• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi Fakhruddin ar-Razi

BAB III BIOGRAFI PENULIS DAN PROFIL KITAB TAFSIR

C. Biografi Fakhruddin ar-Razi

Fakhruddin ar-Razi adalah salah satu ulama besar dalam dunia khazanah Islam, secara khusus dalam bidang tafsir. Nama lengkap ia adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Umar ibn Husain bin Husain bin Hasan bin „Ali al-Tamimi al-Bakari al-Tibristaniar-Razi dan diberi gelar Fakhruddin.Ia lahir di Ray pada tanggal 25 Ramadhan 544 H (1148-1209

6 Usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan itu, http://kbbi.web.id/konsiliasi,diakses pada 29 Juni 2017, pukul 13.10

M). Aslinya dari Tabaristan. Ia termasuk salah satu keturunan Arab yang silsilahnya sampai pada Abu Bakar as-Shiddiq.

Fakhruddin ar-Razi berasal dari keluarga yang berpendidikan sehingga bukan hal yang aneh, jika sejak kecil ia sudah menggeluti dunia agama. Ayahnya bernama Dhiya al-Dhin Umar, salah seorang ulama besar yang bermadzhab Syafi‟i yang dikenal sebagai ulama yang ahli dalam bidang fiqih dan kalam.7

Ar-Razi tumbuh dewasa dengan menuntut ilmu dan ia melakukan musafir ke tempat-tempat terkenal, seperti Khawarizmi, Khurasan dan benua lainnya.8 Dalam menempuh pendidikannya, ia pertama kali belajar dari orang tuanya yang merupakan ulama besar. Selanjutnya Fakhruddin ar-Razi belajar kepada ulama-ulama besar lainnya. Ia belajar filsafat dari dua ulama besar bernama Muhammad al-Baghawi dan Majdin al-Jilli, ilmu kalam dipelajarinya dari gurunya Kamaluddin al-Sam‟ani. Dengan keuletan dan kecerdasannya itulah, ia mampu menghafal risalah teologi as-Syamsi fî Ushuluddîn, karya Imam al-Haramain (Abu al-Ma‟ali al- Juwaini).9

Fakhruddin ar-Razi bukan ulama yang hanya menguasai tafsir, akan tetapi ia juga ahli dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam. Ia juga berbicara soal astronomi, juga tentang langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan tentang manusia. Tujuan utama ia adalah untuk menolong kebenaran serta mengenengahkan bukti-bukti adanya Allah swt, di samping menentang ulah orang-orang yang tersesat.

7 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 53

8 Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2006), h. 320

9 Fakhruddin ar-Razi, Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam, Terjemah Mukhtar Zoernidan Jakos Kahlan, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 3

50

Diantara karya-karya ar-Razi yang terkenal: Mafâtih al-Ghaib, Lawami’ al-Bayyinâh, Ma’alim Ushuluddîn, Muhashshil al- Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn min al-Ulama wa al-Hukamâ, Asrar at-Tanzîl fi at-Tauhid, al-Mabahits al-Masyriqiyah, al-Mudzaj al- Ulum, al-Mahshul fî Ilmi al-Ushul, as-Sirr al-Maktum fi Mukhatabah an- Nujûm, al-Handasah, dan masih banyak yang lainnya.10

Fakhruddin ar-Razi wafat di Herat pada hari Senin, 1 Syawal 606 H, yang bertepatan dengan tahun 1148-1210M. Dengan demikian perjalanan hidup ia 62 tahun.11

D. Profil Tafsir Mafâtihal-Ghaib

Kitab tafsir ini terdiri dari delapan jilid yang tebal, dicetak dan tersebar di kalangan orang-orang yang berilmu. Kitab ini mendapat perhatian yang besar dari para pelajar Al-Qur`an karena kitab ini mengandung pembahasan yang dalam mencakup masalah-masalah keilmuan yang beraneka ragam.

Kitab ini ditulis dan diselsaikan oleh tangannya sendiri, meski terdapat keraguan apakah ia benar-benar menyelesaikan tafsirnya hingga juz 30.12 Tentang hal ini, di dalam muqadimah tafsir Mafâtih al-Ghaib, Ali Muhammad Hasan al-Amariz berkata di dalam kitabnya bahwa sesungguhnya ar-Razi telah sempurna dalam menafsirkan Al-Qur`an.

Kitab ini diterbitkan diberbagai kota, antara lain: dicetak pertama kali di Kairo, tepatnya di kota Bulaq pada tahun 1278-1279 H, yang terdiri dari 6 jilid. Selanjutnya dicetak kembali di Kairo pada tahun 1309 H sebanyak 8 jilid. Setelah itu dicetak kembali di Qosthanthaniyyah pada

10 Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 321

11 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

54

12 Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar El-fikr, 1933), h. 1

tahun 1307 H, di Theran pada tahun 1335 H, Kairo pada tahun 1352 H dengan 30 juz dalam 16 jilid dan di tahqiq oleh Yuhyi ad-Din.

Lalu dicetak ulang di Beirut oleh penerbit Dar al-Kitab al- Alamiyyah disertai dengan daftar isi. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang paling banyak ditunjuk oleh para ulama tafsir dari segi rasionalitasnya. Sebab tidak ada satupun ulama setelahnya dalam penafsiran rasionanya, kecuali merujuk kepada kitab tafsir ar-Razi ini.

Diantara mufassir yang merujuk kepada kitab tafsir ar-Razi ini adalah al-Naisabury dalam kitabnya Gharâ’ib al-Qur`an, al-Baidhawiy dalam tafsirnya Anwar at-Tanzîl, al-Alusi dengan kitabnya Ruh al- Ma’anî, al-Qasamiy dalam kitabnya Mahasin at-Ta’wîl, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manâr, dan Thabathaba‟i dalam tafsir al-Mîzân.13

Dalam kitab ini, terdapat beberapa poin penting yang menarik perhatian, diantaranya:

1. Mengutamakan penyebutan hubungan antara surah dengan surah, ayat dengan ayat dan menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan-urutan Al-Qur`an.

2. Sering menyimpang ke pembahasan tentang ilmu matematika, filsafat, biologi dan yang lainnya.

3. Terdapat banyak pendapat para filosof, ahli ilmu kalam, dan ia selalu menentang pemikiran orang-orang Mu‟tazilah dan melemahkan dalil- dalil mereka.

4. Ia selalu menyebutkan semua madzhab fuqaha dalam ayat-ayat tentang hukum, akan tetapi ia lebih cenderung kepada madzhab

13 Sayyid Muhammad Ali Yazi, al-Mufassirûn Hayatuhum Wamanhajuhum, (Tahrain: Wazarotu Ats-Tsaqofati Al-Irsyad Al-Islami, t.th), cet. I, h. 655

52

Syafi‟i yang merupakan pegangannya dalam beribadah dan bermuamalat.14

1. Sumber Penafsiran

Dalam beberapa klasifikasi tentang kitab tafsir yang tergolong dalam bentuk ar-ra’yi, maka kitab tafsir al-Kabîr wa Mafâtih al- Ghaib karya monumental Fakhruddin ar-Razi juga termasuk sebagai kitab tafsir ar-ra’yi.15 Bentuk ar-ra’yi yang diterapkan oleh Fakhruddin ar-Razi dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur`an merupakan bagian konsekuensi dari pemahaman atau intelektualnya yang bukan hanya sebagai ulama tafsir ataupun fuqaha, namun sebagaimana yang disebutkan sebelumnya ar-Razi juga termasuk teolog dan seorang filosofis.

Beberapa literatur tentang metode tafsir hampir semua ulama sepakat bahwa kitab tafsir Mafâtih al-Ghaib termasuk kedalam kategori tafsir ar-ra’yi. Namun bukan berarti menafikkan riwayat (bi al-ma’tsur), melainkan didasarkan pada dominannya penggunaan ra’yi. Karena di dalam tafsir Fakhruddin ar-Razi tak sedikit menggunakan berbagai riwayat mengenai ayat yang ditafsirkannya.

Tafsir Mafâtih al-Ghaib atau dikenal juga dengan sebutan tafsir al-Kabîr, tafsir ini adalah salah satu tafsir biar-ra’yi yang paling komprehensif. Karena menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an dengan metode pendekatan penalaran logika. Diantara berbagai aspek tafsir pembahasan yang paling penting adalah persoalan yang berhubungan dengan ilmu kalam. Pembahasan ini pula yang memuat persoalan-

14 Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, h. 323

15 Nasharuddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 32

persoalan yang berhubungan dengan Allah swt, alam semesta dan manusia.16

2. Metode Penafsiran

Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya Mafâtih al-Ghaib ia menggunakan metode tahlili, yang menafsirkan ayat-ayat suci Al- Qur`an ayat per-ayat dan surat demi surat secara berurutan sesuai dengan susunan ayat dan surat dalam mushaf utsmani. Sistematika dalam metode tahlili, dapat dipahami bahwa penafsiran dengan metode ini memiliki rincian yang sangat luas dan menyeluruh. Secara ringkas dapat dikemukakan langkah ia dalam menafsirkan Al-Qur`an antara lain sebagai berikut:

a. Ar-Razi dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur`an terkadang ia memulainya dengan menyebutkan esensi disebutkannya surah ini setelah surah sebelumnya (munasabah antara ayat/surah). Bahkan dalam penafsiran ar-Razi tentang sebuah ayat tidak hanya cukup menyebutkan satu munasabah, akan tetapi lebih banyak dari munasabah ayat itu sendiri.

b. Mengawalinya dengan mengemukakan berbagai macam ragam qira’at.

c. Menyebutkan riwayat asbaban-nuzûlnya, apabila dalam surat tersebut terdapat ayat yang memiliki asbaban-nuzûl.

d. Analisis bahasa secara panjang.

e. Menyebutkan nama surah, tempat turun dan jumlah ayatnya.

f. Dalam setiap penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, seringkali memunculkan pertanyaan-pertanyaan.

16 Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur`an: Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 73

54

g. Diakhir setiap pembahasan surat yang ditafsirkan, ia selalu mengatakan wallahu ‘alam, sekaligus diakhiri dengan ucapan shalawat kepada Rasulullah saw.

Secara global, tafsir ar-Razi lebih pantas untuk digolongkan sebagai ensiklopedia yang besar dalam ilmu alam, biologi, dan ilmu- ilmu yang ada hubungannya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahaminya.17

3. Sistematika Tafsir

Sistematika tafsir ar-Razi pada penyajian awalnya menyebutkan ayat-ayat Al-Qur`an, kemudian mengemukakan penafsirannya dengan menunjukkan beberapa persoalan- persoalannya. Beberapa masalah tersebut kemudian diuraikan sesuai dengan pokok persoalan. Dalam beberapa prsoalan itu, disajikan pula tentang aspek-aspek yang terkait dengan tafsir, seperti bahasa, ushul fiqih, qira‟at, asbaban-nuzûl yang terkadang disertakan dengan sanad dan tanpa sanad hadis.

Kemudian dipaparkan beberapa syi‟ir dalam beberapa kesempatan ketika memberikan argumentasi kebahasaan, balaghah, maupun lainnya. Argumentasi ar-Razi dalam menyelesaikan sebuah persoalan dalam sebuah ayat, penafsirannya yang terkait dengan hadis relatif sedikit, bahkan sedikit pula pembahasan yang mengenai persoalan fiqih.18

17 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

58-61

18 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

66

4. Paham Teologi dan Madzhab Fiqih

Fakhruddin ar-Razi mempunyai cara pandang atau ideologi tertentu yang menjadi konsep ia dalam perjalanan intelektualnya. Ia bukan hanya seorang mufasir, namun ia juga seorang teolog dan fuqaha. Oleh karena itu, dalam persoalan teologi ia menganut dan membela ahlu as-sunnah waal-jama’ah (terutama aliran Asy‟ariyah), dan menentang ataupun menolak ajaran Mu‟tazilah serta menganut madzhab Syafi‟i di dalam persoalan fiqih.19

Dalam pemikirannya tentang masalah fiqhiyyah, ia menganut madzhab Syafi‟i dan berusaha mempertahankan ajaran ortodok dalam sebuah karya kitabnya al-Muhassal.20 Hal yang membuktikan bahwa ar-Razi menganut paham teologi Asy‟ari adalah banyak memadukan pola pemikirannya dengan pola pemikiran Asy‟ari, bahkan ia bukan hanya mendeklarasikan sebagai pengikut Asy‟ari tapi ar-Razi juga lebih cenderung dalam dunia filsafat. Dengan kata lain bahwa ia menerapkan pemikiran Asy‟ari dengan Ibn Sina. Dalam prakteknya ia mencoba menempatkan tradisi Asy‟ari ke dalam sistem filsafat yang dapat dirangkap oleh intelektual muslim melalui interpretasi21 yang logis.

Paham ar-Razi merupakan kombinasi dari paham tradisional dan rasional. Usaha-usahanya untuk mengkompromikan secara positif, berhadapan dengan berbagai kesulitan dalam memberikan sintesis,22 ia tidak berpihak pada pemikiran-pemikiran muslim

19 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

55

20 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1999), h. 341

21 Pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran, http://kbbi.web.id/interpretasi, diakses pada 29 Juni 2017, pukul 13.20

22 Paduan (campuran) berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras, http://kbbi.web.id/sintesis, diakses pada 29 Juni 2017, pukul 13.25

56

tradisional seperti Ibnu Taimiyah dan tidak berpihak pula pada pemikiran al-Tusi.23

E. Biografi Muhammad Abduh

Nama lengkap ia adalah Muhammad Ibn Abdullah Ibn Hasan Khairullah. Lahir di desa Mahallah Nashr provinsi al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M.

Ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr, sedangkan ibunya berasal dari desa Hashat Syabsir di al-Gharibiah. Ayahnya mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khathab,Khalifah yang kedua.24

Muhammad Abduh berasal dari keluarga pada umumnya, tidak kaya ataupun keturunan bangsawan. Ayahnya adalah seorang petani.

Ketika saudara-saudaranya dipercayai menggeluti usaha pertanian, Muhammad Abduh justru ditugaskan untuk terus menuntut ilmu.

Mungkin pilihan itu sekedar kebetulan. Namun, bisa jadi hal itu karena ia sangat dicintai orangtuanya.25

Dalam kepribadiannya, Muhammad Abduh dikenal sebagai orang yang berpegang teguh pada kejujuran dan kebenaran yang ia yakini.

Kejujuran yang ia miliki tampaknya terbina dengan baik dalam jiwanya yang berani. Di samping kejujuran dan keberaniannya, Muhammad Abduh juga merupakan orang yang memiliki semangat tinggi dalam menempuh kehidupan, terutama dalam studi dan pelaksanaan ibadahnya kepada Tuhan. Muhammad Abduh juga diketahui sebagai seorang yang

23 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

55

24 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus AN, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), cet. VII, h. vii

25 Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, h. 139

memiliki tanggung jawab yang besar. Di samping penampilan hidupnya yang memiliki rasa tanggung jawab besar, tokoh pembaruan Islam ini tampaknya juga pandai bergaul, dalam kata lain yaitu supel dan aktif berhubungan dengan orang lain.26

Masa pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan pelajaran dasar membaca dan menulis yang didapatkan dari orang tuanya sendiri.

Kemudian sebagai pelajaran lanjutan, Muhammad Abduh belajar Al- Qur`an pada seorang hafidz. Pada masa ini Muhammad Abduh telah menunjukkan kemampuannya, hanya dalam waktu dua tahun ia telah menjadi seorang hafidz yang mampu menghafal seluruh Al-Qur`an.27

Kemudian Muhammad Abduh melanjutkan pendidikannya di Masjid al-Ahmadi di Thantha, untuk mempelajari ilmu tajwid dan Al- Qur`an. Karena sistem pengajarannya yang kurang disenangi, ia memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara- saudara serta kerabatnya. Waktu kembali ke desanya, Muhammad Abduh dinikahkan oleh kedua orang tuanya, yaitu pada usia yang sangat muda 16 tahun.

Walaupun sudah menikah, ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali. Maka ia pindah ke desa Syibril Khoit, tempat pamannya tinggal. Paman Muhammad Abduh bernama Syaikh Darwis Khidr, ia adalah seorang ulama yang benar-benar memahami Al-Qur`an dan menganut Tarekat al-Syaziliah di tempat tinggalnya. Ditangan pamanya inilah semangat Abduh untuk belajar bangkit kembali.28

26 Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), cet. I,h. 43-44

27 Abdul Kholik, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1999), cet. I, h. 182

28 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

87

58

Kemudian Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar yaitu pada bulan Februari 1866 M. Dan pada tahun 1877 M, Muhammad Abduh lulus dari Universitas al-Azhar dengan mendapat gelar „Alim.29 Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang L.C) pada usia ke 28 tahun, Muhammad Abduh mengabdikan diri pada al-Azhar dengan mengajar manthiq (logika) dan ilmu kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya ia mengajar kitab Tahdzîb al-Akhlaq karangan Ibnu Maskawih serta sejarah peradaban kerajaan-kerajaan Eropa.

Pada tahun 1878 M, Muhammad Abduh diangkat sebagai guru sejarah pada sekolah Darul Ulum dan ilmu bahasa Arab pada Madrasah al-Idarah wa al-Alsun (sekolah administrasi dan bahasa-bahasa).30

F. Biografi Rasyid Ridha

Nama lengkap ia adalah Muhammad Rasyid bin „Ali Ridha bin Muhammad al-Baghdadi al-Husaini. Ia lahir di desa al-Qalamun, dekat kota Tripoli, Lebanon pada tahun 1865 M. Semasa kecil, Rasyid Ridha sekolah di madrasah tradisional untuk belajar Al-Qur`an, menulis dan berhitung. Pada tahun 1882 M, ia meneruskan ke madrasah al- Wathaniyyah al-Islamiyyah di Tripoli. Sekolah yang didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisri ini banyak dipengaruhi oleh ide-ide modern. Besar kemungkinan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh telah diketahui oleh Rasyid Ridha di sekolah ini. Oleh sebab itu, ia sangat berkeinginan untuk bertemu dengan dua pembaharu itu.31

Salah satu faktor penyebab Rasyid Ridha begitu kagum dengan Muhammad Abduh adalah karena majalah al-Urwah al-Wutsqa yang

29 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

87 30

Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, h. 141

31 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

91

ketika itu sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, termasuk sampai ke tangan Rasyid Ridha. Melalui tulisan-tulisan Muhammad Abduh dalam majalah tersebut, telah mampu mengubah jiwa kesufian Rasyid Ridha menjadi pemuda yang penuh semangat.32

Sewaktu Muhammad Abduh di asingkan di Beirut, Rasyid Ridha mendapat kesempatan untuk bertemu dan berdialog dengan Muhammad Abduh. Perjumpaan-perjumpaannya dengan Muhammad Abduh meninggalkan kesan baginya.33

Pada tahun 1897 M, Rasyid Ridha memutuskan untuk pergi dan menetap di Mesir, negeri Muhammad Abduh tinggal.34 Kemudian bersama gurunya Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah al-Manâr yang merupakan transkrip dari ceramah gurunya tersebut sebanyak 34 jilid. Dari sini, lalu tersebarlah tafsir al-Manâr.35 G. Latar Belakang Penulis Tafsir

Kehidupan penulis tafsir al-Manâr dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi sosial, politik dan budaya yang sangat memprihatinkan, tidak hanya di Mesir, tapi juga hampir seluruh negara-negara Arab.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat mendorong mereka menjajah dan menduduki negara-negara Arab, sehingga pada akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20 atau pasca perang Dunia ke II, Kamal al- Tahruk menghapus kekhalifahan Utsmani dan hampir semua negara

32 Kholid Hidayatulloh, Kontekstualisasi Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: El-Kahfi, 2012), cet. I, h. 65

33 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

92

34 Syaiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur’an, h. 148

35 Husnul Hakim Imzi, Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir, (Depok: Lingkar Studi Al- Qur`an, 2013), cet. I, h. 152

60

Arab berstatus sebagai negara jajahan.36 Di sisi lain muncul berbagai aliran yang berbeda di negara-negara Arab, seperti marxisme, materialisme nasionalisme, sosialisme, kapitalisme dan sebagainya yang menjauhkan kaum muslimin dari ajaran agama mereka.37

Di lain pihak, politik pemerintah dalam sektor pertanian memberlakukan sistem iqtha’ yaitu sistem kepemilikan tanah yang dikuasai oleh kerajaan Mamaluk Utsmani, para penguasa menjadi tuan tanah, sedangkan rakyat hanya menjadi penggarap semata. Sistem seperti ini tentu menyebabkan penderitaan bagi rakyat, sedangkan kekayaan bertumpuk ditangan para penguasa dan pejabat-pejabat istana. Di samping itu, politik kerajaan yang mengambil sikap isolasi terhadap Barat menambah keterpurukan, tidak hanya pada bidang-bidang intelektual, tetapi juga di bidang militer.

Menghadapi situasi ini, para cendikiawan di negara-negara muslim menghimbau umat Islam untuk kembali kepada ajaran agamanya dan mengamalkannya sebagai sumber inspirasi dalam perjuangan mereka menghadapi penjajahan dan penindasan. Meskipun himbauan ini mendapat sambutan hangat dari umat Islam dan munculnya gerakan pemikiran Islam yang berlandaskan Al-Qur`an dalam melancarkan reformasi mereka, namun pihak penjajah tidak tinggal diam melihat umat Islam untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segera mereka melancarkan jurus-jurus serangan untuk menumpas perlawanan kaum muslimin.

Latar belakang sosial tersebut mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sikap Muhammad Abduh dalam berpolitik dan berfikir.

36 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

89 37

Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manâr, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), cet. I, h. 15

Sebagaimana yang diketahui, orientasi politiknya adalah mengubah kondisi rakyat (desa) Mesir dan mengatasi problem masyarakat kelas bawah. Ia juga bercita-cita untuk menumbangkan sistem politik otoriter yang menindas rakyat. Oleh karena itu, tidak heran apabila ia mengutuk pemerintahan dinasti Muhammad Ali dan sistem politiknya yang otoriter.

Pengaruh sosial kemasyarakatan tersebut berpengaruh pula terhadap orientasi pemikirannya yang mengacu pada pemikiran dan pembaharuan di bidang akhlak dan pendidikan. Ia menggugat model lama dalam bidang pengajaran dan dalam memahami dasar-dasar keagamaan, ia mengaksentuasikan38 gerakannya pada bidang-bidang yang memang perlu di rehabilitasi, akibat adanya krisis dan dominannya peranan militer yang pernah direkayasa oleh Ahmad Urabi. Ia sendiri terlibat dalam pemberontakan Urabi. Oleh sebab itu, ia menghendaki sistem pendidikan yang mendorong tumbuhnya kebebasan berfikir dan menyerap ilmu-ilmu modern.39

H. Profil Tafsir

1. Latar Belakang Penafsiran

Tafsir al-Manâr ini pada mulanya adalah materi tafsir yang diajarkan Muhammad Abduh di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya Rasyid Ridha. Materi tafsir ini kemudian dipublikasikan secara berkala di majalah al-Manâr, yang diterbitkan di Kairo, tetapi pengaruhnya menyebar keseluruh Negara Arab.

38 Memberikan penekanan; menitikberatkan, http://kbbi.web.id/aksentuasi, diakses pada 29 Juni 2017, pukul 14.00

39 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h.

89-90

Dokumen terkait