• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS DATA

B. Analisis Hukum Islam Tentang Anak Sebagai Pedagang

Mandalika Kabupaten Lombok Tengah

Mempekerjakan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan bahkan ada juga yang mempekerjakan anak yang belum sekolah sudah sering terjadi di lingkungan masyarakat sekitar.

Terutama di daerah kawasan wisata KEK Mandalika hal itu berdasarkan upaya untuk mengajarkan anak bekerja sejak usia dini.

Tidak dipungkiri anak di zaman ini sudah bisa melakukan pekerjaan orang dewasa salah satunya aktivitas berdagang seperti menjadi pedagang asongan. Pekerja anak adalah pekerja yang berumur 13 tahun sampai dengan 15 tahun. Di dalam pasal 68 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pengusaha dapat mempekerjakan anak dengan syarat sebagai berikut diantaranya:

1. adanya izin tertulis dari orang tua atau wali

2. adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali

3. waktu kerja maksimum tiga jam

4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah

5. memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja 6. adanya hubungan yang jelas

7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.90

89 Wahyu Kuncoro, “Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”, (Jakarta:

Depok cet.1 2010), hlm. 191.

58

Di samping pasal 68 di atas pasal 75 membahas yang berkaitan dengan pekerjaan anak bahwa :

“Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja. Anak yang bekerja diluar hubungan kerja misalnya anak penyemir sepatu atau anak penjual koran dan sebagainya.91

Penanggulangan ini dimaksudkan untuk menghapuskan atau mengurangi anak bekerja di luar hubungan kerja tersebut.

Upaya ini harus dilakukan secara terencana, terpadu, dan terkoordinasi dengan instansi terkait.

Harus diakui bahwa aturan perlindungan terhadap kaum lemah dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 telah mencerminkan pemenuhan terhadap lima hak dasar (adh- dharuriyyat al-khamsah), dan lebih spesifik bagi perlindungan terhadap jiwa para buruh. Ini sesuai dengan hadits nabi yang menyebutkan:

“Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu. Jika terpaksa, ia harus dibantu”.92

Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Bentuk pekerjaan tersebut antara lain:

1. Pekerjaan ringan, anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang

90 Wahyu Kuncoro, “Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”, (Jakarta:

Depok cet.1 2010), hlm. 191.

91 Rahmawati Kusuma, “Hukum Ketenagakerjaan dalam Teori dan Praktik di Indonesia”, (Jakarta Timur: Rawamangun cet. 1, Januari 2019), hlm. 134

92 Abdul Jalil, “Teologi Buruh”, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, cet. 1, April 2008). hlm. 179

59

tidak mengganggu perkembangan dan perkembangan fisik, mental dan sosial.

2. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan, anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang dengan ketentuan : a. usia paling sedikit 14 tahun

b. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan dalam melaksanakan pekerjaan

c. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja 3. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat, untuk

mengembangkan bakat dan minat anak dengan baik dan minatnya. Untuk menghindari terjadinya eksploitasi terhadap anak, pemerintah telah mengesahkan kebijakan berupa Kepmenakertrans No. Kep. 115/Men/VII/2004 tentang Perlindungan Bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat.

Adapun persyaratan untuk mempekerjakan anak usia 13-15 tahun untuk pekerjaan ringan yaitu harus memenuhi persyaratan : 1. izin tertulis dari orang tua atau wali

2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali 3. waktu kerja maksimum 3 jam

4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah

5. menjamin keselamatan dan kesehatan kerja 6. adanya hubungan kerja yang jelas

7. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.93

Dari pemaparan di atas dapat dijelaskan bahwa kondisi anak jika diperbolehkan bekerja harus sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang sudah dijelaskan di atas bahwa anak boleh bekerja apabila pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan ringan dimana usia anak tersebut dari umur 13 sampai dengan 15 tahun serta

93 Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,

60

diberikan perlindungan atas keselamatan kerja dan kesehatan kerja.

Sedangkan kondisi anak yang tidak diperbolehkan bekerja yaitu apabila tidak adanya izin tertulis dari orang tua wali, waktu kerja melebihi batas ketentuan kerja tidak menggangu waktu sekolah serta tidak terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja.

Sedangkan yang terjadi pada anak-anak yang bekerja sebagai pedagang asongan yang ada di KEK Mandalika yaitu peneliti banyak menemukan anak-anak yang umurnya kurang dari 13 tahun sudah bekerja, waktu kerja mereka juga melebihi dari batas ketentuan kerja serta tidak adanya jaminan atas keselamatan dan kesehatan kerja karena tidak adanya pengawasan langsung dari orang tua.

Pesan dasar dan fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam (fiqih) adalah kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal atau dalam ungkapan yang lebih operasional keadilan sosial. Tawaran teoritik (ijtihadi) apapun dan bagaimanapun, baik didukung dengan nash maupun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan (termasuk anak-anak) dalam perspektif Islam adalah sah dan umat Islam terikat untuk mengontrol dan merealisasikannya. Sebaliknya tawaran teoritik apapun dan bagaimanapun yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya kemaslahatan, lebih- lebih membuka kemungkinan terjadinya kemadharatan (Fath al- Zari’ah), dalam kacamata Islam adalah fasid, sehingga umat Islam secara individu maupun kolektif terikat untuk mencegahnya.94

Dari penjelasan yang tertera di atas maka dalam setiap pengambilan sebuah keputusan hukum agama, seharusnya lebih mempertimbangkan aspek maslahah dan mufsadatnya sebagai acuan dalam maqasid al-syariah.

Menurut Al-Syatibi, cara untuk memahami maqasid al- syariah di antaranya adalah penelaahan illah al-nur (perintah), dan al-nahi (larangan), yang terdapat dalam nash Al-Qur’an dan Hadits. Bagi Al-Syatibi, ‘illah mengandung arti yang sangat luas,

94Indar Wahyuni, “Permasalahan Pekerja Anak: Perspektif Maqashid Syariah”, Vol 9. No. 1, Januari -Juni 2015, hlm. 93.

61

yakni kemaslahatan dan hikmah yang berkaitan dengan al-awamir (perintah-perintah), al-ibahah (kebolehan) dan al-mafasid yang berkaitan dengan al-nawahi (larangan-larangan). Ini berarti bahwa

‘illah suatu hukum termasuk kemaslahatan dan kemafsadatan.95 Karena ‘illah dalam arti kemaslahatan dan kemafsadatan secara umum merupakan maqasid al-syariah itu sendiri. Kesan ini tersirat pada ayat Al-Qur’an surah At-Tahrim (6):

ْمُكْيِلْه ا و مُكَسُفْنَا ا ْْۤوُق ا وُنَمَٰ نْيِذَّلا ا اَهُّي َاَْٰۤي اَّنلا اَهُد ْوُق َّو ا ًر اَن

ْۤاَم َ هاللَّ َن ْوُصْعَي َّﻻ ٌد اَدِش ٌظ َلَِغ ٌةَكِئ َٰلَم اَهْيَلَع ُة َر اَج ِحْل ا َو ُس َن ْو ُرَم ْؤُي اَم َن ْوُلَعْفَي َو ْمُه َرَمَا

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar dan keras yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.96

ْنِم ا ْوُك َرَت ْوَل َنْيِذَّلا َشْخَيْل َو ْمِهْيَلَع ا ْوُف اَخ اًفَٰع ِض ًةَّي ِ رُذ ْمِهِفْلَخ

اوُل ْوُقَيْل َو َ هاللَّ اوُقَّتَيْلَف اًدْيِدَس ًﻻ ْوَق

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.97

95Ibid.

96QS. At-Tahrim 66: Ayat 6.

97QS. An-Nisa’ 4: Ayat 9.

62

Isi pemahaman yang dapat diambil kesimpulan dari nash- nash Al-Qur’an di atas yaitu perintah menjaga keluarga termasuk di dalamnya anak-anak, agar terhindar dari siksa api neraka, kemadharatan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, hendaknya membangun keluarga yang berkualitas, beriman dan bertakwa.

Orang tua wajib mendidik anak-anak dengan sungguh-sungguh dan memberikan bekal pengetahuan yang luas dengan cara memberikan pendidikan yang tinggi demi masa depan mereka sehingga tidak melahirkan generasi yang lemah sepertu yang tertera pada kedua ayat di atas.

Hukum Islam menyatakan bahwa merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang masih kecil tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri anak bahkan bisa menjerumus kepada kehilangan nyawa mereka.98

Kecapakan hukum dalam Islam merupakan kepatuhan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan yang telah diatur baik dalam Al Qur’an, hadist, dan hukum-hukum syara’ yang mengatur tentang kecakapan hukum.

Dalam hukum Islam juga mengatur tentang kepatutan seseorag yang dapat dinilai dari perbuatannya sehingga berakibat hukum bagi pelakunya. kecakapan hukum disini berkaitan dengan ahliyatul wujub yang memiliki arti kemamampuan untuk memiliki dan menanggung hak, sedangkan kepantasan dalam bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk berbuat hukum secara utuh yang secara istilah fiqih disebut dengan ahliyatul ada’ . Ahliyatul ada’ adalah kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain. Oleh karena itu, ulama uhsul fiqih mendefinisikan kecapakan dalam bertindak sebagai kepatutan seseorang yang timbulnya suatu perbuatan atau tindakan dari dirinya yang telah ditetapkan oleh hukum syara’. kecakapan hukum dalam Islam disyaratkan aqil baligh, berakal dan sehat sehingga hal ini semakin jelas dengan adanya definisi usia baligh

98Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 415.

63

yang terdapat dalam hadis nabi di riwayatkan oleh imam muslim dalam kitab shahihnya menerangkan batasan-batasan usia anak baligh maupun pra baligh. berikut penjelasan tentang definisi tersebut.

بعانثدح يباانثدحريغ نبد محمانثد ح

نع عيفن نع اللهد

ضرع لقرمع نبا َلَع ِالله ُلُس َر ْىن

ِلاَتِقْلا ىفٍدُحأ َم ْوَي َمَّلَس َو ِهْي

ُنْبااَنَأ َو ِقَذْنَخْلا َموَي ىِنَض َرَعو ىِن ْز ِجُي ْمَلَف ًةَنَس ة َرْشَع َعَب ْرأ ِنْب َرَمُع ىَلَع ُتمِدِقَف ُعِفاَن َلاَق ىِن َزاَج أف ًةَنَس َة َرَشَع َسْمَخ و ِزْي ِزَعْلاِدْبَع ُهْتَثَدَحَف ٌةَفْيِلَخ ٍذ ىَم ْوَي َو ُه

َلاَقَف ُثْيَحلاَذ َه

َّنإ ْنأ ِهِلاَّمُع ىَلِإ َبَتَكف ِرْيِبَكْل َو ِرْيِغَّصلا َنْيَبٌدَحَلاَذ َه

ْنَمِلا ْوُض ِرْفي َة َرْشْع َشْمخ ُنْبْا َناَك

َكِلَذ َنُد َناَك ْنَم َو ًةنَس

نباد محم انثدح ةبيش نباركب وبا هانثدحم.ِلاَيِعْلا ىِف ُه ْوُلَعْجاَف ادبعانثدح ىنثم اذه اللهدبع نعاعيمح )ىغفقثلا ىنعي(باهول

ةنسةرشع عبرأانأو مهتثيدح ىف نأريغدانسﻻا .ىنرغصتساف

“Aku menawarkan diriku kepada Rasulullah Saw. untuk ikut berperang dalam perang uhud waktu itu aku berumur 14 tahun, tetapi rasululullah saw, tidak memperkenankan diriku. Aku kembali menawarkan dirku pada waktu perang qhandak sedangkan aku (pada saat itu) berumur 15 tahun, maka rasulullah memperkenankan diriku. Nafi’ menceritakan, lalu aku datang kepada umar Ibnu Abdul Aziz yang pada saat itu menjabat sebagai khalifah dan aku ceritakan kepada hadits ini maka ia berkata, “Sesunggunya hal ini merupakan batas antara usia anak-anak dengan usia dewasa”. kemudia ia mengisntruksikan kepada semua Gubernur agar mereka menetapkan kepada orang yang telah mencapai usia 15 tahun (sebagaimana layaknya

64

orang dewasa), dan orang yang usianya di bawah itu hendaknya mereka dikategorikan sebagai anak-anak”.

Hadist di atas tidak memperbolehkan anak yang usianya di bawa 15 tahun untuk mengikuti perperangan, dilihat dari konteks tersebut, secara tidak langsung anak yang bekerja dibawah umur tidak diperbolehkan karena adanya batasan-batasan yang mengaruskan anak boleh bekerja. secara tidak langsung berdasarkan hadist tersebut tidak memperbolehkan anak bekerja sehingga peraktik anak yang pekerja (berdagang) yang dikategorikan dibawah umur di kawasan KEK mandalika dapat dikatakan bertentangan.

Berdasarkan praktik yang terjadi dilapangan bahwa anak- anak yang bekerja sebagai pedagang asongan di daerah wisata KEK Mandalika kenyataanya tidak mendapatkan izin tertulis dari orangtua, tidak adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan orangtua, waktu kerja melebihi batas waktu yaitu lebih dari 3 jam, adanya paksaan, tidak adanya hak memperoleh pendidikan yang layak serta keselamatan dan kesehatan kerja tidak terjamin dikarenakan tidak adanya pengawasan langsung dari orang tua.

Apabila membiarkan anak bekerja dengan kondisi yang membahayakan nyawa baik fisik maupun psikisnya, sebab waktu kerja yang panjang yang akan mengancam jiwa anak, hal tersebut tidak sesuai dengan maqasid as-syariah yang merupakan kebutuhan dharuriyyah (primer) diantaranya yaitu menjaga jiwa anak karena anak-anak masih membutuhkan perlindungan dari orang tua secara ketat.

Berdasarkan teori dan praktik di atas terjadinya kesenjangan atau bertentangan, hal itu karena sistem kerjanya tidak menentu dan tidak adanya keselamatan bagi anak yang melakukan pekerjaan. Sehingga kegiatan itu bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 68 dan 75.

Pada sejarahnya Nabi Muhammad waktu kecil sudah melakukan pekerjaan, ketika nabi berumur 12 tahun beliau mengikuti pamannya Abu Thalib yang berniaga membawa barang dagangan dari Makkah ke Syam. selain itu, Nabi juga bekerja

65

mengembala kambing secara sederhana, dapat dikatakan bahwa anak bekerja adalah wajar sejak zaman Nabi, akan tetapi dilihat dari kondisi anak apakah memungkinkan untuk bekerja apalagi dilihat dari usia anak-anak tersebut yang terbilang masih muda atau masih di bawah umur maka perlu bimbingan dan pengawasan dari orang tua langsung.

Human trafficking merupakan suatu kejahatan terhadap manusia yang jelas sudah melanggar HAM. Pelanggaran itu bisa dilakukan secara individual maupun kelompok yang memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu demi mendapatkan keuntungan. Mulai dari perekrutan, pengiriman, atau penampungan orang-orang dengan cara ancaman atau kekerasan demi tujuan eksploitasi, pelacuran, seks, penyalagunaan kekuasaan serta perbudakan yang hanya menguntungkan satu pihak saja. Dengan dilatar belakangi kesulitan perekonomian di masyarakat kalangan menengah ke bawah di Indonesia, itu menjadikan seseorang bahkan orang tua sendiri yang tidak memiliki pemikiran jernih dapat melakukan tindak kejahatan yang mungkin tidak disadari merugikan banyak pihak. Sebagai contoh dengan mempekerjakan anak di bawah umur dengan paksa, entah itu menjadi pengemis, pengamen, penjual makanan, bahkan dijadikan sebagai budak pemuas. Semestinya orang dewasa yang ideal itu bisa memposisikan dirinya sebagai panutan yang baik dimata anak anak di bawah umur, bukan malah memperkerjakan anak yang belum semestinya untuk di pekerjakan. Seperti kasus yang terjadi di daerah Kawasan Ekonomi kHusus (KEK) Mandalika Kabupaten Lombok Tengah dimana banyak terdapat anak di bawah umur yang dipekerjakan oleh orang tuanya sebagai pedagang asongan.

Hal ini sangat bertentangan dengan hadits riwayat Bukhori yang artinya:“Tiga jenis (manusia) yang aku menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, laki-laki yang memberi dengan nama-Ku lalu berkhianat, laki-laki yang menjual orang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan harta uang hasil penjualannya dan laki-laki yang mempekerjakan pekerja, yang mana ia memenuhi pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya”.

66

Dalam tinjauan hukum Islam terhadap pekerja anak, dimana batasan umur masih terdapat perbedaan akan tetapi dalam pematokan umur ketika melakukan perbuatan dalam hukum perjanjian tentang mu‟amalah maaliyah sangat berhatihati terutama dalam menentukan seorang anak cakap dalam menerima dan berbuat secara sempurna, yaitu: 18 tahun keatas. Walau seorang anak yang berumur dibawah 18 tahun tetap diperbolehkan dalam bekerja, namun secara prinsip tetap harus dipenuhi setiap hak yang melekat pada mereka sebagai kewajiban bersama oleh masyarakat, pemerintah, dan semua elemen. Mengenai hak dan kewajiban, yang akan dibandingkan hanyalah hukum Islam dengan hukum Barat.

67 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

1. Praktik pekerja anak sebagai pedagang asongan di Daerah Wisata Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Kabupaten Lombok Tengah dikategorikan menjadi dua yaitu pekerja atas kemauan sendiri dan permintaan orangtua dengan demikian pekerja anak di sektor informal tidak memiliki perangkat perlindungan hukum secara memadai, sebagaimana yang telah di atur dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Adapun penyebab mempekerjakan anak sebagai pedagang asongan di daerah KEK Mandalika disebabkan oleh faktor ekonomi, pendidikan dan lingkungan.

2. Praktik mempekerjakan anak sebagai pedagang asongan di KEK Mandalika Kabupaten Lombok Tengah adalah mubah (dibolehkan) karena hal tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan ekonomi keluarga, meskipun rata-rata anak yang dipekerjakan berusia belum baligh atau dewasa dan juga menurut undang-undang belum layak untuk dibebankan hukum. Di dalam Islam anak dikatakan dewasa dilihat dari kematangan usia, peranan aql, tingkat kemampuan seorang mumayyiz,bulugh, dan rusyd. Sedangkan hak anak berdasarkan hukum Islam diantaranya: anak mendapatkan pendidikan, baik menulis maupun membaca serta mendapatkan rezeki yang halal. Sedangkan hak dan kewajiban anak berdasarkan Undang-undang yang berlaku, anak berhak untuk dapat tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai harkat dan martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mempekerjakan anak dengan tidak memperhatikan hak-hak anak tidak sesuai dengan maqasid as- syariah maka hal tersebut dapat membuat mental anak menjadi lemah sesuai yang terkandung dalam Al-Qur’an Surah An- Nisa’ ayat 9. Sedangkan jika hak-hak anak sudah sesuai dengan maqasid syariah diantaranya yaitu orang tua wajib memberi

68

nafkah kepada anak-anaknya sampai sang anak memiliki kemampuan untuk menafkahi dirinya sendiri. Anak sudah cukup umur untuk dibebankan pekerjaan serta pendidikan yang cukup agar anak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

B. Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, peneliti mengharapkan kepada masyarakat khususnya yang ada di Daerah Wisata Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika serta orang tua untuk tidak mengizinkan anak-anak bekerja pada usia dini.

Karena orang tua memiliki peranan penting dalam kemaslahatan hidup anak. Oleh karena itu pemerihtah juga perlu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sehingga kebutuhan ekonomi masyarakat tercukupi sehingga akan berdampak pada pengurangan pekerja anak.

69

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, Jakarta:

Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Abdul Jalil, “Teologi Buruh”, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, cet.

1, April 2008.

Abdurrahman Al-Jazari, Kitab Al-Fiqh Ala Mazdahib Al-Arba’ah, cet. ke-1, (Beirut: Dar Al-Fiqr, T. th.), hlm. 11.

Ade Manan Suherman, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 2007.

As-Shawi Ahmad bin Muhammad, Hasyiyyatus Shawi ‘ala Tafsiriln Jalalain, (Beirut, Darul Fiqr: 2004.

Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta:

Rineka Cipta, 2008.

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta:

Kencana, 2019.

Emzir, Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta:

Rajawali Pers, Cet. ke-3, 2012.

Hardius Usman Nachrowi dan Djalal Nachrowi, Pekerja Anak di Indnesia, Jakarta: Grasindo, 2004.

Lalu Supratna, Profil Anak Bekerja, Nusa Tenggar Barat: Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2020.

Makaro, Mohammad Taufik. “Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Jakarta:

Rineka Cipta, 2013.

Moleong. Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:

Remaja Rosdakarya, 2013.

70

Muh. Fitrah, Luthfiyah, Metodologi Penelitian: Kualitatif, Tindakan Kelas dan Studi Kasus, Jawa Barat: CV. Jejak, 2017.

Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, Jakarta: Kencana, 2017.

Rahmawati Kusuma, “Hukum Ketenagakerjaan dalam Teori dan Praktik di Indonesia”, Jakarta Timur: Rawamangun cet. 1, Januari 2019.

Rasyid Ridho, Hukum Islam, (Bandung: Logos Wacana Ilmu, 2005), hlm. 25.

Redaksi Sinar Grafika, UU Kesejahteraan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017.

Siregar Bima, Keadilan Hukum Dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali, 1986.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2002.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Rdan D, Bandung: Alfabeta, 2017.

Suprayoga. Imam dkk, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003.

Suyatno Bagong, Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya, cet. 1 (Surabaya: Airlangga Press, 2003.

Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana, 2013.

Wahyu Kuncoro, “Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga”, (Jakarta: Depok cet.1 2010.

71 B. JURNAL

Adi Putro, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Anak Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak”, Vol. III, Nomor 2, Oktober 2016.

Indar Wahyuni, “Permasalahan Pekerja Anak: Perspektif Maqashid Syariah”, Vol 9. No. 1, Januari -Juni 2015, hlm. 93.

Rusdaya Basri, Human Trafficking Dan Solusinya Dalam Perspektif Hukum Islam. Volume 10, Nomor 1, Januari 2012

Sa’adah, Pekerja Anak Di Bawah Umur Menurut Tinjauan Hukum ekonomi Syariah, Vol. 4, Nomor. 1, Juni 2019, hlm. 40.

Zahra Firdausi, “Hubungan Pekerja Anak Dengan Pencapaian Pendidikan Dan Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga”, Jurnal, Institut Pertanian, 2016.

C. INTERNET

Hari Harjanto Setiawan, Adhani Wardianti, “Pemenuhan Hak Pendidikan Anak PenjualKresek”, dalam https://www.google.com/amp/s/rumahkita2010.wordpress.c om, diakses tanggal 08 Maret 2010.

Muh. Rofiq Nasihuddin, “Pekerja Anak Bawah Umur Menurut Hukum Islam”, dalam http://www.pendidikan- hukum.blogspot.com/artikel/nasihudin, diakses tanggal 28 Oktober 2010, pukul 12.01.

Sapriyanto, “Desa Kuta”, dalam http://eprints.umm.ac.id, diakses tanggal 25 Oktober 2021, Pukul 20.00.

Shofia Nida, “Hukum Berdagang Menurut Islam Beserta Doa-Doa Penglaris”, dalam https://m.brillio.net/artikel, diakses tanggal 07 Juli 2020, pukul 16.22.

D. SKRIPSI

Agus Salim, “Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Anak Sebagai Buruh Panen Bawang Merah di Desa Rato

72

Kecamatan Lambu Kabupaten Bima”, Skripsi, Fakultas Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram, 2020

Ahmad Hanafi, “Eksploitasi Pekerja Anak Dibawah Umur Sebagai Bentuk Penyimpangan Sosial”, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Lampung, 2017.

Andi Rezky Purwanti, “Perlakuan Salah Terhadap Anak”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukm UIN Alauddin Makassar, 2015.

Meta Kurnia Sari, “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Metro, 2018.

E. UNDANG-UNDANG

Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, (Jakarta: Asa Mandiri, 2006

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jakarta : Visimedia, 2007.

Undang-Undang RI No. 23 Pasal 26 Ayat 1 (satu) Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang RI Nomor 13 Pasal 1 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

F. Al-Qur’an QS. An-Nisa’

QS. Al-An’am QS. Lukman

QS. Al-Maidah QS. At-Tahrim

Dokumen terkait