• Tidak ada hasil yang ditemukan

ليِو ْ

Dalam dokumen KONTEMPORER - Repository IAIN Bengkulu (Halaman 96-102)

Lahirnya KHI sebagai salah satu produk hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia sesungguhnya merupakan bukti masih terbukanya peluang pembaruan hukum Islam sekaligus sebagai prestasi umat Islam Indonesia untuk menerjemahkan hukum agamanya dalam tataran praktis.

Lebih lanjut, KHI adalah bagian dari fiqh taqnîn yang mempunyai karakteristik khas Indonesia karena penyusunan materi-materi hukumnya mempertimbangkan kebutuhan umat Islam Indonesia, sehingga tak heran kalau pesan-pesan pembaruan yang ada dalam materi KHI tersebut sangat jelas terasa.

Tantangan

Di dalam Islam, kebebasan manusia dalam berpikir, berkehendak, dan berbuat tidaklah lahir dari proses sejarah—sebagaimana yang terjadi di dunia Barat, tapi kebebasan itu berpangkal dari inti ajaran Islam sendiri.

Dengan prinsip tauhid “lâ Ilâha illa Allah Swt” telah memantapkan keyakinan umat Islam bahwa tidak ada keterikatan kepada siapa pun dan kekuasaan apa pun kecuali hanya kepada Allah Swt. Inilah yang menjadi nilai tertinggi kebebasan manusia dalam Islam. Kalaupun ada keterikatan kepada Rasul dan uli al-amr dalam bentuk ketaatan, hal itu adalah dalam rangka keterikatan kepada Allah Swt terhadap firman-Nya:

ِرْم َ ْ

Al-Qur’ân dan al-Sunnah, selain membimbing dan mengarahkan manusia agar menggunakan akalnya untuk berpikir, merenung, mengamati segala kejadian di bumi, langit dan di dalam dirinya sendiri, juga memotivasi manusia agar berusaha meneliti dan membandingkannya. Dengan bimbingan dan pengarahan seperti itu, tidak heran jika sejarah mencatat dengan tinta emas nama-nama tokoh dunia ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, al-Biruni, Ibnu Haitsam, Jabir ibn Hayyan, Ibnu Khaldun, dan 5 tokoh-tokoh mazhab fiqh yang terkenal luas: 4 mazhab di dunia Sunni dan 1 mazhab di dunia Syi`ah. Dari kalangan Sunni yaitu Abu Hanifah (w.767) di Kufah, Malik ibn Anas (w.795) di Madinah, Muhammad ibn Idris al-Syafi`i (w.820) dan Ahmad ibn Hanbal (w.855) dari Baghdad. Sementara dari kalangan Syi`ah yaitu Imam Ja`far Shadiq (w.763).82 Mereka semua memenuhi lembaran sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia.

Sebagaimana akal diberi kedudukan penting dalam ajaran Islam, begitu pula dengan ilmu pengetahuan. Akal merupakan basis taklîf dan sebagai salah satu dari lima basis kemaslahatan manusia (al-kulliyyât al-khams).

Namun fungsi akal, tidak sama dengan fungsi agama, walaupun keduanya merupakan komponen hidayah Allah Swt yang melengkapi eksistensi manusia.

Pada abad 21 yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tak jarang menjadikan seseorang bangga jika menyandang predikat rasionalis atau reformis, tapi disayangkan karena terkadang tidak sedikit di antaranya yang tercerabut dari akar sejarah kedua kata tersebut. Kalau diteliti lebih lanjut, ternyata embrio rasionalis bisa tampak jelas dengan adanya kelompok rasionalis dalam sejarah Islam, baik pada bidang fiqh (ahlu al-ra’yi), teologi (Mu`tazilah), maupun filsafat. Ketiga kelompok tersebut sama-sama memfungsikan akal untuk melakukan kegiatan berpikir dan menalar. Namun karena bidang garapannya berbeda, maka masing-masing kelompok memiliki ciri khas tertentu dalam mengembangkan metodenya.

82 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), Cet. ke-1, h. 129

Metode penalaran teologi di kalangan mutakallimîn yang dikembangkan adalah metode nazhar, yang wujud, sifat, dan sasarannya tertentu di bidang aqidah tauhid, alam gaib, rasul dan wahyu yang merupakan sendi- sendi keimanan untuk menjauhkan keraguan yang sewaktu-waktu bisa menggoda pikiran manusia. Metode penalaran filsafat pada dasarnya sama dengan teologi, hanya sasarannya berbeda. Sementara metode penalaran hukum di kalangan fuqahâ’ dikenal dengan ijtihad. Sasarannya adalah merumuskan diktum-diktum hukum yang menyangkut tata tertib kehidupan beribadah dan bermuamalah.

Mu`tazilah adalah salah satu kelompok mutakallimîn yang dikenal sangat rasionalis dengan mengandalkan logika berpikirnya, telah berjasa membela dan mempertahankan akidah Islam dari penyusupan akidah Yahudi dan Nasrani yang berbaju filsafat, serta dari pengaruh filsafat Yunani terutama menyangkut masalah metafisika. Kelompok mutakallimîn lainnya seperti Asy`ariyah dan Maturidiyah, berupaya mengevaluasi dan menormalisasi ajaran Mu`tazilah yang dalam praktiknya pada zaman khalifah al-Makmun telah menimbulkan ekses negatif dengan kecendrungan masyarakat, khususnya khalifah al-Makmun yang menjadikan ajaran Mu`tazilah sebagai satu-satunya doktrin akidah yang sah dengan memaksakan kehendaknya tersebut melalui kekuasaannya. Namun harus diakui, bahwa para mutakallimîn dan para ahli filsafat di kalangan umat Islam tersebut telah berperan besar mendorong cara berpikir bebas, yang dampaknya sangat positif bagi laju perkembangan ilmu pengetahuan di zaman Abbasiyah dan sangat dikagumi oleh dunia Barat.

Produk nazhar di atas, pada abad kedua dan ketiga Hijriah telah melahirkan dan mengembangkan banyak ilmu pengetahuan dalam dunia Islam, baik di bidang ilmu umum maupun ilmu agama. Ilmu umum yang bersifat teoretis seperti bidang fisika meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran, dan psikologi; bidang matematika meliputi aritmatika, geometri, aljabar, musik, dan astronomi; bidang metafisika meliputi ontologi, teologi, kosmologi, antropologi, dan eskatologi. Sementara ilmu umum yang bersifat praktis seperti etika, ekonomi, dan politik.83 Sejalan dengan itu, produk ijtihad juga telah melahirkan dan mengembangkan

83 Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, h. ii

ilmu Fiqh, Ushûl al-Fiqh, Jadal, dan ilmu-ilmu pembantunya seperti Nahw, Sharf, Balâghah, `Ulûm al-Qur’ân, dan `Ulûm al-Hadîts. Ilmu fiqh sebagai produk utama ijtihad, pada abad ketiga tersebut telah melampaui dua periode sebelumnya, yaitu periode tasyrî` pada masa Nabi saw dan periode tadwîn (registrasi dan kodifikasi). Periode ketiga dalam perkembangan Fiqh tersebut dikenal dengan periode tahdzîb ’penataan’

yang ditandai dengan mapannya mazhab-mazhab, tegaknya fiqh menjadi suatu disiplin ilmu yang utuh dan berdiri sendiri dengan formulasi baru dan sistematika ilmiah dengan komposisi empat rub` terdiri atas ibâdah, mu`âmalah, munâkahât, dan jinâyah.84

Dalam perkembangan berikutnya, munculnya ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh ulah para penguasa saat itu, ditambah lagi dengan tekanan dari luar Islam, maka semangat ijtihad semakin lama semakin luntur. Dalam praktiknya, istihsan dan istishlah yang merupakan salah satu metode ijtihad yang telah digali dan ditemukan para ulama sebelumnya, telah diselewengkan dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab untuk mengubah dan melanggar nash agama dengan mengatasnamakan ijtihad, demi kepentingan pribadi ataupun atas perintah sultan dan raja. Keadaan yang demikian parah ini, di samping alasan-alasan lainnya, telah menimbulkan keprihatinan para fuqahâ’ saat itu, sehingga mendorong mereka sekitar abad keempat Hijriah untuk mengeluarkan fatwa ditutupnya pintu ijtihad dan mengembalikan semua hukum agama ke dalam lingkungan ijtihad mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi`i, Hanbali).85

Meskipun demikian, tidak semua kelompok kaum Muslimin menyetujui penutupan pintu ijtihad tersebut. Para pengikut mazhab Hanbali misalnya, mereka tidak dapat membenarkan kosongnya suatu masa dari seorang mujtahid sebab harus selalu ada orang yang mampu menyimpulkan hukum berkenaan dengan peristiwa-peristiwa yang baru terjadi. Begitu

84 Empat rub` fiqh tersebut berdasar pada kecenderungan potensi-potensi manusia, seperti potensi berpikir (quwwah nuthqiyyah) yang melahirkan bidang `ibâdah; potensi nafsu perut (quwwah syahwiyyah buthûniyyah) yang melahirkan bidang mu`âmalah; potensi nafsu kemaluan (quwwah syahwiyyah farjiyyah) yang melahirkan bidang munâkahat; dan potensi marah (quwwah ghadhabiyyah) yang melahirkan bidang jinâyah. Lihat Abu Bakr Muhammad Syatha al-Dimyathi, I`ânat al-Thâlibîn (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.).

85 Muhammad al-Baqir, “Otoritas dan Ruang Lingkup Ijtihad”, dalam Jalaluddin Rahmat, (ed.), Ijtihad Dalam Sorotan, h. 157

pula kelompok Zaidiyah dan Imamiyah dari kalangan Syi`ah yang tetap mewajibkan para ulama mereka untuk berijtihad sesuai dengan pendirian mereka tentang hal ini.86

Sementara para pengikut mazhab Zhahiri dalam hal ini memiliki sikap agak ekstrem. Mazhab ini mewajibkan ijtihad bukan saja atas para ulama yang memenuhi persyaratan untuk berijtihad, tetapi juga kepada setiap orang dari kalangan awam sekalipun. Ijtihad kaum awam ini tentu hanya sebatas kemampuan masing-masing, yaitu paling sedikit harus mengetahui dalil- dalil sumber pengambilan hukum dari mereka yang memfatwakannya.87 Sikap para pengikut mazhab Zhahiri tampaknya cukup menarik bagi sebagian orang, paling tidak semangat egalitarianismenya tidak sedikit diikuti orang belakangan, baik disadari atau tidak. Karena itu, terlihat orang-orang yang tidak seharusnya ikut berbicara tentang ijtihad disebabkan tidak memenuhi syarat atau bukan bidangnya—ambil bagian menyoroti masalah ijtihad, bahkan terkadang masuk terlalu jauh ke arena istinbâth hukum. Dampaknya sebagaimana bisa diperkirakan, timbulnya ekses negatif. Anarki akan muncul yang berakibat kurang menguntungkan bagi kemantapan proses ijtihad dalam rangka merumuskan hukum-hukum yang lebih membawa pada kemaslahatan masyarakat tanpa menyalahi nash.

Sehubungan dengan sikap yang tidak wajar dan tidak pada proporsinya sebagaimana dijelaskan di atas, menurut al-Bayanuni ada 2 hal yang menstimulasinya.88

1. Sikap fanatik. Sikap fanatik terhadap suatu mazhab fiqh dalam masalah-masalah khilâfiah. Anggapan bahwa pendapat mazhabnyalah yang paling benar dan yang lain salah yang dapat menimbulkan pertikaian, perpecahan, bahkan menimbulkan rasa dengki. Termasuk dalam sikap fanatik ialah anggapan bahwa mazhabnya lebih unggul dari mazhab lainnya, sehingga terdorong untuk membuat hadîts palsu untuk dapat mengangkat derajat imamnya, atau hadîts palsu

86 Muhammad al-Baqir, “Otoritas dan Ruang Lingkup Ijtihad”, h. 158

87 Muhammad Abû Zahrah, Târikh al-Madzahib al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-`Arabiy, 1987), h,. 303

88 Lihat Al-Bayanuni, Dirâsat fi al-Ikhtilâfat al-Fiqhiyah, h. 125-128

melemahkan dan merendahkan mazhab atau imam lainnya. Hal tercela ini lebih dominan karena kebodohan dan sikap fanatik yang terlalu berlebihan.

2. Sikap ekstrem. Sikap ekstrem terhadap masalah khilâfiah menganggap bahwa perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ilmiah merupakan perbedaan dalam agama dan dianggap sebagai perpecahan umat Islam menjadi sekte-sekte yang dimurkai Allah Swt dan dibenci Rasul-Nya, serta diancam dengan azab. Sebagai dalil, mereka menuturkan ayat- ayat al-Qur’ân yang mencela perpecahan dan mengancam dengan siksaan. Padahal tanpa disadari, mereka telah menempatkan ayat-ayat al-Qur’ân tidak pada proporsinya. Secara tidak langsung, berarti telah pula menodai para sahabat, tabiîn, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sebab mereka ternyata juga banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah hukum fiqh.

Di antara bagian dari sikap ekstrem ini ialah pendapat yang menganggap orang awam yang ber-taqlîd kepada salah satu imam mujtahid yang sudah dikenal bobot ilmiahnya, berarti meninggalkan al-Qur’ân dan al-Sunnah, dan diklaim hanya mengikuti dan beribadah berdasarkan “pendapat orang“

saja. Padahal muqallid tersebut hanyalah meninggalkan pemahaman terhadap nash berdasarkan (keterbatasan, red.) pemahaman orang tersebut dan memakai pemahaman imamnya dalam suatu masalah bukan berarti meninggalkan nash itu sendiri.

Termasuk dalam sikap ekstrem ialah perkataan yang menuduh dan mencederai kredibilitas ulama mazhab fiqh dan menghinanya di muka orang ramai (tanpa selektif melihat forumnya). Ini bisa dengan cara menyerang pendapat ulama mazhab yang lemah dan memunculkan kembali perkataan-perkataan yang mengandung kritik yang pernah terjadi di masa lalu tanpa menjelaskan atau tidak mengetahui konteksnya.

Tindakan seperti ini jelas dapat melemahkan kepercayaan terhadap mazhab yang ada dan dapat menggoyahkan keyakinan orang awan akan kapabilitas para imam. Padahal para imam mazhab tersebut sudah berijtihad secara sungguh-sungguh dengan ikhlas dan maksimal, dan mendapat jaminan pahala walau bagaimanapun hasilnya. Ini berdasarkan hadîts:

َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّللا َّل َص ِ َّللا َلوُسَر َعِمَس ُهَّن َ

Dalam dokumen KONTEMPORER - Repository IAIN Bengkulu (Halaman 96-102)