• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angela

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 132-140)

Angela | Budi Darma

EPULUH tahun yang lalu saya lulus S3 Indiana University, Bloomington, Indiana, Amerika, lalu lima tahun kemudian saya menerbitkan buku New Paradigm of Psycho-Revenge, dan selama dua tahun berikutnya saya menerbitkan buku lain yang tidak begitu penting.

Berkat buku-buku itu sekarang saya kembali ke Indiana Uni- versity, dikontrak sebagai dosen mata kuliah Psikologi Sastra, mu- lai Januari ini, ketika salju sedang kencang-kencangnya menghan- tam seluruh Barat Tengah Amerika, termasuk Bloomington, India- na. Kamar kerja saya terletak di Lantai 12, dan dari situ saya dapat melihat bongkah-bongkah salju meluncur ke sebuah pemakaman tua berumur lebih dari seratus tahun.

Dulu saya kadang-kadang ke sana bersama seorang perempu- an Columbia, mahasiswa Ilmu Komunikasi bernama Angela Vicario.

Kebetulan di makam itu ada nisan bertuliskan nama Vicario, me- ninggal tepat pada tanggal 1 Januari 1900, tanpa penjelasan umur berapa dan asal usulnya dari mana.

S

124

Angela | Budi Darma

Perkenalan saya dengan Angela terjadi ketika dia dan saya sa- ma-sama bekerja di cafeteria Eigenmann Hall, asrama sekian ba- nyak mahasiswa dari lima benua, dan juga mahasiswa dari berbagai negara bagian Amerika sendiri.

Pada suatu malam, beberapa saat setelah cafeteria tutup dan kami berjalan bersama menunggu lift sementara suasana sudah se- pi, tiba-tiba Angela menggigil, kemudian jatuh, menggelepar- gelepar, nafasnya mendengus seperti nafas penghabisan sapi se- habis disembelih. Mau tidak mau saya harus menolong.

Angela bercerita, ibunya memperlakukan dia sebagai porse- lin, harus dijaga sepanjang hari, karena kalau porselin itu terjamah laki-laki, maka seluruh harkat, derajat, dan martabat keluarga Vica- rio akan hancur. Demikianlah, sejak kecil dia dipingit, dan setiap ada laki-laki lewat, jendela dan pintu rumah harus ditutup rapat.

Terceritalah, pada suatu hari semua tetangga terperanjat, ka- rena tiba-tiba seorang keturunan mulato datang, entah dari mana, lalu memperkenalkan diri, namanya Bayardo Sans Roman, punya peternakan sapi dan beberapa tambang batubara. Jalannya gagah, potongan tubuhnya mirip gladiator, kata-katanya meyakinkan, dan, katanya, dia datang sengaja untuk mencari istri. Demikianlah, maka dipinanglah Angela, dengan janji akan menjadikan Angela bi- dadari, dipuja dan dipuji setiap hari.

Mau apa lagi? Ayah Angela buta, ibunya pengangguran, dan dua saudara kembarnya, laki-laki bernama Pablo dan Pedro Voca- rio, suka mabuk-mabukan, bekerja sebagai penyembelih sapi, dan penghasilan mereka tidak sekedar kecil, tapi juga dihabiskan untuk judi dan minum.

Malam pertama perkawinan berakhir dengan tanda tanya.

Dengan halus Bayardo Sans Roman berkata: “Malam ini saya harus datang ke rumah orangtua kamu, membawa satu pak rokok, kulit- nya indah dan mengkilap, isinya bukan rokok, tapi puntung. Ada laki-laki lain yang sudah menghisap rokok, lalu puntungnya dilem- parkan kepada saya.”

125

Angela | Budi Darma

Maka, malam itu juga Bayardo mengantarkan Angela pulang ke rumah ibunya, lalu berkata sopan: “Terimakasih banyak, Ibunda Angela, ternyata kamu dapat mendidik anak perempuan kamu dengan sangat sempurna.”

Pablo dan Pedro amat murka, dan dalam keadaan mabuk ber- tanya: “Angela, adik tercinta, siapakah yang telah menodai kamu?”

Dia bingung, dan tanpa sadar terlontarlah kata-kata:

“Santiago. Santiago Nasar. Laki-laki kaya itu.”

Ibunya menimpali: “Kehormatan adalah kehormatan.”

Malam itu juga, menurut kabar angin, Pablo dan Pedro mi- num-minum di sebuah warung milik seorang perempuan mulato berjiwa sundal, yang menjual susu dan minuman keras. Susu, kata perempuan ini, putih tanda suci, dan minuman keras, kata perem- puan ini pula, pertanda bahwa dia tidak mungkin menghancurkan bakat sundalnya, karena menjadi sundal itu nikmat.

Di warung itu berkali-kali Pablo dan Pedro mengasah pisau mereka, sambil sesekali memandang ke tempat jauh, jendela kamar di loteng tempat Santiago tinggal bersama ibunya, semen- tara ayahnya sudah lama meninggal. Pablo dan Pedro tahu, Santi- ago tinggal di kamar itu, dan begitu waktunya datang, mereka akan menggorok leher Santiago seperti menggorok sapi.

Keesokan harinya terdengar kabar, Santiago kehilangan nyawa, disembelih bergantian oleh Pablo dan Pedro.

Pagi itu juga, dengan membawa uang dan perhiasan pemberi- an Bayardo, Angela Vicario melarikan diri.

Dalam pelarian dia bergulat melawan bajingan, penjual ma- nusia, biarawan palsu, polisi berhati anjing, iblis bertopeng manu- sia, dan semua bernafsu untuk memperkosa. Mula-mula dia selalu memberontak, tapi akhirnya dia hanya menyerah, karena baik memberontak maupun menyerah hasilnya sama: dia tetap pera- wan. Pada saat mereka hampir berhasil memperkosa, siapa pun laki-laki jahat itu, pasti mendadak lunglai. Seluruh tulang tubuh me-

126

Angela | Budi Darma

reka seolah-olah kehilangan tulang, dan jadilah tubuh mereka ong- gokan daging.

“Burhanto,” demikianlah kata Angela pada suatu hari, “apa- kah kamu merasa saya ini makhluk ajaib?”

“Tanganmu selalu dingin. Tidak seperti orang lain.”

“Tangan? Kamu kan belum pernah meraba-raba seluruh tu- buh saya. Tangan boleh dingin, siapa tahu bagian-bagian lain hangat.”

Sejak saat itu perlahan-lahan saya menjauhinya. Saya keluar dari cafeteria Eigenmann Hall, pindah ke cafeteria Commons. Tiga hari kemudian, ternyata dia juga pindah, menyusul saya ke cafe- teria Commons, dan jam kerjanya pun sama dengan jam kerja saya.

Untuk melepaskan diri tanpa melukai hatinya, pada suatu hari saya bertanya: “Angela, pernahkah kamu ke makam dekat Ballanti- ne Hall?”

“Kamu jangan meremehkan saya, Burhanto. Kamu kira saya tidak tahu. Di situ terbaringlah sebuah mayat. Vicario namanya.”

“Mungkin ada hubungan darah dengan kamu.”

“Perduli setan. Di Spanyol jutaan orang bernama Vicario. Di semua negara Amerika Latin Vicario bukan nama ajaib. Iblis berna- ma Vicario juga banyak di neraka.”

Tapi akhirnya Angela mengajak saya ke makam. Setiap kali saya menolak, matanya berkaca-kaca: “Burhanto, kamu tidak pu- nya hati, ya.” Dan setiap kali saya mengalah mengantarkan dia, tu- buhnya selalu dipepetkan ke tubuh saya. Dingin.

“Burhanto, kamu tahu saya punya darah pembunuh. Tengok Pablo dan Pedro. Saya punya darah judi. Tengok pula Pablo dan Pedro. Mereka pewaris tulen darah nenek moyang Vicario. Semua terbelit judi. Semua jatuh miskin. Darah saya hitam, Burhanto. Ko- tor. Darah kamu putih. Kalau saya jadi istri kamu, anak turun kita mewarisi darah kamu.”

“Angela, saya harus pergi. Ke perpustakaan. Sekarang juga.”

127

Angela | Budi Darma

“Saya ikut, Burhanto.”

“Maaf, Angela. Saya tergesa-gesa.”

Saya menyelinap ke Gedung Frangipani, berjalan melalui seki- an banyak lorong di Gedung Frangipani, sampai akhirnya tiba di bi- oskop Frangipani. Ada iklan film Amerika Latin, Chronica de Une Murte Anunciada.

Tiba-tiba saya merasa ada dengus nafas di belakang saya, dan dengus nafas itu tidak lain keluar dari mulut dan hidung Angela.

“Film mengenai pembunuhan,” kata Angela, “Keluarga Vica- rio membunuh karena dendam.”

Saya diam, berusaha menghindar.

Dia melanjutkan: “Ada seorang gadis bernama Angela Vicario.

Nama saya. Dipinang Bayardo Sans Roman. Persis kisah saya. Kata Bayardo, Angela ternyata kotor. Dikembalikan ke orang tuanya.

Saudara kembar Angela, Pablo dan Pedro Vicario marah, mendesak Angela untuk mengaku siapa yang mengotori dirinya. Angela mera- sa dirinya tidak kotor, tanpa sadar berseru: ‘Santiago Nasar.’ Maka disembelihlah Santiago Nasar oleh Pablo dan Pedro Vocario.”

Saya meninggalkan dia, tapi dengan sigap dia menangkap ta- ngan saya, menggelandang saya ke Perpustakaan Lily.

Kami langsung ke lantai bawah, menuju ke almari kaca, tem- pat penyimpanan rambut salah satu istri Hemingway. Hemingway memang terkenal suka memburu perempuan dan diburu oleh pe- rempuan. Semua perempuan yang diburu diperlakukan sebagai bi- natang buruan, dan semua perempuan yang tidak diburu mempersiapkan diri untuk memburu. Karena itulah, setiap kali dia menullis novel, dia selalu memburu atau diburu perempuan. Istri baru boleh, pacar baru juga boleh. Rambut di dalam almari kaca itu tidak lain adalah rambut salah satu istrinya menjelang dia menulis The Sun Also Rises, novel mengenai generasi yang hilang tergilas oleh Perang Dunia I.

128

Angela | Budi Darma

Angela menempelkan tubuhnya rapat-rapat ke tubuh saya.

Rasanya sangat dingin, dan karena sangat dingin, saya agak meng- gigil.

Ketika malam tiba saya lupa mengunci pintu, lalu tertidur, dan terbangun karena serangan mimpi buruk. Ternyata bukan mimpi buruk: Dengan nafas mendengus-dengus Angela menindihi tubuh saya.

“Bangsat!” teriaknya beberapa saat kemudian. “Ternyata ka- mu sama. Sama dengan Bayardo Sans Roman. Sama dengan se- mua bajingan yang akan memperkosa saya.”

Itulah pertemuan terakhir saya dengan Angela. Saya pulang ke tanah air. Menurut cerita teman-teman dari Bloomington, Ange- la akhirnya bertemu dengan seorang laki-laki dari Ethiopia, meni- kah, dan mengikuti suaminya ke Ethiopia.

Itu dulu. Dan sekarang, ketika saya membuka daftar mahasis- wa peserta mata kuliah saya, muncullah nama Angela Vicario. Dari potretnya saya tahu, dialah Angela Vicario dulu.

Kuliah sudah berjalan sebulan, tapi Angela tidak pernah mun- cul.

Ketika saya membuka pintu ruang kerja menjelang akhir se- mester, saya menemukan sebuah surat dekat lubang bawah pintu.

“Burhanto, Tony Mbanta, laki-laki Ethiopia itu, sama saja.

Gagah. Tapi tidak mampu menjebol harta karun saya. Perasaan saya sangat tersinggung. Dengan segala kesabaran, saya maafkan dia.”

“Untuk menghilangkan rasa malu dia kepada saya, dia melari- kan diri ke rapat-rapat orang-orang komunis. Dia sering diajak ke luar negeri. Ke Cina, ke Tajikistan, ke Rusia, dan entah ke mana lagi.

Dia sesumbar, pada suatu saat nanti dia akan jadi menteri.”

”Pada suatu malam apartemen kami digrebeg pasukan Kaisar Haile Selassie. Dia diseret ke lapangan terbuka, diberondong pe- luru.”

129

Angela | Budi Darma

“Saya kembali ke Bloomington. Baca buku-buku kamu. Kura- ng ajar! Kisah hidup saya kamu gali habis-habisan. Rahasia pribadi dan kesengsaraan saya kamu sajikan kepada pembaca dunia. Ingat, bukan saya yang membunuh Santiago, tapi karena saya, Santiago mampus.” [*]

130

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 132-140)