BAB III BAB III
E. Teknik Analisis Data
1. Amanat yang Mengandung Nilai Tauhid
Nilai tauhid yang merupakan bagian dari nilai religius, terdapat dalam cerita Roman Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisjahbana. Nilai tauhid yang dimaksud adalah awal dan akhir dari seruan Islam.Ia adalah suatu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (faith in the of god). Suatu kepercayaan, memberi hukum-hukum, mengatur dan mendidik alam semesta ini (Tauhid Rububiyyah). Tuhan itu zat Yang luhur dari segala-galanya, hakim yang maha tinggi, yang tiada terbatas, yang kekal, yang tiada berubah-ubah, yang tiada kesamaan-nya sedikit pun di alam ini, sumber segala kebaikan dan kebenaran,yang maha adil dan suci. Tuhan itu bernama Allah Swt. Berikut data yang ditemukan dalam cerita Roman Tak
36
Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu a) Mengakuai akan kehendak dan kebesaran Allah Swt, b) Mengharapkan ridho dan rahmat Allah Swt,dan selalu bersyukur kepada Allah Swt. Adapun pendeskripsianya dikemukakan sebagai berikut.
a) Mengakui akan Kehendak dan Kebesaran Allah Swt
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. Hendaknya menyadari bahwa segala peristiwa yang terjadi di muka bumi adalah kehendak Allah yang maha kuasa dan maha penguasa. Hal ini juga ditemukan dalam cerita Roman Tak Putus Dirundung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana.
“tetapi Syahbuddin menerima nasibnya dengan tulus dan ikhlas, tak menaruh dengki dan khianat, sebab ia tak tahu bahwa sekaliannya itu kehendak Allah Yang Maha Kuasa.” (Hal. 3)
Pada kutipan tersebut, Tokoh Syahbuddin menerima segala bentuk cobaan yang dilalui dalam kehidupannya. Semenjak Syahbuddin ditinggalkan oleh istrinya Syahbuddin hidup penuh dengan kesusahan dan kemelaratan. Meskipun demikian, mereka selalu bersabar dan tabah menjalani liku-likunya hidup ini. Kesibukan ke sana-ke mari mencari pekerjaan untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya membuatnya ia lalai akan api kecil yang berada disudut ruangan yang beralaskan kayu, sehingga membakar istana kecilnya dengan cepat, dengan semangatnya yang tersisa tujuh puluh persen dia masih mampu membuat istana kecil dan mungil berlantaikan tanah dan tidur beralaskan tikar namun, semua peristiwa yang ia alami dalam sepanjan perjalanan hidupnya tetap ia kembalikan pada kehendak dan kekuasaan Allah Swt sebagai sang pencipta dan pengatur
seluruh kehidupan di alam semesta. Selanjutnya, pada tokoh Syahbuddin mengalami cobaan yang sangat berat, nenek Zalekah yang berusaha mengobatinya. Saat itu, nenek Zalekah mengakui dan menyatakan bahwa apa yang dialami oleh Syahbuddin adalah kehendak Allah Swt. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Sakitnya ini telah dalam,” kata nenek Zalekah dengan suara yang berat, tetapi janganlah kita putus asa, sebab semuanya itu kehendak Allah Subhana wata’ala………….”(Hal. 23)
Nenek Zalekah memberi motivasi pada keluarga Syahbuddin agar tidak putus asa dalam menghadapi cobaan yang dialaminya. Bahkan mengingatkan bahwa semua yang ia alami itu adalah kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Selain itu, pengarang juga menyampaikan suatu amanat yang menyiratkan pesan religius pada saat tokoh Syahbuddin merasakan bahwa ajalnya akan tiba. Ia memberi nasihat kepada kedua anaknya bahwa segala kehidupan duniawi akan ada akhirnya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini.
“………Dengan susah payah bercakaplah Syahbuddin; suaranya hampir- hampir putus: “Anakku, biji mataku, buah hatiku, ajalku telah sampailah…
Engkau berdua mesti kutinggalkan. Semuanya itu telah terlukis di luhmahful.
Kata ayah tak dapat disangkal. Baik-baik kelakuanmu…… (Hal. 26)
Syahbuddin menyampaikan kepada anaknya bahwa sudah menjadi kehendak Allah Swt. Bahwa manusia akan meninggalkan dunianya.
Termasuk juga dirinya akan meninggalkan keduanya. Demikian juga kutipan berikut ini
Yang menyiratkan bahwa kehidupan dunia ini penuh dengan keajaiban yang merupakan kehendak Allah Swt. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Dunia ini penuh keajaiban dan keheranan!
Disini orang tak berhenti dirundung azab-sengsara, di sana orang seolah- olah diturut oleh kemujuran, keuntungan kesejahteraan dan kemuliaan. (Hal. 26)
Allah Swt memberikan kehidupan kepada hamba-Nya dengan cara yang berbeda- beda sesuai dengan usaha dan doa yang ia lakukan. Oleh karena itu, nasib yang ia alami juga berbeda-beda peruntungannya. Ada yang memiliki kehidupan yang layak, standar, di bawah garis kemiskinan. Tentu ini semua merupakan rahasia kehidupan yang diberikan Allah Swt kepada hamba-Nya.
Selanjutnya. Kutipan cerita berikut ini menunjukkan akan kebesaran Allah Swt,akan segala peristiwa alam yang terjadi di muka bumi ini
“Langit sebelah barat memperlihatkan suatu tamasya yang sangat permai…………..Siapa belum pernah memuji kebesaran Allah Subhanahu wata’ala, waktu siang berganti dengan malam, melihat susunan awan di langit Lazuardi muda?” (Hal. 60)
Pengarang dalam kutipan tersebut, mengingatkan kepada kita semua bahwa proses kehidupan di muka bumi ini adalah salah satu tanda akan kebesaran yang dimiliki Allah Swt. Ia mampu mengatur waktu pergantian siang dan malam. Bahkan memberikan kenikmatan di dunia dengan menciptakan pemandangan yang indah dan dapat kita nikmati dalam kehidupan kita ini.
“Tetapi apa boleh buat; rupanya telah begitu ditakdirkan Allah. Marilah kita berharap saja, moga-moga diperlindungi Tuhan jugalah hendaknya beliau berdua di akhirat.” (Hal. 80)
Pada kutipan tersebut bahwa Mansur telah menerima nasib-Nya bahwa itulah takdir yang harus diterima dan menyerahkan semuanya kepada Allah Swt. Mansur hanya bisa berdoa agar dilindungi di mana pun ia berada karena hanya kepada Allah-Lah kita meminta dan hanya kepada Allah-Lah kelak kita akan kembali
“Sesungguhnya Tuhan berbuat sekehendaknya atas hambanya. Dengan kodrat iradatnya, maka pada ketika itu tergelincirlah Sarmin, laki-laki yang kukuh dan tegap itu, di taris batu yang penuh lumut dan licin itu dan jatuh berguling- guling.” (Hal. 120)
Pada kutipan tersebut, Sarmin seketika mendapat musibah ketika hendak ingin melukai Laminah. Bersyukurlah Laminah akan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang masih berpihak kepada dirinya, sehingga ia bisa lolos dari tangan Sarmin
b) Mengharapkan Ridho dan Rahmat Allah Swt.
Sikap mengharapkan ridho Allah Swt merupakan salah-satu sikap yang mengakui akan kebesaran Tuhan. Dalam cerita Roman Tak Putus Dirundung Malang Karya Sutan Takdir Alisjahbana, juga diselipkan pesan religi dalam cerita melalui tokoh Mansur yang menganggap bahwa Allah akan tetap memberikan kesempatan kepada setiap hamba-Nya yang tetap mau berusaha mencari nafkah dalam kehidupannya. Hal ini terlihat dalam kutipan berikit ini.
“…………..Dan kalau kita telah tiba di Bengkulu nanti telah dapat pula kita berseluk. Masakan tiada dapat kita di sana mencari uang untuk sesuap nasi pagi dan sesuap petang. Allah itu maha kuasa. Tiada percaya aku, bahwa di dunia ini tak ada lagi lain dari malapetaka untuk kita.” (Hal.
62)
“………Selama hayat masih dikandung badan, kita harus berusaha dengan sekuat tenaga. Sungguhpun demikian, berdoa jugalah, mudah- mudahan berhentilah penderitaan kita ini.” (Hal.71)
Pada kutipan tersebut, pengarang menggambarkan tokoh Mansur yang selalu berprasangka baik kepada Allah Swt. Bahwa setiap manusia yang mau berusaha dengan sekuat tenaga akan dapat menyelesaikan dan mengatasi masalah yang dialami dalam hidupnya. Termasuk dirinya yang tidak pernah lelah berjuang dari setiap masalah yang ia hadapi.
“Dari hal rezki itu, selagi Allah masih kasihan kepada kita, kemana kita pergi takan terlantar.” (Hal.114)
Pada kutipan tersebut Mansur tetap meyakini bahwa di mana pun dirinya berada Allah Swt akan selalu memberinya kesempatan termaksud dalam hal reski.
“Sungguhpun demikian, uncu tolong-tolong juga kami dengan doa, moga- moga Allah subhanahu wata’ala menjatuhkan rahmatnya. (Hal. 68)
Pada kutipan tersebut Mansur meminta agar uncu nya tak lupa untuk mendoakan dirinya agar diridhoi dan dirahmati Allah Swt dalam setiap langkahnya.
c. Selalu Bersyukur kepada Allah Swt.
Selalu bersyukur akan karunia yang diberikan oleh Allah Swt merupakan salah satu amanat yang menyiratkan nilai tauhid. Karena rasa syukur merupakan ungkapan terima kasih hambanya dan percaya bahwa hanya kepada Allah Swt-Lah kita menyembah dan bersujud syukur. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini.
“Sungguh! Cinta pada tanah air tiada dapat pikirkan dengan akal. Kita bawa ia dari kandungan ibu seperti suatu pemberian Allah yang harus kita hormati…..(Hal.74)
Kutipan tersebut digambarkan oleh pengarang bahwa tokoh Laminah dan Mansur tetap bersyukur kepada Allah Swt, telah dilahirkan di desa ketahun yang tidak pernah bisa dilupakan.
“………Kalau tak ada mamak , siapa tahu, barangkali kami mesti bermalam di beranda surau, menjadi umpan nyamuk dan binatang- binatang lain. Sungguh! Mamak kami harus meminta syukur.” (Hal.88)
Pada kutipan tersebut, Mansur dan Laminah merasa sangat bersyukur ketika bertemu dengan salah seorang yang sudi menawarkan tumpangan di rumahnya untuk bermalam. Bahkan ia berpikir ternyata di perjalanan hendak ke Bengkulu masih ada orang yang peduli dengannya.
Oleh karena itu, ia dan adiknya sangat beruntung ada orang yang berbaik hati mau menolongnya. Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang di luaran sana terkadang terlihat mampu ataupun berada namun kadang mengabaikan orang miskin (tidak mampu) yang sesungguhnya butuh pertolongan.
“Anak yang tiada berdosa itu menerima semuanya dengan syukur.”
(Hal.109)
Pada kutipan tersebut Laminah tetap bersyukur bagaimanapun kondisinya saat itu dan tak terpikir oleh-nya akan hal buruk yang akan menimpah dirinya.