BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
5. Analisis Kontrastif dalam Hubungannya dengan
Dasar psikologo analisis kontrastif adalah teori transfer yang diuraikan dan diformulasikan dalam suatu teori psikologi stimulus-respon kaum behavioris James Henri Guntur ( dalam Tarigan, 1992:3 ).
Menurut faham teori ini, kesalahan berbahasa karena transfer negatif.
Maksudnya, kita menggunakan sistem B1 dan ber-B2, sedangkan sistem itu berbeda dalam B2. Perbedaan itu dapat diidentifikasi melalui B1 dengan B2.
Kesalahan ini dapat dihilangkan dengan cara menanamkan kesalahan ber-B2 melalui latihan penguatan dan pengulangan.
Anakon merupakan komparasi sistem linguistik dua bahasa, misalnya sistem bunyi atau sistem gramatikal. Anakon yang mulai dikembangkan sekitar tahun 1950-an dan 1960-an merupakan aplikasi linguistik structural dalam pengajaran bahasa.
Selanjutnya, Kasihani Hasbolah ( dalam Nurhadi, 1995:337 ) mengatakan bahwa dalam anakon orang mencari persamaan atau perbedaan antara dua bahasa yaitu bahasa pertama dan bahasa target. Melalui analisis kontrastif atau anakon kesulitan-kesulitan yang ditemukan oleh pembelajaran dapat diramalkan, sehingga
dapat memberikan pandangan atau jalan keluar untuk menanggulangi kesulitan sehingga tujuan pengajaran bahasa dapat dicapai.
Lado sebagai peletak dasar anakon modern menyatakan bahwa kita dapat meramalkan dan menguraikan struktur bahasa kedua yang akan menyebabkan kesukarang pembelajar dalam belajar bahasa dan struktur yang akan memudahkan belajar dengan jalan membandingkan secara sistematis struktur bahasa dan budaya bahasa kedua dengan struktur bahasa dan budaya bahasa pertama pembelajar.
Dalam perbandingan antara bahasa pertama dan bahasa kedua. Unsur yang sama atau mirip akan memudahkan bagi pembelajar, sedangkan unsur-unsur yang berlainan atau berbeda akan menyulitkan pembelajaran, ( Subyakto dalam Nurhadi, 1995:239 ).
Menurut Lado dalam teorinya, bahwa perlu ada perbandingan yang sistematis antara bahasa yang berkontak didasarkan pada asumsi sebagai beikut:
a. Materi pengajaran yang paling efektif adalah materi yang didasarkan pada pemberian ilmiah bahasa yang diajarkan secara baik dan paralel dengan pemberian bahasa pertama.
b. Perbandingan antara B1 dan B2 adalah kunci kemudahan dan kesukaran belajar bahasa kedua.
c. Banyak penyimpangan linguistik yang terdengar di antara para dwibahasawan berhubungan dengan perbedaan yang dapat digambarkan pada bahasa yang terlihat.
d. Riset psikologi belajar bahasa dalam psikologi pendidikan menunjukkan bahwa asumsi-asumsi tentang pentingnya kebiasaan- kebiasaan B1 dalam B2 belum diterapkan secara sistematis dan sadar.
e. Individu-individu cenderung memindahkan bentuk-bentuk dan makna- makna serta distribusi bentuk-bentuk dan makna-makna bahasa dan budaya B1-nya kedalam bahasa dan kebudayaan bahasa yang dipelajarinya, baik pada waktu mencoba berbicara dan bertindak maupun pada waktu mencoba menangkap dan mengerti bahasa dan kebudayaan B2.
Berdasarkan asumsi di atas, Lado perpendapat bahwa perbandingan yang sistematis antara B1 dengan B2 mempunyai arti yang sangat besar bagi pengajara bahasa, pembuatan tes bahasa, penelitian bahasa dan pemahaman umum terhadap bahasa ( Lado dalam parawansa, 1981:75-76 ).
Sehubungan dengan perbandingan antara dua struktur bahasa Lado mengemukakan dua prosodur kerja sebagai berikut :
1. Prosedur umum yang dimulai dengan sebuah analisis struktur terhadap bahasa kedua dan membandingkannya dengan struktur bahasa pertama. Bagi masing- masing struktur perlu diketahui jika ada struktur pada B1 yang :
a. Memberikan tanda dengan cara yang sama yakni dengan siasat formal yang sama,
b. Mempunyai makna yang sama, dan c. Memiliki distribusi yang sama.
2. Prosedur yang lebih spesifik, yang menggunakan beberapa tahap analisis, a. Langkah pertama, melokalisasikan pemberia strukturan yang terbaik pada
bahasa yang terlibat.
b. Langkah kedua, meringkaskan semua struktur dalam bentuk garis yang padat.
c. Langkah ketiga, membuat perbandingan yang aktual kedua struktur bahasa secara pola demi pola. ( Lado dalam Zainuddin Taha, 1985:77-78).
Dalam kaitannya dengan referensi bahasa Bugis dalam pemakaian bahasa Indonesia, anakon dapat membantu meramalkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya interferensi itu, sebagaimana dalam penelitian ini.
6. Pemakaian Bahasa Lisan
Kemampuan berbahasa lisan biasa juga disebut kemampuan berbicara.
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan dan penempatan persediaan.
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkemunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya. Di samping itu, ia juga mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendegar. Jadi, bukan hanya apa yang akan dibicarakan, tetapi bagaimana mengemukakannya. Sehubungan dengan hal di atas, agar tercapai ketetapan sasaran pembicaraan maka pemakaian kalimat pun memegang peranan penting. Pembisara yang menggunakan kalimat efektif akan memudahkan
pendengar menangkap pembicaraanya. Susunan penuturan kalimat sangat besar peranannya terhadap keefektifan penyampaian. Pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang mengenai sasaran sehingga dapat menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan atau menimbulkan akibat.
Maidar G Arsyat dan Mukti CS ( 1991:19 ) menyatakan bahwa kalimat efektif mempunyai cirri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan, perhatian dan kehematan. Ciri akan terlihat jika setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari setiap kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak karena ketiadaan subyek atau adanya kerancuan, perpautan, bertalian dengan hubungan antara unsur-unsur kalimat, misalnya atara kata dengan kata, frasa dengan frasa dalam sebuah kalimat. Hubungan itu harus jelas dan logis. Pemusatan perhatian pada bagian yang terpenting dalam kalimat dapat dicapai dengan penempatan bagian tersebut pada awal atau pada akhir kalimat, sehingga bagian ini mendapat tekanan waktu berbicara. Selain itu, kalimat efektif harus hemat dalam pemakaian kata, sehingga tidak ada kata-kata mubazir, artinya tidak berfunsi sehingga dapat dihilangkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah ditari kesimpulan bahwa dalam berbahasa lisan pun kita harus menggunakan bahasa yang efektif.
7. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Interferensi
Sejalan dengan pendapat Weinreich ( dalam Mustakim, 1974:15 ) yang menyatakan bahwa interferensi dalam suatu bahasa dapat terjadi disebabkan oleh faktor :
1. Kedwibahasaan para peserta tutur
2. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima.
3. Tidak cukupnya kosa kata bahasa penerima dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan.
4. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan.
5. Kebutuhan akan sinonim.
6. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa.
Berbagai faktor penyebab interferensi itu akan diuraikan sebagai berikut : 1. Kedwibahasaan para peserta tutur
Kedwibahasaan para peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber yang merupakan bahasa daerah maupun bahasa asing. Dikatakan demikian karena didalam diri para penutur dwibahasaan itulah tempat terjadinya persentuhan bahasa yang menimbulkan interferensi. Berkenaan dengan penelitian ini, kontak yang terjadi antara bahasa Bugis dengan bahasa Indonesia dapat terjadi dalam jumlah frekuwensi yang besar. Hal tersebut diakibatkan karena besarnya jumlah penutur bahasa Bugis.
2. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima
Bagi dwibahasawan, tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima cenderung menimbulkan sikap yang kurang positif. Sikap ini antara lain terwujud dalam pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsure-unsur bahasa sumber yang dikuasainya secara tidak terkontrol. Akibatnya, berbagai bentuk interferensi akan muncul dalam bahasa penerima baik lisan maupun tulisan.
3. Tidak cukupnya kosakata penerima dalam menghadapi kemajuan atau pembaharuan.
Khasana kosakata suatu bahasa lazimnya hanya terbatas pada pengumgkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, juga dari segi kehidupan lain yang dikenalnya. Dalam hubungan itu, jika ada konsep baru yang belum biasa diungkapkan dengan kosakatanya sendiri maka merasa perlu untuk menambahkan kosakata baru untuk mengungkapkannya. Dengan kata lain, factor ketidak cukupan kosakata yang dimilikinya, maka suatu kolompok masyarakat cenderung melakukan interferensi.
4. Menghilangnya kosakata yang jarang digunakan.
Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosa kata yang jarang digunakan mempunyai dampak yang hampir sama dengan interferensi yang disebabkan oleh ketidakcukupan kosakata penerima. Interferensi seperti ini cenderung lebih cepat diintegrasikan karena memang hal itu diperlikan sebagai bahasa penerima.
5. Kebutuhan sinonim.
Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting. Fungsinya yaitu sebagai variasi dalam pemilihan kata yang digunakan. Karena pentingnya kesinoniman itu, pemakai bahasa sering melakukan interferensi. Jadi, kebutuhan kosakata yang bersinonim pun dapat mendorong timbulnya interferensi.
6. Prestice bahasa sumber dan gaya bahasa.
Prestice bahasa sumber juga dapat mendorong timbulnya interferensi karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berpredtise itu. Prestise bahasa sumber tersebut juga berkaitan dengan fektor keinginan untuk bergaya dalam berbahasa. Dorongan untuk menggunakan unsur-unsur bahasa yang dianggap berprestise tersebut tidak terlepas dari keinginan pembicara untuk bergaya dalam menggunakan bahasa.
B. Kerangka Pikir
Berdasarkan dari beberapa teori dalam kajian pustaka di atas, penulis dapat menggambarkan kerangka piker dalam bentuk bagan di bawah ini :
KEDWIBAHASAWAN
KONTAK BAHASA
INTERFERENSI SINTAKSIS ( B 1 )
BAHASA BUGIS
( B 2 )
BAHASA INDONESIA
INTRFRENSI SINTAKSIS BAHASA BUGIS KE DALAM BAHASA INDONESIA LISAN MAHASISWAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAULTAS KEGURUAN DAN ILMU PEDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FONOLOGI MORFOLOGI
29 A. Jenis Penelitia
1. Variablel
Variabel dapat dijabarkan sebagai gejalah yang bervariasi. Gejalah adalah obyek penelitian yang dapat dijadikan titik tolak atau pelatihan. Variabel ada yang bersifat kualitatif, dan ada pula yang bersifat kuantitatif ( Arikunto, 1992:89 ).
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal, yakni interferensi bahasa Bugis dalam penggunaan bahasa Indonesia lisan.
2. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Saksano dan Sarwono ( dalam Asdar, 1996:15 ) menyatakan bahwa desain kualitatif merupakan salah satu bentuk desain yang mengambil data secara langsung pada latar alamiah. Selain itu, desain ini juga bersifat deskriptif, yakni mendeskripsikan atau menguraikan bentuk-bentuk interferensi bahasa Bugis dalam atau tuturan lisan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unismuh Makassar.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian memuat rincian pernyataan tentang cakupan atau topik- topik pokok yang akan diungkap dalam penelitian. Penetapan fokus yang jelas, peneliti dapat membuat keputusan yang tepat tentang data mana yang dibutuhkan dan data mana yang tidak dibutuhkan. Setiap fokus penelitian dideskripsikan
supaya jelas cakupan dari fokus penelitian itu. Fokus penelitian berfungsi untuk membatasi masalah, membangun kriteria inklusif atau eksklusif dalam penelitian, dan memudahkan proses kerja yang efektif. Olehnya itu penelitian kali ini, fokus meneliti masalah interferensi Bahasa Bugis dalam penggunaan Bahasa Indonesia Lisan, hanya meneliti bidang Sintaksisnya saja, dan penelitian ini diprioritaskan untuk Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unismuh Makassar.
C. Batasan Istilah
Batasan istilah ini merupakan tempat bagi peneliti memberikan kejelasan kepada pembaca tentang hal-hal yang berkenaan dengan kegiatan penelitiannya.
Tujuan dari batasan istilah ini untuk persamaan persepsi antara pembaca (orang yang berkepentingan pada penelitian) dengan peneliti tentang kegiatan penelitian, sehingga dengan batasan istilah yang jelas, peneliti tetap memiliki pedoman kepada arah yang dituju dalam penelitian. Menurut Arikunto, batasan istilah kurang tepat digunakan karena menyebabkan banyak dari peneliti (terutama dari kalangan mahasiswa) keliru dalam menafsirkan maksud dari batasan istilah ini.
Mereka mengira bahwa yang harus diterangkan adalah padanan kata atau kata lain pada setiap kata dalam judul penelitian secara lepas. Seharusnya peneliti menerangkan pengertian yang dapat ditafsirkan lain oleh pembaca, oleh karena itu ia berpendapat lebih baik peneliti menggunakan nama “batasan pengertian” bukan
“batasan istilah”. Batasan istilah yang ada dalam penelitian ini antara lain adalah :
1. Interferensi
Secara leksikologis istilah interferensi berasal dari bahasa inggris yaitu interference yang berarti “campur tangan” atau gangguan dari pihak yang satu ke pihak yang lain. Secara terminologis, istilah interferensi berarti penyimpangan atau deviasi yang terjadi pada setiap bahasa sebagai akibat kontak bahasa pada diri penutur bahasa tersebut.
2. Sintaksis
Sintaksis merupakan pembahasan tentang tata kalimat. Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frasa. Sintaksis merupakan kajian tentang bagaimana kata- kata disusun untuk mendapatkan kaitan-kaitan makna dalam kalimat. Sintaksis berusaha memperjelas pola-pola dan aturan-aturan yang mendasari satuan-satuan sintaksis serta bagian-bagian yang membentuk satuan-satuan itu.
3. Bahasa lisan
Kemampuan berbahasa lisan biasa juga disebut kemampuan berbicara.
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan dan penempatan persediaan.
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkemunikasi. Agar dapat menyampaikan informasi dengan efektif sebaiknya pembicara betul-betul memahami isi pembicaraannya.
D. Sumber Data
Data dalam penelitian ini diambil dari informan yang merupakan sampel yang ditarik berdasarkan teknik purposif-sampling. Dalam hal ini dilakukan pemilihan obyek dari populasi yang memiliki karakteristik tertentu ( Amir Achsin, 1993:29 ). Jadi, sampel dalam penelitian ini ditarik berdasarkan kebutuhan saja.
Sehubungan dengan hal ini Samarin ( dalam Nuril Huda, 1981:11 ) mengatakan bahwa jumlah informasi yang diperlikan dalam penelitian semacam ini tidak ada batasan yang pasti, sesungguhnya, satu orang pun informan yang baik itu sudah cukup.
Informan dalam penelitian ini berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Penutur asli bahasa Bugis
2. Pernah mempelajari bahasa Bugis
3. Bersikap terbuka, ramah-tamah dan tidak mudah tersinggung
(Nuril Huda, 1985:11-12 )
E. Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian ini adalah manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Moleong bahwa hal seperti ini lazim di lakukan dalam penelitian kualitatif. Dengan alasan penelitian ini lebih banyak mengandalkan interpretasi peneliti atas obyek penelitian ( 1991:45 ). Dalam hal ini instrument penelitian ini adalah peneliti sendiri serta menggunakan tape recorder sebagai alat bantu.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Observasi, wawancara dan elisitasi.
1. Obsevasi
Observasi ini dilakukan pada tempat yang telah ditentukan yaitu di FKIP Unismuh Makassar.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap informan yang terpilih. Dalam hal ini penulis menggunakan wawancara pembicaraan informal. Pertanyaan yang dilakukan sangat bergantung kepada peneliti dan dilakukan pada latar alamiah. Hubungan antara pewawancara dengan informan adalah suasana yang wajar dan biasa ( Moleong, 1991:136 ).
3. Teknik elisitasi
Teknik elisitasi merupakan bentuk pembicaraan yang sengaja memancing pembicara untuk menemukan data interferensi dalam pembicaraan itu.
G. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisi data dalam penelitian ini yaitu data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dan percakapan, ditranskripsi. Setelah itu dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kontrastif. Analisis data ini bertujuan menemukan bentuk-bentuk interferensi sintaksis, lalu dimasukkan kedalam pola-pola sintaksis.
H. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data, maka dilakukan teknik trianggulasi penyelidik, yaitu dengan cara memanfaatkan peneliti lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Trianggulator dalam hal ini adalah dosen pembimbing peneliti. Selain itu pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui diskusi bersama rekan sejawat.
35 A. Hasil Penelitian
Uraian dalam bab ini akan menerangkan hasil-hasil penelitian mengenai interferensi sintaksis bahasa Bugis dalam penggunaan bahasa Indonesia lisan mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar. Berdasarkan data yang diperoleh sejumlah gejala interferensi itu seperti terurai pada bagian berikut ini.
1. Beberapa Gejala Interferensi Sintaksis
Ada beberapa gejala interferensi sintaksis bahasa Bugis mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unismuh Makassar dalam tuturan lisan adalah (1) penanggalan subjek, (2) urutan kata, (3) penggunaan kata ganti yang berlebihan, (4) penggunaan partikel agentif sama untuk menggantikan partikel agentif oleh, (5) penggunaan partikel sama untuk menyatakan kepada, (6) penggunaan partikel sama untuk menyatakan dengan, (7) penggunaan partikel proposisi di untuk menggantikan patikel preposisi ke. (8) penggunaan partikel preposisi di untuk menyatakan partikel preposisi pada, (9) penggunaan partikel preposisi di untuk menyatakan partikel preposisi dari, (10) penanggalan partikel pada untuk menytakan waktu, (11) penggunaan kata baru sebagai kata tumpuan
kalimat, (12) penanggalan preposisi oleh dalam kalimat pasif yang bersifat wajib, (13) pengingkaran di awal kalimat. (14) pemakaian kata ganti.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas, maka setiap komponen tersebut akan disajikan dalam bentuk contoh-contoh data.
1.1. Penanggalan Subjek
Gejala penanggalan subyek hanya terlihat dalam kalimat pemberitaan aktif, sedangkan dalam kalimat pemberitaan pasif gejala ini tidak ditemukan.
Contoh data interferensi sebagai berikut : (1) Bapak menyuruh membuat makalah.
(2) Mungkin tidak membayar juga.
(3) Membina juga di Hartaco, dua tempatnya mengajar.
Analisis :
a. Salah satu matra keumuman bahasa-bahasa adalah adanya unsure fungsi sintaksis yang sama, yaitu terdiri dari sebuah subjek dan predikat (Sudaryanto, 1992 : 9). Subjek dalam bahasa Indonesia dapat berupa kata ganti, kata benda, kata kerja, kelompok kata, kelompok kata yang dimulai kata yang, atau barang siapa, kalimat yang dimulai dengan bahwa, bahwasanya, ( Slametmulyana dalam Kamaruddin, dkk, 1998 : 56 ).
Berdasarkan tuturan mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, kalimat dalam data tersebut tidak mempunyai subyek pelaku yang mendahului predikatnya, sehingga diperoleh bentuk yang seharusnya :
(1) Bapak menyuruh membuat makalah.
(2) Mungkin mereka tidak membayar juga.
(3) Dia membina juga di Hartako, dua tempat mengajarnya.
b. Dalam bahasa Bugis, kata ganti umumnya tidak dinyatakan berupa kata ganti yang berdiri sendiri, sebelum predikat seperti dalam bahasa Indonesia. Untuk menyatakan subjek itu, bahasa Bugis umumnya menggunakan sufiks yaitu – ak, -kik untuk orang pertama, -ko atau –kik untuk orang kedua, dan –I untuk orang ketiga walaupun bahasa Bugis mempunyai kata ganti untuk masing- masing persona I, II, III tersebut. Pola inilah yang mempengaruhi dwibahasawan Bugis–Indonesia menanggalkan subjek pelaku misalnya : (1) Alakik inanre maega.
(2) Laoko baliwi majjama tomatowannu.
(3) Maelo manengngi lao ri Pare–pare anak sikolae.
Dengan demikian, di depan predikat yang digarisbawahi pada contoh di atas seharusnya ada kata ganti atau kata lain yang bertindak sebagai subjek pelaku.
1.2. Urutan Kata
Interferensi akibat pengurutan kata yang menyimpang dari kaidah–kaidah atau pola bahasa Indonesia dapat terjadi pada tataran kalimat ataupun prase.
a. Penempatan subjek pelaku di belakang kalimat dalam kalimat aktif.
Contoh Data Interferensi :
(1) Padahal, di rumahnya menunggunya.
(2) Kalau memasukkan judul orang, kayaknya tidak segampang dulu.
(3) Harus banyak membaca orang itu baru jadi.
(4) Mesti berjalan orang.
(5) Selalu menangis mamaknya.
Analisis :
a. Dalam kalimat aktif bahasa Indonesia dikenal susunan S - P ( subjek predikat). Pola inilah yang merupakan pola dasar kalimat bahasa Indonesia.
Walaupun terdapat susunan predikat – subjek itu adalah akibat kaidah transpormasi yakni permutasi yang berfungsi pemfokusan. Berdasarkan pola dasar bahasa Indonesia, maka pada data di atas seharusnya berbentuk :
(1) Padahal anaknya menunggu di rumahnya.
(2) Kalau orang mau memasukkan judul, kayaknya tidak segampang dulu.
(3) Orang harus banyak membaca baru bias jadi.
(4) Orang mesti berjalan.
(5) Mamaknya selalu menangis.
b. Pola dasar bahasa Bugis mengenal susunan P – S ( predikat - subjek ) yang Subjeknya dinyatakan dengan sufiks –ak / -kik untuk orang I, -ko /- kik untuk orang II, dan –I untuk orang III. Pola dasar kalimat P – S ini hanya dapat diubah menjadi susunan S – P kalau terjadi pemfokusan terhadap subyek sehingga diterapkan kaidah transformasi yakni permutasi.
c. Oleh karena pola dasar kalimat bahasa Bugis bersusunan P – S, maka dwibahasawan Bugis – Indonesia cenderung menerapkan kaidah bahasa Bugis ini ke dalam pemakaian bahasa Indonesia terutama yang belum dapat
memisahkan secara tegas kedua kaidah yang berbeda ini ke dalam penggunaan bahasanya.
d. Penempatan deiktis sebelum kata yang ditunjuknya.
Interferensi akibat penempatan deiktis sebelum kata yang ditunjuknya dapat dilihat ada kalimat di bawah ini:
(1) Mengapa itu orang demo terus ?
(2) Biasanya itu teman-teman walaupun dia tahu bahwa mau prosentase selalu juga mengharapkan kita.
(3) Memang itu skripsi harus punya manfaat teoritis.
(4) Itu tman-teman tidak ada rasa tanggun jawabnya.
(5) Memang itu skripsi harus punya manfaatsecara teoritis.
(6) Baru itu definisi operasional berbeda sekali dengan definisi istilah.
(7) Itu yang mau cepat selesai punya orientasi yang jelas.
(8) Itu aktivitas dongeng bias berhenti kalau sudah sarjana.
(9) Itu judul yang cocok buat kamu.
(10) Karena itu judul ada semua kelemahannya.
(11) Harus diupayakan betul, supaya itu judul yang terbaik yang dipilih.
(12) Itu film bias juga diangkat menjadi skripsi.
(13) Jadi itu dongeng, ada nilai pelajaran di dalamnya (14) Ini kerja sosial namanya.
(15) Pernah itu dosen berkata,”apa kegiatanmu di situ?”
(16) Kesibukan apa saja pada waktu kamu mengurus itu festival ? (17) Bagaimanakah itu keadannya senat ?
Analisis :
a. Dalam bahasa Indonesia, deiktis sebagai perangkat frase selalu ditempatkan sesudah kata yang ditunjukinya. Berdasarkan susunan ini, bentuk-bentuk yang terdapat dalam kalimat data di atas, seharusnya sebagai berikut :
(1) Mengapa orang itu demo terus ?
(2) Biasanya teman-teman itu, walaupun dia tahu bahwa mau presentase selalu juga mengharapkan kita.
(3) Memang, skripsi itu harus mempunyai manfaat teoritis.
(4) Teman-teman itu tidak ada rasa tanggun-jawabnya.
(5) Definisi operasional itu berbeda sekali dengan definisi istilah.
(6) Yang mau cepat selesai itu, punya orientasi yang jelas.
(7) Aktivitas dongeng itu, bias berhenti kalau sudah sarjana.
(8) Judul itu yang cocok buat kamu.
(9) Karena biasanya, judul itu ada semua kelemahannya.
(10) Harus diupayakan betul, supaya judul itu, yang terbaik yang dipilih.
(11) Jadi dongeng itu, ada nilai pelajaran di dalamnya.
(12) Kerja sosial ini namanya.
(13) Pernah dosen ituberkata,”apa kegiatanmu di situ ?”
(14) Film itu bias juga diangkat menjadi skripsi.
(15) Kesibukan apa saja pada waktu kamu mengurus festival itu ?