• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar pembentukan komite sekolah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Komite sekolah

3. Dasar pembentukan komite sekolah

Sebelum tahun 1974, masyarakat, orang tua peserta didik dilingkungan masing-masing sekolah telah membentuk persatuan orang tua murid dan guru (POMG). Sesuai dengan perkembangan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POGM pada awal tahun 1974 dibubarkan dan dibentuk suatu badan yang dikenal denagn BP3.

Adapun dasar pembentukan BP3, berdasarkan instruksi bersama menteri pendidikan dan kebudayaan, Menteri Dalam Negeri RI No. 17/0/1974 dan Nomor 29 Tahun 1974, tentang pembentukan Badan pembentukan penyelenggaraan pendidikan (PB3), SKB tersebut ditindak lanjuiti oleh surat edaran PUOD/17/1/1982. Nomor 5306 MPK/78 tgl 9 pebruari 1978 tentang iuran BP3. Pasang surut perkembangan penyelenggaran pendidikan jalur dan jenis sekolah, tidak dapat dilepaskan dari partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik termasuk keberadaan BP3. Nanang Fattah, (2004:147)

BP3 dalam dalam kurun waktu 26 tahun. pada umumnya belum berjalan sesuai dengan harapan terutama kelemahan dalam implementasi peran dan fungsinya. Dimana sebagian masyarakat mempersepsikan BP3 terbatas pada epngumpulan dana dari orang tua siswa serta belum optimalnya peran dan fungsi pengurus sesuai struktur BP3 yang ada.

Termasuk pula sekolah dan BP3 belum membangun budaya kemitraan yang

17

khas untuk mencapai kualitas pelayanan proses penbelajaran kepada peserta didik yang bermuara pada kualitas hasil.

Kondisi nyata tersebut pada saat sekarang ini memerlukan pembenahan-pembenahan yang selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi kesepakatan, komitmen, kesadaran dan persiapan membangun budaya dan profesionalisme dalam mewujudkan masyarakat sekolah yang mempunyai loyalitas pada peningkatan kualitas peserta didik. Untuk terciptanya suatu masyarakat sekolah yang kompak dan sinergi, maka komite sekolah merupakan bentuk dan wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan.

a. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan

Otonomi daerah telah memberikan ruang yang cukup besar bagi daerah yang cukup besar bagi daerah dalam pengelolaan pendidikan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah pasal 1 poin h dinyatakan bahwa:

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-perundangan. (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, 2001:6)

Lebih lanjut dikemukakan pada pasal 7 ayat 1 dan 2 UU Nomor 22 tahun 1999 bahwa:

1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, monometer dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

2) Kewenangan bidang lain sebagai mana dimaksud pada ayat 1 meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana pertimbangan keuangan, sistem administrasi Negara, dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta teknologi tinggi yang strtegis, konservasi dan standarisasi nasional. (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, 2001:6)

Bidang pendidikan merupakan salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah untuk dilaksanakan. Berarti pemerintah daerah memiliki kewenangan yang luas dalam menetapkan kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Anak berhak menciptakan sistem dalam menciptakan sistem dalam menciptakan peran serta yang besar masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan sesuai dengan prinsip demokratis pendidikan.

Pelaksanaan otonom daerah dengan desentralisasi pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pihak sekolah.

19

Menurut Alisjahbana dan Ngaro, (2002:2) secara konseptual terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan yaitu:

Desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dan desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dikemukakan bahwa kedua konsep desntralisasi pendidikan pada prinsipnya sesuai dengan pelaksanaan otonomi daerah yang salah satunya adalah pemberian kewenangan dibidang pendidikan kepada daerah.

Pelaksanaan desentralisasi pendidikan membuka keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, sementara keterlibatan masyarakat diperlukan sebagai wadah sehingga dapat diakomodir. Hal ini salah satu konsep dasar diperlukannya pembentukan komite sekolah. oleh karena itu, komite sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut:

1) Komite sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan satuan pendidikan sekolah yang siswanya dalam jumlah yang banyak, atau sekolah khususnya seperti sekolah luar biasa, termasuk dalam kategori yang dapat membentuk komite sekolah sendiri.

2) Komite sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. sebagai missal, beberapa SD yang terletak dalam satu kompleks satu kawasan yang berdekatan dapat membentuk satu komite sekolah.

3) Komite sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dijenjang pendidikan dan terletak dalam satu kompleks pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLB, SMP, SMU, dan SMK dapat membentuk satu komite sekolah.

4) Komite sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan milik atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggaraan pendidikan, misalnya sekolah-sekolah di bawah lembaga pendidikan Muhammadiyah,Al Azhar, Sekolah Katolik dan Sekolah Kristen. (keputusan Menteri pendidikan Nasional. Nomor 044/2002).

Secara operasional pembentukan komite sekolah disatuan pendidikan perlu memperhatikan berbagai kondisi riil yang ada, sehingga keberadaannya tidak membebani masyarakat sesuai dengan kondisi yang ada dilapangan.

b. Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut Bafadal (2002;2), “Manajemen berbasis sekolah pada hakekatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri.”

Secara umum manajemen berbasis sekolah menginginkan optimalisasi peran semua unsure dalam pencapaian tujuan pendidikan, utamanya pelaksanaan pendidikan. keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan sangat penting, sehingga demikian diperlukan suatu wadah

21

sehingga partisipasi masyarakat dapat secara terorganisir serta dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Sekolah sebagai mediator yang menghubungkan pihak sekolah dengan publik atau masyarakat diluar warga sekolah. ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan yakni secara langsung tatap muka dan tidak langsung. Kegiatan eksternal tidak langsung adalah kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat melalui perantaraan media tertentu. Kegiatan tatap muka misalnya rapat bersama pengurus komite sekolah setempat. berkonsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat, melayani kunjungan tamu dan sebagiannya. sedangkan kegiatan internal dapat dibedakan atas kegiatan langsung (tatap muka) dan tidak langsung (melalui media tertentu)

Penyelenggaraan pendidikan memerlukan dukungan masyarakat yang memadai, sebagai langkah alternatif dalam mengupayakan ditumbuhkannya keberpihakan masyarakat mulai dari pemerintahan sampai pada masyarakat untuk berpartisifasi dalam pelaksanaan pendidikan.

Kartono (1991:46) berpendapat beberapa keuntungan dari adanya partisifasi masyarakat dalam pendidikan yakni:

1) Dapat mengurangi kekuatan tunggal, monopoli dan regenmentasi oleh Negara terhadap dunia pendidikan. Di samping ada kontrol sosial dan inisiatif masyarakat sebagai agen swasta dan volunteer.

2) Turut meringankan beban Negara yang amat besar dalam mengatur kegiatan pendidikan sampai semua pelosok wilayah republic Indonesia.

3) Membuka kesempatan untuk mengadakan kompetensi bebas yang sehat dalam memajukan dunia pendidikan, dengan menyelenggarakan lembaga-lembaga persekolahan atas biaya dan kemampuan sendiri.

Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikemukakan bahwa partisifasi masyarakat pendidikan begitu penting, walaupun dalam hal-hal tertentu perlu pembatasan oleh karena itu keberpihakan rakyat terhadap pendidikan perlu mendapat dukungan oleh pemerintah.

B. Mutu pendidikan Agama Islam

Dokumen terkait