• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tafsir Kementrian Agama RI

BAB III BIOGRAFI PENULIS DAN PROFIL KITAB TAFSIR

H. Profil Tafsir al-Manar

5. Tafsir Kementrian Agama RI

Zanjabîl artinya adalah jahe, para ulama berbeda pendapat mengenai jahe yang disebut pada ayat ini, sebagian ulama berpendapat bahwa jahe yang dimaksud bukan jahe yangdikenal di dunia. Jahe yang dimaksud adalah jahe khusus yang hanya ada di surga. Para ahli surga kelak akan disuguhi minuman yang dicampur dengan jahe, sehingga minuman itu terasa nikmat dan menyegarkan.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zanjabîl ini merupakan sebuah mata air yang terdapat di surga yang dinamai atau sifatnya adalah salsabîl (yang mengalir di kerongkongan dengan mudah).5

Dalam ayat ini, disebutkan jenis minuman yang dihidangkan di surga, yakni mereka diberi segelas minuman yang campurannya

4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbâh, Vol. 14, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), cet. V, h. 576

5 Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, Jilid 10, (Jakarta:

Departemen Agama RI, 2009), cet. III, h. 479

75

adalah jahe. Maksudnya, penduduk surga disuguhi minuman yang terbuat dari zanjabîl, yaitu sejenis tumbuhan yang cita rasanya lezat dan tumbuh di daerah Timur Tengah dahulu kala. Biasanya zanjabîl digunakan untuk wangi-wangian dan orang-orang Arab menyukainya.

Menurut Ibnu „Abbas, minuman, makanan, mata air, buah- buahan, dan lain sebagainya yang ada di dalam surga dan disebutkan di dalam Al-Qur`an, satu pun tidak ada tandingannya dengan apa yang ada di dunia. Kesamaan hanya pada namanya saja, sedangkan rasanya jauh lebih lezat dari apa yang ada di surga.6

6. Analisis Komparasi Tafsir

Pada ayat ini, keempat mufasir ini memiliki kesamaan dalam hal munasabah ayat. Dalam memaknai ayat, keempatnya mengaitkan ayat ini dengan ayat selanjutnya (QS. Al-Insân [76]: 18).

Thanthawi Jauhari memaknai ayat ini bahwa kelak di dalam surga Allah akan menjamu para hambanya yang berbuat kebaikan dengan segelas minuman arak yang campurannya adalah jahe.

Thanthawi juga menjelaskan, di dalam surga terdapat mata air yang bernama salsabîla dan salah satu mata air tersebut memiliki rasa jahe.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam menafsirkan ayat ini ar-Razi mengutip riwayat Ibnu Abbas, yakni bahwa jahe yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah jahe yang ada di dunia, melainkan jahe itu hanya penamaan semata.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, Jilid 10, h. 480

Selanjutnya Quraish Shihab, seorang mufasir asal Indonesia dalam kitab tafsirnya al-Misbâh, ia menjelaskan jahe itu berasal dari sebuah mata air surga yang dinamai atau ciri dan sifatnya adalah salsabîl. Quraish memahami kata salsabîl ini dengan sesuatu yang mengalir di kerongkongan dengan sangat mudah.

Terakhir, tim penyusun Tafsir Kementrian Agama RI memberikan penjelasan dengan mengungkapkan dua pendapat ulama.

Pertama, jahe dalam ayat ini bukanlah jahe yang ada di dunia, melaikan hanya ada di surga. Kedua, zanjabîl ini sebuah mata air dari syurga yang sifatnya salsabîla yaitu mudah mengalir di tenggorokan.

Keempat tafsir ini memiliki satu titik kesamaan, bahwa jahe yang dimaksud disini bukanlah jahe yang ada di dunia melainkan jahe yang ada di surga. Jahe disini semata-mata hanya penisbatan nama saja. Adapun jenis dan bentuk fisiknya sudah pasti berbeda.

Penisbatan ini memiliki keterkaitan erat dengan kegemaran bangsa Arab terhadap minuman jahe.

Namun, dalam hal ini Tafsir Kementrian Agama RI menjelaskan lebih spesifik mengenai gambaran jahe di surga dengan cara menganalogikannya pada tumbuhan jahe yang tumbuh di Timur Tengah. Mengingat ayat ini turun untuk penduduk Arab dan pada masa itu minuman jahe ini adalah merupakan salah satu favorit orang-orang Arab.

Selain itu, mereka berbeda pendapatmengenai keterkaitan zanjabîl dan salsabîl. Thanthawi Jauhari menjelaskan bahwa jahe ini juga merupakan salah satu sifat dari mata air dalam surga yang oleh Al-Qur`an disebut dengan nama salsabîla. Hal ini sedikit berbeda dengan penjelasan Tafsir al-Misbah dan Tafsir Kementrian Agama

77

RI, kedua tafsir menyatakan sebaliknya bahwa zanjabîl ini adalah sebuah mata air di surga yang memiliki sifat salsabîl (mudah meluncur di kerongkongan).

Menurut hemat penulis, perbedaan ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh kondisi geografis kedua mufasir. Mengingat Thanthawi Jauhari merupakan mufasir yang berasal dari Mesir, dimana rempah-rempah bukan makanan dominan di jazirah sana.

Sementara itu, Quraish Shihab dan Tim Penyusun Tafsir Kementrian Agama RI keduanya berasal dari Indonesia. Sebuah negara yang namanya sempat menjadi primadona di benua Eropa karena kekayaan rempah-rempahnya.

Namun, meskipun semua mufasir mengaitkan ayat tentang minuman jahe ini dengan mata air di surga yang bernama salsabîl.

Ada sedikit perbedaan mengenai penjelasan bentukan kata salsabîl.

Perbedaan ini ada pada Tafsir Mafâtih al-Ghaib dan Tafsir al- Misbâh. Pada kitab tafsir ilminya, ar-Razi mengutip pendapat dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa kata salsabîl ini jika ditinjau dari segi sharaf, maka dia merupakan khumasi. Dengan rincian, empat huruf asli kemudian ditambahi satu huruf, yakni bā`. Dimana jenis ini lebih dikenal dengan ruba‟i mazid biharfin. Tambahan huruf ini mengandung makna sangat nikmat.

Pada jalur yang berbeda, Quraish Shihab menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kalimat salsabîl ini jika dirincikan terdiri dari tiga huruf asli dan dua huruf tambahan yakni bā` dan yā`. Bentukan kalimat ini dalam ilmu sharaf lebih dikenal dengan sulasi mazid biharfain. Tambahan huruf disini mengandung makna melancarkan,

maknanya minuman dari mata air ini ketika diminum lancar di tenggorokan dan melancarkan pencernaan.

B. Ayat Tentang Bawang Merah dan Bawang Putih, QS. Al- Baqarah [2]: 61

























































































































“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi Kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta". lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi yang memang tidak dibenarkan. demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2]: 61).

79

1. Tafsir al-Jawâhir

Dalam menafsirkan ayat ini, Thanthawi menjelaskan dan (ingatlah) ketikakamu berkata: “wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja”yaitu makanan yang telah dianugerahi oleh Allah dari manna (madu) dan salwa (burung), maka mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami minta kepada-Nya dan katakan kepada-Nya agar mengeluarkan kepada kami menampakkan untuk kami dan memberikan apa yang ditumbuhkan oleh bumi seperti sayur mayur yaitu apa yang dikeluarkan oleh bumi dari sayuran dan yang dimaksud adalah rempah-rempah yang baik seperti na‟a (daun mint) dan karfas (seledri) dan kurros (daun bawang) dan lain sebagainya dan kittsa nya yang terkenal dan disebut juga mentimun dan fum nyayaitu gandum atau bawang putih kacang adas dan bawang merah, dia (Musa) menjawab, ”apakah kamu meminta sesuatu yang buruk?”

yang terburuk sebagai ganti dari sesuatu yang baik yang dimaksud adalah manna dan salwa.

Selanjutnya Thanthawi menjelaskan pergilah ke suatu kota dan sesungguhnya kalian akan memperoleh dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi apa yang kalian pinta. Kemudian mereka ditimpa kenistaan yaitu dijadikan kehinaan mengelilingi dan meliputi mereka dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah, hal itu terjadi karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan, yaitu

membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, demikian itu terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.7

2. Tafsir Mafâtih al-Ghaib

Banyak ulama tafsir menduga bahwa ayat ini merupakan bentuk pertanyaan yang bersifat maksiat kepada Allah. Tapi bagi ar- Razi bukanlah demikian. Menurut ar-Razi, hal itu dibuktikan dengan adanya firman Allah “wakulû wa asy-syrobû” pada ayat sebelum ayat ini ketika diturunkannya manna dan salwa sebagai jawaban kebolehan bagi Bani Israil akan permintaan makanan. Oleh karena itu, pertanyaan ayat ini bukan bentuk kemaksiatan, sebab ketika orang yang dibolehkan meminta satu macam makanan (mann wa salwa), maka menjadi suatu yang lumrah ketika meminta hal lain, baik oleh dirinya atau utusannya. Dan ketika mereka meminta kepada Nabi Musa, itu sebagai bentuk taqarrub kepada Allah melalui Nabi Musa, bukan suatu bentuk kemaksiatan.

Ada beberapa masalah terkait ayat ini yang berkenaan dengan pertanyaan jenis makanan yang laindan di dalamnya memiliki beberapa tujuan. Pertama, Bani Israil saat itu selalu mendapatkan satu jenis makanan saja selama 40 tahun, meraka berpaling dan menghindar dari Nabi Musa as. Kedua, mungkin saja mereka sejak dilahirkan tidak pernah kembali kecuali hanya pada satu jenis makanan. Kesenangan manusia akan kembali pada kebiasaanya, meskipun kebiasaan itu sudah dianggap mulia. Ketiga, atau bisa jadi itu merupakan kesombongan mereka dengan meminta makanan-

7 Syaikh Thanthawi Jauhari, Al-Jawahîr fîat-Tafsîr Al-Qur`an Al-Karîm, Vol. 1, h. 75

81

makanan yang tidak ditemukan kecuali di perkotaan. Tujuan sebenarnya yaitu mereka ingin pergi ke kota, bukan karena makanannya tersebut. Keempat, konsisten pada satu makanan menjadi sebab kurangnya syahwat, lemahnya pencernaan dan kecilnya hasrat. Sementara dengan banyaknya makanan akan menguatkan syahwat dan banyaknya kelezatan. Maka permintaan mengganti satu makanan dengan yang lainnya ialah bentuk permintaan yang timbul dari akal. Dan dalam Al-Qur`an tidak ada yang mengindikasi bahwa mereka dilarang, dan tentu saja bukan merupakan pertanyaan maksiat.

Hal itu dikuatkan dengan firman Allah “ihbitû mishran fainna lakum mâ sa‟altum” sebagai jawaban atas permintaan mereka.

Seandainya mereka maksiat pastinya jawaban tersebut merupakan jawaban maksiat dan itu tidak boleh ada atas Nabi.

Mereka yang mengklaim bahwa itu pertanyaan maksiat dengan beberapa argumen. Pertama, bahwa perkatan “kami tidak sabar atas satu makanan saja” sebagai bukti bahwa mereka benci atas diturunkanya mann dan salwa saja, benci adalah kemaksiatan.

Kedua, perkataan Nabi Musa,“apakah kalian hendak merubah yang lebih rendah atas yang lebih baik” sebagai istifham inkar, hal itu juga sebagai bukti bahwa itu kemaksiatan. Ketiga, pensifatan Nabi Musa bahwa apa yang diminta mereka lebih rendah juga sebagai bukti akan kemaksiatannya.

Sebagai jawaban atas argumen pertama, perkataan “kami tidak sabar atas satu makanan” bukan berarti mereka tidak suka dengan satu makanan itu, akan tetapi hanya menginginkan yang lain.

Sebab perkataan “lan nashbiro” menunjukan makna istiqbal; akan

datang, dan bermakna mengharapkan sesuatu di masa yang akan datang, jadi bukan membenci sesuatu yang sekarang (satu maknan).

Dari argumen kedua, bahwa perkataan Musa merupakan istifham inkar, pernyataan seperti itu kadang muncul sebab putusnya suatu hal yang manfaat, baik di dunia atau akhirat, sehingga itu bukan indikasi akan berdosanya mereka. Ketiga, perkataan bahwa “apakah kalian hendak mengganti sesuatu yang lebih baik dari yang rendah”, bahwa sesuatu yang ada terkadang memang lebih baik dari sesuatu yang belum nampak, jadi bukan seperti di atas dikatakan bahwa pertanyaan itu merupakan maksiat, tetapi merupakan pertanyaan yang diperbolehkan dan lumrah. Dan adapun kemurkaan Allah bukan sebab mereka meminta makanan lain, akan tetapi sebab kekufuran yang mereka lakukan.

Para ulama berbeda pendapat terkait “fumihâ”, Ibn Abbas berkata itu adalah gandum, ia juga mengatakan itu adalah keju. Ibn Abas, Mujahid dan Imam Kisai berpendapat “fum” dengan beberapa argumen. Pertama, dengan membawakan perkataan Ibn Abas itu adalah bawang putih. Kedua, jika dikatakan itu gandum, meskinya tidak boleh ada perkataan “mengapa hendak menganti yang lebih baik atas yang lebih rendah”, padahal gandum makanan paling mulia. Ketiga, bawang putih lebih dekat ke tanaman adas, dan bawang merah dekat ke gandum.

Para ulama berbeda pendapat terkait perkataan “lebih rendah”. Ada yang mengatakan lebih rendah dari pada kemaslahatan agama, ada juga yang mengatakan lebih rendah daripada kemanfaatan di dunia. Tetapi pernyataan pertama tidak pas, sebab jika maksudnya lebih manfaat dalam urusan agama niscaya Allah

83

tidak akan menjawab dengan firman “ihbitû mishran fainna lakum mâ sa‟altum”. Maka maksudnya ialah lebih rendah dari manfaat dunia.

Kita juga tidak boleh mengatakan bahwa satu macam makanan lebih afdhal dari yang lain, sebab terkadang satu jenis makanan enak untuk kita namun tidak untuk orang lain. Tetapi maksud yang tepat bahwa: mann dan salwa sudah jelas ada, sedangkan apa yang mereka minta selain satu macam masih diragukan adanya. Dan karena mann dan salwa mudah didapat, sedang selainnya sulit. Sesuatu yang sudah ada lebih unggul dari sesuatu yang masih diragukan. Jadi di sini tidak ada maksud mengunggulkan satu makanan saja.

Perihal kalimat “ihbitû misran” para mufasir berbeda pendapat. Sebagian mufasir mengatakan maksudnya ialah daerah yang mana Firaun tinggal di dalamnya. Sementara ulama tafsir lain menafsiri maksudnya berfaidah “amar” atau perintah masuk pada daerah manapun yang ada di Mesir, yang seakan ditafsiri: masuklah di daerah mana saja sehingga kalian menemukan sesuatu di sana. Ada yang menafsiri bahwa Mesir adalah daerah yang sudah dulu ditempati mereka, atau memang itu daerah lain. Kebanyakan mufasir mengatakan: tidak boleh mengatakan bahwa daerah itu daerah yang terdapat Firaun di dalamnya, dengan dalil firman Allah: “udkhulu al- ardha al-muqaddas...” (QS. Al-Mâidah [5]: 21).

Pembuatan dalil dengan ayat tersebut memiliki beberapa argument. Pertama, firman Allah “udkhulu al-ardha al-muqaddas”

termasuk hal yang positif untuk masuk ke bumi itu, dan tercegah masuk ke selainnya. Kedua, firman Allah “kataballahu” bermakna langgengnya mereka di dalam negeri tersebut. Ketiga, firman Allah

“walâ tartaddu „alâ adbârikum” jelas maksudnya dilarang untuk kembali ke Bait al-Muqaddas. Keempat, setelah Allah memerintahkan masuk ke Mesir, Dia berfirman “fainnahâ muharramatun alaihim arba‟îna sanatan yatihûna fi al-ard”. Dengan adanya ayat tersebut Allah melarang mereka masuk Mesir, dan ketika tidak ada uzur niscaya mereka akan ditetapkan untuk tetap di dalam Mesir tersebut. Dan otomatis yang dimaksud adalah Mesir, bukan selainnya.

Akan tetapi argument-argument di atas adalah dhoif. Kenapa?

Sebab, pertama, berkaitan dengan firman Allah “udkhulul ardha al muqaddas” maksudnya adalah perintah. Ketika maksudnya perintah tetapi dalam masalah sesuatu yang ringan (sekadar masuk negeri Mesir), maka maksudnya mereka menjadi ringan masuk al ard al muqaddas (tidak memberatkan Bani Israil), sekalipun mereka dilarang masuk Mesir. Kedua, firman Allah “kataballahu”

bermaksud langgeng dalam keringanan. Adapun ketiga, firman Allah

“walatartaddû„alâ adbârikum” maksudnya sama, yakni jangan kembali ke Mesir.

Sementara Abu Muslim al-Asfahani membolehkan bahwa maksud daerah di atas ialah Mesir dimana Firaun di sana. Dengan dua argumentasi. Pertama, jika kita tidak membca tanwin kalimat

“mishran” maka memang tidak tertentu daerah Mesir mana, tapi di dunia tidak ada negeri yang dijuluki Mesir selain Mesir yang ditempati Firaun. Maka tidak lain itu Mesir dimana Firaun tinggal.

Kemudian, kalimat tersebut ada kemungkinan jadi alam (nama) atau sifat. Tetapi ketika ada dua kemungkinan seperti itu, maka menjadi

85

alam lebih didahulukan. Sementara ketika kita membacanya dengan tanwin, maka sudah pasti itu isim alam (nama).

Ditanwinnya kalimat “mishran” itu sama seperti kata Nabi Nuh dan Nabi Luth, sebab tengah-tengahnya mati. Sementara jika

“mishran” dikatakan isim jenis, maka memberi maksud pilihan (takhyir), seperti kalimat “a‟tiqu ruqbatan” aku memerdekakan budak, maka maknanya ada pilihan budak-budak mana saja yang ada.

Kedua, Allah telah mewariskan Mesir untuk Bani Israil, maka tidak mungkin mereka dilarang untuk menempatinya.

Firman Allah “al-maskanah” yaitu kemiskinan, maksudnya adalah kemiskinan dan beratnya cobaan. Hal itu bisa dikatakan sebagai siksa Allah. Ada ulama yang mengatakan ini sebagai kemukjizatan Nabi, sebab ia bisa menunjukan satu macam dari kemiskinan dan kenistaan atau orang kafir tersebut.

Sementara firman Allah “wa bâ‟u” ada beberapa pandangan.

Pertama, maksudnya kembali. Maka maksud ayat ini adalah “maka mereka kembalilah pada murka Allah”. Kedua, maksudnya sebanding. Maka maksudnya “sebandinglah siksa Allah atas mereka”.

Firman Allah “dzalika biannahum kânû yakfurûna bi âyâtillâhi”, sebagai sebab kenapa mereka mendapatkan kenistaan, kemiskinan dan amarah Allah. Muktazilah berkata: jika kafir ada dalam makhluk Allah, sama sebagaimana mereka mendapatkan kenistaan dan kemiskinan, meskinya keduanya itu tidak dijadikan balasan bagi mereka (atas kekufuran mereka). Pernyataan demikian bertentangan dengan keilmuan.

Firman Allah “wayaqtuluna an-nabiyyina bighairial-haq”

maknanya bahwa mereka melakukan pembunuhan pada para Nabi.

Firman Allah ini memiliki beberapa pertanyaan. Pertama, apakah kekafiran mereka masuk sebab membunuh Nabi, lantas kenapa diulang? (membunuh Nabi dan kafir). Yang dimaksud kufur di sini kufur atas ayat-ayat Allah, yakni mereka tetap bodoh, membangkang terhadap ayat Allah.

Pertanyaan kedua, mengapa Allah berfirman “bighairi al- haq”? padahal membunuh Nabi sudah pasti karena tanpa hak (kebenaran). Mengenai kedua pertanyaan di atas, berikut jawabannya, pertama, mendatangkan kalimat yang bentuk maknanya kebatilan terkadang menjadi suatu kenyataan. Hal itu sebab di waktu yang akan datangpun akan demikian sebab hati mereka ragu. Kedua, terkadang mereka tahu (tidak ragu) tetapi tetap dilaksanakan kebatilan tersebut.

Jelas yang kedua lebih buruk. Firman Allah “wa yaqtuluna an- nabiyyina bighairi al-haq”, maksudnya bahwa mereka membunuh Nabi dengan pembunuhan yang tidak diyakini merupakan kebenaran, dan mereka tahu bahwa itu salah. Diualnginya keburukan (membunuh Nabi dan kufur) sebagai taukid.

Firman Allah “dzâlika bimâ ashau” merupakan taukid akan kemaksiatan Bani Israil. Firman Allah “wakânû ya‟tadûn”, maksudnya mereka telah zalim. Allah ketika menurunkan siksaan pada mereka dengan meruntut kesalahan-kesalahan mereka, pertama sebab kufur nikmat, kedua membunuh para Nabi, bermaksiat, dan

87

terakhir maksiat yang menjadi kebiasaan mereka, seperti bermusuhan dan zalim.8

3. Tafsir al-Manâr

Ayat ini menegaskan akan siksa yang berat kepada bani Israil, yaitu dengan ditimpahkannya kenistaan dan kemiskinan serta murka Allah kepada mereka.

Dari ayat tersebut dipahami bahwa kejadian tersebut terjadi sebab watak dan kesombongan mereka, sampai-sampai mereka mengingkari apa-apa yang telah Allah janjikan di atas bumi. Mereka, ketika dalam Al-Qur`an ditemukan ayat-ayat yang terbukti faktanya, mereka tidak juga yakin hatinya. Mereka menduga bahwa Musa telah menipu mereka dengan mengeluarkan mereka ke Mesir dan mendatangkan ke padang pasir agar mereka hancur. Oleh sebab itu mereka terus-menerus meminta pertolongan dan menagih sesuatu yang mungkin dan bahkan kepada sesuatu yang tidak mungkin.

Sampai-sampai ketika keinginannya tidak terpenuhi mereka murtad di daerah Mesir tersebut, dan Allah pun menjadikan mereka hina.

Apa yang tersebut dalam ayat ini persis seperti ayat “lannu‟minalaka hattâ narallâh”. Dalam ayat tersebut meggunakan “la nafi” yang mengingkari makna fi‟il, jadi seakan-akan mereka berkata:

Ketahuilah, tidak ada lagi harapan atas keadaan kami dengan engkau (Musa) jika kami selalu dalam satu makanan. Maka jika engkau memiliki posisi mulia di sisi Allah, berdoalah agar diturunkan

8 Imam Muhammad ar-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhrur ar-Razi bi at-Tafsîr al- Kabîr wa Mafâtihal-Ghaib, Vol. 1, h. 106-111

macam-macam makanan, hingga sempurnalah janji Tuhan kepadamu dan pada kita.

Mereka padahal mengetahui bahwa mereka dalam keadaan di padang pasir, yang itu mustahil untuk tumbuh. Namun mereka tetap memaksa untuk diturunkannya macam-macam makanan. Dikatakan hanya satu makanan (padahal ada dua: manna dan salwa) sebab dua makanan itu sudah menjadi kebiasaan mereka dalam kesehariannya.

Firman Allah “atastabdilûna al-ladzî huwa adnâ bi al-ladzî huwa khaîr?”, apakah kalian meminta macam-macam makanan yang buruk ini sebagai ganti yang lebih baik, yaitu mann dan salwa?

Manna adalah semacam manisan yang banyak disukai manusia, sedangkan salwa adalah daging burung yang paling lezat. Keduanya memiliki kelezatan yang tidak bisa ditandingi apa yang kalian minta dari macam-macam makanan itu.

Kemudian Allah berfirman “ihbithû mishrân fainnâ lakum mâ sa‟altum”, maksudnya: pergilah kalian dari Mesir supaya kalian bisa menemukan makanan-makanan itu. Tanah ini (Mesir) tidak dapat ditumbuhi makanan-makanan yang kalian pinta meski Allah Maha Segalanya. Namun Allah akan memenuhi apa yang kalian minta seandainya kalian tidak lemah dan tidak menjadi penakut untuk mengajak kebaikan kepada penduduk-penduduk Mesir ini. Maka jika kalian memang ingin keadaannya seperti sekarang, itulah sebab kesombongan kalian. Namun jika keinginan kalian terpenuhi atas tidak diturunkannya makanan-makanan tersebut, perangilah orang sekitar kalian (jihad). Dengan begitu keinginan kalian akan terpenuhi dan ditanggung oleh Allah serta akan diberi kemenangan oleh-Nya.

Dokumen terkait