• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Teknik dan Sistematika Penulisan

Teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk pada pedoman pembuatan skripsi yang berjudul: Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta (Edisi Revisi) yang diterbitkan oleh IIQ Press cetakan ke-2 tahun 2017.

2. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, penulis membagi beberapa bab yang diuraikan dengan sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan pembuka bagi para pembaca agar mengetahui alasan dan latar belakang penulis penelitian dengan tema penelitian.

Bab Kedua merupakan pengertian qana’ᾱh, meliputi: pengertian qanâ’ah, syarat qanâ’ah, kemuliaan sifat qanâ’ah , ciri-ciri sifat qanâ’ah, sifat yang mengiringi sifat qanâ’ah, dampak tidak adanya sifat qanâ’ah: munculnya sifat rakus dan tamak,. Bab dua ini merupakan landasan teori agar penyusunan skripsi dapat terarah dan sistematis, untuk memberikan informasi kepada para pembaca megenai qanâ’ah

Bab Ketiga merupakan, meliputi: biografi, metode, corak dan karya-karya penafsirannya. Bab tiga merupakan bab teori, mengingat pentingnya sumber primer untuk para pembaca sebelum memasuki ke pembahasan utama yaitu menjelaskan tentang biografi para mufassir.

Bab Keempat merupakan Penafsiran Ayat-Ayat Qanâ’ah Buya Hamka, pada bab ini adalah pembahasan yang paling pokok yaitu memaparkan pemikiran terhadap ayat-ayat qanâ’ah.

Bab Kelima merupakan Penutup. Pada bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Bab ini merupakan akhir dari semua pembahasan.

HAKIKAT QANÂ’AH

A. Pengertian Qanâ’ah

1. Pengertian Secara Bahasa

Secara bahasa qanâ’ah berasal dari kata qâni

( ﻊِﻧَﺎﻗ )

adalah bentuk isim fᾱ’il dari kata kerja qana’a

( َﻊَﻨَـﻗ )

yang berarti menerima sesuatu dengan lapang dada. Qani’a, yaqna’u, qanâ’ah

( ًﺔَﻋﺎَﻨَـﻗ ,ُﻊَﻨْﻘَـﻳ ,َﻊِﻨَﻗ )

berarti puas dan senang.1 Dalam kamus Lisânul ‘Arabi

( ًﺔَﻋﺎَﻨَـﻗ ,ﺎًﻌَـﻨَـﻗ ,َﻊَﻨَـﻗ)

artinya ridha.2 Sedangkan Dalam kamus al-Munawwir

( ُﺔَﻋﺎَﻨَﻘﻟا )

artinya

kepuasan.P2F3P Karenanya, sebagian orang arab mengatakan: “Al ‘Abdu Hurrun In Qani’a, Wal Hurru In Qana’a”: Seorang budak dikatakan merdeka jika dia rela dengan pemberian yang sedikit dan seorang merdeka dikatakan budak jika ia meminta.”

Sejalan dengan dua pengertian diatas penyair menyatakan:

َﻊَﻨَﻗ ْنِإ ٌﺪْﺒَﻋ ﱡﺮُﺤْﻟا َو * َﻊِﻨَﻗ ْنِإ ﱞﺮُﺣ ُﺪْﺒَﻌْﻟَا ِﻊَﻤْﻄﻟا ىَﻮِﺳ ُﻦْﯿِﺸَﯾ ٌءْﻲَﺷ * ﺎَﻤَﻓ ْﻊَﻨْﻘَﺗ َﻻَو ْﻊِﻨْﻗَﺎﻓ

“Seorang budak adalah merdeka, jika ia rela (dengan pemberian yang sedikit), dan orang yang merdeka adalah budak dan jika ia masih meminta-minta.”

1Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. 1, vol 3, h. 756

2 Al-‘Alamah Ibnu Manzhûr, Kamus Lisânul ‘Arabi,tt. p: t.t 1422-2002 M, h. 511

3Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Terlengkap, ditelaah Ali Ma’sum dan Zainal Abidin, (Surabaya: Pustaka Progresisif, 1997), cet. 14, h. 505

17

“Maka terimalah dengan rela (pemberian yang sedikit) dan jangan meminta-minta, karena tiada sesuatu yang tercela selain tamak”.4 2. Pengertian Secara Istilah

Menurut istilah qanâ’ah dimaknai menerima ketika berada dalam ketiadaan atau tidak memiliki apa yang diinginkan.5

Qanâ’ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri, sedangkan kekayaan harta dan tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.6

Rasulullah juga menjelaskan bahwa qanâ’ah adalah harta yang tidak pernah sirna. Sebagaimana sabdanya:

ِﱠﻟﻠﻪا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ :َةَﺮْـﻳَﺮُﻫ ِﰊَأ ْﻦَﻋ :َﻢﱠﻠَﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﷲ ﻰﱠﻠَﺻ

ْﻦُﻛ َةَﺮْـﻳَﺮُﻫ َﺑﺎَأ َ� »

ﱡﺐُِﲢ ﺎَﻣ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ ﱠﺐِﺣَأَو ،ِسﺎﱠﻨﻟا َﺮَﻜْﺷَأ ْﻦُﻜَﺗ ،ﺎًﻌِﻨَﻗ ْﻦُﻛَو ،ِسﺎﱠﻨﻟا َﺪَﺒْﻋَأ ْﻦُﻜَﺗ ،ﺎًﻋِرَو َأَو ،ﺎًﻤِﻠْﺴُﻣ ْﻦُﻜَﺗ ،َكَرَوﺎَﺟ ْﻦَﻣ َراَﻮِﺟ ْﻦِﺴْﺣَأَو ،ﺎًﻨِﻣْﺆُﻣ ْﻦُﻜَﺗ ،َﻚِﺴْﻔَـﻨِﻟ ،َﻚِﺤﱠﻀﻟا ﱠﻞِﻗ

َﺐْﻠَﻘْﻟا ُﺖﻴُِﲤ ِﻚِﺤﱠﻀﻟا َةَﺮْـﺜَﻛ ﱠنِﺈَﻓ

« (ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑا ﻩاور)

7

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi orang yang yang paling berbakti kepada Allah, jadilah engkau orang yang menerima pemberian-Nya (qanâ’ah), maka engkau akan menjadi orang yang paling bersyukur, cintailah manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi orang yang beriman, perbaikilah dalam hidup bertetangga dengan tetanggamu, engkau

4As Sayid Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi, (Surabaya:

Dunia Ilmu, 1997), cet. 1, h. 50

5 Mahmudah dan Noorhayati dan Farhan, “Konsep Qanâ’ah Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Mawaddah dan Rahmah”, Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 7, No.

2, Desember 2016, h. 62

6 Muhammad Abdul Qadir abu Fariz, Menyucikan Jiwa, (Jakarta: Gema Insani , 2005), h. 242

7 Ibnu Mâjah Abu ‘Abdullah Muhammad, Sunan Ibnu Mâjah, (Dâr ihyâ: Al-Kitab al’arabiyah), juz. 2, h. 1410

akan menjadi orang muslim, dan sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR. Ibnu Mâjah)

Bisyr al-Hafi (W. 841 M) berkata, “Qanâ’ah ibarat raja yang tidak mau bertempat tinggal kecuali dihati orang mukmin.

Dasar bangunan qanâ’ah adalah zuhud terhadap dunia, karena terhindar dari dunia adalah kebahagiaan dan pemburu dunia adalah suatu kelemahan. Maka bagi orang yang telah menyadari, bahwa harta hendak ditinggalkan pada ahli waris dan akan rusak karena perubahan, seharusnya zuhudnya lebih kuat dari cintanya terhadap dunia.8

Orang yang qanâ’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, bahkan memiliki banyak sekali perusahaan, namun semua itu bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya ia sikapi dengan rambu-rambu Allah swt., sehingga apa pun yang dimilikinya tidak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki.9 Hal demikian terjadi karena qanâ’ah bukanlah persoalan yang terkait dengan masalah dzahir, namun qanâ’ah merupakan persoalan batin. Sama halnya dengan orang yang cinta dunia (hub ad-dunya). Tidak semata-mata orang yang cinta dunia adalah orang yang banyak harta, namun orang yang hatinya terikat akan dunia walaupun dia termasuk orang yang tidak berharta.

Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanâ’ah menyikapinya sebagai ibadah yang mulia dihadapan Allah Yang Maha Kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, mengurangi timbangan atau sukatan. Ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun ia tetap akan medapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Sebagaimana QS. Hud [11]: 6

8 Abu Bakar Ibn Muhammad Syata, Menapak Jejak Kaum Sufi, terj. Nur Kholis Aziz dan Hamim, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), cet. 1, h. 51

9 Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual Hamka ke Aa Gym, h. 195

ِﻓ ٍﺔﱠﺑاَد ْﻦِﻣ ﺎَﻣ َو ﺎَھ ﱠﺮَﻘَﺘْﺴُﻣ ُﻢَﻠْﻌَﯾ َو ﺎَﮭُﻗ ْز ِر ِ ﱠ� ﻰَﻠَﻋ ﱠﻻِإ ِض ْرَ ْﻷا ﻲ

) ٍﻦﯿِﺒُﻣ ٍبﺎَﺘِﻛ ﻲِﻓ ﱞﻞُﻛ ﺎَﮭَﻋَد ْﻮَﺘْﺴُﻣ َو 6

(

“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud [11]: 6)

Karena ia menyadari, posisi rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi dari tiga hal. Pertama, Rezeki yang ia makan hanya akan menjadi kotoran. Kedua, Rezeki yang ia pakai hanya akan menjadi benda usang. Ketiga, Rezeki yang ia nafkahkan akan bernilai di hadapan Allah.

Karena, ia pun lebih dahulu mementingkan seruan Rab-Nya:

Abu Bakar Al-Maraghi (W. 1364 H) mengatakan, “orang yang berakal sehat adalah orang yang mengatur urusan dunia dengan sikap qanâ’ah dan memperlambat diri, mengatur urusan dunia dengan sikap loba dan mempercepat mengatur urusan agama dengan ilmu dan ijtihad”.10

Muhammad bin ‘Ali at-Tirmidzi (W. 279 H) menegaskan: “Qanâ’ah adalah kepuasan jiwa atas rezeki yang dijatahkan kepadanya.”

Dikatakan, Qanâ’ah, adalah menemukan kecukupan di dalam apa yang ada ditangan, dan tidak menginginkan apa yang tak ada di tangan.11

Ibrahim al-Maristani menyatakan, “Lakukan pembalasan kerakusanmu dengan qanâ’ah sebagaimana engkau membalas dendammu dengan qishas.

Al-kattani juga menyatakan, “Barang siapa yang menjual kerakusan demi qanâ’ah berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran.”

10Abdul Qasim Abdul Karim Hawazin dan Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Tasawuf, terj. Ma’ruf Zariq dan Ali Abdul Hamid Balthajy, (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), cet. 1, h. 221

11 Al-Qusyairi, Risalah sufi, (Jakarta: Pustaka, 2003), h 107

Dikatakan, “Kesedihan dan rasa tertekan menjadi panjang bagi orang yang matanya mengejar apa yang dimiliki orang lain.12

Sikap qanâ’ah membebaskan pelakunya dari cekam kecemasan dan memberinya kenyamanan psikologis ketika bergaul dengan manusia.

Dzunnun al-Mishri mengtakan: barangsiapa bersikap qanâ’ah maka ia bisa merasa nyaman ditengah manusia-manusia sezamannya dan disegani oleh mata rekan-rekannya.13

Sebaliknya, ketiadaan qanâ’ah dalam hidup akan menyeret pelakunya pada penuhanan materi sehingga kebebasannya terampas karena kerakusan dalam mencari harta duniawi memaksanya untuk menjilat dan perilaku-perilaku tercela lainnya.14

Dalam proses menghiasi diri dengan perilaku qanâ’ah, kaum sufi menerapi diri mereka dengan sikap zuhud terhadap dunia, riyadhah, dan mujahadah. Karena mereka mengetahui petaka-petaka nafsu dan cara mengobatinya. As-Suwardi mengatakan: “sufi menegakkan keadilan pada dirinya dan mengetahui tabiat-tabiat diri, keuntungan bersikap qanâ’ah dan berusaha menggalinya dari dalam dirinya sendiri karena ia tahu persis akan penyakit dan obat nafsu diri.15

Menurut Imam Al-Ghazali (W. 505 H) dalam Ihya ‘Ulumuddin orang yang fakir itu menerima dengan apa yang ada padanya (al- Qanâ’ah), memutuskan harapan dari makhluk dengan tidak memandang kepada apa yang ada pada tangan mereka. Dan tidak pula rakus dalam mencari harta. Yang demikian itu tidak mungkin baginya kecuali dengan bersifat qanâ’ah (menerima adanya) dengan kadar dharurat dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Ia mencukupkan pada kadar

12 Al-Qusyairi, Risalah sufi, (Jakarta: Pustaka, 2003), h. 108

13 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013), cet.1, h. 339

14 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, h. 339

15 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, h. 339

terkecil (kadar minimum) dan yang paling buruk macamnya. Angan- angannya itu dikembalikan pada kebutuhan seharinya atau atau kepada sebulannya.dan ia tidak sibuk dengan apa yang sesudah sebulan itu.

Maka apabila ia menginginkan yang banyak atau panjang angan-angan, maka ia kehilangan sifat kemuliaan dan qanâ’ah. Dan sudah pasti ia terkotor dengan sifat tamak dan kehinaan rakus.16

KH. Abdullah Gymnastiar (L. 1962 M) memaknai qanâ’ah sebagai

“puas dan merasa cukup”, yakni merasakan kecukupan dan kepuasan atas harta dan dunia miliknya. Menurutnya, qanâ’ah merupakan kunci ketentraman hidup. Karena, salah satu sebab yang membuat hidup ini tidak tentram adalah terpedayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang terpedaya dengan harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, dalam dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah Sang Maha Pemberi Rezeki.17

Konsep qanâ’ah menurut Hamka adalah menerima apa seadanya dalam pengertian tetap bekerja keras, karena manusia hidup untuk bekerja, bukan untuk bermalas-malasan walaupun sudah bertahta.

Menurut Hamka, qanâ’ah adalah qanâ’ah hati dan bukannya qanᾱ’ah ikhtiyari. Sahabat Rasulullah dahulu walaupun telah kaya dan bertahta serta sibuk dengan berbagai tugasan, masih tetap dalam keadaan qanᾱ’ah. Menurut Hamka, qanâ’ah bukanlah bekerja karena mahu mengumpulkan harta yang sedia banyak. Tetapi karena menganggur

16Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Semarang: CV. Asy Syifa, 1994), cet. 1, hlm.

142-143

17Sulaiman Al-Kumayi, Kearifan Spiritual Hamka ke Aa Gym, (Semarang,: Pustaka Nuun, 2004), cet. 1, h. 194

dilarang dalam agama. Pemikirannya Hamka ini seperti yang didasarkan pada Surah al-Jumu’ah [62]: 1018

ا َو ِض ْرَ ْﻷا ﻲِﻓ اوُﺮِﺸَﺘْﻧﺎَﻓ ُة َﻼﱠﺼﻟا ِﺖَﯿ ِﻀُﻗ اَذِﺈَﻓ ِ ﱠ� ِﻞْﻀَﻓ ْﻦِﻣ اﻮُﻐَﺘْﺑ

) َنﻮُﺤِﻠْﻔُﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ اًﺮﯿِﺜَﻛ َ ﱠ� اوُﺮُﻛْذا َو 10

(

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebarlah kamu dibumi, cari karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 10)

Dari semua pendapat dan ucapan itu dapat disimpulkan bahwa qanâ’ah ialah menerima dan merasa cukup, maksudnya rezeki yang diperoleh dari Allah dirasa cukup dan disyukuri. Walaupun hartanya sedikit diterima dengan ikhlas dan sabar, sehingga tidak terdorong mencari tambahan pendapatan dengan cara yang haram, selalu berikhtiar untuk mencari yang halal, serta tidak tamak dan rakus. Karena percaya bahwa setiap yang orang ditentukan dengan rezekinya masing-masing.

Dan memiliki sifat qanâ’ah itu merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jadi, hemat penulis menyimpulkan bahwa qana’ah adalah rasa menerima yang disertai dengan keridhaan atas segala sesuatu yang diberikan Allah SWT kepadanya tanpa sedikitpun mengurangi usaha (ikhtiar) dalam proses menjalaninya.

B. Redaksi Kata Yang Memiliki Makna Qanâ’ah Dalam Al-Qur’an Didalam Al-Qur’an, kata yang berakar dari huruf qaf . nun, dan ‘ain, ditemukan dua kali, keduanya diungkapkan dalam bentuk isim fᾱ’il.

Yang pertama diungkapkan dalam mbentuk isim fâ’il dari kata kerja qana’a

( َﻊَﻨَـﻗ),

yakni qâni’

( ﻊِﻧَﺎﻗ )

(QS. Al-Hajj [22]: 36)

18Abdul Rouf , Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf Hamka, (Kuala Selangor: Piagam Intan SDN. BHD, 2003), cet. 1, h.146

َﻢْﺳا اوُﺮُﻛْذﺎَﻓ ٌﺮْﯿَﺧ ﺎَﮭﯿِﻓ ْﻢُﻜَﻟ ِ ﱠ� ِﺮِﺋﺎَﻌَﺷ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ ﺎَھﺎَﻨْﻠَﻌَﺟ َنْﺪُﺒْﻟا َو َذِﺈَﻓ ﱠفا َﻮَﺻ ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ِ ﱠ�

َﻊِﻧﺎَﻘْﻟا اﻮُﻤِﻌْطَأ َو ﺎَﮭْﻨِﻣ اﻮُﻠُﻜَﻓ ﺎَﮭُﺑﻮُﻨُﺟ ْﺖَﺒَﺟ َو ا ) َنو ُﺮُﻜْﺸَﺗ ْﻢُﻜﱠﻠَﻌَﻟ ْﻢُﻜَﻟ ﺎَھﺎَﻧ ْﺮﱠﺨَﺳ َﻚِﻟَﺬَﻛ ﱠﺮَﺘْﻌُﻤْﻟا َو 36

(

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj [22]: 36)

Kata al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

di dalam QS. Al-Hajj [22]: 36) disebut dalam konteks penyembelihan binatang korban dan pembagian dagingnya kepada orang-orang yang membutuhkan, yakni mereka yang dianggap sebagai al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

dan al-mu’tar

( َﱰْﻌُﻤْﻟا ).

Kalangan mufassir berbeda pendapat tentang makna al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

dan al-mu’tar

( َﱰْﻌُﻤْﻟا )

dalam ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

adalah

orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan tidak meminta-minta, sedangkan al-mu’tarr

( َﱰْﻌُﻤْﻟا )

ialah orang yang meminta, dan ada pula sebaliknya.P18F19

Meskipun begitu penggunaan kata al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

, berkaitan dengan kefakiran. Seperti dikemukakan oleh Ath-Thabathaba’I bahwa al-qâni’

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

mengandung pengertian orang yang fakir yang merasa puas dan cukup dengan apa yang diberikan kepadanya, baik dia meminta maupun tidak.

Sementara pakar, seperti Muhammad Al-Bahi, mengemukakan bahwa qanâ’ah positif pada hakikatnya baru terpenuhi apabila seseorang

19 Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, h. 756

telah berusaha semaksimal mungkin, kemudian memperoleh hasil tersebut, lalu menyerahkannya ke pihak lain karena telah merasa puas dengan apa yang dimiliki sebelumnya. Ini berarti bahwa kata qâni’ dapat tertuju kepada yang fakir maupun kepada yang bercukupan.20

Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, kata

( ﻊِﻧﺎَﻘْﻟا )

al-qâni’ terambil dari kata

(ﻊﻨﻗ)

qana’a yang berarti merendah, yang dimaksud adalah meminta dalam keadaan merendah. Imam Syafi’I antara lain yang menganut pendapat ini. Ada juga ulama lain yang memahami kata tersebut bermakna puas sehingga yang dimaksud adalah orang yang butuh tetapi tidak meminta karena puas dengan apa yang dimilikinya. Kata al-mu’tarr

( َﱰْﻌُﻤْﻟا )

terambil dari kata

( ّﱰﻋإ )

i’tarra

yakni berkunjung, maksudnya ialah orang yang datang kepada orang lain, baik untuk meminta maupun tidak.P20F21

Sedangkan yang kedua diungkapkan dalam bentuk isim fâ’il dari kata kerja aqna’a

( َﻊَﻨْـﻗَأ )

, yakni muqni’

( ْﻊِﻨْﻘُﻣ )

(QS. Ibrahim [14]: 43)

ُﮭُﻓ ْﺮَط ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ ﱡﺪَﺗ ْﺮَﯾ َﻻ ْﻢِﮭِﺳوُءُر ﻲِﻌِﻨْﻘُﻣ َﻦﯿِﻌِﻄْﮭُﻣ ٌءا َﻮَھ ْﻢُﮭُﺗَﺪِﺌْﻓَأ َو ْﻢ

43 )

“Mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS. Ibrahim [14]: 43).

Sementara itu kata al-muqni’

( ﻊِﻨْﻘُﻤْﻟا )

di dalam QS. Ibrahim [14]:43 disebut dalam konteks peringatan keras kepada orang-orang zalim berikut siksaan yang disiapkan bagi mereka di hari akhirat. Dengan begitu al-muqni’

( ﻊِﻨْﻘُﻤْﻟا )

menunjukkan pengertian mengangkat dan

20 Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, h. 756-757

21 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002, cet. 1, vol 8, h. 210

mengadahkan kepala, sebagai tanda penyesalan dan pemohonan ampun dari Tuhan agar dibebaskan dari siksaan. Hal tersebut juga memberikan pengertian bahwa mereka tidak mungkin terhindar dari siksaan sehingga mereka pun harus menerima apa yang telah ditetapkan Allah atasnya.22 C. Syarat Qanâ’ah

Sifat qanâ’ah tidak dapat tercapai oleh seseorang sebelum terpenuhi beberapa syarat:

1. Usaha maksimal yang halal.

Seseorang baru dikatakan qanᾱ’ah kalau terlebih dahulu melakukan usaha yang maksimal untuk meraih sesuatu dari anugerah Allah, khususnya dalam persoalan mencari rezeki. Bahkan Al-Qur’an menyatakan bekerja itu adalah bagian dari ekspresi syukur, seperti firman Allah swt dalam QS. Saba’ [34]: 13

) ُرﻮُﻜﱠﺸﻟا َيِدﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ ٌﻞﯿِﻠَﻗ َو اًﺮْﻜُﺷ َدوُواَد َلآ اﻮُﻠَﻤْﻋا ...

13 (

“… bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.

(QS.Saba [34]:13)

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.

Ini berarti nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut.23

2. Keberhasilan meraih hasil.

Setelah berusaha dengan baik maka persyaratan selanjutnya adalah telah berhasil meraih hasil dari usahanya. Hasil yang diraih tidak mesti

22 Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’man: Kajian Kosakata, h. 756

23 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, h. 403-404

harus sesuai dengan target rencananya, karena manusia memang tidak diberi wewenang oleh Allah menentukan hasil usaha. Namun demikian sekiranya manusia bersungguh-sungguh, maka Allah akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya.24

3. Bertawakal, memperkuat keimanan dan menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.Rezeki termasuk salah satu yang telah ditakdirkan Allah bagi setiap hamba-Nya, bahkan ketika dia belum lahir ke dunia dan masih berada dalam Rahim sang ibu, jika benar-benar memahami hal itu, maka rasa gelisah atas rezeki yang ada tidak akan ada.

Oleh karenanya, bertawakal, memperkuat keimanan dengan diiringi memperkuat rasa sabar merupakan pondasi yang dapat melahirkan sifat qanâ’ah, namun ketika sifat qanâ’ah tidak terdapat dalam diri, maka ada kekurangan keimanan dan kesabaran dalam diri.

4. Memiliki rasa syukur

Seorang yang qanâ’ah terhadap rezeki yang diterima niscaya akan bersyukur kepada Allah, sebaliknya, ketika tidak memiliki rasa syukur, yang ada adalah perasaan selalu merasa kurang.

5. Berdo’a

Memohon do’a agar dianugerahi sifat qanâ’ah. Sebagaimana Nabi pun memohon agar Allah memberikan sifat qanâ’ah

،ﻪﻴﻓ ﱄ كرﺑﺎو ﲏﺘﻗزر ﺎﲟ ﲏﻌﻨﻗ ﻢﻬﻠﻟا ﲑﲞ ﱄ ﺔﺒﺋﺎﻏ ّﻞُﻛ ﻰَﻠَﻋ ﻒﻠﺧاو

25

“Ya Allah, jadikanlah aku merasa qanâ’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apaa yang telah Engkau rizkikan kepadaku di dalamnya dan gantikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan yang lebih baik.”

24 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, h. 407

25 Abu Muhammad ‘Abdurrahmân bin Muhammad, Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzîm Libni Abî Hâtim, (Al-Malikah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah: Maktabah Nazâr) Bab. Qauluhû Hayâtan Thayyibah, Juz 7, h. 2301

6. Merasa puas dan dengan sukarela mau berbagi.

Inilah inti dari sifat qanâ’ah, seseorang yang memiliki sifat qanâ’ah tidak fokus dengan berapa banyak ia diberi tetapi dia fokus dengan siapa yang memberi. Keyakinan dalam hatinya bahwa yang memberi Zat Yang Maha Sempurna, maka berapa pun ia beri berarti juga bernilai sempurna.

Tidak ada yang kurang kalau itu berasal dari Allah, tidak ada yang sedikit kalau dari Zat Yang Maha Memberi. Keyakinan seperti inilah yang menjadikan pemilik sifat qanâ’ah akan selalu merasa tentram hidupnya dan mau berbagi kepada yang lain.26

D. Ciri-ciri Orang Yang Qanâ’ah

Orang mukmin yang telah benar-benar hidup qanâ’ah memiliki hati yang tenang, kehidupan yang tentram, jiwa yang ridha, tidak diliputi kegelisahan atas jatah rezeki yang telah ditetapkan, memiliki rasa syukur atas nikmat Allah, sebagaimana ciri-ciri ini telah disebutkan oleh Allah dalam firmannya dalam QS. An-Nahl [16]: 97, yaitu:

ًﺔَﺒِّﯿَط ًةﺎَﯿَﺣ ُﮫﱠﻨَﯿِﯿْﺤُﻨَﻠَﻓ ٌﻦِﻣْﺆُﻣ َﻮُھ َو ﻰَﺜْﻧُأ ْوَأ ٍﺮَﻛَذ ْﻦِﻣ ﺎًﺤِﻟﺎَﺻ َﻞِﻤَﻋ ْﻦَﻣ ْﺟَأ ْﻢُﮭﱠﻨَﯾ ِﺰْﺠَﻨَﻟ َو ) َنﻮُﻠَﻤْﻌَﯾ اﻮُﻧﺎَﻛ ﺎَﻣ ِﻦَﺴْﺣَﺄِﺑ ْﻢُھ َﺮ

97 (

“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kehidupan yang baik.“ (QS. An-Nahl [16]: 97) Penafsiran para ahli tafsir terhadap kalimat “kehidupan yang baik”

(hayatan thayyibat) di dunia adalah menerima pemberian Allah SWT.

(qanᾱ’ah).27

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir al-mishbah, bahwa

“kehidupan yang baik” (hayatan thayyibat) itu bukan berarti kehidupan

26 Tim Penulis Mushaf Al-Qur’an, Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta, Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2010), cet. 1, h. 409

27 Imam al-Ghazali, Raudhah Taman Jiwa Kaaum Sufi, (Jakarta: Risalah Gust, 1993), h. 159

Dokumen terkait