabi’in, thabaqah ketiga, Tabi’ at-Tabi’in, dan thabaqah keempat, orang-orang setelah Tabi’ at-Tabi’in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah kelima dan seterusnya banyak sekali.122
Misalnya hadis masyhur yang ditakhrij oleh Bukhari- Muslim dari Sahabat Ibnu ‘Umar r.a.:
122Ibn Hajar, Syarah an-Nukhbah…, 43.
ُل َمْعَ ْلا َمَّنِإ : َمَّل َس َو ِهْيَلَع ُللها ّىلى َص ِللها ُلْو ُسَر َلاَق ى َوَن اَم ٍئِرْما ِّل ُكِل َمَّنِإ َو ِتاَّيِّنلاِب
Artinya; Rasululah SAW bersabda; sesunggunya amal perbuatan itu harus dengan niatnya, dan sesungguhnya amal perbuatan seseoarng tergantung pada niatnya.
Hadis tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh Sahabat ‘Umar sendiri, pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah sendiri, pada thabaqah ketiga hanya diriwayatkan oleh Ibnu Ibrahim At-Taimi sendiri dan pada thabaqah keempat hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id sendiri. Dari Yahya bin Sa’id inilah hadis tersebut diriwayatkan oleh orang banyak. Ditinjau dari segi klasifikasi hadis ahad yang lain, maka hadis ‘Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan Hadis Gharib pada awalnya, masyhur pada akhirnya.123 Kondisi sanad dan jumlah rowinya hadis ini dapat dapat dilihat dalam bagan berikut.
123Rahman, Ihtishar…,, 68.
Macam-macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang diterapkan pada suatu hadis, kadang- kadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi-rawi yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu hadis yang mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai. Dengan demikian ada suatu hadis yang rawi-rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada hadis yang tidak berasal (bersanad) sama sekalipun dapat dikatakan sebagai hadis masyhur.
Dari segi ini, maka hadis masyhur itu terbagi menjadi:
Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan 1.
Ulama ahli ilmu dan orang umum).
Masyhur di kalangan ahli ilmu-ilmu tertentu misalnya hanya 2.
masyhur di kalangan ahli hadis saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.
3. 124
Contoh hadis masyhur pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan Bukhari sebagai berikut;
ِهِدَي َو ِهِنا َسِل ْنِم َنْوُمِل ْسُْلما َمِل َس ْنَم ُمِل ْسُْلما
124Ibn Hajar, Syarah an-Nukhbah…, 44.
Contoh hadis masyhur yang pertama:
Di samping kedua Imam Hadis, yaitu Bukhari dan Muslim, para Imam Hadis, seperti: Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’i, Imam At-Turmudzi dan Imam Ad-Darimi juga mentakhrijkan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda-beda dalam kitab sunan mereka.
Bukan saja para muhadditsin sebagaimana dikemukakan di atas, akan tetapi para Ulama ahli tashawuf, ahli fiqhi, ahli akhlaq dan bahkan orang umum sekalipun memasyhurkan hadis tersebut.
Contoh hadis masyhur yang kedua, misalnya yang hanya masyhur pada kalangan muhadditsin saja, seperti hadis Muttafaq
‘Alaih yang diriwayatkan oleh sahabat Anas r.a., ujarnya:
Kalau hadis tersebut kita ambil menurut pentakhrijan Imam Bukhari (nomor I), maka Imam Bukhari menerima Hadis tersebut melalui sanad-sanad: Ahmad bin Yunus, Zaidah, Sulaiman At-Taimi, Abi Mijlaz dan sahabat Anas bin Malik r.a..
Sahabat Anas bin Malik r.a. tidak hanya meriwayatkan hadis itu kepada Abi Mijlaz saja. Beliau juga meriwayatkan hadis itu kepada rawi-rawi tabi’in yang lain, yaitu Musa bin Anas dan Qatadah. Sulaiman At-Taimi yang menerima hadis dari Abi Mijlaz, meriwayatkan hadis itu tidak hanya kepada Zaidah sendiri, tetapi juga meriwayatkannya kepada Abu Kuraib,
‘Ubaidillah dan Ishaq, yang ketiga orang ini adalah dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim, di antara sanad-sanad beliau yang lain.
Musa bin Anas dan Qatadah yang masing-masing menerima hadis dari Anas bin Malik r.a. meriwayatkan kepada Syu’bah,
dan Syu’bah mewedarkan kepada Aswad bin ‘Amir. Selanjutnya Aswad bin ‘Amir mewedarkan kepada ‘Amr An-Naqid untuk diteruskan kepada Imam Muslim. (Periksa dalam bagan tersebut di atas, nomor: II). Ulama-ulama selain ahli hadis, tidak banyak yang memasyhurkan hadis tersebut. Oleh karena hadis itu hanya masyhur di kalangan muhadditsin saja.
Contoh hadis yang masyhur di kalangan ulama fiqh saja, seperti:
.ِد ِج ْسَْلما ِفي َّلاِإ ِد ِج ْسَْلما ِراَ ِلج َة َلا َص َلا
“Tidak sah bersembahyang bagi orang yang berdekatan dengan masjid selain bersembahyang di dalam masjid”.
Para muhadditsin tidak banyak meriwayatkan hadis ini, bahkan para hafizh men-dha’if-kannya. Biarpun demikian keadaannya, para fuqaha tetap memasyhurkannya.
Contoh hadis masyhur yang hanya masyhur di kalangan para ahli ushul saja, seperti sabda Rasulullah s.a.w.:
.ِهْيَلَع اْوُهِركُت ْسا اَم َو ُناَي ْسِّنلا َو ُء َطَ ْلخا يِتَّمُأ ْنَع َعِفُر
“Terangkat (dosa) dari ummatku, kekeliruan, lupa dan perbuatan mereka yang mereka kerjakan karena terpaksa”.
Ibnu Hibban dan sebagian Ulama hadis yang lain men-shahih-kan hadis tersebut dengan mengadakan sedikit perubahan redaksinya, yakni: “Innallãha wadha’a ‘alã ummatî...
dan seterusnya”. Para muhadditsin yang meriwayatkan hadis itu tidak sebanyak para ushuliyyin, yang boleh dikatakan hampir semuanya menukilnya dalam kitab-kitab mereka, yang dikemukakan sebagai dasar hukum (dalil) untuk menetapkan gugurnya dosa seorang mukallaf yang meninggalkan kewajiban karena keliru, lupa atau terpaksa.
Contoh hadis masyhur yang ketiga, yakni yang hanya masyhur di kalangan orang awam saja, seperti dua hadis berikut:
. ٍس َرَف َلىَع َءا َج ْنِإ َو ٌّق َح ِلِئا َّسلِل
“Bagi si peminta-minta itu ada hak, walaupun datang dengan kuda”.
. ْم ُكِم ْو ُص ُم ْوَي ْمُكِر ْحَن ُم ْوَي
“Hari raya kurbanmu itu adalah hari puasamu sekalian”.
Kedua hadis di atas menurut Imam Ahmad bin Hanbal sangat tersiar di kalangan orang-orang awam dan tidak mempunyai dasar di dalam mencari i’tibarnya (menetapkan mutabi’ atau syahidnya suatu hadis yang diduga gharib).
Sebagian Ulama mengatakan bahwa pendapat yang demikian itu tidak benar kalau dikatakan berasal dari Imam Ahmad. Hadis yang pertama (lis-saili haqqun......) bersumber dari Al-Husain bin ‘Ali dan ayahnya dari Ibnu ‘Abbas dan Al- Harmas bin Ziyad radhiallahu ‘anhum dengan sanad-sanad yang sebagiannya adalah jayyid. Dan Abu Dawud tidak memberikan komentar sedikitpun terhadap hadis itu.
Demikian juga hadis:
.ِةَماَيِقْلا َم ْوَي ُهُم ْص َخ اَنَاَف اَيِّمِذ ىَذآ ْنَم
“Barangsiapa menyakiti orang Dzimmi, maka sayalah lawannya nanti pada hari kiamat”.
Menurut Imam Ahmad tidak mempunyai dasar untuk mencari i’tibarnya. Hadis ini juga didapatkan periwayatan yang
serupa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, tetapi Abu Dawud juga diam, tidak memberikan penilaiannya.125
b. Hadis Aziz Hadis ‘Aziz itu ialah:
َدْعَب ُها َوَر َّمُث ،ٍة َدِحا َو ٍةَقَب َط ِفي َناَك ْوَل َو ِناَنْثِا ُها َوَر اَم . ٌةَعاَ َجم َكِلَذ
“Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang meriwayatkannya”.
Berdasarkan pada pengertian di atas, yang dikatakan hadis
‘aziz itu, bukan saja yang hanya diriwayatkan oleh dua orang perawi pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir harus terdiri dari dua orang, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian muhadditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqah (tingkatan) saja, didapati dua orang perawi, sudah bisa dikatakan hadis ‘aziz.
Dengan demikian, hadis ‘aziz itu dapat serupa dengan hadis masyhur, bila umpamanya, ada suatu hadis yang jumlah perawinya pada salah satu thabaqah terdiri dari dua orang, sedang pada thabaqah yang lain, terdiri dari rawi-rawi yang banyak jumlahnya.
Misalnya hadis yang ditakhrijkan Bukhari-Muslim dari sahabat Anas r.a., ujarnya:
125Ibid., 70-74.