• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL ASY-SYINQITHÎ DAN TAFSIR

3. Karya-karya asy-Syinqithî

Setiap karya adalah gambaran dari sosok pengarangnya, gambaran dari ilmu yang dimilikinya, akalnya, dan juga kecendrungan-kecendrungan yang dimilikinya.

14 Ja‟far as-Sagaf, “Muhammad al-Amin asy-Syinqithî (w. 1393 H/

1973 M)”, ESENSIA, Vol. XIV No. 2, Oktober 2013, h. 243-244

70

Semasa hidupnya, asy-Syinqithî dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menghasilkan karya-karya. Dari berbagai disiplin yang dikuasainya, ada beberapa karya yang dihasilkan di negrinya (Mauritania), dan sebagian lainnya dihasilkan selama ia menetap di Madinah. Dan berikut adalah karya-karya yang dihasilkan asy-Syinqithî:

a. Karya asy-Syinqithî ketika berada di Mauritania

1) Khalis al-Jaman fî Dzikr Ansab Bani Adam, kitab ini menjelaskan tentang nasab bangsa Arab dalam bentuk nazham. Karya ini dihasilkan sebelum ia dewasa.

2) Rajz fî Fura‟ Madzhab Malik Yakhtas bil „Uqad min al-Buya wa Rûhan, buku ini menjelaskan tentang cabang-cabang madzhab Malik dalam bentuk syair.

3) Alfiyah fî al-Manthiq, kitab ini menjelaskan ilmu manthiq yang disusun dalam bentuk syair yang berjumlah seribu bait.

4) Nuzhum fî al-Farâ`idh, menjelaskan tentang ilmu faraidh.

Seluruh karya asy-Syinqithî tersebut di atas adalah masih dalam bentuk manuskrip.15

b. Karya asy-Syinqithî ketika berada di Madinah

1) Man’u Jawaz al-Majaz fî al-Munazzal li at-Ta’abbud wa al-I’jaz. Kitab ini berisi penjelasan tentang

15 `Athiyyah Muhammad Sâlim, Tarjamah li asy-Syaikh, (Madinah: t.p., t.t), h. 51-54

pembatalan penerapan majaz pada ayat-ayat asma dan sifat, serta mencukupkannya menurut hakikat.

2) Daf’u Iham al-Idhthirab ‘an Âyât al-Kitab. Kitab ini menjelaskan ayat-ayat Al-Qur`an yang secara zhahirnya memiliki makna yang bertentangan namun secara hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.

Beliau paparkan ayat-ayat yang sekilas terlihat kontra mulai dari surat al-Baqarah hingga surat an-Nas kemudian asy-Syinqithî uraikan pokok permasalahan dan solusinya satu per satu secara berurutan.

3) Madzkarah al-Ushûl ‘ala Raudhah an-Nazhîr. Kitab ini menjelaskan kaidah-kaidah ushul madzhab Hanbali, Malik, dan Syafi‟i. Kitab ini menjadi pegangan dalam mata kuliah ushul fiqh di Fakultas Syari‟ah dan Da‟wah Universitas Islam Madinah.

4) Adab al-Bahts wa al-Munazharah.

5) Rihlah al-Hajj ilâ Baitillah al-Haram. Karya ini adalah kumpulan jawaban asy-Syinqithî terhadap berbagai pertanyaan yang disampaikan padanya selama masa perjalanan hajinya dari Mauritania ke Arab Saudi. Persoalan yang ada meliputi tafsir, hadis, fiqh, sastra, bahasa, akidah, manthiq, sejarah, dan bahkan ilmu alam.

6) Adhwa` al-Bayan fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an.

Karya ini merupakan kitab tafsir yang penafsirannya menggunakan ayat dengan ayat.

Selain itu, asy-Syinqithî juga aktif memberikan ceramah- ceramah agama yang kemudian dicetak dalam bentuk buku dan

72

kaset. Berikut adalah hasil ceramah beliau yang dicetak dan disebarkan dalam bentuk buku:

a. Manhaj Âyat al-Asma wa ash-Shifat b. Hikmah at-Tasyri’

c. Al-Matsâl al-‘Ulyâ d. Al-Mashâlih al-Mursalah e. Haula Syubhah ar-Raqîq

f. Al-Yauma Akmaltu Lakum dînakum wa Atmamtu

‘Alaikum Ni’matî

g. Syarah Maraqi as-Sa’ud16

B. Profil Kitab Tafsir Adhwa` al-Bayan fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an

1. Alasan dan Tujuan Penulisan

Asy-Syanqithy menjelaskan alasan mengapa dia menulis tafsirnya, yaitu ketidakpedulian dan keberpalingan sebagian besar manusia yang menyebut diri mereka Muslimin dari Al- Qur`an. Mereka tidak tertarik pada janji-janji Al-Qur`an dan tidak takut kepada ancamannya. Hal itulah yang mendorong seseorang yang memiliki pengetahuan tentang Al-Qur`an untuk mengabdikan diri dengan menjelaskan maknanya, menampakkan kebaikannya, mengurai kerumitannya, menjelaskan hukum- hukumnya, menyeru manusia untuk mengamalkan ajarannya dan meninggalkan apa yang bertentangan dengannya.17

16 `Athiyyah Muhammad Sâlim, Tarjamah li asy-Syaikh, h. 55-57

17 Asy-Syanqithi, Tafsir al-Qur’an bi Al- Qur’an min Adhwa’ al-Bayan, h. 5

Selanjutnya asy-Syanqithi menjelaskan dua tujuan utama penulisan tafsirnya yaitu pertama, menjelaskan ayat Al-Qur`an dengan ayat Al-Qur`an sebagaimana disepakati oleh para ulama bahwa tafsir yang paling mulia dan paling agung adalah tafsir kitabullah dengan kitabullah, karena tidak ada yang lebih tahu makna kalamullah dari pada Allah azza wa jalla.18

Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan hukum-hukum fiqh pada semua ayat yang dijelaskan dengan mengambil dalil dari sunnah dan pendapat para ulama kemudian memilih yang dianggap rajih, lebih kuat, tanpa ta’assub kepada madzhab tertentu atau kepada pendapat tertentu, karena yang diperhatikan adalah pendapatnya bukan siapa yang mengatakannya.19

Barangkali karena tujuan kedua inilah, tafsir ini digolongkan oleh al-Qaththân dalam Tafsir Fiqhi, sekelompok dengan Ahkam Al-Qur’an, al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an dan Tafsir Ayat al-Ahkam.20

2. Teknik Penulisan

Sebelum memulai tafsirnya, Asy-Syanqithi memanfaatkan tidak kurang dari tiga puluh halaman untuk menjelaskan macam-macam Bayan seperti Bayan al-ijmal bi sabab al-isytirak fi al-asma, fi al-af’al, fi al-huruf yaitu penjelasan terhadap kata-kata baik berupa kata benda, kata kerja, ataupun huruf (kata sambung) dalam Al-Qur`an yang memiliki lebih dari satu arti. Dalam hal ini asy-Syanqithi menjelaskannya

18 Asy-Syanqithi, Tafsir al-Qur’an bi Al- Qur’an min Adhwa’ al-Bayan, h. 5

19 Asy-Syanqithi, Tafsir al-Qur’an bi Al- Qur’an min Adhwa’ al-Bayan, h. 6

20 Manna‟ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur‟an, (Riyadh: Mansyurat al-„Ashr al-Hadits, t.th) h. 377

74

dengan ayat itu sendiri atau dengan ayat lain; Bayan al-ijmal bi sabab al-ibham fi ism jins majmu’, fi ism mufrad, fi asma al- majmu’, fi shilat al-maushul, fi ma’ani al-huruf yakni menjelaskan kata-kata yang masih samar artinya, kemudian dijelaskan maksudnya dengan menggunakan ayat yang lain;

Bayan al-ijmal bi sabab al-ihtimal fi mufassar al-dlamir yakni penjelasan bagi dhamir atau kata ganti yang memiliki kemungkinan dua tempat kembali, dan macam-macam Bayan lainnya. Karena itulah dia menamai tafsirnya ini dengan Adhwa`

al-Bayan.

Kemudian asy-Syanqithi, seperti halnya para mufassir yang lain, memulai penafsiran terhadap Al-Qur`an secara berurutan sesuai nomor urut surat, yakni dari al-Fatihah sampai an-Nas. Akan tetapi yang membedakan kitab Adhwa` al-Bayan dari kebanyakan kitab tafsir yang lain adalah bahwa penafsiran satu surat tidak selalu dimulai dari ayat pertama, dan ayat-ayat dalam satu surat tidak semuanya ditulis lalu ditafsirkan. Ayat yang ditafsirkan pun tidak selalu ditulis penuh (dari awal hingga akhir ayat).

Untuk memberi penjelasan terhadap satu ayat, seringkali dia menyebutkan ayat yang lain dari surat tersebut. Hal itu dapat dilihat pada awal tafsirnya terhadap surat al-Baqarah maupun surat Ali Imran.

Meskipun tidak semua ayat dari satu surat ditafsirkan, namun kitab tafsir ini dari segi jumlah jilid dan jumlah halamannya, kitab tafsir ini tergolong besar. Pada cetakan yang diterbitkan oleh „Alam al-Kutub Beirut, tafsir ini berjumlah sepuluh jilid. Dan pada rekaman elektronik, dalam bentuk file

Adobe Reader terdapat sembilan jilid untuk tafsir ini. Hal itu disebabkan banyaknya ayat yang disebut oleh asy-Syanqithi untuk menjelaskan makna suatu ayat, ditambah dengan penyebutan hadits-hadits Nabi saw, yang terkadang dengan menyebut sanadnya secara lengkap, dan hal itu masih ditambah lagi dengan mengutip pendapat ulama dari berbagai madzhab.

Dalam tafsir ini, asy-Syanqithi tidak membuat judul atau sub judul untuk mengawali pembahasannya, selain nama-nama surat yang dicantumkan pada permulaan tafsir untuk masing-masing surat. Tetapi bila seorang pembaca ingin mencari topik-topik tertentu, dia bisa melihatnya pada daftar isi yang diletakkan pada bagian akhir setiap jilid kitab.

Pada banyak tempat dalam tafsir ini dapat dijumpai kata-kata tanbih yang mungkin dimaksudkan oleh penulisnya untuk menekankan perhatian pembaca terhadap apa yang ada di dalamnya.21

3. Sumber Penafsiran

Tafsir Adhwa` al-Bayan tergolong tafsir bi al-ma`tsur yang berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan ayat lain, atau dengan hadits Nabi saw. Dan jarang atau sedikit sekali menggunakan ra’yu, pemikiran akal, untuk menjelaskannya. Penggunaan ra’yu itu hanya ketika dibutuhkan saja. Hadits-hadits yang digunakan dalam tafsir ini sebagian besar diambil dari kitab-kitab hadits yang digunakan oleh kaum Muslimin secara luas yakni al-Kutub at-Tis’ah. Meskipun

21 Abdul Haris, “Distingsi Tafsir Adhwa` Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur‟an Bi Al-Qur‟an”, https://quranicsciences.wordpress.com/ h. 15 diakses pada 29 Juni 2018 pkl. 21.10

76

terdapat pula hadits-hadits yang digunakan tanpa menyebut mukharrij-nya.

4. Metode dan Corak Penafsiran

Tafsir ini bukan Tafsir Maudhu'i (tematis), yang mana seorang mufassir memulai tafsirnya dari surat pertama sampai surat terakhir melainkan memilih satu tema dalam Al-Qur`an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.

Untuk disebut sebagai tafsir dengan metode Tahlili atau metode Tajzi'i, yang mana mufassir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, juga kurang tepat. Mungkin lebih tepat jika metode tafsir ini dikelompokkan dalam metode tafsir Muqarin yang menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama

Sedangkan coraknya sebagaimana telah disinggung di awal adalah corak fiqh, sebab pengarangnya adalah seorang yang menekuni bidang fiqh dan menjadi pengajar bidang ini baik di Madinah maupun Riyadh.22

22 Abdul Haris, “Distingsi Tafsir Adhwa` Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur‟an Bi Al-Qur‟an”, https://quranicsciences.wordpress.com/ h. 16 diakses pada 29 Juni 2018 pkl. 21.15

77

PENAFSIRAN ASY-SYINQITHÎ DALAM AYAT-AYAT THAHARAH, SUMPAH, AKHLAK DAN JIHAD A. Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Thaharah

Bahasan thaharah yang termuat dalam kitab-kitab fikih meliputi istinja`, wudhu, tayamum dan mandi. Pembahasan pada bagian ini akan difokuskan pada surat al-Mâidah ayat 6 yang berisi perintah bersuci kepada orang-orang yang hendak melaksanakan sholat.





























































































































Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka

78

bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak memebersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.(QS. Al-Mâidah [5]: 6)

Dari ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa jika seseorang hendak melaksanakan sholat maka ia harus berwudhu terlebih dahulu. Allah tidak berkenan menerima sholat tanpa kondisi suci. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abû Hurairah:

: َلاَق ،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص ِِّبَّنلا ِنَع ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع َُّللَّا ُلَبْقَ ي َلا «

َّتََّح َثَدْحَأ اَذِإ ْمُكِدَحَأ َةَلاَص َأَّضَوَ تَ ي

)يراخبلا هاور(

1

“Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Sholat seorang yang berhadats tidak akan diterima hingga ia berwudhu”” (HR. Al-Bukhârî)2

Fardhu wudhu yang disebutkan melalui ayat di atas ada empat, yaitu membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai dengan dua siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki.

Asy-Syinqithî menjelaskan bahwa ada tiga ragam bacaan pada kalimat

مكلجرأو

, dua bacaan riwayatnya mutawatir sedang

1 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Fî ash-Sholah, Juz 9, h. 23

2Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-Bukhari 1, Penerjemah:

Masyhar dan Muhammad Suhadi, (Jakarta: Almahira, 2013), cet. Ke-2, h. 38

yang ketiga adalah bacaan yang syadzah.3 Qiraat yang lemah adalah lafadz yang beri‟rab rafa‟ (dhammah)

“ لجرأو م ك ”

dan ini adalah bacaan al-Hasan, dan qirâ`at yang mutawatir adalah bacaan yang nashab (fathah)

“ ۡم كَل ج ۡرَأ َو”

dan dengan khafad (kasrah)

“ ل ج ۡرَأ َو ۡم ك ”

.4

Qirâ`at fathah adalah qirâ`at Nâfi‟, Ibnu „Âmir, Hafs, al- Kisâ`î dan Ya‟qûb (qira`ah „asyrah). Adapun bacaan dengan kasrah adalah qirâ`at Ibnu Katsîr, Hamzah, Abu „Amr dan bacaan „Âshim melalui riwayat Abû Bakar.5

Dalam qirâ`at nashab tidak ada permasalahan karena kata “arjul” di dalam ayat di-ma‟thuf- kan kepada kata “wujûh”.

Maka konteks maknanya adalah

ۡمُكَىوُجُو ْاوُلِس ۡغٱَف ۡمُكِسوُءُرِب ْاوُحَسۡمٱَو ِقِفاَرَم ۡلٱ َلَِإ ۡمُكَيِدۡيَأَو

ۡمُكَلُجۡرَأَو

نِ ۡيَ بۡعَك ۡلٱ َلَِإ

“...maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan mata kaki.”(QS. Al-Maidah [5]:6)

3Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin „Abdul Qadir al- Jakni asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, (Beirut:

Dâr al-Fikr li ath-Thabâ‟ah wa an-Nasyr wa at-Tauzî‟, 1995), Juz 1, h. 330

4Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

330

5Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

330 dan „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az- Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad- Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, (Beirut:

Dâr al-Kutub al-„Arabi, t.th), h. 89

80

Adapun dalam qirâ`at khafadh (kasrah), konteks ayat tersebut menjadi bersifat umum/ global, yaitu bahwa ia bisa dipahami hanya dengan mengusapkan air di kedua kaki dalam wudhu tanpa membasuhnya, sama seperti kepala. Padahal hal tersebut bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan wajibnya membasuh kedua kaki dalam berwudhu, selain ada ancaman neraka bagi yang meninggalkannya, seperti sabda Nabi saw:

ِِّبَّنلا ِجْوَز َةَشِئاَع ىَلَع ُتْلَخَد َلاَق ٍداَّدَش َلَْوَم ٍِلِاَس ْنَع -

صلى الله عليه وسلم َمْوَ ي -

اَىَدْنِع َأَّضَوَ تَ ف ٍرْكَب ِبَِأ ُنْب ِنَْحَّْرلا ُدْبَع َلَخَدَف ٍصاَّقَو ِبَِأ ُنْب ُدْعَس َِّفُّوُ ت ِنَْحَّْرلا َدْبَع َيَ ْتَلاَقَ ف َِّللَّا َلوُسَر ُتْعَِسَ ِّنِّإَف َءوُضُوْلا ِغِبْسَأ

- الله ىلص

ملسو ويلع ُلوُقَ ي -

ِراَّنلا َنِم ِباَقْعَلأِل ٌلْيَو « )ملسم هاور(

6

“Salim maula Syaddad berkata, “Aku datang mengunjungi Aisyah, istri Nabi saw tepat pada saat Sa‟d bin Abi Waqash wafat. Abdurrahman bin Abu Bakar pun masuk lalu berwudhu di dekatnya. Lantas dia (Aisyah) pun berkata, “Wahai Abdurrahman! Sempurnaknlah wudhu karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, „Celakalah tumit-tumit (yang ketika wudhu tidak dibasuh dengan baik) karena terbakar api neraka.‟”(HR. Muslim).7

Asy-Syinqithî kemudian menjelaskan bahwa jika ada dua qirâ`at yang nampak bertentangan dalam satu ayat maka keduanya memiliki hukum dua ayat, sebagaimana yang masyhur di kalangan ulama.8 Begitu pula yang dikatakan oleh Prof. Dr.

6 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 1, h. 147

7 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3;

Shahih Muslim 1, Penerjemah: Ferdinand Hasmand, dkk, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 133

88Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

Salman Harun di dalam kitabnya yang berjudul Qawâ‟id at- Tafsir , bahwa bila dalam satu tempat (ayat) terdapat beberapa qirâ`at yang menimbulkan perbedaan makna dan maknanya tidak dapat dikompromikan maka setiap qirâ`at dipandang sebagai sebuah ayat.9

Dan dapat diketahui bahwa qirâ`at

“ ۡم كَل ج ۡرَأ َو”

jelas sekali mewajibkan membasuh kaki dalam wudhu. Dan juga ayat tersebut memberi pemahaman bahwa qirâ`at dengan bacaan

“ ل ج ۡرَأ َو ۡم ك ”

adalah karena posisinya yang berdampingan dengan kalimat kasrah sebelumnya maka maknanya adalah mengusap.

Asy-Syinqithî kemudian menyimpulkan bahwa kasrah dengan sebab mujâwarah (berdampingan) merupakan salah satu bentuk gaya dalam bahasa Arab, dan hal itu terdapat dalam Al- Qur`an, karena Al-Qur`an itu sendiri menggunakan bahasa Arab yang jelas.10

Sebagian Ulama mengatakan bahwa mengusap kedua kaki adalah membasuhnya. Orang Arab menyebut makna mengusap juga dengan kata membasuh. Ketika mengatakan

“Aku mengusap”, berarti “Aku berwudhu”. Dan tidak ada larangan untuk mengartikan mengusap kedua kaki dengan maksud membasuhnya, dan mengartikan mengusap kepala dengan maksud tidak membasuhnya.11

9 Khâlid as-Sabt, Qawâ‟id at-Tafsîr Jam‟an wa Dirâsah, (t.t: Dâr Ibn

„Affân, 1421 H), Juz 1, h. 111

10 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

11 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

82

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili memberikan alasan lain dibalik bacaan yang jarr. Beliau mengatakan bahwa faedah pembacaan jarr kalimat

ۡم ك ل ج ۡرَأ َو

atas dasar pertimabangan al- Jiwâr adalah memberikan memberikan catatan dan penggaris bawahan tentang perlunya berhemat dalam penggunaan air ketika membasuh kaki. Sedangkan alasan ini secara khusus disebutkan dalam konteks pembasuhan kaki karena pada saat membasuh kaki biasanya sangat rawan terjadi penggunaan air yang berlebihan karena kaki merupakan anggota tubuh yang paling mudah kotor.12

Sebagian ulama lain mengatakan maksud dari qirâ`at jarr/ kasrah adalah mengusap, tetapi Nabi saw menerangkan bahwa usapan itu tidak diberlakukan kecuali di atas khuff (sepatu).13

Atas dasar ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan untuk mengusap di atas khuff berdasarkan qirâ`at dengan lafazh

ل ج ۡرَأ َو

ۡم ك .

Dan tidak ada yang menentang riwayat ini kecuali

riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.14

Para ulama sepakat membolehkan mengusap khuff yang terbuat dari kulit. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai khuff yang terbuat dari selain kulit.

12 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al- Ma‟âshir, 1418 H), Juz 6, h. 105

13 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

14 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

Mayoritas ulama, di antaranya asy-Syâfi‟î, Abu Hanifah, dan Ahmad beserta para pengikutnya tidak menyaratkan khuff yang terbuat dari kulit, sebab adanya dispensasi itu karena adanya kebutuhan untuk itu, dan sebab itu ada pada selain yang terbuat dari kulit. Juga karena adanya hadits Nabi saw, bahwasanya beliau mengusap di atas dua kaus kaki dan dua khuff 15

Lain halnya dengan Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Dr. Romlah Widayati, mengungkap qira`ah syadzdzah mengenai ayat ini. Abu Hayyan menjelaskan pada lafazh

مكلجرأو

, dimana al Hasan membaca rafa‟ (dhammah) pada

huruf lâm-nya. Jika seperti ini, maka lafazh arjulukum kedudukannya menjadi mubtada`dan khabarnya mahdzuf dan redaksinya menjadi

ةلوسغم مك ل جرأو

(dan kaki kalian dibasuh).

Dalam hal ini, Abu Hayyan cendrung pada pendapat Daud az- Zhahiri yaitu mengkompromikan antara mengusap dan membasuh. Adapun pengertian mengusap kaki tidak sama dengan mengusap kepala. Terhadap kedua qirâ`at mutawatirah di atas, Abu Hayyan mengatakan bahwa “Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan Allah, siapapun tidak layak melakukan takhrij dengan melontarkan kritikan terhadap bacaan yang bersumber dari Allah.” Atas dasar itu semua, ia mengemukakan bahwa ketiga qirâ`at di atas semuanya adalah benar.16 Abu

15 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

16 Romlah Widayati, Implikasi Qira`ah Sydzdzah Terhadap Istinbath Hukum, (Ciputat: Transpustaka, 2015), h. 144-145

84

Hayyan memahami pengertian mengusap kaki berdasarkan qira`ah syadzdzah adalah membasuh secara tidak berlebihan.17

Sedang al-Qurthubî sebagaimana dikutip oleh asy- Syinqithî sendiri mengatakan bahwa pengertian yang terkandung dalam qirâ`at yang khafadh adalah membasuh, bukan menyapunya atau mengusapnya. Menyapu (kedua kaki) tidak dapat menjangkau semua bagian telapak kaki.18 Dan juga al- Qurthubî berpegang pada pendapat Ibnu „Ahiyah yang berkata bahwa kata mengusap atau menyapu untuk kedua kaki adalah membasuhnya.19 Pendapat ini pula yang dijadikan hujjah oleh asy-Syinqithî.

Dengan demikian, dalam firman Allah

ۡم ك سو ء ر ب او حَس ۡمٱ َو

ۡم كَل ج ۡرَأ َو

(dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu), kata

„basuhlah‟ di-„athaf-kan kepada kata „usaplah‟, guna menyembunyikan maknanya. Padahal yang dimaksud adalah basuhlah.

B. Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Sumpah



























































17 Abu Hayyan, Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H), Juz 4, h. 192

18 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

334

19 Abu „Abdullah Muhammad binAhmad bin Abi Bakr al-Qurthubî, al- Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), Juz 6, h. 91



































“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah- sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Mâidah [5]: 89)

Tidak ada hukuman terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan dengan tanpa sengaja. Sumpah tersebut tidak ada kaitannya dengan hukum apa pun.

Syu‟bah, Hamzah dan al-Kisa`i pada lafazh

مُّتدَّقَع

,

mereka membacanya dengan takhfîf dan tanpa alif sehingga dibaca

مُّتد َقَع

. Sementara Ibnu Dzakwan membacanya berdasarkan riwayat Ibnu „Amir dengan menambahkan alif setelah „ain sehingga dibaca

مُّتد ا َق َع

. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan tasydid dan tanpa huruf alif.20 Sedangkan yang lainnya yakni Nafi‟, Ibnu Katsir, Abu „Amr dan „Ashim riwayat Hafsh membacanya dengan menambahkan tasydid di

20 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 8, h. 420

Dokumen terkait