• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL ASY-SYINQITHÎ DAN TAFSIR

B. Profil Tafsir Adhwâ` al-Bayân Fî Idhâh Al-Qur`an Bî Al-

4. Metode dan Corak Penafsiran

Tafsir ini bukan Tafsir Maudhu'i (tematis), yang mana seorang mufassir memulai tafsirnya dari surat pertama sampai surat terakhir melainkan memilih satu tema dalam Al-Qur`an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.

Untuk disebut sebagai tafsir dengan metode Tahlili atau metode Tajzi'i, yang mana mufassir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat Al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam Al-Qur`an, juga kurang tepat. Mungkin lebih tepat jika metode tafsir ini dikelompokkan dalam metode tafsir Muqarin yang menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama

Sedangkan coraknya sebagaimana telah disinggung di awal adalah corak fiqh, sebab pengarangnya adalah seorang yang menekuni bidang fiqh dan menjadi pengajar bidang ini baik di Madinah maupun Riyadh.22

22 Abdul Haris, “Distingsi Tafsir Adhwa` Al-Bayan Fi Idhah Al-Qur‟an Bi Al-Qur‟an”, https://quranicsciences.wordpress.com/ h. 16 diakses pada 29 Juni 2018 pkl. 21.15

77

PENAFSIRAN ASY-SYINQITHÎ DALAM AYAT-AYAT THAHARAH, SUMPAH, AKHLAK DAN JIHAD A. Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Thaharah

Bahasan thaharah yang termuat dalam kitab-kitab fikih meliputi istinja`, wudhu, tayamum dan mandi. Pembahasan pada bagian ini akan difokuskan pada surat al-Mâidah ayat 6 yang berisi perintah bersuci kepada orang-orang yang hendak melaksanakan sholat.





























































































































Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka

78

bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak memebersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.(QS. Al-Mâidah [5]: 6)

Dari ayat di atas kita dapat mengetahui bahwa jika seseorang hendak melaksanakan sholat maka ia harus berwudhu terlebih dahulu. Allah tidak berkenan menerima sholat tanpa kondisi suci. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abû Hurairah:

: َلاَق ،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص ِِّبَّنلا ِنَع ،َةَرْ يَرُى ِبَِأ ْنَع َُّللَّا ُلَبْقَ ي َلا «

َّتََّح َثَدْحَأ اَذِإ ْمُكِدَحَأ َةَلاَص َأَّضَوَ تَ ي

)يراخبلا هاور(

1

“Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

“Sholat seorang yang berhadats tidak akan diterima hingga ia berwudhu”” (HR. Al-Bukhârî)2

Fardhu wudhu yang disebutkan melalui ayat di atas ada empat, yaitu membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai dengan dua siku, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki sampai dengan kedua mata kaki.

Asy-Syinqithî menjelaskan bahwa ada tiga ragam bacaan pada kalimat

مكلجرأو

, dua bacaan riwayatnya mutawatir sedang

1 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab Fî ash-Sholah, Juz 9, h. 23

2Al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 1: Shahih al-Bukhari 1, Penerjemah:

Masyhar dan Muhammad Suhadi, (Jakarta: Almahira, 2013), cet. Ke-2, h. 38

yang ketiga adalah bacaan yang syadzah.3 Qiraat yang lemah adalah lafadz yang beri‟rab rafa‟ (dhammah)

“ لجرأو م ك ”

dan ini adalah bacaan al-Hasan, dan qirâ`at yang mutawatir adalah bacaan yang nashab (fathah)

“ ۡم كَل ج ۡرَأ َو”

dan dengan khafad (kasrah)

“ ل ج ۡرَأ َو ۡم ك ”

.4

Qirâ`at fathah adalah qirâ`at Nâfi‟, Ibnu „Âmir, Hafs, al- Kisâ`î dan Ya‟qûb (qira`ah „asyrah). Adapun bacaan dengan kasrah adalah qirâ`at Ibnu Katsîr, Hamzah, Abu „Amr dan bacaan „Âshim melalui riwayat Abû Bakar.5

Dalam qirâ`at nashab tidak ada permasalahan karena kata “arjul” di dalam ayat di-ma‟thuf- kan kepada kata “wujûh”.

Maka konteks maknanya adalah

ۡمُكَىوُجُو ْاوُلِس ۡغٱَف ۡمُكِسوُءُرِب ْاوُحَسۡمٱَو ِقِفاَرَم ۡلٱ َلَِإ ۡمُكَيِدۡيَأَو

ۡمُكَلُجۡرَأَو

نِ ۡيَ بۡعَك ۡلٱ َلَِإ

“...maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kakimu sampai dengan mata kaki.”(QS. Al-Maidah [5]:6)

3Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin „Abdul Qadir al- Jakni asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, (Beirut:

Dâr al-Fikr li ath-Thabâ‟ah wa an-Nasyr wa at-Tauzî‟, 1995), Juz 1, h. 330

4Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

330

5Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

330 dan „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az- Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad- Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, (Beirut:

Dâr al-Kutub al-„Arabi, t.th), h. 89

80

Adapun dalam qirâ`at khafadh (kasrah), konteks ayat tersebut menjadi bersifat umum/ global, yaitu bahwa ia bisa dipahami hanya dengan mengusapkan air di kedua kaki dalam wudhu tanpa membasuhnya, sama seperti kepala. Padahal hal tersebut bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan wajibnya membasuh kedua kaki dalam berwudhu, selain ada ancaman neraka bagi yang meninggalkannya, seperti sabda Nabi saw:

ِِّبَّنلا ِجْوَز َةَشِئاَع ىَلَع ُتْلَخَد َلاَق ٍداَّدَش َلَْوَم ٍِلِاَس ْنَع -

صلى الله عليه وسلم َمْوَ ي -

اَىَدْنِع َأَّضَوَ تَ ف ٍرْكَب ِبَِأ ُنْب ِنَْحَّْرلا ُدْبَع َلَخَدَف ٍصاَّقَو ِبَِأ ُنْب ُدْعَس َِّفُّوُ ت ِنَْحَّْرلا َدْبَع َيَ ْتَلاَقَ ف َِّللَّا َلوُسَر ُتْعَِسَ ِّنِّإَف َءوُضُوْلا ِغِبْسَأ

- الله ىلص

ملسو ويلع ُلوُقَ ي -

ِراَّنلا َنِم ِباَقْعَلأِل ٌلْيَو « )ملسم هاور(

6

“Salim maula Syaddad berkata, “Aku datang mengunjungi Aisyah, istri Nabi saw tepat pada saat Sa‟d bin Abi Waqash wafat. Abdurrahman bin Abu Bakar pun masuk lalu berwudhu di dekatnya. Lantas dia (Aisyah) pun berkata, “Wahai Abdurrahman! Sempurnaknlah wudhu karena aku mendengar Rasulullah saw bersabda, „Celakalah tumit-tumit (yang ketika wudhu tidak dibasuh dengan baik) karena terbakar api neraka.‟”(HR. Muslim).7

Asy-Syinqithî kemudian menjelaskan bahwa jika ada dua qirâ`at yang nampak bertentangan dalam satu ayat maka keduanya memiliki hukum dua ayat, sebagaimana yang masyhur di kalangan ulama.8 Begitu pula yang dikatakan oleh Prof. Dr.

6 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 1, h. 147

7 Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 3;

Shahih Muslim 1, Penerjemah: Ferdinand Hasmand, dkk, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 133

88Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

Salman Harun di dalam kitabnya yang berjudul Qawâ‟id at- Tafsir , bahwa bila dalam satu tempat (ayat) terdapat beberapa qirâ`at yang menimbulkan perbedaan makna dan maknanya tidak dapat dikompromikan maka setiap qirâ`at dipandang sebagai sebuah ayat.9

Dan dapat diketahui bahwa qirâ`at

“ ۡم كَل ج ۡرَأ َو”

jelas sekali mewajibkan membasuh kaki dalam wudhu. Dan juga ayat tersebut memberi pemahaman bahwa qirâ`at dengan bacaan

“ ل ج ۡرَأ َو ۡم ك ”

adalah karena posisinya yang berdampingan dengan kalimat kasrah sebelumnya maka maknanya adalah mengusap.

Asy-Syinqithî kemudian menyimpulkan bahwa kasrah dengan sebab mujâwarah (berdampingan) merupakan salah satu bentuk gaya dalam bahasa Arab, dan hal itu terdapat dalam Al- Qur`an, karena Al-Qur`an itu sendiri menggunakan bahasa Arab yang jelas.10

Sebagian Ulama mengatakan bahwa mengusap kedua kaki adalah membasuhnya. Orang Arab menyebut makna mengusap juga dengan kata membasuh. Ketika mengatakan

“Aku mengusap”, berarti “Aku berwudhu”. Dan tidak ada larangan untuk mengartikan mengusap kedua kaki dengan maksud membasuhnya, dan mengartikan mengusap kepala dengan maksud tidak membasuhnya.11

9 Khâlid as-Sabt, Qawâ‟id at-Tafsîr Jam‟an wa Dirâsah, (t.t: Dâr Ibn

„Affân, 1421 H), Juz 1, h. 111

10 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

11 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

331

82

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili memberikan alasan lain dibalik bacaan yang jarr. Beliau mengatakan bahwa faedah pembacaan jarr kalimat

ۡم ك ل ج ۡرَأ َو

atas dasar pertimabangan al- Jiwâr adalah memberikan memberikan catatan dan penggaris bawahan tentang perlunya berhemat dalam penggunaan air ketika membasuh kaki. Sedangkan alasan ini secara khusus disebutkan dalam konteks pembasuhan kaki karena pada saat membasuh kaki biasanya sangat rawan terjadi penggunaan air yang berlebihan karena kaki merupakan anggota tubuh yang paling mudah kotor.12

Sebagian ulama lain mengatakan maksud dari qirâ`at jarr/ kasrah adalah mengusap, tetapi Nabi saw menerangkan bahwa usapan itu tidak diberlakukan kecuali di atas khuff (sepatu).13

Atas dasar ini, maka ayat tersebut mengisyaratkan untuk mengusap di atas khuff berdasarkan qirâ`at dengan lafazh

ل ج ۡرَأ َو

ۡم ك .

Dan tidak ada yang menentang riwayat ini kecuali

riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.14

Para ulama sepakat membolehkan mengusap khuff yang terbuat dari kulit. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai khuff yang terbuat dari selain kulit.

12 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munîr, (Damaskus: Dâr al-Fikr al- Ma‟âshir, 1418 H), Juz 6, h. 105

13 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

14 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

Mayoritas ulama, di antaranya asy-Syâfi‟î, Abu Hanifah, dan Ahmad beserta para pengikutnya tidak menyaratkan khuff yang terbuat dari kulit, sebab adanya dispensasi itu karena adanya kebutuhan untuk itu, dan sebab itu ada pada selain yang terbuat dari kulit. Juga karena adanya hadits Nabi saw, bahwasanya beliau mengusap di atas dua kaus kaki dan dua khuff 15

Lain halnya dengan Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Dr. Romlah Widayati, mengungkap qira`ah syadzdzah mengenai ayat ini. Abu Hayyan menjelaskan pada lafazh

مكلجرأو

, dimana al Hasan membaca rafa‟ (dhammah) pada

huruf lâm-nya. Jika seperti ini, maka lafazh arjulukum kedudukannya menjadi mubtada`dan khabarnya mahdzuf dan redaksinya menjadi

ةلوسغم مك ل جرأو

(dan kaki kalian dibasuh).

Dalam hal ini, Abu Hayyan cendrung pada pendapat Daud az- Zhahiri yaitu mengkompromikan antara mengusap dan membasuh. Adapun pengertian mengusap kaki tidak sama dengan mengusap kepala. Terhadap kedua qirâ`at mutawatirah di atas, Abu Hayyan mengatakan bahwa “Al-Qur`an adalah kitab suci yang diturunkan Allah, siapapun tidak layak melakukan takhrij dengan melontarkan kritikan terhadap bacaan yang bersumber dari Allah.” Atas dasar itu semua, ia mengemukakan bahwa ketiga qirâ`at di atas semuanya adalah benar.16 Abu

15 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

332

16 Romlah Widayati, Implikasi Qira`ah Sydzdzah Terhadap Istinbath Hukum, (Ciputat: Transpustaka, 2015), h. 144-145

84

Hayyan memahami pengertian mengusap kaki berdasarkan qira`ah syadzdzah adalah membasuh secara tidak berlebihan.17

Sedang al-Qurthubî sebagaimana dikutip oleh asy- Syinqithî sendiri mengatakan bahwa pengertian yang terkandung dalam qirâ`at yang khafadh adalah membasuh, bukan menyapunya atau mengusapnya. Menyapu (kedua kaki) tidak dapat menjangkau semua bagian telapak kaki.18 Dan juga al- Qurthubî berpegang pada pendapat Ibnu „Ahiyah yang berkata bahwa kata mengusap atau menyapu untuk kedua kaki adalah membasuhnya.19 Pendapat ini pula yang dijadikan hujjah oleh asy-Syinqithî.

Dengan demikian, dalam firman Allah

ۡم ك سو ء ر ب او حَس ۡمٱ َو

ۡم كَل ج ۡرَأ َو

(dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu), kata

„basuhlah‟ di-„athaf-kan kepada kata „usaplah‟, guna menyembunyikan maknanya. Padahal yang dimaksud adalah basuhlah.

B. Penafsiran asy-Syinqithî Terhadap Ayat Sumpah



























































17 Abu Hayyan, Muhammad ibn Yusuf al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1403 H), Juz 4, h. 192

18 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

334

19 Abu „Abdullah Muhammad binAhmad bin Abi Bakr al-Qurthubî, al- Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), Juz 6, h. 91



































“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah- sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Mâidah [5]: 89)

Tidak ada hukuman terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan dengan tanpa sengaja. Sumpah tersebut tidak ada kaitannya dengan hukum apa pun.

Syu‟bah, Hamzah dan al-Kisa`i pada lafazh

مُّتدَّقَع

,

mereka membacanya dengan takhfîf dan tanpa alif sehingga dibaca

مُّتد َقَع

. Sementara Ibnu Dzakwan membacanya berdasarkan riwayat Ibnu „Amir dengan menambahkan alif setelah „ain sehingga dibaca

مُّتد ا َق َع

. Sedangkan yang lainnya membacanya dengan tasydid dan tanpa huruf alif.20 Sedangkan yang lainnya yakni Nafi‟, Ibnu Katsir, Abu „Amr dan „Ashim riwayat Hafsh membacanya dengan menambahkan tasydid di

20 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 8, h. 420

86

atas qaf. Dan semua bentuk bacaan pada lafazh ini termasuk ke dalam qira`ah mutawatirah. 21

Untuk bentuk bacaan yang pertama, yaitu dengan tasydid pada huruf qâf , ibnu Jarîr mengatakan bahwa maknanya kalian telah menguatkan dan mengulang kembali sumpah-sumpah kalian. Dan untuk bacaan yang takhfîf maknanya adalah kalian mewajibkan sesuatu pada diri kalian, dan menekadkannya di dalam hati.22 Dan untuk bacaan Ibnu „Âmir riwayat Ibnu Dzakwan yang menambahkan alif setelah „ain maka jika berdasarkan qirâ`at ini, al- Qurthubi mengatakan bahwa akad tersebut terjadi antara dua orang, dan terkadang posisi orang kedua adalah orang yang disumpahi. Atau bisa pula makna ayat ini adalah sumpah yang kamu ikrarkan kepadanya.23

Ath-Thabari mengatakan bahwa qirâ`at yang benar adalah qirâ`at dengan men-takhfîf-kan huruf qaf-nya. Ia beralasan bahwa orang-orang Arab hampir tidak pernah menggunakan wazan

" تلّعف

" dalam pembicaraan kecuali untuk hal yang terjadi berulang-ulang. Bila mereka memberitahukan mengenai perbuatan yang dilakukan hanya sekali, maka dikatakan

"ويلع تددش"

dengan takhfîf.24

21 Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Jilid 6, h. 635

22 Ath-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân Fî Ta`wîl Al-Qur`an, Juz 10, h. 524

23 Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubî, Penerjemah: Dudi Rosyadi dkk, cet.

1, h. 637

24 Ath-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân Fî Ta`wîl Al-Qur`an, Juz 10, h. 524

Asy-Syinqithî mengatakan bahwa “al-Laghwu” (main- main) yang terdapat pada ayat di atas terbagi menjadi dua pendapat:

Pertama, maknanya ialah seperti yang terucap oleh lidah seseorang secara tanpa sengaja (refleks), seperti, “tidak, demi Allah” atau “ya, demi Allah”. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syâfi‟î dan „Âisyah dalam salah satu riwayat.25 Bisa dikatakan bahwa dalam madzhab Syâfi‟î, seseorang tidak dibebani kifarat atas sumpah yang secara refleks atau tidak sengaja terucap, kemudian ia melanggarnya.

Kedua, makna kata „al-laghwu pada ayat di atas adalah seseorang bersumpah atas apa yang ia yakini dan kehendaki, kemudian nampak sesuatu yang menafikannya (kemudian ia melanggarnya). Inilah pendapat dari Imam Malik dan Asy- Syinqithî mengunggulkan pendapat ini.26

Kedua pendapat di atas adalah berdekatan. Jika pendapat pertama adalah tidak dimaksudkan penetapan sumpah sejak semula dan pendapat kedua tidak dimaksudkan sumpah kecuali sumpah yang benar.27

C. Penafsiran Asy-Syinqithî Terhadap Ayat Akhlak

Islam adalah agama yang setiap pemeluknya wajib memiliki akhlak yang baik dan tepuji. Setiap muslim harus

25 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 8, h. 422

26 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 8, h. 422

27 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, Juz 8, h. 422

88

memiliki perilaku yang baik dan mulia, seperti jujur, adil, amanah, pemaaf, pemurah, sabar dan lain sebagainya. Haram hukumnya jika seorang muslim memiliki akhlak yang buruk dan merugikan yang lain. Salah satu ayat Al-Qur`an yang berbicara mengenai etika yang baik untuk orang-orang yang beriman adalah terdapat pada surat al-Mâidah ayat 2.











































































































“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan qurban) dan qalâid (hewan-hewan qurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang- halangimu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa- Nya.” (QS. Al-Mâidah [5]:2)

Pada surat al-Mâidah ayat kedua ini Allah menerangkan kepada orang-orang yang beriman tentang lima larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:

1. Melanggar larangan-larangan Allah, yaitu melanggar amalan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam ibadah haji dan lain-lainnya.

2. Melanggar kehormatan bulan-bulan haram (Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab). Dimana pada bulan-bulan tersebut terdapat larangan untuk berperang kecuali membela diri karena diserang.

3. Mengganggu binatang-binatang qurban.

4. Mengganggu binatang-binatang qurban yang telah dikalungi dengan tali untuk menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Ka‟bah.

5. Menghalangi dan mengganggu orang yang mengunjungi Biatullah untuk mencari karunia Allah seperti berdagang dan mencari ridho-Nya yaitu melaksanakan haji dan umrah.28

Salah satu poin dari ayat di atas adalah Allah melarang kaum muslimin berbuat aniaya kepada orang-orang musyrik, disebabkan kebencian mereka atas orang-orang kafir Makkah yang telah menghalangi mereka dari Masjidil Haram ketika mereka melaksanakan umrah Hudaibiyah, karena perbuatan ini sama sekali tidak dihalalkan bagi mereka dalam syari‟at.

28 Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Jakarta:Departemen Agama RI, 2004), Jilid 2, h. 339-340

90

Allah telah menyebutkan pada ayat di atas, bahwa orang- orang kafir benar-benar menghalang-halangi mereka untuk masuk ke Masjidil Haram, yaitu sebagaimana dalam qirâ`at sebagian besar ulama yang membaca

ۡم كوُّدَص نَأ

dengan hamzah yang difathahkan, yang artinya “karena mereka telah menghalang-halangimu”.29

Pada lafazh

نا َنَش

, sebagian ahli qirâ`at membacanya dengan

نا ن َش

dengan nun sukun.30 Dan bacaan ini adalah bacaan Ibnu „Amir dan Syu‟bah.31 Namun baik yang menggunakan fathah maupun sukun, keduanya memiliki arti “al-bughdhu

(kebencian atau kemarahan).

Pendapat lain yang membacanya dengan sukun pada huruf nun menjadikannya sebagai kata sifat.32

Pada lafazh

ۡم كوُّدَص نَأ

, ada yang membaca dengan meng-kasrah-kan hamzah

ۡم كوُّدَص ن إ

, sehingga artinya menjadi

jika mereka menghalangi kamu masuk Masjidil Haram, maka hal itu jangan membawa kamu berbuat aniaya terhadap mereka dengan sesuatu yang tidak dihalalkan kepadamu”. Dan ini

29 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

30 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

31 „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az-Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad-Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, h. 89

32 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

adalah bacaan yang disandarkan pada Ibnu Katsir dan Abu

„Amr.33

Asy- Syinqithi melemahkan qirâ`at ini dengan alasan karena ayat ini turun setelah nyata orang-orang musyrik menghalangi Nabi dan para sahabat saat umrah Hudaibiyah, sehingga tidak mungkin mensyaratkan adanya upaya untuk menghalang-halangi jika hal itu telah terjadi.34

Begitu pula pendapat ath-Thabari di dalam tafsirnya berpendapat bahwa bacaan dengan hamzah yang dibaca fathah maknanya lebih jelas, karena mengenai surah ini tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan ahli bahwa ia diturunkan setelah hari Hudaibiyah. Jika demikian adanya, maka sikap menghalang-halangi dilakukan oleh orang musyrik terlebih dahulu, lalu Allah SWT melarang orang-orang mukmin untuk berbuat zhalim kepada orang-orang yang menghalang-halangi mereka, karena mereka juga menghalang-halangi dari Masjid al- Haram.35

Dan seperti itu pula penafsiran al-Qurthubî. Al-Qurthubî mengatakan bahwa qirâ`at yang pertama lebih memungkinkan maknanya dan sesuai dengan konteks keadaannya. Jumhur Ulama bersikeras mencegah bacaan yang kedua dengan alasan ayat ini turun pada saat penaklukan kota Mekah yang terjadi

33 „Abdul Fatah bin „Abdul Ghani bin Muhammad al-Qadhi, al-Budûru az-Zâhirah fi al-Qirâ`ât al-„Asyr al-Mutawâtirah min Thâriq asy-Syâthibiyah wa ad-Durrah—al-Qirâ`ât asy-Syadzdzah wa at-Taujîhiha min Lughah al-„Arab, h. 89

34 Asy-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Idhâh Al-Qur`an bi Al-Qur`an, h.

382

35 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân Fî Ta`wîl Al-Qur`an, (tt.p: Muasasah ar-Risâlah, 2000), Juz 9, h. 486-487

Dokumen terkait