BAB II KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Teoretis
4. Bahasa di Lingkungan Teman Sebaya
rasionalitas dan logikanya ketika melakukan tindakan konsumsi.
Sedangkan sebaliknya ada konsumen yang terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya ketika melakukan tindakan konsumsi. Sebenarnya dia tidak memerlukan barang tersebut, namun karena teman-temanya mengajaknya untuk membeli, akhirnya dia membeli barang tersebut.
Tentu saja, tindakan tersebut bukan merupakan tindakan konsumen yang cerdas.
4. Bahasa di Lingkungan Teman Sebaya
konsep atau makna ‘sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok’
b. Pengertian Lingkungan Bahasa
Definisi, pengertian Lingkungan Bahasa yang relevan dengan masalah pemerolehan dan pebelajaran bahasa, dirumuskan Dulay sebagai segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh pembelajar tentang bahasa baru yang dipelajari (everything the language learner hears and sees in the new language). Segala sesuatu yang didengar dan dilihat pebelajar tentang bahasa baru yang dipelajari ini bisa mencakup berbagai situasi seperti percakapan di restoran dan di toko-toko, percakapan dengan teman, menonton televisi, membaca rambu lalulintas, membaca surat kabar, termasuk aktivitas di dalam kelas yang memberi kesempatan kepada para pebelajar untuk mendengar dan melihat berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa baru yang akan dipelajarinya.
Kualitas lingkungan bahasa amat menentukan dalam mencapai keberhasilan pembelajaran bahasa baru yang dipelajari, mungkin mereka mendapatkan sedikit keterampilan membaca, tetapi keterampilan mendengar dan berbicara akan tetap rendah karena berhadapan dengan bahasa yang baru. Para pebelajar bisa saja mengalami kesulitan dan merasa kecewa bila hanya mendapatkan pajanan dalam bentuk dialog yang terus menerus di dalam kelas. Pajanan dalam bentuk dialog seperti itu membuat mereka hanya menguasai keterampilan komunikasi di dalam kelas, tetapi masih mengalami kesulitan pada kondisi sosial lainnya, ketika
berada di luar kelas. Tanpa pajanan sama sekali pembelajaran tidak mungkin dapat dilakukan. Oleh karena itu lingkungan bahasa yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pebelajar untuk mendapatkan pajanan yang berkaitan dengan bahasa yang sedang dipelajarinya.
Lingkungan bahasa adalah keseluruhan kondisi yang memungkinkan pebelajar bahasa mendapatkan berbagai masukan tentang bahasa yang hendak dipelajarinya. Masukan-masukan itu bisa bersifat formal dan informal (alamiah). Dari sudut pandang ini Dulay, menjelaskan dua lingkungan bahasa yang memungkinkan pebelajar bahasa mendapatkan masukan tentang bahasa yang dipelajarinya yaitu lingkungan bahasa yang bercorak formal dan lingkungan bahasa yang bercorak alamiah (natural). Pengaruh lingkungan formal dapat dilihat pada dua aspek, (1) Urutan pemerolehan bahasa (2) Kecepatan atau keberhasilan dalam menguasai bahasa.
Percakapan yang berlangsung wajar dan normal antara dua orang bercorak alamiah bisa dilihat dalam percakapan di toko, bank, atau tempat-tempat orang berpesta. Dalam kondisi seperi itu orang yang terlibat dalam percakapan akan bertukar informasi ketika mereka berbahasa meskipun dalam keadaan terbatas. Pada saat mereka berbicara seperti itu, mereka melakukannya secara alamiah meskipun di balik struktur bahasa percakapan itu ada struktur bahasa yang diandaikan sudah diketahuinya. Bahasa yang digunakan dalam konteks ini hanya
untuk kepentinmgan komunikasi atau yang bercorak fungsional. Pada saat orang berbicara kaidah, struktur kebahasaannya dikesampingkan.
Lingkungan bahasa alamiah baik lingkungan asing (forreign environment) maupun lingkungan yang sudah dikenali (host environment) diyakini dapat memberikan sumbangan dalam meningkatkan keterampilan komunikasi. Meskipun demikian berbagai keterbatasan tentu tidak terhindarkan misalnya keterbatasan pembicara untuk berbicara seperti halnya penutur asli, ketidakpahaman akan komunikasi yang sedang terjadi, keterbatasan masa diam (silent period) yang membuat pebelajar hanya bisa menyerap dan belum bisa menggunakannya.
Llingkungan bahasa formal memberikan beberapa keuntungan (1) pebelajar dapat memodifikasi, merekonstruksi bentuk bahasa baru dengan bantuan kaidah yang telah dikuasinya sehingga bahasa itu dapat digunakan secara tepat sesuai dengan situasinya (2) Mempelajari kaidah atau pengetahuan tentang bahasa dapat memberi kepuasan kepada pebelajar sekaligus mendorongnya untuk terus mempelajari bahasa Indonesia.
Dalam kenyataan, keterbatasan lingkungan bahasa formal membuat pebelajar bahasa Indonesia bersikap ganda. Di satu sisi ada kenyataan dan klaim bahwa pengetahuan kebahasaan seseorang tidak selalu menjamin seseorang menggunakan bahasa itu secara benar dalam kumunikasi yang sebenarnya, di sisi lain pebelajar yang menyadari kaidah akan merasa aman ketika berkomunikasi. Terlepas dari keterbatasan
seperti ini, yang perlu disadari adalah proses belajar dan proses pemerolehan bahasa selalu menuntut adanya lingkungan bahasa.
Lingkungan bahasa mutlak diperlukan dalam proses belajar dan pemerolehan bahasa Indonesia.
c. Jenis Lingkungan Bahasa
Dilihat dari perspektif luas cakupannya Lingkungan bahasa dibedakan menjadi Lingkungan bahasa makro dan lingkungan bahasa mikro.
Sementara, berdasarkan bagaimana proses memperoleh dan mempelajari bahasa. Lingkungan Bahasa itu dibedakan menjadi Lingkungan Alamiah dan Lingkungan Buatan. Pemerolehan alamiah terjadi di pasar, di toko ketika orang beriteraksi sosial. Lingkungan buatan merujuk pada pembelajaran. Pembedaan ini memberi corak pemerolehan bahasa sebagai sesuatu yang informal sementara pembelajaran bercorak formal.
1) Lingkungan Bahasa Makro
Pembicaraan Lingkungan Bahasa dalam konteks Makro berkaitan dengan empat hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas pemerolehan bahasa yaitu (1) Kealamiahan (naturalness) bahasa yang didengar (2) peran pebelajar dalam komunikasi (3) ketersediaan berbagai referensi yang konkret untuk menjelaskan makna bahasa dan (4) persoalan siapa figur yang menjadi model untuk bahasa yang dipelajari sebagai bahasa target.
a) Kealamiahan
Kealamiahan bahasa yang didengar diasumsikan turut meningkatkan perkembangan keterampilan komunikasi bahasa. Pajanan alamiah pada bahasa baru memicu pemerolehan bawah sadar keterampilan komunikasi pada bahasa itu. Pengaruh positf dari pajanan terhadap komunikasi alamiah.
Salah satu karakteristik yang membedakan lingkungan alamiah dari lingkungan formal adalah ada tidaknya kesempatan mendapatkan pajanan alamiah (natural exposure). Lingkungan bahasa memungkinkan pebelajar berbicara dengan teman penutur asli menyangkut berbagai persoalan kehidupan mereka pada lingkungan yang baru. Situasi lingkungan bahasa asing biasanya membatasi pebelajar untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan minat mereka. Yang dibicarakan biasanya justru terfokus pada berbagai masalah formal bahasa yang dipelajari. Sesungguhnya pembelajaran itu penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa.
b) Peran Pembelajar dalam Komunikasi
Dulay dkk.menampilkan tiga tipe komunikasi yang memperlihatkan pebelajar terlibat yaitu (a) komunikasi satu arah (one way); (b) komunikasi dua arah terbatas (restricted two-way (c) komunikasi dua arah yang penuh (full two-way). Dalam model satu arah pebelajar mendengarkan atau membaca bahasa target tanpa merespon. Contoh komunikasi satu
arah ini mendengarkan pembicaraan dan mendengarkan siaran radio, menonton film, tayangan televisi, membaca buku atau majalah.
Dalam komunikasi model kedua, dua arah terbatas, pembelajar merespon secara oral pada seseorang tetapi pebelajar tidak menggunakan bahasa Indonesia. Respons dengan menggunakan bahasa atau cara komunikasi lain yang bukan bahasa Indonesia termasuk respons nonverbal misalnya menganggukkan kepala. Dalam komunikasi model ketiga dua arah penuh, pembelajar berbicara dalam bahasa Indonesia bertindak sebagai pengirim dan penerima pesan-pesan verbal.
c) Ketersediaan Referensi
Materi bahasa yang akan diajarkan kepada pebelajar pemula hendaknya disampaikan sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat dengan mudah menangkap makna meskipun dalam batas-batas tertentu.
Dalam konteks ligkungan bahasa makro hal ini penting karena berpengaruh terhadap keberhasilan perkembangan bahasa yaitu ada atau tidak unsur luar bahasa yang juga turut membantu pebelajar saat menangkap makna bunyi-bunyi aneh dari sebuah bahasa baru yang dipelajarinya. Lingkungan bahasa yang mendukung seperti ini disebut lingkungan bahasa yang mempunyai referensi konkret dalam arti subjek dan peristiwa dapat diindrai, dilihat dan didengar ketika bahasa itu sedang digunakan. Guru bahasa dituntut menyadari pentingnya menyediakan konteks melalui alat bantu visual, kegiatan-kegiatan motorik, dalam
konteks kini dan di sini agar makna bahasa baru itu dipahami secara jelas oleh para pembelajar awal.
Penutur yang bersifat keibuan biasanya berbicaa tentang kegiatan yang tidak memisahkan waktu dan tempat. Mereka tidak membahas apa yang akan terjadi minggu depan, bulan depan apalagi tahun depan, tidak berbicara tentang apa yang terjadi di tempat lain atau tentang peristiwa di tempat lain.
d) Model Bahasa
Di samping pengaruh positif lingkungan bahasa yang menjadi aturan di mana pebelajar tidak dipaksa untuk berbicara dengan bahasa baru sebelum mereka siap, terdapat lingkungan makro keempat yaitu sumber bahasa yang didengar pebelajar. Ada kemungkinan banyak model, contoh penutur (sebagai model yang potensial dan setiap mereka bisa berbicara dengan menggunakan bahasa gaul atau bahasa tidak baku tetapi setiap pebelajar tentu saja tidak memperlakukan mereka dalam cara yang sama. Perlu disadari bahwa meskipun banyak pajanan yang ditampilkan pebelajar tentu tidak seluruhnya belajar dari pajanan yang mereka dapatkan itu. Hasil pembelajaran yang tidak diharapkan kemungkinan terjadi sebagai hasil perhatian mereka yang cukup selektif terhadap model pembicara yang berbeda-beda dan bukan hasil dari persoalan-persoalan pembelajaran yang mereka miliki.
(1) Teman Sebaya dan Guru
Ada banyak contoh yang dilakukan pebelajar bahasa perihal model pembicara yang lebih disukai pebelajar dari pada pembicara lainnya. Hal ini jelas berpengaruh pada kemampuan dan kualitas berbicara mereka.
Ilustrasi berikut memberi gambaran tentang bagaimana pebelajar lebih menyukai satu model pembicara dibandingkan dengan pembicara lainnya.
Teman sebaya dan Guru terlibat dalam tindakan berbicara. Keduanya, baik guru maupun teman sebaya berbicara dengan menggunakan bahasa tidak baku.
Saat keduanya berbicara dengan bahasa tidak baku, berdasarkan observasi, ternyata pembelajar bahasa lebih menyukai teman sebayanya sebagai model. Ketika kemudian anak itu berpindah ke lingkungan kelas menengah dia lebih mudah dan dengan cepat menggunakan bahasa yang digunakan oleh teman-temanya.
Kemampuan berbicara pembelajar bukanlah hasil perbaikan terhadap masalah yang dihadapi anak berkaitan dengan penggunaan bahasa dan tidak memberikan gambaran tentang kualitas bahasa yang digunakan guru di dalam kelas. Hasil ini hanya mau memperlihatan tendensi atau kecenderungan pebelajar terhadap model atau bahasa yang lebih diminati.
(2) Teman Sebaya dan Orang Tua
Dalam pembelajaran bahasa ditemukan bahwa karakteristik pembicaraan antara orang tua dan teman sebaya itu berbeda, anaka-anak
cenderung mengikuti karakteristik pembicaraan teman sebayanya. Ada penelitian yang melaporkan bahwa anak-anak kulit hitam yang diteliti di Washington DC lebih suka menggunakan dialek teman sebayanya (dialek Inggris kulit hitam yang jauh berbeda dari dialek Inggris standar) daripada menggunakan dialek yang dipakai orang oragtua mereka. Kenyataan yang sama ditemukan bahwa baik anak kulit hitam maupun anak berkulit putih pada kelas menengah di daerah Timur Laut New Jersey lebih senang belajar mengucapkan r’s sebelum konsonan seperti kebiasaan temannya di Jerse daripada menghilangkan bunyi r’s itu seperti yang dilakukan orangtua mereka yang dibesarkan di New York. Penelitian ini mau menegaskan bahwa anak-anak belajar tentang tingkah laku berbahasa lebih banyak dari teman mereka daripada dari orangtua.
(3) Kelompok Sosial Sendiri dan Kelompok Sosial Lain
Selain tendensi umum, anak lebih menyukai teman sebaya daripada orang dewasa sebagai model dalam belajar bahasa, beberapa anak juga mempunyai kencenderungan terhadap dialek atau bahasa yang digunakan oleh anggota kelompok etnisnya sendiri. Salah satu penelitian yang dicatat Dulay mengungkapkan kenyataan bahwa anak-anak Maori lebih senang belajar dialek bahasa Inggris mereka sendiri daripada bahasa Inggris standar yang berlaku di Selandia Baru yang digunakan anak-anak. Dalam beberapa kasus tendensi ini secara sadar disampaikan guru. Seorang guru melaporkan bahwa seorang anak Maori berkata kepadanya seperti ini:” Orang Maori mengatakan ”Who’s your name?, jadi
saya mengataka seperti itu. Bahasa Inggris orang Maori sering dijadikan simbol penting bagi keanggotaan kelompok dan sumber keamanan bagi anak-anak ini. Dalam hal ini, pembelajar dengan mudahnya mengatakan bahwa dia ingin kedengaran seperti etnik yang diasosiasikan pada drinya.
Dengan ini mau dikatakan bahwa pentingnya bahasa sebagai penanda identitas kelompok sosial yang lebih disukai jangan dan tidak boleh diremehkan di dalam kelas. berbagai kecenderungan seperti yang digambarkan di atas, secara signifikan akan berpengaruh terhadap kualitas bahasa yang dihasilkan. Perbedaan karakteistik pembicaraan pembelajar yang dihasilkan berdasarkan pilihan model jelas bukan karena mereka kesulitan memepelajari bahasa indonesia tetapi keanggotaan sosial yang disenangi. Di sini jelas implikasinya bahwa ketersediaan model penutur yang berbeda menjadi kunci penentu kualitas bahasa yang dihasilkan pembelajar.
2) Lingkungan Bahasa Mikro
Faktor Lingkungan Mikro merupakan karakteristik struktur bahasa yang lebih khusus atau spesifik yang didengar pebelajar. Tercatat ada tiga faktor mikro untuk lingkungan bahasa yang telah diteliti dengan sudut pandang pengaruhnya tehadap tingkat dan kualitas pemerolehan bahasa yaitu Salience, Feedback, dan Frequency. Salience merujuk pada sesuatu yang paling menonjol. Feedback mengacu pada tanggapan pendengar atau pembaca terhadapa ucapan, dan atau tulisan pebelajar.
Frequency merujuk pada jumlah berapa kali pebelajar mendengar atau melihat sebuah struktur. Umumnya diasumsikan bahwa semakin banyak pebelajar mendengar struktur tertentu, semakin cepat struktur itu diperolehnya.
Lingkungan bahasa menurut Dulay, et al. (1982) merupakan salah satu komponen penting karena secara signifikan berperan meningkatkan motivasi dan penguasaan belajar . Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah siapakah yang bertanggung jawab untuk menciptakan dan mengembangkan lingkungan Bahasa. Dulay, et al.
(1982) menegaskan bahwa tanggung jawab penciptaan lingkungan bahasa di kelas adalah guru bahasa. Mengajarkan bahasa berarti menciptakan sebagian atau seluruh lingkungan bahasa sasaran bagi siswa.
Dalam implementasinya di sekolah, bentuk lingkungan yang dapat dikembangkan dapat berupa lingkungan verbal dan visual. Lingkungan bahasa dalam bentuk verbal dapat dikembangkan melalui aktivitas komunikasi lisan di kelas maupun di luar kelas misalnya tegur sapa antarteman dengan penyampaian pegumuman secara lisan, lomba pidato, debat , atau aktivitas-aktivitas lain yang memberikan kesempatan kepada siswa menggunakan bahasa secara kreatif sebagai alat komunikasi lisan. Sementara itu, pengembangan lingkungan dalam bentuk visual dapat dilakukan Majalah dinding, pengumuman tertulis, slogan-slogan, petunjuk-petunjuk tertulis.
Untuk meningkatkan motivasi belajar bahasa, aktivitas pemerolehan bahasa itu hendaknya diciptakan sedemikan rupa.
Dalam implementasinya, guru diharapkan membiasakan penggunaan bahasa Indonesia di kelas maupun di luar kelas secara proporsional, bertahap, dan fungsional. Selain itu, guru juga membelajarkan siswa untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, bukan hanya membelajarkan aturan-aturan kaidah bahasa Indonesia atau pengetahuan tentang bahasa Indonesia secara analitis yang rumit, membosankan, dan membebani siswa. Beberapa lembaga pendidikan yang menekankan pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia membuktikan bahwa pembelajaran melalui pemerolehan menunjukkan hasil yang maksimal.
Allwright (dalam Ellis,1994: 565) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan “the fundamental fact of classroom pedagogy” karena di dalam kelas terjadi interksi langsung antara manusia yang berada di dalam kelas, yaitu komunikasi langsung antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan siswa dengan guru. Hal ini, menyatakan bahwa interaksi dalam proses belajar di kelas khususnya proses pembelajaran bahasa Indonesia sangatlah penting.
Steinberg (1993) menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas ada lima segi yaitu (1) Lingkungan pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas yang meliputi penyesuaian-penyesuaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan (2) Di
lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan guru berdasarkan kurikulum yang digunakan (3) di lingkungan sekolah disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan alamiah (4) di lingkungan kelas sering disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial (buatan), tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah (5) Di lingkungan kelas disediakan alat-alat peraga seperti buku teks, buku penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselasaikan,dan sebagainya.
d. Karakteristik Bahasa
Telah disebutkan di atas bahwa bahasa adalah sebuah sistem berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa di antara karakteristik bahasa adalah arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
1) Bahasa Bersifat Abritrer
Bahasa bersifat arbitrer artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepi makna tertentu. Secara konkret, alasan “kuda” melambangkan ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’ adalah tidak bisa dijelaskan.
Meskipun bersifat arbitrer, tetapi juga konvensional. Artinya setiap penutur suatu bahasa akan mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Dia akan mematuhi, misalnya, lambang ‘buku’
hanya digunakan untuk menyatakan ‘tumpukan kertas bercetak yang dijilid’, dan tidak untuk melambangkan konsep yang lain, sebab jika dilakukannya berarti dia telah melanggar konvensi itu.
2) Bahasa Bersifat Produktif
Bahasa bersifat produktif artinya, dengan sejumlah besar unsur yang terbatas, namun dapat dibuat satuan-satuan ujaran yang hampir tidak terbatas. Misalnya, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS. Purwadarminta bahasa Indonesia hanya mempunyai kurang lebih 23.000 kosakata, tetapi dengan 23.000 buah kata tersebut dapat dibuat jutaan kalimat yang tidak terbatas.
3) Bahasa Bersifat Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahwa bahasa itu tidak lepas dari berbagai kemungkinan perubahan sewaktu-waktu dapat terjadi.
Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja terdapat kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi.
4) Bahasa Bersifat Beragam
Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan yang berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam, baik dalam tataran fonologis, morfologis, sintaksis maupun pada tataran leksikon. Bahasa Jawa yang digunakan di
Surabaya berbeda dengan yang digunakan di Yogyakarta. Begitu juga bahasa Arab yang digunakan di Mesir berbeda dengan yang digunakan di Arab Saudi.
5) Bahasa Bersifat Manusiawi
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal, hanya dimiliki manusia. Hewan tidak mempunyai bahasa. Yang dimiliki hewan sebagai alat komunikasi, yang berupa bunyi atau gerak isyarat, tidak bersifat produktif dan dinamis.
Manusia dalam menguasai bahasa bukanlah secara instingtif atau naluriah, melainkan dengan cara belajar. Hewan tidak mampu untuk mempelajari bahasa manusia, oleh karena itu, dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi.
e. Pengertian Gaul
Kata gaul bisa diartikan sebagai Anak Layangan, Anak Lebay, Anak Kelayapan dan sebagainya. Anak-anak tersebut sering didefinisikan sebagai anak-anak yang berkelakuan ‘tidak biasa’ atau dapat dikatakan berlebihan. Anak-anak ini ingin diketahui statusnya di antara teman-teman sejawatnya, mereka ingin selalu memperlihatkan keeksisan atau kenarsisan mereka dalam segala hal. Misalnya dalam hal berpakaian, bertingkah laku serta berbahasa (baik lisan maupun tulisan).
Pengertian ‘alay’ menurut beberapa ahli:
1) Koentjaraningrat
"Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya di antara teman-temannya. Gejala ini akan
mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca:
Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar".
2) Selo Soemaridjan
"Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat di antara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu."
Dalam ilmu bahasa, bahasa gaul termasuk sejenis bahasa ‘diakronik’, yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkembang karena fenomenal sosial tertentu.
Bahasa Alay menurut Sahala Saragih, dosen Fakultas Jurnalistik Universitas Padjajaran, merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas mereka. Tentu saja itu tidak mungkin digunakan ke pihak di luar komunitas mereka misalnya guru dan orang tua. Penggunaan bahasa sandi itu menjadi masalah bila digunakan dalam komunikasi massa karena lambang yang mereka pakai tidak dapat dipahami oleh
segenap khayalak media massa atau dipakai dalam komunikasi formal secara tertulis.
f. Karakteristik Bahasa Gaul
Semakin banyak pengguna bahasa gaul pada kalangan remaja, variasi atau karakteristiknya pun semakin beragam antara lain:
a) Pemakaian huruf besar kecil yang berantakan dalam satu kalimat.
Contoh: “kaMu Lagi nGapaiN?”
b) Penggunaan angka sebagai pengganti huruf.
Contoh: “k4mu l49i n94p4in?”
c) Penambahan atau pengurangan huruf-huruf dalam satu kalimat.
Contoh: “amue agie ngapaein?”
d) Menambahkan atau mengganti salah satu huruf dalam kalimat.
Contoh: “xmoe agie ngaps?”
e) Penggunaan simbol-simbol dalam kalimat.
Contoh: “k@mu L@g! nG@p@!n?”
g. Asal Mula Penggunaan Bahasa Gaul
Dengan semakin berkembangnya usia seseorang maka rasa ingin tahu akan suatu hal menyebabkan seseorang menggunakan bahasa gaul teknologi, terutama berkembangnya siklus jejaring sosial, seperti facebook dan twitter. Pada tahun 2008, muncul suatu bahasa baru di kalangan remaja, yang disebut bahasa gaul. Kemunculannya dapat dikatakan fenomenal, karena cukup menyita perhatian. Bahasa baru ini seolah