• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Akhlak (QS. Al-

BAB IV IMPLIKASI QIRÂ`AH SAB’AH TERHADAP

C. Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Akhlak (QS. Al-

Asy-Syinqithî mengatakan bahwa “al-Laghwu” (main- main) yang terdapat pada ayat di atas terbagi menjadi dua pendapat:

Pertama, maknanya ialah seperti yang terucap oleh lidah seseorang secara tanpa sengaja (refleks), seperti, “tidak, demi Allah” atau “ya, demi Allah”. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syâfi‟î dan „Âisyah dalam salah satu riwayat.25 Bisa dikatakan bahwa dalam madzhab Syâfi‟î, seseorang tidak dibebani kifarat atas sumpah yang secara refleks atau tidak sengaja terucap, kemudian ia melanggarnya.

Kedua, makna kata „al-laghwu pada ayat di atas adalah seseorang bersumpah atas apa yang ia yakini dan kehendaki, kemudian nampak sesuatu yang menafikannya (kemudian ia melanggarnya). Inilah pendapat dari Imam Malik dan Asy- Syinqithî mengunggulkan pendapat ini.26

Kedua pendapat di atas adalah berdekatan. Jika pendapat pertama adalah tidak dimaksudkan penetapan sumpah sejak semula dan pendapat kedua tidak dimaksudkan sumpah kecuali sumpah yang benar.27

88

memiliki perilaku yang baik dan mulia, seperti jujur, adil, amanah, pemaaf, pemurah, sabar dan lain sebagainya. Haram hukumnya jika seorang muslim memiliki akhlak yang buruk dan merugikan yang lain. Salah satu ayat Al-Qur`an yang berbicara mengenai etika yang baik untuk orang-orang yang beriman adalah terdapat pada surat al-Mâidah ayat 2.











































































































“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan qurban) dan qalâid (hewan-hewan qurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang- halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa- Nya.” (QS. Al-Mâidah [5]:2)

Pada surat al-Mâidah ayat kedua ini Allah menerangkan kepada orang-orang yang beriman tentang lima larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:

1. Melanggar larangan-larangan Allah, yaitu melanggar amalan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam ibadah haji dan lain-lainnya.

2. Melanggar kehormatan bulan-bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab). Dimana pada bulan-bulan tersebut terdapat larangan untuk berperang kecuali membela diri karena diserang.

3. Mengganggu binatang-binatang qurban.

4. Mengganggu binatang-binatang qurban yang telah dikalungi dengan tali untuk menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Ka‟bah.

5. Menghalangi dan mengganggu orang yang mengunjungi Biatullah untuk mencari karunia Allah seperti berdagang dan mencari ridho-Nya yaitu melaksanakan haji dan umrah.28

Salah satu poin dari ayat di atas adalah Allah melarang kaum muslimin berbuat aniaya kepada orang-orang musyrik, disebabkan kebencian mereka atas orang-orang kafir Makkah yang telah menghalangi mereka dari Masjidil Haram ketika mereka melaksanakan umrah Hudaibiyah, karena perbuatan ini sama sekali tidak dihalalkan bagi mereka dalam syari‟at.

28 Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Jakarta:Departemen Agama RI, 2004), Jilid 2, h. 339-340

90

Allah telah menyebutkan pada ayat di atas, bahwa orang- orang kafir benar-benar menghalang-halangi mereka untuk masuk ke Masjidil Haram, yaitu sebagaimana dalam qirâ`at sebagian besar ulama yang membaca

ۡم كوُّدَص نَأ

dengan hamzah yang difathahkan, yang artinya “karena mereka telah menghalang-halangimu”.29

Pada lafazh

نا َنَش

, sebagian ahli qirâ`at membacanya dengan

نا ن َش

dengan nun sukun.30 Dan bacaan ini adalah bacaan Ibnu „Amir dan Syu‟bah.31 Namun baik yang menggunakan fathah maupun sukun, keduanya memiliki arti “al-bughdhu

(kebencian atau kemarahan).

Pendapat lain yang membacanya dengan sukun pada huruf nun menjadikannya sebagai kata sifat.32

Pada lafazh

ۡم كوُّدَص نَأ

, ada yang membaca dengan meng-kasrah-kan hamzah

ۡم كوُّدَص ن إ

, sehingga artinya menjadi

jika mereka menghalangi kamu masuk Masjidil Haram, maka hal itu jangan membawa kamu berbuat aniaya terhadap mereka dengan sesuatu yang tidak dihalalkan kepadamu”. Dan ini

29 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

30 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

31 „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az-Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad-Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, h. 89

32 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

adalah bacaan yang disandarkan pada Ibnu Katsir dan Abu

„Amr.33

Asy- Syinqithi melemahkan qirâ`at ini dengan alasan karena ayat ini turun setelah nyata orang-orang musyrik menghalangi Nabi dan para sahabat saat umrah Hudaibiyah, sehingga tidak mungkin mensyaratkan adanya upaya untuk menghalang-halangi jika hal itu telah terjadi.34

Begitu pula pendapat ath-Thabari di dalam tafsirnya berpendapat bahwa bacaan dengan hamzah yang dibaca fathah maknanya lebih jelas, karena mengenai surah ini tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan ahli bahwa ia diturunkan setelah hari Hudaibiyah. Jika demikian adanya, maka sikap menghalang-halangi dilakukan oleh orang musyrik terlebih dahulu, lalu Allah SWT melarang orang-orang mukmin untuk berbuat zhalim kepada orang-orang yang menghalang-halangi mereka, karena mereka juga menghalang-halangi dari Masjid al- Haram.35

Dan seperti itu pula penafsiran al-Qurthubî. Al-Qurthubî mengatakan bahwa qirâ`at yang pertama lebih memungkinkan maknanya dan sesuai dengan konteks keadaannya. Jumhur Ulama bersikeras mencegah bacaan yang kedua dengan alasan ayat ini turun pada saat penaklukan kota Mekah yang terjadi

33 „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az-Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad-Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, h. 89

34 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

35 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân Fî Ta`wîl Al-Qur`an, (tt.p: Muasasah ar-Risâlah, 2000), Juz 9, h. 486-487

92

pada tahun ke delapan hijriyah. Dan kaum musyrik menghalang- halangi jalan kaum muslim terjadi pada tahun ke 6 hijriyah.

Sudah dipastikan perilaku tercela orang musyrik pada orang mukmin lebih dahulu terjadi sebelum turunnya ayat ini.36

D. Penafsiran Asy-Syinqithî Terhadap Ayat Jihad

Jihad dalam pandangan asy-Syinqithî adalah tidak hanya mengenai peperangan, tetapi menggunakan harta untuk di jalan Allah juga termasuk jihad. Hal ini berdasarkan surat an-Nisâ`

ayat 95:





































































“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai „udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-ornag yang berjihad dengan harta dan niwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ` [4]: 95)

36 Al-Qurthubî, al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an, Juz 6, h. 46

Atas dasar ayat

ىَنْسُْلْٱ َُّللَّٱ َدَعَو ًلاُكَو

asy-Syinqithî menjelaskan bahwasanya berjihad di jalan Allah dengan harta dan segenap jiwanya adalah fardu kifâyah. Orang yang berjihad dengan harta dan jiwa akan mendapatkan pahala yang besar.37

Ada banyak ayat di dalam Al-Qur`an mengenai jihad.

Namun penulis hanya menemukan satu ayat mengenai jihad yang memenuhi kebutuhan penulis untuk penelitian ini, dan itu terdapat pada surat Muhammad ayat 31.



















“Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akna Kami uji perihal kamu.” (QS.

Muhammad [47]: 31)

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah akan menguji hambanya dengan berbagai cobaan agar Allah Mengetahui mana yang bersabar dalam berjihad, mana yang ta‟at, dan mana yang durhaka.

Seluruh imam qirâ`at kecuali Syu‟bah sepakat bahwa tiga fi‟il yang terdapat pada ayat di atas (

وُلْ بَ نَو ،َمَل ْعَ نَو ،ْمُكَّنَوُلْ بَ نَل

)

37 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 1, h. 247

94

adalah dengan menggunakan nun yang menunjukkan kebesaran Allah SWT.38

Dhamir fâ‟ilnya kembali pada Allah, sehingga redaksi ayatnya Allah berseru dan mengabarkan dengan nama-Nya sendiri bahwa Allah akan menguji manusia sesuai dengan kemampuannya, seperti mengorbankan dirinya dan hartanya untuk berjihad. Dan hal ini semata-mat untuk mengetahui mana yang benar mana yang dusta, mana yang mukmin dan mana yang kafir.39

Dan untuk bentuk bacaan yang kedua, dimana Syu‟bah membaca tiga fi‟il (

وُلْ بَ نَو ،َمَلْعَ نَو ،ْمُكَّنَوُلْ بَ ن َل

) dengan dhamir

mufrad mudzakar ghaib dimana hurufnya adalah ya. Jika qirâ`at ini yang digunakan maka konteks ayatnya menjadi berbeda. Jika pada qirâ`at yang pertama Allah memberitakan sesuatu dengan menggunakan nama-Nya sendiri, maka pada qirâ`at yang kedua yang mengabarkan adalah Rasulullah.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang ditafsirkan oleh asy- Syinqithî, al-Qurthubî berpendapat bahwa Allah menguji manusia adalah sebagai pembuktian. Ketika mereka diperintah untuk melakukan sesuatu, maka amalan mereka akan memberikan kesaksian atas mereka. Dengan demikian, balasan

38 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz. 7, h. 384

39 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz. 7, h. 384

dengan pahala ataupun siksa adalah tergantung pada kesaksian amal mereka sendiri.40

E. Analisis Penafsiran Muhammad Amin Asy-Syinqithî Terhadap Ayat Thaharah, Sumpah, Akhlak dan Jihad

Qirâ`at adalah salah satu bagian Al-Qur`an, dan aspek qirâ`at tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur`an. Keduanya merupakan satu-kesatuan.

Jika ada seorang mufassir yang memasukkan qirâ`at dalam penafsirannya, maka sangatlah wajar jika ia menguraikan argumen kebahasaan ketika menjelaskan makna suatu kata.

Karena telah jelas diketahui bahwa qirâ`at sangat erat kaitannya dengan bahasa.

Asy-Syinqithî bukanlah seorang mufasir yang menggunakan metode maudhû‟î, dimana ia akan mengumpulkan seluruh ayat yang memiliki satu tema menjadi satu, dan tidak bisa pula dikatakan menggunakan metode tahlîlî karena ia tidak menafsirkan seluruh ayat dalam Al-Qur`an, meskipun ketika menafsirkan suatu ayat ia akan menjelaskan secara rinci mengenai aspek-aspek yang terkandung dalam ayatnya. Bisa dikatakan bahwa ia menggunakan metode muqaran, dimana ia selalu menampilkan pendapat mufasir lain mengenai ayat yang ditafsirkan.

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai implikasi qirâ`at terhadap penafsiran asy-Syinqithî mengenai ayat ibadah, sumpah, akhlak dan jihad, penulis menemukan

40 Al-Qurthubî, al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an, Juz. 16, h. 254

96

bahwa ketika asy-Syinqithî menafsirkan ayat ahkam yang memiliki perbedaan bacaan, setelah ia menampilkan berbagai macam qirâ`at dan disandarkan pada imam-imamnya, pada salah satu ayat asy-Syinqithî men-tarjîh qirâ`at yang menurutnya lebih unggul yang akhirnya mengindikasi kecendrungannya pada madzhab tertentu dan terkadang tidak berkomentar apapun ataupun bersandar pada pendapat mufassir lain yang menurutnya unggul. Salah satu contohnya adalah ketika menafsirkan ayat thaharah. Ia memilih bacaan yang sandarkan pada Ibnu Katsîr, Abu „Amr dan Hamzah yang membaca

م كَل ج رَأ َو

. Keputusan as- Syinqithi menggunakan qirâ`at ini menimbulkan silang pendapat, namun ketika pada akhirnya beliau beliau berkesimpulan bahwa yang dimaksud mengusap kaki menurut perspektifnya dan madzhabnya adalah membasuhnya (kaki), hal ini bisa penulis pahami.

Kemudian pada saat menjelaskan ayat mengenai sumpah, asy-Syinqithî hanya memaparkan pendapat ahli namun secara tersirat ia cendrung mengikuti qirâ`at Hijâz. Hal ini terlihat ketika ia mengunggulkan pendapat Imam Malik bahwa sumpah yang tidak dikenai kifarat adalah sumpah atas apa yang diyakini dalam hati dan dikehendaki kemudian muncul sesuatu yang menafikannya dan kemudian ia langgar.

Selanjutnya ketika asy-Syinqithî menjelaskan ayat mengenai akhlak, disini ia men-tarjih qirâ`at yang menurutnya lebih sesuai dengan konteks ayat dengan menjelaskan argumen yang sangat bisa dipahami oleh penulis.

Dan pada saat menjelaskan ayat mengenai perintah jihad, asy-Syinqithî hanya menjelaskan perbedaan qirâ`at yang ada lengkap dengan maknanya. Dan asy-Syinqithî mengikuti qirâ`at jumhur yang menggunakan nûn sebagai dhamîr fâ‟il-nya.

Dan dilihat dari berbagai qirâ`at yang asy-Syinqithî untuk menafsirkan ayat, dapat penulis katakan bahwa asy- Syinqithî cendrung mengikuti bacaan qirâ`at Nafi‟. Dan untuk madzhab yang dianut, penulis dapat mengetahui bahwa asy- Syinqithî menganut madzhab Maliki karena dilihat barbagai argumen asy-Syinqithî terhadap qirâ`at pada beberapa ayat yang digunakan madzhab Maliki sebagai hujjah. Hal ini terlihat ketika ia menjelaskan ayat tentang thaharah, dan begitu pula ketika menafsirkan ayat sumpah. Asy-Syinqithî memilih bacaan

مُّتدَقَع

yang juga dipilih oleh Imam Mâlik. Selain itu juga terlihat

ketika ia banyak menukil pendapat al-Qurthubî dalam penafsirannya. Dan telah diketahui bahwa al-Qurthubî juga menganut madzhab Mâlikî.

Pada bab sebelumnya telah dibahas bahwa asy-Syinqithî tidak menafsirkan seluruh ayat Al-Qur`an. Demikian pula tidak semua ayat yang ditafsirkannya termuat aspek qirâ`at-nya. Jika asy-Syinqithî menjelaskan aspek qirâ`at yang ada, terkadang ia hanya menjelaskan satu lafazh yang memiliki ragam bacaan meski dalam satu ayat itu terdapat beberapa lafazh yang memiliki ragam bentuk bacaan. Contoh pada surat al-Maidah ayat 6, ia hanya menjelaskan tentang lafazh

م كَل ج رَأ َو.

Sedangkan

di dalam tersebut masih ada lafazh yang memiliki lebih dari satu

98

bentuk bacaan yang berimplikasi pada perbedaan hukum. Lafazh yang dimaksud adalah

م ت ۡسَمََٰل

.

99

PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisis yang dilakukan oleh penulis, penulis berkesimpulan bahwa:

Pertama, asy-Syinqithi memandang qira`at sab’ sebagai instrumen dalam penafsirannya. Asy-Syinqithî tidak memposisikan qira`at sebagai sesuatu yang harus ada di setiap penafsirannya. Terlihat dari hanya sedikit ayat yang dicantumkan qira`at-nya oleh asy-Syinqithi. Namun ketika mencantumkan perbedaan qira`at maka asy-Syinqithi akan menjelaskan secara detail makna dari tiap bacaan. Terlebih jika yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam, penjelasannya akan lebih mendalam, mengingat beliau adalah pakar di bidang fikih.

Karena keahliannya ini pula tafsir tergolong pada tafsir dengan corak fiqhi.

Kedua, implikasi qira`at terhadap penafsiran asy- Syinqithi mengenai ayat thaharah, sumpah, akhlak dan jihad sangat terlihat. Ketika menafsirkan ayat thaharah, asy-Syinqithi memilih bacaan yang berbeda dengan bacaan yang digunakan kalangan mayoritas. Ia lebih memilih bacaan

ْ مُكِلجرأو

yang

menimbulkan makna dan hukum yang berbeda.

Begitupun dengan ayat mengenai akhlak dan jihad. Asy- Syinqithi memilih qira`at mutawatirah yang digunakan oleh mayoritas Ulama. Namun tak lupa, asy-Syinqithi juga selalu

100

menampilkan qira`at syadzdzah berikut penjelasan makna dan implikasinya terhadap hukum untuk dijadikan perbandingan.

Berdasarkan analisis penulis mengenai kecendrungan qira`at yang digunakan asy-Syinqithi, penulis dapat menyimpulkan bahwa asy-Syinqithi cendrung mengikuti qira`at Hijaz dan dalam hal ini adalah qira`at Imam Nafi’.

Mengenai madzhab yang dianut oleh asy-Syinqithi, penulis menyimpulkan bahwa asy-Syinqithi menganut madzhab Maliki. Hal ini terlihat dari berbagai argumen asy-Syinqithi terhadap ayat-ayat yang berimplikasi pada hukum dan akhirnya dijadikan hujjah dalam madzhab Maliki. Contohnya pada surat al-Maidah ayat 6 mengenai thaharah dan al-Maidah ayat 89 tentang sumpah. Dan terkadang asy-Syinqithi sendiri yang berkata bahwa ia mendukung fatwa Imam Malik. Selain juga terlihat dari banyanknya asy-Syinqithi mendukung pendapat al- Qurthubi yang notabene bermadzhab Maliki.

B. Saran-Saran

Diskusi mengenai qira`at belum banyak dilakukan oleh para akademisi. Sekalipun itu di Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta sendiri. Hal itu mungkin karena ilmu qira`at ini tidak berhubungan langsung kehidupan dan mu’amalah manusia sehari-sehari. Penulis berharap semoga lebih banyak yang mengkaji ilmu qira`at. Karena untuk para pengkaji Al-Qur`an dan penikmat tafsir, ilmu qira`at ini adalah sebuah ilmu yang harus didalami. Ia diposisikan sejajar dengan ilmu-ilmu lain

yang dibutuhkan oleh para pakar hukum Al-Qur`an dalam menggali kandungan teks Al-Qur`an. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa perbedaan bacaan Al-Qur`an bisa berimplikasi pada penentuan yang berbeda. Penulis berharap dengan melakukan kajian ini, dapat menambah khazanah pengetahuan umat Islam terhadap Al-Qur`an.

103

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Muhammad (Zanjalah), Hujjah al-Qirâ’ah, tt.p:

Dâr ar-Risalah, t.t

Abu Hayyan, Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al- Muhîth Juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H

Al-Anshârî, Abû Hafsh „Umar bin Qâsim bin Muhammad bin „Alî.

Al-Mukarrar fî Mâ Tawâtir min al-Qirâ`ât as-Sab’, Beirut:

Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001

Al-Anshârî, Jamaluddîn Ibnu Manzhûr. Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Shâdir, Juz 1, 1414 H

, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Shâdir, Jilid IX, t.t Anwar, Rusydie, Pengantar Ulumul Qur`an da Ulumul Hadits,

Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2009

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993

„Athar, Hasan Dhiâ ad-Dîn. Al-Ahruf as-Sab’ah wa Manzilah al- Qirâ`ât Minhâ, Beirut: Dâr al-Basyâ`ir al-Islâmiyyah, 1988 Al- Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, Shahih al

Bukhari Juz 4, tt.p: Dar Thuq an-Najah. 1422

, Shahih al-Bukhari Juz 6, tt.p: Dâr Thûq an-Najâh, 1422 H

, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-Bukhari 1, Penerjemah: Masyhar dan Muhammad Suhadi, Jakarta:

Almahira, cet. Ke-2, 2013

ad-Dainûrî, Abû Muhammad Abdullâh bin Muslim bin Qutaibah.

Ta`wîl Muskil Al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, t. t Ad-Dani, Abi „Amr „Utsman bin Sa‟id, at-Taisir fi Qirâ`at

Sab’ah, Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi, cet. ke-2, 1984

Ad-Dimasyqî. Ibrâz al-Ma’ânî min Hirz al-‘Amâni fî al-Qirâ`ât as-Sab’ lî al-Imam asy-Syâthibî, Mesir: Maktabah Mushthafâ Albanî al-Halabi wa Aulâduhû, t.t

Djunaedi, Wawaan, Sejarah Qira`at Al-Qur`an di Nusantara, Jakarta: Pustaka STAINU, Cet. 2, 2008

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wal Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, t.t

Effendi, Sofian. “Qirâ`at dalam al-Jâmi‟ Lî Ahkâm Al-Qur`an (Penafsiran al-Qurthubî dalam Surat al-Baqarah)”. Tesis.

Institut ilmu Al-Qur`an Jakarta, 2014. Tidak diterbitkan (t.d) Fransiska, Farida. “Pengaruh Qira`at dalam Tafsir ath-Thabari

(Studi Komparatif antara Qira`at Riwayat Hafs dan as-Susi dalam Surah al-Baqarah)”, Skripsi, Institut Ilmu Al-Qur`an Jakarta. Tidak dietrbitkan

Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, Yogyakarta :PustakaInsanMadani, 2008

Hakim, Husnul, Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi Al-Qur`an, 2013

Haris, Abdul, “Distingsi Tafsir Adhwa` Al-Bayan Fi Idhah Al- Qur‟an Bi Al-Qur‟an”, https://quranicsciences.wordpress.com/

Harun, Salman, Kaidah-kaidah Tafsir, Penerjemah: Ahmad Thib Raya dkk, Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2017

Hasanuddin, Perbedaan Qira`at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur`an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Ibn al-Jazariy, Munjid al-Muqri`în wa Mursyîd ath-Thâlibîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1999

, Thayyibah an-Nasyr fi al-Qirâ`at al-‘Asyr, Madinah: Maktabah Dar al-Huda, 2000

Ibnu Khalawaih, al-Hujjah fi al-Qirâ`at as-Sab’, Beirut: Dâr ar- Risalah., 2000

Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab Vol. IX , Bairut: Dâr Shâdir, Cet. ke- 1, t.t

Iyâzi, Muhammad `Ali, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Teheran: Wazarah al-Tsaqâfah wa Irsyâd al- Islamiah, 1313 H

105

Khallâf, „Abdul Wahab, ‘Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:Majlis al-A‟la al-Indunisi li ad-Da‟wah al-Islamiyyah, cet. 9, 1972,

Muhammad, Kholid, al-Manhu al-Ilahiyyah fi Jam’I al-Qirâ`at as- Sab’ min Thâriq asy-Syâthibiyyah, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, cet. 1, 1998) hal. 7-8

Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari, Ma’âniy al-Qirâ`at li al- Azhari, tt.p: Markaz al-Buhuts Fî Kuliyatil Âdab, 1991

Mujahidin, Anwar, Pemurnian Surat al-Fatihah, Yogyakarta:

SUKA Press, 2013

Mustopa, “Polemik Lahirnya Konsep Qira`ah Sab`ah dalam Disiplin Ilmu Qira`ah”, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.

11, No.1, Juni 2014

An-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, t.t

,Ensiklopedia Hadits 3; Shahih Muslim 1, Penerjemah: Ferdinand Hasmand, dkk, (Jakarta: Almahira, 2012

Nasrulloh, Muhammad Alaika. “Perbedaan Qirâ`at dan Pengaruhnya terhadap Penafsiran Al-Qur`an: Studi Qirâ`Ah Sab’ah pada kitab Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab”

Nisa, Nadliva Elan, “Implikasi Perbedaan Qira‟at Mutawatirah terhadap Penafsiran Ayat Thaharah, Sholat, Puasa: Studi Kitab Tafsir Al-Jami‟ Li Ahkam Al-Qur‟an Karya Al-Qurthubi”.

Skripsi. Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Tidak diterbitkan (t.d)

Al-Qadhi, „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad, al- Budûru az-Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-‘Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad-Durrah—al-Qirâ`ât asy- Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Arabi, t.t

. Al-Wâfî fî Syarh asy-Syâthibiyyah, t.tp: Maktabah Sawâdî li at-Tauzî‟, cet. 4, 1992

Dokumen terkait