• Tidak ada hasil yang ditemukan

107 .ىولها

Dalam dokumen kakanwil kemenag ntb (Halaman 85-88)

“Islam tidak akan pernah memperkenankan (membiarkan) umat Islam untuk mengambil (menjadikan) hukum-hukum selain dari hukum (yang telah ditetapkan) Allâh sebagai undang-undang. (Karena itu) segala ketentuan (perundang- undangan) yang bertentangan dengan nash-nash syari’ah (agama), prinsip-prinsip umum atau semangatnya, adalah haram bagi umat Islam. Semua itu telah diterangkan dalam al-Qur’ân secara tegas. Karena itu, Allâh hanya memberikan dua pilihan, tidak lebih, yaitu mengikuti (hukum) Allâh dan Rasul-Nya atau mengikuti hawa nafsu.”

Jargon al-Maudûdi dan gerakannya (jama’ah Islamiyah) yang selalu dengung-dengungkan adalah “syari’ah adalah solusi” dan “al-Qur’ân adalah konstitusi.” Menurtnya, ada dua prinsip fundamental tegaknya pemerintah Islam;

pertama, suatu negara Islam tidak terletak pada kedaulatan, melainkan pada perwakilan (khilâfah), dan kedua, dalam sebuah negara Islam kekuasaan (khilâfah) tidak berada pada satu orang, keluarga atau kelompok, melainkan di tangan komunitas muslim.108 Karena itu, bagi al-Mawdûdi semua lembaga seperti ekskutif, yudikatif, dan legislatif tidak diperkenankan membuat suatu aturan ataupun keputusan yang bertentangan dengan perintah Allâh dan Rasul-Nya.

Bila suatu negara menjalankan kedaulatannya, tetapi tidak

107Ibid., h. 39.

108Ghazali Sa’id, Ideologi Kaum Fundamentalisme, h. 79. Lihat. Abu al-A’la al-Mawdûdi, “Dasar-Dasar Konstitusi Islam”, dalam Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983), h. 94.

sesuai dengan perintah Allâh, maka negara tersebut telah melepaskan dirinya dari hukum-hukum Allâh.

Meskipun demikian, al-Mawdûdi menyadari bahwa konsep politiknya akan sulit diterapkan selama tidak terkait dengan kekuatan politik yang bersifat manusiawi, dan dari keterkaitan inilah muncul apa yang disebut dengan konsep khilâfah.109 Baginya, khilâfah adalah suatu pemerintahan yang mengakui kepemimpinan dan kekuasaan Allâh dan Rasul-Nya, baik dibidang perundang-undangan, menyerahkan segala kekuasaan legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan menyakini bahwa khalifahnya itu mewakili sang Hakim yang sebenarnya, yakni Allâh swt.110 Perspektif al-Mawdûdi tentang otoritas politik yang hanya menjadi milik Allâh, maka manusia yang menjadi wakil Tuhan hanya berfungsi untuk menjalankan apa yang telah ditentukan Allâh.

Hal ini sejalan dengan hakikat ke-khalifah-an itu sendiri, di mana alam dan bahkan manusia itu sendiri adalah milik Allâh, serta kedudukan yang diberikan kepadanya juga merupakan pemberian-Nya. Karena itu, fungsi dan kedudukan manusia harus sesuai dengan ke-ridhaan-Nya,111 sebagaimana tertuang dalam al-Qur’ân.112

Pandangannya ini tidak terlepas dari keyakinannya dalam memahami makna kata “al-Din al-Islam” dimana agama lebih ditekan pemaknaannya dalam konteks politik, meskipun, terkadang juga diberi pemaknaan yang lain. Tetapi tekanannya pada aspek politik lebih kental, dan ini terlihat

109Abû Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), h. 5. Moenawar Kholil, Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan al-Qur’an dan Sunnah, (Solo: Ramadhani, 1984), h. 26.

110Al-Mawdûdi, Khilafah dan Kerajaan (ter) Muhammad Baqir, (Bandung:

Mizan, 1996), h. 63.

111Ibid., h. 64.

112Lihat. QS. al-Baqarah: 30, al-Haj: 65, al-A’râf: 69, dan 74, serta Yûnus: 14.

dari cara pandangnya dalam memaknai kata al-din (agama).

Menurutnya, kata ”din” dalam al-Qur’ân dapat bermakna (1) pemerintahan dan kekuasaan tertinggi; (2) tunduk dan taat kepada pemerintahan dan kekuasaan tersebut. Kedua pengertian ini dapat dijumpai dalam surat al-mu’min: 65, al- zumar: 2 dan 12, dan beberapa ayat lainnya; (3) norma-norma berpikir dan berbuat yang terbentuk di bawah kekuasaan pemerintahan tersebut dalam surat Yûnus: 104-105 Yûsuf: 40, al-Rûm: 26-28; dan (4) ganjaran yang disediakan oleh pihak kekuasaan tertinggi itu atas ketaatan dan ketulusan mengikuti peraturan, begitu pun atas tantangan dan pendurhakaan kepadanya, seperti dalam surat al-Dhariyat: 5-6, al-Mâ’ûn: 1-3, dan al-Infithâr: 17-19. Kata ”al-din” pada semua ayat tersebut berarti aturan, undang-undang, norma agama, sistem berpikir dan berbuat umat manusia. Karena itu, jika umat manusia mendasarkan diri pada undang-undang yang ditetapkan Allâh, maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah berada pada agama Allâh.113 Selanjutnya, menurut al-Mawdûdi, agama Islam adalah antitesis demokrasi sekuler Barat, yang pijakan filosofisnya terletak pada kedaulatan rakyat.114 al-Mawdûdi, seperti dikutip Taufik Adnan Amal, berkata:

“Di dalam (demokrasi sekuler Barat) jenis kekuasaan legislatif mutlak untuk mendeterminasi nilai-nilai dan norma-norma prilaku ini terletak di tangan rakyat. Pembuatan hukum merupakan hak prerogatif mereka dan legislasi haruslah berhubungan dengan kemauan dan watak pandangan mereka.

Islam...; sama sekali tidak mengakui filsafat kedaulatan rakyat dan mendasarkan negaranya di atas fondasi-fondasi kedaulatan Tuhan dan keperwakilan manusia (khilafah).115

113al-Mawdûdi, Pengertian Agama, Ibadah dan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam al-Qur’an, ab. Mahyuddin Syaf, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1986), h.

139.

114al-Mawdûdi , Hukum dan Konstitusi, h. 158.

115Adnan Amal, Islam dan Tantangan .., 60.

Sungguh pun demikian, penting dicatat, bahwa

“Hakimiyah Allâh” (Kekuasaan Tuhan), selain Syi`ah, menurut Muhammad ‘Imarah tidak ada komunitas Islam yang mengklaim adanya kemungkinan orang suci, utusan Tuhan, serta figur ma’shum dalam Islam. maka dari itu, tidak cukup alasan baik normatif maupun historis untuk membentuk kekuasaan atas nama Tuhan dalam Islam, khususnya dalam tradisi Sunni. Bagaimana pun, otoritas religius dengan mengatasnamakan Tuhan, menurutnya harus dihindari oleh umat Islam pada altar politik. Sistem pemerintahan apa pun yang pernah ada dalam sejarah umat Islam, sama sekali tidak didasarkan atas firman Tuhan. Ini dibuktikan pada prosesi pengangkatan Abû Bakar sebagai khalifah dan khalifah lainnya. Semuanya didasarkan atas hasil ijtihad semata.116 Meskipun demikian, ini tidak menunjukkan bahwa Imarah menganggap Islam memisahkan urusan agama dengan dunia (fashl). Menurut Imarah, dalam kasus yang bersifat ijtihâdi, yang terjadi adalah pembedaan wilayah (tamyiz) antara agama dan dunia. Ini artinya, Islam tidak melepaskan urusan dunia secara radikal, untuk kemudian menyebabkan dunia tercerabut dari nilai luhur yang melandasinya (baca: Islam).

Imarah, lebih jauh, berkata.

ءاملعلا قفتا ةسايسلاو ملاسلإا ينب ةصآخ ةقلاع كانه نإ

Dalam dokumen kakanwil kemenag ntb (Halaman 85-88)