• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran Filsafat Kritisme

Hal ini dapat membantu menyelidiki interaksi verbal yang berlangsung dalam situasi belajar mengajar. Serta dapat membantu memerangkan tujuan dan kebijakan yang mengarahkan program pendidikan.

menjelaskan konsepsi tentang kenyataan. Misalnya, mengenai pengertian dasar manusia mengenai filsafat antroplologi, mengenai pengertian pendidikan, sekolah, pendidik, anak didik. Sementara pendekatan perskriptif adalah upaya untuk menyusun standar pengukuran tingkah laku, dan nilai termasuk di dalamnya untuk menemukan mana yang disebut baik, buruk, benar, dan salah. Nila baik dan buruk perlu diketahui oleh peserta didik. Sementara pendekatan analitis berusaha untuk mengenali makna sesuatu dengan mengadakan analisis kata-kata pada khususnya dan bahasa- bahasa pada umumnya13.

Menurut Imam Bernadib bahwa tinjauan filosofis terhadap pendidikan pada hakekatnya membawa filsafat dalam bidang pendidikan dengan menerapkan sejumlah pendekatan yang relevan, misalnya spekulatif, perspektif, dan analitis. Oleh karena itu, filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan14. Karena itu pula, menurut Achmad Dardiri (2007); bahwa filsafat pendidikan dapat didekati dari problem-problem pendidikan bersifat filosofis yang memerlukan jawaban filosofis pula. Disamping itu, filsafat pendidikan dapat pula didekati dari ide-ide filosofis yang diterapkan untuk memecahkan masalah pendidikan15. Misalnya merujuk pada aliran kritisme.

13 Imam Bernadib,( 1996) Hand out filsafat pendidikn program studi ilmu Filsafat proggram pasacarjana UGM Yogyakarta . Hal. 11

14ibid, 7

15 Achmad Dardiri. (2007). Mengenal Filsafat Pendidikan. Handout Perkuliahan Fip UNY. Hal. 11-12

Filsafat yang dikenal dengan kritisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh Imanuel Kant (1724-1804)16. Kant mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni dan memugar sifat objectivitas dunia ilmu pengetahuan dengan menghindarkan diri dari sifat sepihak dari rasionalisme dan sifat sepihak dari empirisme. Gagasan itu muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya. Yakni apa yang dapat saya ketahui?

Apa yang harus saya lakukan?dan apa yang boleh saya harapkan?

Kritisme ini bisa dikatakan aliran yang memadukan atau mendamaikan rasionalitas dan empirisme. Menurut aliran ini, baik rasionalitas maupun empirisme, pengalaman manusia merupakan paduan antara sintesa unsure-unsur aspriori (terlepas dari pengalaman) dengan unsure-unsur aposteriori (berasal dari pengalaman).

Dalam keadaan perdebatan panjang antara rasionalisme dengan empirisme, Imanual Kant hadir untuk medamaikan kedua pertentangan kedua aliaran tersebut. Dalam kancah filsafat posisi Kant secara umum sejajar dengan Socrates dan Descartes. Artinya Socrates berhasil menghentikan pemikiran kaum Sopisme dan menundukan rasio dan iman pada posisinya. Descartes berhasil menghentikan dominasi iman (Kristen) dan menghargai kembali posisi rasio. Sementara Immanuel Kant berhasil menghentikan Sopisme modern untuk menundukan kembali rasio dan iman

16 Immanuel Kant. (2004). Prolegomena to Any Future Metaphysics That Will Be Able to Come Forward as Science with Selections from the Critique of Pure Reason (Cambridge University Press The Edinburgh Building, UK) hal. 30-32. Imanuel Kant seorang filosof pelopor filsafat kritisme.

pada posisi masing-masing yang melahirkan paradigma rasionalisme kritis17.

Immanuel Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan (epitismologi). Ia mengatakan bahwa pengalaman manusia merupakan sintesis antara unsur-unsur apriori dan unsur-unsur aposteriori.

Kant tidak menentang adanya akal murni. Ia hanya menunjukan bahwa akal murni itu terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat panca indara. Pengetahuan indrawi tidak dapat menjangkau hakikat objek, tidak sampai pada kebenaran umum.

Adapun kebenaran umum harus bebas dari pengalaman, artinya harus jelas dan pasti dengan sendirinya.

Kebenaran aspriori diperoleh melalui struktur jiwa kita yang inheren. Secara aktif, jiwa mengkoordinasi sensi-sensai yang masuk dalam ide. Oleh karena itu, pengenalan berpusat subjek, bukan pada objek. Ada tiga tahap pengenalan, yaitu: pertama pengenalan pada taraf indara.

Pengenalan sebagai sintesis antara unsure-unsur apriori dan aposteriori.

Pada taraf indara ini, yang menjadi unsur apriori adalah kesan-kesan indarawi yang diterima dari objek yang nampak pengenalan taraf indara hanyalah penampakan gejala atau fenomenon18. Sehingga apa yang dilihat bukanlah bentuk yang sesungguhnya, melainkan hanya salinan dan pembentukan benda yang terlihat dalam daya-daya fisikal dan metafisikal

17 Ahamad Saebani (2009). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. (Pen. Bumi Aksara; Jakarta).

18 Bandingkan dengan pandangan Driyararkara dalam ―Perciakan Filsafaat Fenomenologi‖ (1982).

yang disebut dengan ―penampakan‖19 Kedua, pengenalan pada ―taraf akal‖.

Immanuel Kant membedakan akal (verstand) dari rasio dan budi (vernuft).

Tugas akal adalah mengatur data-data indarawi, yakni dengan mengemukakan ―putusan-putusan‖. Sebagaimana ketika kita melihat sesuatu, kemudian sesuatu itu ditransmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal memberikan kesan. Hasil indara diserap sedemikain rupa oleh akal, selanjutnya akal bekerja dengan daya fantasi untuk menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu. Pengenalan pada taraf akal ini merupakan sintesis antara bentuk dan materi. Materi adalah data-data indrawi, sedangkan bentuk adalah pengertian-pengertian apriori yang terdapat pada akal. Ketiga, pengenalan pada taraf rasio, tugas rasio adalah memberikan argument bagi putusan putusan yang telah dibuat oleh akal. Akal menggambungkan data-data indrawi dengan mengadakan putusan-putusan20.

Menurut Kant, dalam membentuk argument-argument, akal dipandu oleh ketiga ide transedental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, yakni ide yang menyatukan segala gejala lahiriah, yatu ide dunia dan ide tentang Tuhan. Ketiga ide tersebut bersifat apriori dan transendetal.

Ketiganya memiliki fungsi masing-masing, yaitu ―ide jiwa‖ menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah, merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala psikis. Ide dunia menyatakan segala

19 Ibid 97

20 Ahamad Saebani (2009) Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. (Pen. Bumi Aksara; Jakarta) hlm. 98

gejala jasmaniah, sedangkan ―ide Tuhan‖ mendasari segala gejala, segala yang ada, baik yang batiniah maupun yang lahiriah.

Demikian Immannuel Kant, yang menjadi pengagas Kritisme21. Filsafat ini memulai perjalananya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu, kritisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Dengan kritisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hanya apriori- nya tetapi juga aposteriori, bukan hanya pada rasio, melainkan juga pada hasil indrawi22.