• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Bentuk Pembaruan

Dalam dokumen KONTEMPORER - Repository IAIN Bengkulu (Halaman 88-93)

54 )دواد وبأ هاور( اَهَنيِد اَهَل

D. Macam-macam Bentuk Pembaruan

Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, minimal dapat diketahui ada empat jenis produk hukum Islam, yaitu kitab-kitab fiqh, keputusan- keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri- negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama. 61

Kitab-kitab fiqh sebagai jenis produk hukum Islam sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam, di antara cirinya cenderung kebal terhadap perubahan karena revisi atas sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan seluruh isinya. Keputusan-keputusan pengadilan agama cenderung dinamis karena merupakan jawaban terhadap perkara-

61 Mohamad Atho Mudzhar, ”Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Pemikiran Hukum Islam”, dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), Cet. ke-1, h. 2

perkara nyata yang dihadapi masyarakat dan hanya mengikat bagi pihak- pihak yang berperkara. Peraturan perundang-undangan di negeri muslim masa berlakunya bisa terbatas ketika peraturan perundang-undangan itu dicabut atau diganti dengan peraturan-perundang-undangan yang baru, tetapi bersifat mengikat dan daya ikatnya lebih luas dalam masyarakat.

Begitu juga dengan fatwa-fatwa ulama yang cenderung bersifat dinamis karena merupakan respons dan jawaban terhadap pertanyaan peminta fatwa terkait dengan perkembangan baru yang sedang dihadapi.

Walaupun isinya belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya tersebut dapat disebut dinamis dan tidak mempunyai daya ikat terhadap peminta fatwa.62 Fatwa tersebut kiranya secara moral mengikat bagi pemberi fatwa karena merupakan bagian dari hasil ijtihad yang diyakini oleh pemberi fatwa dalam kapasitasnya sebagai mujtahid akan kebenaran pendapatnya.

Walaupun di kemudian hari tidak tertutup pula kemungkinan pemberi fatwa tersebut merevisi fatwa yang telah dikeluarkannya disebabkan bertambahnya pengetahuan dan berubahnya keadaan sosial budaya yang melingkupinya.

Oleh sebab itu, seiring dengan dinamika perkembangan zaman, maka upaya pembaruan hukum Islam adalah suatu keniscayaan sejarah. Menurut Noel J Coulson, upaya pembaruan hukum Islam tersebut dalam perspektif sejarah bisa terlihat dalam empat bentuk.63

1. Adanya pengodifikasian hukum Islam menjadi undang-undang, yaitu hukum yang sejenis dijadikan undang-undang negara, sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi warga negara serta memiliki sanksi hukum bagi yang melanggar.

2. Tidak terikatnya umat Islam pada satu mazhab tertentu, umat Islam bebas memilih pendapat mana yang dipegang dengan memakai prinsip takhayyur ’eklektisisme’.

3. Adanya upaya antisipasi tehadap perkembangan peristiwa hukum yang baru muncul dengan mencari berbagai alternatif hukum secara luas dan elastis menggunakan doktrin tathbîq ’penetapan hukum terhadap peristiwa baru’.

62 Mohamad Atho Mudzhar, ”Pengaruh Faktor Sosial Budaya...”, h. 3

63 Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (London: Edinburgh University Press, 1995), h. 184

4. Perubahan hukum dari yang lama ke yang baru, yaitu dengan reinterpretasi (makna teks) sesuai dengan perkembangan masyarakat yang bersifat dinamis.

Dalam konteks Indonesia, perjalanan hukum Islam telah mengalami proses dinamika yang cukup panjang, sejak masa kekuasaan raja-raja, masa kolonial, hingga pada masa sekarang. Dalam perjalanannya yang panjang itu, terlihat bahwa pada saat tertentu hukum Islam dapat bersenyawa dengan hukum adat. Terkadang pula dalam posisi pinggiran (periferal) dan pada saat yang lain berintegrasi dengan hukum-hukum kenegaraan.64 Dalam sejarah berlakunya hukum Islam di Indonesia, telah dikenal ada 5 teori. Pertama, teori Receptio in Complexu ’penerimaan hukum Islam sepenuhnya yaitu dengan memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam’ yang dikemukakan oleh Christian van den Berg (1845–1925).

Kedua, teori Receptie ’penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, yaitu hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat’ yang dikemukakan oleh Cornelis van Volenhoven dan Snouck Hurgronje (1874–1933). Ketiga, teori Receptie Exit ’hukum adat harus dikeluarkan, yaitu hukum adat tidak bisa diberlakukan pada umat Islam’

yang dikemukakan oleh Hazairin. Keempat, Receptie a Contrario ’hukum adat dapat diterima jika tidak bertentangan dengan hukum Islam’ yang dikemukakan oleh Sayuti Thalib. Kelima, Teori Eksistensi. Teori eksistensi adalah teori yang menjelaskan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia. Menurut teori ini, bentuk dan eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional adalah sebagai berikut. Pertama, ada dalam arti hukum Islam berada dalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya. Kedua, ada dalam arti kemandiriannya diakui berkekuatan hukum nasional dan sebagai hukum nasional. Ketiga, ada dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia. Keempat, ada dalam arti hukum Islam sebagai bahan utama dan unsur utama dari hukum nasional Indonesia.65 Dua

64 Mengenai sejarah singkat masuknya Islam dan pergumulan hukum Islam dengan hukum adat (budaya lokal), lihat Ratno Lukito, Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), h. 27-56

65 Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001), h. 111. Lihat juga A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), h. 153-161

teori pertama muncul pada masa sebelum Indonesia merdeka dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka.66

Dalam perjalanan sejarah yang panjang inilah lahir berbagai produk undang-undang (hukum) yang berangkat dari aspirasi umat Islam seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang- Undang No. 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Keberhasilan umat Islam Indonesia merumuskan materi hukum Islam secara tertulis adalah dalam rangka membumikan ajaran Islam dan mempositifkan hukum Islam di Indonesia, walaupun masih terbatas pada hukum keluarga (al-Ahwâl al- Syakhsiyyah) seperti hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, wakaf, hibah, dan sedekah.

Dalam wacana pembaruan hukum Islam, produk undang-undang atau hukum di atas disebut sebagai taqnîn. Dalam konteks pembangunan hukum nasional, menurut Ismail Saleh, ada tiga dimensi pembangunan dan pembaruan hukum. Pertama, dimensi pemeliharaan, yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang ada untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Kedua, dimensi pembaruan, yaitu usaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan undang-undang sehingga sesuai dengan kebutuhan baru. Ketiga, dimensi penciptaan, yaitu dimensi dinamika dan kreativitas dengan menciptakan undang-undang baru yang sebelumnya belum pernah ada.67

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam misalnya, menurut beberapa pakar dianggap sebagai sebuah konsensus (ijmâ`) ulama Indonesia.68 Kalau memperhatikan referensi yang dijadikan acuan dalam penyusunan KHI, tidak disebutkan adanya kitab Ushûl al-Fiqh yang dijadikan sebagai kerangka metodologinya. Namun, sangat terasa ada nuansa dan elemen-elemen pembaruan yang terdapat pada pasal-pasal dalam KHI, seperti pencatatan perkawinan, azas monogami, pembatasan usia kawin, mempersulit perceraian, pembagian waris dengan cara damai, ahli waris

66 Suparman Usman, Hukum Islam, h. 118-119

67 Mohamad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 242

68 Lihat Amir Syarifudin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993), h. 135. Mohamad Daud Ali, “Hukum Islam Pengadilan Agama dan Masalahnya”, dalam Edi Rudiana Arief (Ed.), Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 83

pengganti, warisan anak zina, harta gono gini, dan sertifikasi benda wakaf menggunakan metodologi ushûl al-fiqh seperti qiyâs, istihsân, istishlâh, dan metode talfîq/takhayyur secara simultan.69 Cara talfîq dianggap sebagai salah satu model pembaruan karena dengan talfîq semua pendapat ulama mazhab dapat diakomodir untuk kemudian dibuat satu paket hukum yang relevan dengan konteks keIndonesiaan melalui pertimbangan kemaslahatan.

Amir Syarifuddin cenderung melihat pembaruan hukum Islam ini dalam bentuk reformulasi fiqh, yaitu perumusan ulang terhadap apa yang telah dirumuskan oleh para mujtahid terdahulu, meliputi fiqh dan ushûl al-fiqh.

Reformulasi ini penting dilakukan seiring berubahnya masa, sehingga rumusan lama tersebut oleh karena satu dan lain hal dirasakan begitu sulit untuk diterapkan dalam kehidupan nyata oleh masyarakat.70 Ia menekankan pada pembaruan pemikiran ushûl al-fiqh terlebih dahulu.

Menurutnya, ushûl al-fiqh dan fiqh bukanlah suatu kaidah yang baku dan final karena ushûl al-fiqh rumusan ulama terdahulu yang dalam aspek- aspek tertentu masih menerima kemungkinan perubahan dengan berubah dan berkembangnya zaman. Oleh sebab itu, hal itu masih memberikan kemungkinan untuk dikaji kembali. Dari hasil kajian itulah nantinya dibuat rumusan baru bila keadaan memang menghendakinya.71

Untuk itu, langkah konkret yang harus ditempuh ada 2 bentuk sebagai berikut.72

1. Menghimpun bagian-bagian tertentu dari kitab fiqh mazhab yang relevan untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia, kemudian meramunya menjadi sesuatu yang utuh melalui talfîq. Hal itu disebabkan hampir semua hukum perkawinan misalnya, yang berlaku di dunia muslim masa kini dirumuskan dalam bentuk talfîq.

Dengan demikian, keterikatan pada mazhab tertentu yang berlaku selama ini jadi melonggar.

69 Takhayyur adalah memilih pendapat para ulama berdasarkan pada sumber hukum yang dibenarkan oleh kaidah-kaidah ushûl al-fiqh. Metode ini adalah satu model bagi upaya reformasi hukum Islam di beberapa negara muslim. Lihat Norman Anderson, Law Reform in The Muslim World, London: The Athlone Press, 1976, h. 47-48, lihat pula Noel J.

Coulson, A History of Islamic Law, (London: Edinburgh University Press, 1995), h. 185.

70 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), h. 89

71 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, h. 89 72 Amir Syarifuddin, Ushûl Fiqh, Jilid II, h. 254

2. Mencoba memahami kembali dalil nash yang dijadikan rujukan mujtahid untuk menghasilkan rumusan baru yang disebut reinterpretasi.

Menurut pengamatan Juhaya S Praja, perkembangan pembaruan hukum Islam di Indonesia paling tidak memiliki tiga ciri utama. Pertama, pembaruan dalam bentuk perubahan dari bentuk fiqh/hukum Islam secara tekstual ke bentuk taqnîn (perundang-undangan). Pembaruan bentuk ini dapat berupa pembaruan dalam sistematika materi hukum yang berbeda dengan sistematika yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Kedua, pembaruan dalam arti terbentuknya mazhab fiqh yang khas Indonesia, baik dalam bentuk taqnîn maupun aliran pemikiran hukum. Ketiga, pembaruan dalam arti munculnya pranata-pranata sosial yang merupakan realisasi ajaran Islam dalam bentuk kelembagaan yang khas Indonesia sebagai produk dialogis ijtihad ulama Indonesia.73

Dengan demikian, bentuk pembaruan hukum Islam secara garis besar dapat dilakukan baik terhadap metode yang dipakai dalam pembaharuan itu sendiri (Ushûl al-Fiqh), materi hukumnya (Fiqh), cara penerapannya dalam bermasyarakat dan bernegara melalui taqnîn/legislasi hukum Islam, dan pelembagaannya ke dalam sistem hukum nasional. Keempat, bentuk pembaruan ini tampaknya perlu untuk dikembangkan secara kontinu agar hukum Islam senantiasa up to date, implementatif, dan aplikatif serta tidak kehilangan relevansinya seiring dinamika zaman.

E. Peluang dan Tantangan Ijtihad Dalam

Dalam dokumen KONTEMPORER - Repository IAIN Bengkulu (Halaman 88-93)