• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gadis Kupu-Kupu

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 43-52)

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

EHELAI daun jatuh dari setangkai mawar, disusul derai bulu- bulu bunga ilalang yang berguguran. Senja dan angin laut melepas rekah-rekah kulit semesta di garis cakrawala. Merah bata berubah warna, menggelap, lambat laun menggulita. Bintik- bintik di atas sana, bintang-gemintang itu, ah, tak ada yang disebut rasi kupu-kupu.

Langit tak lagi sebenderang ketika engkau datang. Masih di sini aku menantimu, memegang selembar kertas bergambar kupu- kupu. Engkau berjanji mewarnainya dengan pastel biru. ’Mana ada

S

35

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

kupu-kupu bersayap biru?’ tanyaku. ’Ada! Kupu-kupu angkasa. Dia terbang sangat tinggi, menyatu dengan langit,’ jawabmu.

Kita masih sangat hijau saat saling berkenalan. Di gurun pasir pesisir ini, kita mengkhayalkan taman yang sama: tak perlu kaktus.

Kita lebih suka mawar, liuk-lekuk sungai dangkal yang airnya beni- ng menampakkan batu-batu, dan Dandelion yang berkejaran ditiup angin. ’Satu lagi. Harus ada bunga matahari. Harus!’ pintamu.

Jika ada bunga matahari di sini, kupu-kupu angkasa tak perlu ke sana, pergi ke langit untuk menghisap sari bunga. Ah, kupu-ku- pu bersayap biru, ada-ada saja engkau ini. Tapi, itulah yang aku rin- dukan dari kehadiranmu. Kini, aku menertawakan kebodohanku sendiri membacakan ensiklopedia kupu-kupu kepada siswa-siswi di kelas empat ini.

“Ada ratusan spesies kupu-kupu di dunia. Dua di antaranya bersayap biru, yaitu Polyommatus bellargus dan Morpho rhetenor helena.”

“Bolehkah gambar kupu-kupu ini saya warnai merah menyala, Pak Guru?”

“Boleh, Tanaya. Warnai sesukamu. Anak-anak, bebaskan ide- mu. Warnai kupu-kupu sesuai khayalan kalian. Lalu, sore nanti, te- mukanlah kupu-kupu itu di taman.”

Anak ini mengingatkanku pada tatap matamu. Setiap melihat- ku, engkau seperti melamun, seperti melihat lebih dalam dari seka- dar bertemu pandang. Lalu, engkau tiba-tiba tersenyum dan berpa- ling meninggalkanku, memburu kupu-kupu yang diam di ujung sana. “Ssssst, kita harus mengendap-endap. Jika engkau berlari, dia akan terbang!”

Engkau mengatupkan bibir, dengan sebatang telunjuk kaule- takkan bagai slot kunci pintu gerbang, dan spontan aku mema- tung. Pelan, pelan, pelan, hap! Telunjuk dan ibu jarimu berhasil me- nangkap sepasang sayap kupu-kupu. Engkau menari-nari kegirang- an mengejek aku yang sering gagal dalam operasi perburuan se- tiap senja itu.

36

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

Aku mencintaimu, kurasa. Ya, kurasa itulah alasanku datang setiap senja di taman ini, kadangkala lebih dulu tiba, tapi lebih sering terlambat. Sore itu, bibir mengerucut dan mata cemberut yang kuterima darimu. “Lama amat! Nih!” Engkau langsung pergi dari taman, seraya menyodorkan baju hangat dari rajutan benang wol hijau kesukaanku.

“Terimakasih. Eh, mau ke mana?”

Punggungmu lenyap di ujung jalan, dan enyahlah jawaban yang kutunggu. Baju hangat ini, ah, ada bordir kupu-kupu di bagian dada kiri. Seharusnya engkau mengucap lebih dari kalimat itu, en- tah mengapa bergegas pergi. Baju hangat ini untukku? “Ya, untuk kado ulang tahunmu, bodoh!” aku menggumam sendiri di ruang kelas.

Siswa-siswi sudah pulang. Pelajaran menggambar, mata pela- jaran dariku, adalah jam terakhir mereka. Tanaya, siswa baru dari Ubud, mengingatkan aku padamu. Pada pesisir, gurun pasir, Dan- delion, angin laut, dan kupu-kupu. “Aku Tanaka,” ujarku, meng- ulurkan tangan ke arahmu. “Aku Tanaya,” tukasmu. Kita bersala- man, tertawa.

Nama kita mirip. Engkau pindah dari Bandung, aku dari Sura- baya, dan kita berjumpa di Yogyakarta. Ayahmu dan ayahku sesa- ma pegawai perusahaan kereta api. Sekali keluarga pegawai ber- kunjung ke Pantai Parangkusumo, abadi ingatan kita yang melihat sejoli kupu-kupu berkejaran lalu hinggap di rumpun bunga mata- hari.

“Gara-gara kupu-kupu Lepidoptera, aku jadi suka juga warna oranye.”

“Lepidoptera?”

“Ya. Kupu-kupu oranye di Pantai Kupu-Kupu, Langkat, Suma- tera Utara.”

“Pantai Kupu-Kupu? Aku harus ke sana!”

37

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

Ya, engkau harus ke sana, Tanaya. Tapi, tidak hari ini. Tidak senja ini. Tadi malam, kita berjanji akan bertemu lagi di taman kha- yalan ini. Kubawa kertas bergambar kupu-kupu darimu, yang harus engkau warnai dengan pastel biru. Apakah engkau balas dendam padaku setelah dua hari lalu datang sangat telat? Engkau masih marah?

Malamnya aku sudah bertandang ke rumahmu membawakan sepotong kue dan mengucap terimakasih untuk baju hangat kado ulang tahun ini. Ini, aku pakai sore ini, baju hangat dengan bordir kupu-kupu di bagian dada kiri. Tak seharusnya begitu marah eng- kau padaku. Bahkan aku membantumu memasukkan baju-baju ke kardus.

Ya, Tuhan! Baju-baju, kardus-kardus. Engkau, engkau mau pergi ke mana? Alangkah bodoh aku yang melumat habis kudapan bikinan ibumu sambil membantu kalian merapikan rumah. Bodoh benar aku. Kusangka malam itu kalian merapikan rumah. Sampai rapi betul. Hampir semua perkakas dan baju dimasukkan ke kardus- kardus.

Butuh tumbuh mendewasa dulu untuk akhirnya paham ter- nyata malam itu malam terakhir kita. Engkau pergi tanpa berpamit- an, dan aku menunggu di taman, tak bergairah mengejar kupu-ku- pu seperti senja-senja yang telah kita jalani selama bertahun-tahun.

Dari taman, aku mendatangi rumahmu. Tak lagi berpenghuni.

Kata ayahku, kalian pindah ke Jakarta. Dan, kami pun tak lama lagi akan ke Surabaya. Ayahmu diangkat menjadi kepala stasi- un di Cikini, sedangkan ayahku memilih kembali ke kampung hala- man mendekati masa pensiunnya. Aku bersyukur pekerjaan orang- tua telah mempertemukan kita. Masih kusimpan foto kita di gerbo- ng kereta.

“Pernah, seekor kupu-kupu hinggap di kaca jendela kereta api yang kunaiki dari Bandung. Dia diam saja sepanjang perjalan- an.”

“Tidak engkau tangkap?”

38

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

“Aku memandanginya sampai terlelap, dan tahu-tahu kami sudah sampai di Yogyakarta.”

“Dan, kupu-kupu itu?”

“Itulah kupu-kupu bersayap biru yang pernah kulihat dan tak kulihat lagi.”

Entah Polyommatus bellargus dari Inggris atau Morpho rhetenor helena dari Amerika Selatan, tak kudebat ceritamu ten- tang kupu-kupu bersayap biru di kereta api pagi itu. Jika kita bisa mengkhayalkan taman gurun pasir di pesisir, dengan rimbun ma- war, sungai, dan Dandelion, apa pun bisa saja kita sulap dalam sekejap. Simsalabim!

Engkau menamai kupu-kupu oranye yang kusuka dengan se- butan Kupu-Kupu Tanaya. “Agar engkau selalu mengingatku,” se- rumu. Dan kunamai kupu-kupu biru dengan julukan Kupu-Kupu Ta- naka. “Engkau takkan pernah terlelap lagi memandanginya, seperti ketika menatap aku.” Ah, masa-masa konyol itu kini terngiang kembali.

Masih rapi terlipat baju hangat darimu di lemari. Ah, andai punya istri, aku akan memintanya merajutkan baju hangat dengan bordir kupu-kupu di bagian dada kiri. Baju hangat ini aku temukan di binatu. Entah bagaimana bisa tercampur dengan baju-bajuku yang lain. Sudah ada begitu saja kala kuambil baju-bajuku dari sana.

Ya sudah, kupakai saja siang ini ke sekolah. Tanaya, siswi yang lekas mengingatkanku padamu, sempat bertanya, ”Pak Guru suka kupu-kupu ya? Ibuku juga! Baju ini rajutan istri Pak Guru?” Aku ter- bengong. Merah padam romanku, antara malu dan ingin menja- wab, “Sampai sekarang, Bapak masih membujang.”

Sebenarnya, aku ingin pula bertanya siapa Ibu anak itu. Tapi, alangkah tak sopan. Setelah uban mengeroyok seluruh kepalaku, barulah aku kini menyesal mengapa tidak sekali itu mendobrak ke- sopanan. Dia Tanaya dan engkau Tanaya. Setidaknya, aku bisa ba- sa-basi dengan bertanya, “Siapa yang memberimu nama, Nak?”

39

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

Ah, sudahlah. Gara-gara Kopi Bali ini berlogo kupu-kupu, me- ngapa pula ingatanku terbang jauh ke masa lalu? Baiklah, Nona, se- cangkir kopi Luwak khas Bali. Berapa pun, akan kubayar asalkan se- telah engkau sajikan kopi itu engkau lantas duduk menemaniku.

Takkan kuceritakan padamu selain mengapa aku mencintai kupu- kupu.

“Saya juga cinta kupu-kupu, Om.”

“Hush. Jangan panggil aku Om.”

“Maaf. Saya harus menyapa Anda bagaimana?”

“Tanaka. Namaku Tanaka. Seluruh rambutku sudah perak, memang, tapi engkau tak punya alasan menyebut aku Om. Siapa namamu?”

“Tanaya. Tunggu sebentar, saya akan bawakan Kopi Luwak khas Bali dari The Butterfly Globe Brand, lalu kita akan mengobrol tentang kupu-kupu.”

Tanaya? Tanaya lagi? Malam apa ini? Mengapa malam ini selu- ruh ingatanku disergap ribuan kupu-kupu biru dan namamu? Sudah tiga puluh lima tahun, mungkin lebih, kita terpisah. Tanaya, untuk- mu yang di sana, entah kau di mana, rinduku terjaga, selalu berja- ga, untukmu, Cinta. Kurasa, aku cinta padamu. Gagal aku melupa- kanmu.

“Siapa tadi nama Om? Eh, Anda?”

“Tanaka. Dan, engkau Tanaya.”

“Ta-na-ka. Seingat saya, ada seorang guru di sekolah dasar yang bernama Tanaka.”

“Engkau Tanaya, gadis kupu-kupu?”

“Ya, Tuhan! Pak Tanaya?”

Secangkir Kopi Bali mempertemukan aku dengan siswiku di sekolah dasar. Ingin aku menceritakannya padamu, Tanaya. Sudah berlembar-lembar surat kutulis. Kutumpahkan kisah-kisahku sejak engkau pergi tanpa berpamitan. Setiap surat kuakhiri dengan

40

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

stempel bertinta biru bergambar kupu-kupu. Entah ke mana harus mengirimnya.

“Ibumu. Dulu aku ingin bertanya siapa Ibumu dan dari siapa kaudapatkan nama Tanaya.”

“Dari ibuku. Dia juga bernama Tanaya.”

“Tanaya? Perempuan ayu dengan bekas luka di lengan kirinya?”

“Om tahu dari mana? Eh, Pak Guru..”

Engkau memanjat pagar bambu, tak mau mendengar kata-ka- taku. Bukan kakimu yang ringkih, tapi deretan bambu itu. Engkau terjatuh, lengan kirimu terkoyak ditembus bambu, dan kupu-kupu yang kau incar pun kabur menertawakan kita. Mana bisa aku me- lupakan kebodohanmu? Tak akan hilang bekas luka sedalam itu.

“Ibu masih ada. Tapi, sekarang lebih sering melamun. Me- mandang jauh, entahlah, sepertinya dia menunggu seseorang.”

“Menunggu ayahmu?”

“Ibu seorang diri merawat saya. Ayah tidak pernah pulang se- jak pergi melaut ketika saya masih bayi.”

“Kalian tinggal di Kedonganan?”

“Ya. Dulu. Ibu lalu membawa saya ke Ubud. Kami lama ting- gal di sana. Semula, ibu ingin menjauh dari angin laut. Tapi kami se- karang di Legian. Ibu ternyata tak bisa jauh dari pantai. Dulu, sese- kali ibu suka sendiri menyusuri pesisir, tak peduli usianya sudah senja.”

“Apa sekarang kegiatan ibumu?”

“Dia sudah pikun. Sepanjang hari, ibu hanya merajut baju hangat. Nanti dulu, nanti dulu. Pak Guru juga memakai baju hangat ke sekolah!”

“Dengan bordir kupu-kupu di bagian dada kiri!”

“Ya, Tuhan! Pak Guru harus ikut saya ke rumah! Sekarang!”

41

Gadis Kupu-Kupu | Candra Malik

Kami bergegas ke Legian, malam ini, Tanaya, demi menemui- mu. Engkau masih ingat aku? Aku Tanaka, bocah yang suka meng- ganggumu setiap akan menangkap kupu-kupu. Kusenggol pundak- mu, buyarlah semua. Engkau marah mengejarku. Kita berlarian.

Dari mengejar kupu-kupu, menjadi saling berkejaran di antara kita.

Ayo masuk ke rumah. Angin malam terlalu dingin untukmu.

Ini, kubawa baju hangat dengan bordir kupu-kupu di bagian dada kiri. Kuperoleh dari binatu. Apakah ini milikmu? Aku tinggal tak jauh dari sini, tak pernah kusangka akan bersua engkau lagi di usia kita yang sesenja ini. Ayo Tanaya, masuklah ke rumah. Dingin di sini.

Lihat, lihat itu. Seekor kupu-kupu hinggap di daun pintu ru- mahmu. Kita harus mengejarnya. Seperti dulu tatkala senja tiba dan kita berdua saja di taman gurun pasir, dengan mawar, sungai dangkal yang airnya bening menampakkan bebatuan, Dandelion yang berguguran, dan tanpa kaktus. Tanaya, mengapa engkau diam saja?

Terpisah waktu, selama ini aku jauh darimu, tapi tak menye- rah kutempuh kesunyian untuk akhirnya bertemu lagi denganmu.

Setiaku padamu ada di sini, di dada ini, Tanaya. Perasaanku pada- mu sejati, dan aku percaya nyala cintamu padaku pun abadi. Maaf- kan aku yang sangat terlambat datang. Tanaya, ini aku Tanaka, ku- pu-kupumu. [*]

42

Lima Cerpen Sapardi Djoko Damono | Sapardi Djoko Damono

Lima Cerpen Sapardi Djoko

Dalam dokumen Kumpulan Cerpen Kompas 2014 (Halaman 43-52)