• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAKIKAT QANÂ’AH

D. Ciri-Ciri Orang Yang Qanâ’ah

Orang mukmin yang telah benar-benar hidup qanâ’ah memiliki hati yang tenang, kehidupan yang tentram, jiwa yang ridha, tidak diliputi kegelisahan atas jatah rezeki yang telah ditetapkan, memiliki rasa syukur atas nikmat Allah, sebagaimana ciri-ciri ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmannya dalam QS. An-Nahl [16]: 97, yaitu:

ًﺔَﺒِّﯿَط ًةﺎَﯿَﺣ ُﮫﱠﻨَﯿِﯿْﺤُﻨَﻠَﻓ ٌﻦِﻣْﺆُﻣ َﻮُھ َو ﻰَﺜْﻧُأ ْوَأ ٍﺮَﻛَذ ْﻦِﻣ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣ ْﺟَأ ْﻢُﮭﱠﻨَﯾ ِﺰْﺠَﻨَﻟ َو ) َنﻮُﻠَﻤْﻌَﯾ اﻮُﻧﺎَﻛ ﺎَﻣ ِﻦَﺴْﺣَﺄِﺑ ْﻢُھ َﺮ

97 (

“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kehidupan yang baik.“ (QS. An-Nahl [16]: 97) Penafsiran para ahli tafsir terhadap kalimat “kehidupan yang baik”

(hayatan thayyibat) di dunia adalah menerima pemberian Allah SWT.

(qanᾱ’ah).27

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir al-mishbah, bahwa

“kehidupan yang baik” (hayatan thayyibat) itu bukan berarti kehidupan

26 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an, Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, h. 409

27 Imam al-Ghazali, Raudhah Taman Jiwa Kaaum Sufi, (Jakarta: Risalah Gust, 1993), h. 159

yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi oleh rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasakan takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah adalah yang terbaik.28

Ciri-ciri selanjutnya ialah menghilangkan rasa tamak dan rakus serta memiliki sifat dermawan dan mengutamakan orang lain. Sebagaimana dalam Surah Al-Hasyr [59] ayat 9. Sikap ini yang dimiliki oleh orang- orang mukmin dari golongan Anshar dalam menerima dan menolong menolong saudara-saudara mereka orang-orang Muhajirin yang miskin.29

ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ َﺮَﺟﺎَھ ْﻦَﻣ َنﻮﱡﺒ ِﺤُﯾ ْﻢِﮭِﻠْﺒَﻗ ْﻦِﻣ َنﺎَﻤﯾِ ْﻹا َو َراﱠﺪﻟا اوُء ﱠﻮَﺒَﺗ َﻦﯾِﺬﱠﻟا َو ْﻢِﮭِﺴُﻔْﻧَأ ﻰَﻠَﻋ َنوُﺮِﺛْﺆُﯾ َو اﻮُﺗوُأ ﺎﱠﻤِﻣ ًﺔَﺟﺎَﺣ ْﻢِھ ِروُﺪُﺻ ﻲِﻓ َنوُﺪ ِﺠَﯾ َﻻ َو ﱠﺢُﺷ َقﻮُﯾ ْﻦَﻣ َو ٌﺔَﺻﺎَﺼَﺧ ْﻢِﮭِﺑ َنﺎَﻛ ْﻮَﻟ َو َنﻮُﺤِﻠْﻔُﻤْﻟا ُﻢُھ َﻚِﺌَﻟوُﺄَﻓ ِﮫِﺴْﻔَﻧ

9 ) (

Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59]: 9)

28 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),Jilid 6, cet. 1 h. 720

29 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Al-Qur’an, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), h. 60

E. Kemulian Orang yang Qanâ’ah

Kehidupan yang menyenangkan di dunia ini hanya milik orang yang puas dengan sesuatu yang tak seberapa. Orang yang puas dengan sesuatu yang ada tak perlu bergaul dengan orang yang lebih tinggi darinya dan tak peduli kesenangan yang dinikmati orang yang setingkat dengannya, karena ia telah memiliki apa yang dimiliki.30 Serta Allah pun telah menjamin dan memuliakan bagi siapapun yang memiliki sifat qanâ’ah.

Diantara orang yang qanâ’ah ialah orang yang paling kaya merasa bahagia karena tidak pernah iri terhadap orang lain. Nabi SAW menyebutkan, bahwa orang yang qanâ’ah hidupnya akan bahagia. Beliau bersabda:

: َلﺎَﻗ ،َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲ َلﻮُﺳَر ﱠنَأ ،ِصﺎَﻌْﻟا ِﻦْﺑ وِﺮْﻤَﻋ ِﻦْﺑ ِﷲ ِﺪْﺒَﻋ ْﻦَﻋ

،ﺎًﻓﺎَﻔَﻛ َقِزُرَو ،َﻢَﻠْﺳَأ ْﻦَﻣ َﺢَﻠْـﻓَأ ْﺪَﻗ » ﻩاور) ُﻩَﺗﺎآ ﺎَِﲟ ُﷲ ُﻪَﻌﱠـﻨَـﻗَو

( ﻢﻠﺴﻣ

31

Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguh bahagia orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah jadikan orang yang qanâ’ah terhadap apa yang Allah berikan kepadanya. (HR. Muslim)

Seorang dikatakan beruntung tatkala memperoleh apa yang diinginkan dan disukai serta selamat dari segala yang mendatangkan ketakutan dan kekhawatiran, dalam hadis diatas Rasullullah SAW mengaitkan keberuntungan dengan tiga hal yaitu keislaman, kecukupan rezeki, dan sifat qanâ’ah, karena ketiganya seeorang akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.

30 Ibnu Al-Jauzi, Shaid Al-Khatir Nasehat Bijak Penyegar Iman, (Jakarta: Darul uswah), h. 77

31 Muslim bin Al-Hajjaj al Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, bab “Fîl Kafâf wal Qanâ’ah” Hadis No. 1054, (Beirut: Dâr Ihyâ at-Turâts al-‘Arabî), Juz 5, h. 730

Di dalam Al-Qur’an pun Allah berfirman bahwa orang yang berbuat baik dan memiliki sifat qanâ’ah akan mendapatkan kemuliaan.

Sebagaimana dalam QS. Al-Insan [76]: 5-9)

ﺎًﻣ ْﻮَﯾ َنﻮُﻓﺎَﺨَﯾ َو ِرْﺬﱠﻨﻟﺎِﺑ َنﻮُﻓﻮُﯾ ) ا ًﺮﯿِﻄَﺘْﺴُﻣ ُهﱡﺮَﺷ َنﺎَﻛ

َنﻮُﻤِﻌْﻄُﯾ َو ( 7

) ا ًﺮﯿِﺳَأ َو ﺎًﻤﯿِﺘَﯾ َو ﺎًﻨﯿِﻜْﺴِﻣ ِﮫِّﺒُﺣ ﻰَﻠَﻋ َمﺎَﻌﱠﻄﻟا ِﮫْﺟ َﻮِﻟ ْﻢُﻜُﻤِﻌْﻄُﻧ ﺎَﻤﱠﻧِإ ( 8

) ا ًرﻮُﻜُﺷ َﻻ َو ًءاَﺰَﺟ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ُﺪﯾ ِﺮُﻧ َﻻ ِ ﱠ�

9 ﺎًﻣ ْﻮَﯾ ﺎَﻨِّﺑَر ْﻦِﻣ ُفﺎَﺨَﻧ ﺎﱠﻧِإ (

) ا ًﺮﯾ ِﺮَﻄْﻤَﻗ ﺎًﺳﻮُﺒَﻋ ًة َﺮْﻀَﻧ ْﻢُھﺎﱠﻘَﻟ َو ِم ْﻮَﯿْﻟا َﻚِﻟَذ ﱠﺮَﺷ ُ ﱠ� ُﻢُھﺎَﻗ َﻮَﻓ ( 10

) ا ًروُﺮُﺳ َو ) ا ًﺮﯾ ِﺮَﺣ َو ًﺔﱠﻨَﺟ اوُﺮَﺒَﺻ ﺎَﻤِﺑ ْﻢُھاَﺰَﺟ َو ( 11

12 (

Artinya: Mereka memenuhi nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata dimana-mana. (7) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (8) (sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih dari kamu. (9) Sungguh, kami takut akan (azab) tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.”(10) Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepda mereka keceriaan dan kegembiraan.(11) Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera.”

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya menyebutkan beberapa sifat orang-orang abrar (berbuat kebaikan)., yaitu mereka menunaikan nazarnya, memberikan makanan yang sangat diperlukan dan disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Inilah keikhlasan orang-orang abrar yang menytakan bahwa mereka berbuat baik hanya untuk mengharapkan ridha Alla semata, tidak menghendaki balasan dan tidak pula mengharapkan ucapan terima kasih. Jiwa keikhlasan dan sifat qanâ’ah yang mereka miliki sangat besar,karena kesabaran mereka dalam berbuat kebaikan, ketabahan menahan diri dari

godaan nafsu, dan terkadang harus menahan lapar dan kurang pakaian (kerena berbuat sosial dalam keadaan miskin), sehingga mereka mendapatkan kemuliaan di sisi Allah yaitu Allah memelihara mereka dari kesusahan dan memberikan kepada mereka keceriaan wajah dan kegembiraan hati. Tampak pada wajah mereka kegembiraan yang berseri-seri sebagai tanda kepuasan hati karena anugerah Allah yang telah mereka terima. Allah juga memberi mereka ganjaran karena kesabaran mereka dengan surge dan pakaian sutera.32

F. Sifat-Sifat Yang Mengiringi Sifat Qanâ’ah

Orang yang qanâ’ah selalu diiringi dengan sifat-sifat dibawah ini, yaitu:

1. Sabar

Makna dasar kata sabar adalah mencegah dan menahan. Sabar adalah menahan jiwa dari kesedihan mendalam, menahan lisan dari keluh kesah, dan menahan anggota tubuh dari menampar pipi, merobek pakaian. Hakikatnya sabar adalah sebuah akhlak jiwa yang membentenginya dari melakukan apa yang tidak baik dan tidak patut.

Amr bin Utsman al-Makki berkata: sabar adalah keteguhan dalam meyakini (pertolongan Allah dan menerima ujian-Nya dengan dada yang lapang dan tentram.33

Al-Qur’an mengajak orang yang beriman untuk menghiasi diri dengan sabar, karena di dalamnya mengandung pendidikan bagi jiwa, menguatkan keperibadian, menambah kemampuan manusia dalam

32Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur’an Dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), hlm 474-477

33 Ahmad bin Utsman al-Mazyad, Penjelasan tuntas Tentang Sabar dan Syukur (Sebagai Jalan Untuk Meraih Kehidupan), penerjemah. Izzudin Karimi, (Jakarta: Darul Haq, 2016), cet. 1, h. 5-6

mengemban kesulitan, memperbaharui kekuatannya dalam menghadapi problematika dan beban hidup.

Seorang mukmin yang sabar tidaklah menjadi terlalu sedih di waktu ia tertimpa cobaan dan tidak pula menjadi lemah atau ambruk ketika tertimpa bencana atau malapetaka. Allah SWT telah menganjurkannya untuk bersabar dan memberitahukan bahwaa apa yang menimpanya dalam kehidupan ini tidak lain hanyalah cobaan dari Allah, agar diketahui siapa yang termasuk orang-orang yang sabar di Antara kita.34 Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

ِﺪِھﺎَﺠُﻤْﻟا َﻢَﻠْﻌَﻧ ﻰﱠﺘَﺣ ْﻢُﻜﱠﻧ َﻮُﻠْﺒَﻨَﻟ َو َﻮُﻠْﺒَﻧ َو َﻦﯾ ِﺮِﺑﺎﱠﺼﻟا َو ْﻢُﻜْﻨِﻣ َﻦﯾ

) ْﻢُﻛ َرﺎَﺒْﺧَأ 31

(

Dan sesungguhnya Kami benar-benar menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan sabar diantara kamu. Dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (QS. Muhammad [47]: 31)

Allah juga berfirman:

َﻊَﻣ َ ﱠ� ﱠنِإ ِة َﻼﱠﺼﻟا َو ِﺮْﺒﱠﺼﻟﺎِﺑ اﻮُﻨﯿِﻌَﺘْﺳا اﻮُﻨَﻣآ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ﺎَﯾ ) َﻦﯾ ِﺮِﺑﺎﱠﺼﻟا 153

(

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman , mintalah pertolongan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah [2]: 153)

Adapun sabar adalah semacam obat pahit, obat minum yang tidak enak rasanya namun banyak manfaatnya. Maka manfaat yang didatangkan oleh sabar yaitu:

1. Sabar melakukan ketaatan 2. Sabar menahan diri dari maksiat

34 Ahmad Husain Ali Salim, Terapi Al-Qur’an Untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia, penerjemah, Muhammad Ali Mighwar, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2006), cet.

1, h. 280

3. Sabar menahan diri dari godaan dunia

4. Sabar menderita cobaan-cobaan dan musibah-musibah

Maka seseorang yang memiliki sifat sabar pasti akan mendapatkan manfaat dari rasa sabar yang dimilikinya, salah satunya pun ia akan mendapatkan kepuasan jiwa dengan menerima cobaan dan rezeki seberapapun yang Allah berikan (qânâ’ah).

2. Syukur

Bersyukur atas nikmat karunia Allah yang telah dilimpahkan, menempati kedudukan yang sangat penthing bagi orang yang memiliki sifat qanâ’ah. Imam al-Ghazali menegaskan juga, bahwa disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah berdzikir (mengingat Allah) menunjukkan kepada kedudukan yang penting itu,35 sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah [2]: 152:

) ِنوُﺮُﻔْﻜَﺗ َﻻ َو ﻲِﻟ اوُﺮُﻜْﺷا َو ْﻢُﻛ ْﺮُﻛْذَأ ﻲِﻧوُﺮُﻛْذﺎَﻓ 152

(

Artinya: Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.

Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah engkau ingkar kepada- Ku. (QS. Al-Baqarah [2]: 152)

Dalam kitab Ihya’ ‘Ulûmid-Dîn, Al-Ghazali menguraikan hakekat syukur dan langkah-langkah untuk merealisasikannya dalam kehidupan. Menurutnya, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan tentang nikmat yang dianugerahkan oleh sang pemberi nikmat. Hal adalah rasa gembira terjadi akibat pemberian nikmat. Sedangkan amal adalah melakukan apayang menjadi tujuan dan yang disukai oleh sang pemberi nikmat.

35 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik Spritualitas Dan Akhlak, h. 415

Amal di sini terkait dengan tiga hal, yakni hati, lisan, dan anggota- anggota tubuh.36

Adapun kaitannya dengan hati ialah kehendak hati untuk kebaikan dan menyimpannya kepada semua makhluk. Sedang kaitannya dengan lisan adalah menampakkan rasa syukur kepada Allah dengan berbagai pujian yang menunjukkan kepada rasa terima kasih. Adapun kaitannya dengan anggota tubuh adalah menggunakan nikmat karunia Allah dalam rangka ketaatan kepada-Nya dan menghindarkan diri dari kemungkinan untuk berbuat tidak baik (maksiat).

Pada dasarnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah secara sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian maupun dalam bentuk perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat dalam Al- Qur’an yang menunjukkan betapa orang-orang yang dekat kepada Allah sekalipun, tetap bermohon agar dibimbing, diilhami, dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri nikmat Allah.37 Sebagaimana Qur’an QS. An-Naml [27]: 19

ﱠﻟا َﻚَﺘَﻤْﻌِﻧ َﺮُﻜْﺷَأ ْنَأ ﻲِﻨْﻋ ِز ْوَأ ِّب َر َلﺎَﻗ َو ﻰَﻠَﻋ َو ﱠﻲَﻠَﻋ َﺖْﻤَﻌْﻧَأ ﻲِﺘ

َكِدﺎَﺒِﻋ ﻲِﻓ َﻚِﺘَﻤْﺣَﺮِﺑ ﻲِﻨْﻠ ِﺧْدَأ َو ُهﺎَﺿ ْﺮَﺗ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞَﻤْﻋَأ ْنَأ َو ﱠيَﺪِﻟا َو ) َﻦﯿ ِﺤِﻟﺎﱠﺼﻟا 19

(

“…Dia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai…” (QS. An-Naml [27]: 19)

ا َﻚَﺘَﻤْﻌِﻧ َﺮُﻜْﺷَأ ْنَأ ﻲِﻨْﻋ ِز ْوَأ ِّب َر َلﺎَﻗ ﻰَﻠَﻋ َو ﱠﻲَﻠَﻋ َﺖْﻤَﻌْﻧَأ ﻲِﺘﱠﻟ

ﻲِّﻧِإ ﻲِﺘﱠﯾ ِّرُذ ﻲِﻓ ﻲِﻟ ْﺢِﻠْﺻَأ َو ُهﺎَﺿ ْﺮَﺗ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞَﻤْﻋَأ ْنَأ َو ﱠيَﺪِﻟا َو ) َﻦﯿِﻤِﻠْﺴُﻤْﻟا َﻦِﻣ ﻲِّﻧِإ َو َﻚْﯿَﻟِإ ُﺖْﺒُﺗ 15

(

36M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 296-297

37 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 296-297

“…Ia berdoa, “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai…”(QS. Al-Ahqaf (46):15)

Orang yang qanâ’ah adalah orang yang mampu untuk melaksanakan rasa syukurnya kepada Allah dengan ilmu, hal dan amal.

Karena ia akan merasa selalu berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang Allah, bahwa Allah tidak pernah membiarkannya sendiri.

Kesadaran dalam dirinya itu sudah membekas di dalam jiwanya, maka seandainya pada suatu saat ia mendapat cobaan atau merasakan kepahitan akan, serta tetap bersyukur.

3. Ridha

Di dalam tradisi tasawuf, istiah ridha sering kali dikaitkan dengan ketetapan-ketetapan Allah bagi kehidupan manusia. Sementara dalam Al-Qur’an, istilah ridha terkait dengan apa saja yang dianggap baik menurut Islam, baik sifat, perilaku maupun akidah.

Adapun wujud keridhaan Allah kepada hamba-Nya terkadang dirasakan di dunia, seperti membernya sakînah, yaitu perasaan yang tenang, kuatnya keyakinan terhadap pertolongan Allah ketika mendapatkan ujian. Namun keridhaan Allah di akhirat tentu saja keridhaan yang Maha Tinggi, dan inilah kebneruntungan yang hakiki yang senantiasa diharapkan oleh setiap hamba, yakni surga. Seperti dalam firman-Nya:

) ُﺔﱠﻨِﺌَﻤْﻄُﻤْﻟا ُﺲْﻔﱠﻨﻟا ﺎَﮭُﺘﱠﯾَأ ﺎ َﯾ ًﺔﱠﯿ ِﺿ ْﺮَﻣ ًﺔَﯿ ِﺿا َر ِﻚِّﺑ َر ﻰَﻟِإ ﻲِﻌ ِﺟ ْرا ( 27

) 28 (

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan di ridhai-Nya. (QS. Al-Fajr [89]: 27-28)

Jiwa yang tenang akan puas atau ridha dengan apa yang didapatkan dari Tuhannya berupa surga. Ia juga di ridhai Allah untuk menjadi salah satu penghuninya, sebagai balasan dari perilaku-perilaku baik yang di ridhai Allah selama di dunia.

Penjelasan di atas, hakikatnya merupakan langkah-langkah konkret demi pemperoleh ridha Allah. Artinya, ketika seseorang bisa melawan hawa nafsunya dari motivasi-motivasi yang bersifat duniawi maka Allah akan meridhainya. Disinilah kenapa ridha oleh para ulama dinamai dengan “diridhai”, karena manusia dalam setiap langkahnya senantiasa dihadapkan pada pilihan yang saling tarik menarik, apakah ingin diridhai oleh Allah atau ingin diridhai selain Allah. 38

Al-Ashfani membagi rida dalam dua bagian: pertama: ridha hamba kepada Allah, yaitu tidak membenci (menerima) apa saja yang menjadi ketetapan-Nya. Kedua, ridha Allah kepada hamba, yaitu Dia melihat seorang hamba yang senantiasa melaksanakan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah. Sehingga, apabila seseorang bersikap demikian maka ia dianggap mengikuti keridhaan-Nya.39

1. Zuhud

Zuhud adalah suatu tindakan yang berusaha menjauhkan diri dari kemegahan dunia dan menafikan kemewahan itu meskipun halal dengan berusaha melakukan ibadah puasa yang adakalanya batasan waktunya tidak sesuai ajaran dasar agama.

38Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta:,Kementerian Agama RI, 2010), h. 298

39 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an, Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), h. 290-291

Menurut Hamka, zuhud adalah sikap jiwa yang tidak ingin secara berlebihan dan tidak cenderung terhadap harta, secara tidak terkait oleh material. Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta (karena itu dinamakan), tetapi zuhud bermaksud tidak dikendalikan oleh harta (artinya orang zuhud boleh kaya). Harta boleh dimiliki, tetapi digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat. Manusia sebenarnya tidak punyaa apa-apa, dan ini semua hanya pemberian-Nya.

Manusia tidak boleh bakhil dan mementingkan diri sendiri.40

Sikap zuhud inilah yang mengiringi sikap qanâ’ah, karena orang yang qanâ’ah memiliki sikap yang tidak tertarik dengan dunia.

G. Dampak Tidak Adanya Sifat Qanᾱ’ah

Sudah seharusnya seorang mukmin itu memiliki sifat qanᾱ’ah (menerima apa yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya) yang dapat menghilangkan ketamakan serta tidak melirik apa yang ada ditangan orang lain, juga tidak rakus (serakah) dalam mencari dan mendapatkan harta bagaimanapun caranya. Dia tidak akan bisa memiliki sifat-sifat sepeti ini melainkan dengan mengambil dunia ini sekedarnya saja, dan sebatas kebutuhan pokok seperti makan, minum, dan pakaian.

Sesungguh telah datang dari Nabi Muhammad SAW larangan bersikap rakus (serakah) dan tamak terhadap harta.

Tamak dan serakah adalah penyebab kehinaan dan kerendahan martabat. Dan termasuk diantara sebab-sebab runtuhnya kehormatan dan kedudukan. cinta kepada harta adalah suatu yang akan mengeluarkan kelembutandari hati seseorang, dan menempatkan kekakuan dan kekerasan sebagai pengganti tempatnya. Dan apabila ketamakan dan

40Abdul Rouf , Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, h. 142

kerakusan telah memenuhi hati maka akan merasakan kehinaan yang akan menguasainya dan kerendahan akan menyulubunginya.41

1. Tamak

Tamak ialah terkaitnya hati atau mengincar apa yang dimiliki atau berada pada orang lain. Tamak termasuk penyakit hati yang harus dibuang oleh orang yang ingin hidup sehat dan qanâ’ah. Sebab penyakit ini disebabkan oleh sikap yang terlalu cinta pada dunia, tidak mengerti hidup bermasyarakat bahwa orang harus saling menolong bukan saling menjatuhkan. Penyakit hati ini juga disebabkan oleh sikap yang tidak mempercayai takdir Allah yang telah ditentukan nasib hamba-hamba-Nya.42

Allah memuji sikap yang tidak tergantung pada orang lain, namun mencela sifat tamak. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. An- Nisâ (4): 32

ٌﺐﯿ ِﺼَﻧ ِلﺎَﺟ ِّﺮﻠِﻟ ٍﺾْﻌَﺑ ﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻜَﻀْﻌَﺑ ِﮫِﺑ ُ ﱠ� َﻞﱠﻀَﻓ ﺎَﻣ ا ْﻮﱠﻨَﻤَﺘَﺗ َﻻ َو ِﮫِﻠْﻀَﻓ ْﻦِﻣ َ ﱠ� اﻮُﻟَﺄْﺳا َو َﻦْﺒَﺴَﺘْﻛا ﺎﱠﻤِﻣ ٌﺐﯿ ِﺼَﻧ ِءﺎَﺴِّﻨﻠِﻟ َو اﻮُﺒَﺴَﺘْﻛا ﺎﱠﻤِﻣ ) ﺎًﻤﯿِﻠَﻋ ٍءْﻲَﺷ ِّﻞُﻜِﺑ َنﺎَﻛ َ ﱠ� ﱠنِإ 32

(

“Artinya: Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dikebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain.

Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa [4]: 32)

Lalu Ali bin Abi Thalib menuturkan:

41 Muhammad bin Ibrahim Al-Hamad, AKHLAK-AKHLAK BURUK Fenomena, Sebab Terjadinya, Cara Mengatasinya, terjm. Pustaka Darul Ilmi,(Jakarta: Pustaka Darul Ilmi, 2007), h. 56

42 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta), cet. 1, h.

204

“Barang siapa mampu berdiri tanpa sesuatu (bantuan orang lain), maka ia akan dapat menjadi kawan setaranya. Barang siapa sangat mencintai sesuatu, maka dia akan menjadi tawanannya dan barang siapa bermurah hati kepadanya akan menjadi tuan.43

Adapun sifat tamak disebabkan oleh oleh rasa cinta dunia yang berlebihan. Juga karena tidak memahami arti hidup bermasyarakat yang di dalamnya ada kewajiban saling menolong bukan mengincar hak miliknya. Kemudian juga tidak beriman kepada takdir Allah yang telah menentukan nasib setiap manusia.44

Dengan demikian tamak terkait dengan keadaan jiwa yang mendorong untuk mengambil atau merebut hak milik orang lain, sehingga kadang berkembang menjadi iri hati, yaitu rasa tidak suka terhadap apa yang dicapai oleh orang lain dan ingin agar nikmat yang dicapai orang lain menjadi hilang.

2. Serakah

Serakah ialah suatu keadaan jiwa yang membuat manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya dan berusaha ingin memiliki lebih banyak lagi. Keserakahan ini tidak hanya pada pemilikan harta tetapi juga terhadap makanan, minuman, kegiatan seksual dan lain-lain. Ini termasuk penyakit yang tercela dan tidak sehat, karena hati orang serakah tidak pernah tenang, puas, dan selalu merasa kekurangan, dan karena itu bisa mendorong untuk berbuat buruk. Seperti menipu, manipulasi, korupsi, dan sebagainya untuk memenuhi nafsu serakahnya terhadap harta dan kedudukan.45

Rasulullah mengingatkan dalam sabdanya:

43 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin, h. 206

44 Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara sufi, (Jakarta: Pustaka irVan, 2007), cet. II, h. 6-87

45 Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin, h. 202

ِْﲑَـﺑﱡﺰﻟا َﻦْﺑا ﻦﻋ ﻰﱠﻠَﺻ ﱠِﱯﱠﻨﻟا ﱠنِإ ،ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ َ� :ُلﻮُﻘَـﻳ ،ِﻪِﺘَﺒْﻄُﺧ ِﰲ َﺔﱠﻜَِﲟ َِﱪْـﻨِﳌا ﻰَﻠَﻋ ،

:ُلﻮُﻘَـﻳ َنﺎَﻛ َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲ ﱠﺐَﺣَأ ٍﺐَﻫَذ ْﻦِﻣ ﺎًﺌْﻠَﻣ ً�ِداَو َﻲِﻄْﻋُأ َمَدآ َﻦْﺑا ﱠنَأ ْﻮَﻟ »

ﺎًﻴِﻧَﺛﺎ َﻲِﻄْﻋُأ ْﻮَﻟَو ،ﺎًﻴِﻧَﺛﺎ ِﻪْﻴَﻟِإ ،ُباَﺮﱡـﺘﻟا ﱠﻻِإ َمَدآ ِﻦْﺑا َفْﻮَﺟ ﱡﺪُﺴَﻳ َﻻَو ،ﺎًﺜِﻟَﺛﺎ ِﻪْﻴَﻟِإ ﱠﺐَﺣَأ

َبَﺗﺎ ْﻦَﻣ ﻰَﻠَﻋ ُﱠﻟﻠﻪا ُبﻮُﺘَـﻳَو

46

«

“Dari Ibu Zubair, tatkala diatas mimbar di Mekkah dalam kutbahnya, beliau berkata: Wahai manusia sekalian, sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda, “Seandainya anak keturunan Adam diberi satu lembah penuh dengan emas niscaya dia masih akan menginginkan yang kedua. Jika diberi lembah emas yang kedua maka dia menginginkan yang ketiga. Tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.”

Hadis di atas menunjukkan bagaimana tamaknya manusia terhadap dunia yang tidak mengenal rasa puas, nafsu untuk mengumpulkan harta.

Kecintaanya terhadap dunia bisa membuat seseorang terlena dari perjalanan hidup untuk menuju akhirat. Sebab dirinya lalai dari ketaatan kepada Allah, karena hati sibuk dengan dunia dari pada akhirat.

Abu Ja’far al-Baqir berkata: “Orang yang serakah pada dunia adalah seperti ulat sutra. Semakin ia menyelimuti dirinya dalam kepompong, semakin berkurang kesempatannya untuk melepaskan diri darinya sehingga akhirnya ia mati dalam kepedihan.”47

Jadi orang yang tamaak dan rakus tidak pernah merasa puas terhadap nikmat yang diperoleh. Sebaliknya orang yang qanâ’ah selalu merasa puas terhadap apa yang dimiliki, dan rasa puas itu menimbulkan kebahagiaan.

46 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-ja’fi, Shahih al-Bukhari, bab

“Mâ Yattaqî Min Fitnah al-Mâl” Hadis No. 6438, (T. t: Dâr Thûq an-Najah, 1422 H), juz 9, h. 93

47 Sudirman Tebba, Hidup Bahagia Cara sufi, h. 85-86

Dokumen terkait