• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arsip Aku di Kedalaman Krisis

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 83-91)

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

Arsip Aku di Kedalaman

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

ALIMATini letaknya agak ke kiri, di antara lipatan udara ber- garam, botol kecap, dan daftar menu dengan serakan pasir laut tertempel pada “cover”-nya. Lalat memenuhi meja ma- kan, seperti titik-titik hitam bersayap.

Beberapa kalimat agak berantakan, ketika aku mencoba me- natap Ni Komang Ayu. Hewan kecil itu kadang bermain di antara rambut Ni Komang yang terurai panjang, seperti mengukur jarak antara kesunyian dan pikiran-pikirannya.

Tiga orang dari kota yang berlibur di pulau ini, Nusa Penida (namanya sering disebut sunfish), tampak seperti makhluk bodoh.

Mereka sibuk dengan mobilephone masing-masing. Ni Komang akan menemani mereka menyelam di beberapa titik di pulau ini, di Circle Bay, Mangrove. Ia tampak gelisah, seperti menemani gum- palan daging yang masing-masing sibuk memainkan tombol-tom- bol cahaya itu.

Aku melompat dari kalimat seperti di atas. Hampir menjatuh- kan botol saus di atas meja makan. Tiba-tiba angin dari laut bertiup kencang, menerbangkan cerpen ini. Aku mengejarnya. Angin ber- balik ke arah pantai. Telapak kakiku tertusuk-tusuk bangkai karang laut, terhampar putih sepanjang Pantai Ped. Aku berhasil menang-

K

75

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

kap cerpen itu, agak ke kiri, antara seekor anjing putih yang sedang bermain dengan ombak, dan bentangan rumput laut yang ditanam penduduk di sepanjang pantai.

Aku kembali ke meja makan yang penuh lalat itu. Aku duduk agak ke kiri antara banana juice dan pertanyaan: siapa yang telah menuliskan pikiran Ni Komang tadi dalam cerpen ini? Aku merasa tidak pernah menuliskannya. Bahkan Ni Komang tidak mengenal- ku. Tetapi siapa aku? Aku tidak ingin hadir sebagai misteri dalam cerpen ini. Tokoh-tokoh yang kutulis dalam cerpen ini tidak tahu kehadiranku. Bagaimana caranya mengenalkan diriku kepadanya, karena aku dan Ni Komang sama-sama tidak nyata. Kami berdua sama-sama seorang fiksi.

Kaki Ni Komang mulai bergoyang-goyang, seperti bisa mera- sakan mengalirnya kalimat di atas ke dalam sel-sel darahnya. Kali- mat yang seakan bisa merenovasi sel-sel darahnya. Ia seperti me- natapku, tatapan dari seorang laut yang ombaknya tidak pernah terlihat.

Cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman. Ni Komang ma- sih harus menjemput seorang tamu lagi dari Sanur yang ketinggal- an speedboat ke pulau ini. Di Toyapakeh, salah satu dermaga un- tuk speedboat, ia berdiri memandangi hamparan laut. Horison yang dibatasi sebuah pulau kecil, Ceningan, di depannya. Memben- tang seperti garis berkontur dengan bayangan Gunung Agung di belakangnya. Gelombang kabut selalu memperbarui kehadiran gu- nung itu. Kabut dan laut adalah cermin bergelombang yang me- mantulkan ilusi tentang cahaya. Itu yang sering dipikirkannya se- tiap memandangi gradasi dari laut maupun kabut.

Speedboat melaju seperti sebuah titik sedang membelah cer- min yang tidak pernah memantulkan kedalamannya sendiri. Pera- hu bermesin itu terus menyayat buncah-buncah air laut yang ber- hamburan pada dinding-dindingnya. Teknologi yang rapuh itu se- dang meluncur di permukaan laut, membuat titik hitam itu tampak seperti sebuah kesombongan yang rapuh.

76

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

“Selamat datang di Nusa,” katanya kepada tamu yang dijem- putnya.

“Maaf, saya terlambat,” kata tamu itu. Seorang lelaki berusia sekitar 38 tahun. “Cisco,” tamu itu memperkenalkan namanya. Aku menduga nama lengkapnya “Franscisco”, dari Perancis. Ia ter- kesan cukup tahu bagaimana berhadapan dengan orang Indonesia yang latarnya berbeda-beda.

“Kita masih punya waktu untuk minum. Speedboat untuk me- nyelam baru datang jam 12 siang ini,” ujar Ni Komang. Tamu itu me- nganggukkan kepala. Membawa tasnya menuju kendaraan yang akan mengantar mereka ke kafe, di pinggir Pantai Ped. Speedboat akan menjemput mereka di pinggir pantai itu menuju ke titik pe- nyelaman yang akan mereka tuju. Biasanya para penyelam menuju ke titik-titik di mana ikan seperti pari manta yang bentuknya mirip pesawat UFO, atau ikan mola-mola sering ditemukan.

Nita, instruktur untuk menyelam, sudah menunggu di kafe. Ni Komang bekerja sebagai asistennya, mengurus hal-hal yang lebih teknis. Tubuh Nita khas seorang penyelam. Tatapannya hampir se- lalu mengirim pesan bahwa ia selalu siap memberi perhatian. Teta- pi aku merasa tatapan itu kadang mirip kandang macan. Dari kandang itu seekor macan tiba-tiba bisa melompat dan menerkam- mu. Aku duduk agak ke kiri antara fins (sepatu bersirip untuk nye- lam), dan snorkel untuk bernapas saat menyelam yang dibawa Nita.

“Kenapa kita harus menyelam?” Nita mulai menyampaikan beberapa syarat penyelaman yang harus disepakati bersama empat penyelam dari kota yang harus mereka temani.

Speedboat mulai melaju dalam ayunan gelombang laut.

Belahan-belahan warna biru kelam, biru kehijauan, putih dari pan- tulan cahaya menciptakan tema-tema yang selalu bergantian pada belahan-belahan gelombangnya. Dinding-dinding batu yang berce- lah, putih oleh buih ombak yang menghantam dinding pulau. Selu- ruh penyelam sudah mengenakan wet suit, pakaian selam untuk menjaga suhu tubuh dari dinginnya kedalaman laut.

77

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

Dinding-dinding kesunyian mulai melayang bersama arus lem- but di bawah permukaan laut. Jam untuk menyelam yang meling- kar di tangan Ni Komang menunjukkan kedalaman 5 meter, terus turun hingga 8 meter. Jari-jari tangan dari 6 penyelam tampak me- nari-menari, menyampaikan bahasa isyarat dalam penyelaman.

Nyawa mereka mulai bergantung pada snorkel, yang menghubu- ngkan antara napas mereka dan tabung scuba yang menyimpan persediaan oksigen. Tubuh-tubuh yang telah bertambah dengan mesin.

Aktivitas gas dalam tubuh mulai berubah antara tekanan, vo- lume, dan suhu laut. Oksigen, karbon dioksida, dan gas-gas lainnya mulai diserap lebih banyak oleh para penyelam untuk bernapas.

Lalu lintas gas yang akan mengubah kesadaran mereka ke batas yang lain: antara keindahan, kelimbungan, dan manipulasi cahaya dalam laut. Ni Komang mendengar suara detak jantungnya sendiri, merayap, seperti gema yang memanjati dinding-dinding air.

“Apakah volume itu, apakah ukuran itu, apakah daya berat itu?” Pi- kirannya sering bergerak di sekitar pertanyaan ini setiap me- nyelam.

Mereka terus menyelam melampaui waktu 20 menit lebih. Ti- ba-tiba salah seorang penyelam, yang sering memisahkan diri dari penyelam lainnya, menendang tanaman karang di dasar laut deng- an kakinya. Beberapa tanaman patah dan hancur. Penyelam itu ke- sal karena sudah 20 menit menyelam, belum juga menemukan ikan pari manta atau mola-mola. Semua penyelam terkejut dengan tin- dakannya.

Nita mengejar penyelam itu, menyeretnya naik ke permuka- an. Di permukaan laut, macan dari kandang tatapan mata Nita me- lompat dan menerkam penyelam itu.

“Hei orang kota!” bentaknya. “Elu pikir elu emang siapa?!”

Karena kesal, Nita menggunakan gaya bahasa Jakarta ke penyelam itu. “Apa elu bisa nyiptain tanaman karang laut! Elu tau enggak, buat tumbuh 7 cm saja, tiap tanaman karang laut perlu waktu 1 taon. Kadang enggak cukup. Yang elu lakuin tadi, itu telah ngan-

78

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

curin waktu berpuluh-puluh taon hanya dalam beberapa detik kehi- dupan di dasar laut.”

Nita menyuruh penyelam itu naik ke speedboat. “Bangsat!”

Malam hari, para penyelam menginap di hotel mirip asrama calon pastor, di Toyapakeh. Cisco menginap di rumah penduduk.

Milik pamannya Ni Komang, I Gede Wicaksana. Pamannya banyak bercerita tentang masa kanaknya. Tentang ibunya yang bekerja membesarkan keluarga sebagai petani rumput laut. Merantau dari Klumpung, desa kelahirannya, ke Ped. Setiap malam, saat air laut surut, ia turun ke pantai memanen rumput laut. Menggigil dari dingin laut yang bersarang dalam tubuhnya.

Hari makin malam. Aku menyelusup masuk ke “kamar suci” di bale dangin. Sebelah kiri antara pura keluarga dengan kebun kela- pa dan kandang babi. Kamar suci, dalam tradisi Hindu-Bali, biasa- nya disediakan untuk orang tua menjelang kematian membawanya ke alam Mahabutha, alam yang non-material lagi sifatnya. Cerpen yang kutulis ini, seperti mendapatkan ruang kegelapannya dalam kamar kematian di bale dangin ini. Kegelapan untuk merenovasi cahaya.

Jam 8 pagi Gunung Agung berdiri sangat biru. Kami kembali menyelam, kali ini di titik yang lebih mendebarkan: Ceningan Wall, para penyelam menyebutnya. Pulau Ceningan hanya beberapa ra- tus meter di depan Nusa Penida, berdiri seperti taring batu yang menjulang dari dasar laut.

Kami menyelam sudah lebih 20 meter. Cahaya matahari mera- yap kian tipis. Kami mulai menggunakan senter, sementara dasar laut masih belum tampak. Ada seorang yang menyelam sampai 60 meter, dan dasarnya tetap masih belum terlihat. Maha kegelapan terbentang di bawah sana. Adakah proses pembentukan mikro biologi lain di bawah sana? Adakah semesta lain di dasar kegelapan laut?

Dunia visual dalam laut menghasilkan efek suara, seperti da- tang dari tulang belakang kepalaku. Suara itu menggali timbunan

79

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

memoriku. Pantulan cahaya di antara lendir-lendir yang melapisi tubuh berbagai jenis ikan, berbagai warna yang menghiasi Cening- an Wall, seperti saling merajut dan melebarkan kembali vibrasi suara-suara itu.

Pada momen ini, aku seperti mendengar lagi tembang doa- doa Hindu-Bali. Mengolah gas-gas non-material dalam jiwaku. Aku ingin menyebutnya sebagai gas-gas spiritual dan estetik. Nyanyian itu membuat lingkaran gema yang menutup batas akhir dari ke- mampuanku menjangkau sesuatu. Lalu sesajen-sesajen dipersem- bahkan, seperti sebuah konservasi teologis untuk keliaran manusia dalam menembus hal-hal yang tidak bisa dijangkaunya.

Ada jarak sangat tipis, sekitar 2 meter, antara mataku dan laut. Jarak itu dipisahkan kaca google untuk melindungi mataku dari iritasi air laut. Jarak itulah yang membuat kehidupan di dalam laut menjadi fiksi baru tentang ukuran dan cahaya. Semua yang ku- lihat dari balik kaca google itu membesar dua kali lipat dan lebih dekat setengah kali lipat.

Perubahan gelembung gas dalam paru-paru dan otakku se- makin membesar. Aku merasa kian melayang, mabuk. Ceningan Wall tiba-tiba berubah seperti monitor raksasa, menayangkan kehi- dupan kota. Tembang-tembang Hindu-Bali juga berubah kian riuh, bercampur berbagai bahasa asing dan mata uang asing. Monitor raksasa itu tiba-tiba runtuh ke dasar kegelapan mahabutha.

Lalu semuanya kembali hening. Keheningan yang seakan bisa kugenggam. Aku mulai melepas regulator dan selang snorkelku un- tuk bernapas, melepas tabung scuba dari punggungku. Kulihat ta- bung itu melayang, melepaskan gelembung-gelembung udara, te- rus turun ke dalam kegelapan mahabutha. Dan aku?

Aku sudah bukan aku lagi tanpa mesin bernapas itu.

Esok pagi, Ni Komang masuk ke kamar suci di bale dangin.

Membersihkannya. Ia menemukan buku kumpulan cerpen August Strindberg dalam kamar itu, Cerita dari Stockholm, terjemahan Ste- fan Danerek. Ia heran, siapa yang telah meninggalkan buku ini di

80

Arsip Aku di Kedalaman Krisis | Afrizal Malna

kamar suci? Nusa Penida tidak memiliki toko buku untuk menda- patkan Strindberg. Ia mencoba membaca bagian awal buku ini:

Cerpen tentang seseorang yang tidak memiliki aku. Karena, sejak kecil ia dibesarkan ibunya untuk tidak memiliki keinginan. Cerita yang ditulis Strindberg hampir 200 tahun yang lalu.

Ni Komang kemudian menutup buku itu. Ia seperti merasa- kan ada napas dan bau seseorang yang membaca dalam kamar suci itu. [*]

81

Dongeng New York Miring untuk Aimee Roux | Triyanto Triwikromo

Dongeng New York Miring

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 83-91)