• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.2 Kualitas Pelayanan

2.2.1 Definisi Pelayanan

Kajian teori sistem pemungutan pajak berdasarkan self assessment menuntut kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pelayanan. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono, 2003: 60). Hakikat pelayanan umum adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.

b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).

c. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertangungjawabkan serta harus dilakukan secara

14

terus-menerus. Secara sederhana definisi kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pihak yang menginginkannya. Dengan demikian, yang dikatakan kualitas di sini adalah kondisi dinamis yang bisa menghasilkan:

a. Produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

b. Jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

c. Suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;

d. Lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Apabila jasa dari suatu instansi tidak memenuhi harapan pelanggan, berarti jasa pelayanan tidak berkualitas. Jika proses pelayanan tidak memenuhi harapan pelanggan, seperti berbelit-belit (tidak sederhana), berarti mutu pelayanannya kurang. Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara pemenuhan janji dengan harapan pelanggan adalah semakin mendekati ukuran bermutu. Pengertian mutu dapat diartikan sebagai kinerja untuk standar yang diharapkan oleh pelanggan.

Titik temu kebutuhan pelanggan juga diartikan sebagai mutu yang pertama dan setiap waktu. Menyediakan pelanggan dengan jasa secara konsisten adalah pelayanan bermutu. Arti mutu tidak hanya memuaskan pelanggan, tetapi menyenangkan pelanggan, memberikan inovasi kepada pelanggan, dan membuat pelanggan menjadi kreatif. Untuk menciptakan kualitas, pelayanan harus diproses secara terus-menerus dan prosesnya mengikuti

15

jarum jam, yaitu dimulai dari apa yang dilakukan, menjelaskan bagaimana mengerjakannya, memperlihatkan bagaimana cara mengerjakan, diakhiri dengan menyediakan pembimbingan, dan mengoreksi, sementara mereka mengerjakan.

2.2.2. Hakikat dari pelayanan umum yang berkualitas

Hakikat dari pelayanan umum yang berkualitas (Boediono B., 2003 : 3) adalah sebagai berikut.

a. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.

b. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).

c. Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.

2.2.3. Rangkaian Kegiatan Kualitas Pelayanan

Rangkaian kegiatan terpadu yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah sebagai berikut.

a. Pelayanan umum yang sederhana

Pelayanan umum berkualitas apabila pelaksanaannya tidak menyulitkan, prosedurnya tidak banyak seluk-beluknya, persyaratan mudah dipenuhi pelanggan. Tidak bertele-tele, tidak mencari kesempatan dalam kesempitan.

16 b. Pelayanan umum yang terbuka

Aparatur yang bertugas melayani pelanggan harus memberikan penjelasan sejujur-jujurnya, apa adanya dalam peraturan atau norma, jangan menakut-nakuti, jangan merasa berjasa dalam memberikan pelayanan agar tidak timbul keinginan mengharapkan imbalan dari pelanggan. Standar pelayanan harus diumumkan, ditempel pada pintu utama kantor.

c. Pelayanan umum yang lancar

Untuk menjadi lancar diperlukan sarana yang menunjang kecepatan dalam menghasilkan output.

d. Pelayanan umum yang dapat menyajikan secara tepat

Yang dimaksud tepat di sini adalah tepat arah, tepat sasaran, tepat waktu, tepat jawaban, dan tepat dalam memenuhi janji. Misal kantor pelayanan pajak dalam melakukan penagihan pajak tepat pada waktu wajib pajak mempunyai uang.

e. Pelayanan umum yang lengkap

Lengkap berarti tersedia apa yang diperlukan oleh pelanggan. Untuk dapat menjamin pelayanan berkualitas harus didukung sumber daya manusia dan sarana yang tersedia.

f. Pelayanan umum yang wajar

Pelayanan umum yang wajar berarti tidak ditambah-tambah menjadi pelayanan yang bergaya mewah, tidak dibuat-buat, pelayanan biasa seperlunya sehingga tidak memberatkan pelanggan.

17 g. Pelayanan umum yang terjangkau

Dalam memberikan pelayanan, uang retribusi dari pelayanan yang diberikan harus dapat dijangkau oleh pelanggan.

Pelayanan yang berkualitas harus dapat memberikan 4K, yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum. Kualitas pelayanan dapat diukur dengan kemampuan memberikan pelayanan yang memuaskan, dapat memberikan pelayanan dengan tanggapan, kemampuan, kesopanan, dan sikap dapat dipercaya yang dimiliki oleh aparat pajak. Di samping itu, juga kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, memahami kebutuhan wajib pajak, tersedianya fasilitas fisik termasuk sarana komunikasi yang memadai, dan pegawai yang cakap dalam tugasnya. Kepatuhan wajib pajak dapat diukur dari pemahaman terhadap semua ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, mengisi formulir dengan lengkap dan jelas, menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar, membayar dan melaporkan pajak yang terutang tepat pada waktunya.

2.3. Sanksi Pajak

2.3.1. Macam-Macam Sanksi Pajak

Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana. Ancaman terhadap pelangaran suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi administrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja, dan ada pula yang diancam dengan sanksi administrasi dan pidana, Mardiasmo (2011:39-44).

18

Perbedaan di antara keduanya terletak pada konsekuensinya. Pada sanksi administrasi, konsekuensi nya adalah pembayaran kerugian kepada negara berupa bunga dan kenaikan, sedangkan pada sanksi pidana, konsekuensinya adalah siksaan atau penderitaan.

2.3.2. Sanksi Administrasi 1. Denda Administrasi

Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU Perpajakan. Terkait besarannya, denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, presentasi dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.

Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambahkan dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk mengetahui lebih lanjut, dalam tabel berikut dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa; denda, bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.

19 Tabel 2.1

Hal-Hal yang Dapat Menyebabkan Sanksi Administrasi Berupa; Denda, Bentuk Pengenaan Denda, dan Besarnya Benda.

Sumber: Mardiasmo (2011:61)

2. Bunga 2% per bulan

Sanksi administrasi berupa bunga dapat dibagi menjadi bunga pembayaran, bunga penagihan dan bunga ketetapan.

Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak tidak pada waktunya, dan pembayaran pajak tersebut dilakukan sendiri tanpa adanya surat tagihan berupa STP, SKPKB dan SKPKBT.

Dengan demikian bunga pembayaran umumnya dibayar dengan menggunakan SSP, yaitu meliputi antara lain:

No Masalah Cara Membayar/menagih

1. Tidak / terlambat memasukkan / menyampaikan SPT.

STP ditambah Rp 100.000,- atau Rp 500.000,- atau Rp 1.000.000,- 2. Pembetulan sendiri, SPT tahunan atau SPT

masa tetapi belum di sidik.

SSP ditambah 150%

3. Khusus PPN:

a. a. Tidak melaporkan usaha

b. b. Tidak membuat / mengisi faktur c. c. Melanggar larangan membuat Faktur (PKP yang tidak dikukuhkan)

SSP/SPKPB ditambah 2% denda dari dasar pengenaan

4. Khusus PBB:

a. a. STP, SKPKB tidak / kurang dibayar b. atau terlambat dibayar

b. b. Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang dibayar

STP + denda 2% (maksimum 24 bulan).

SKPKB + denda administrasi dari selisih pajak yang terutang

20 a. Bunga karena pembetulan STP.

b. Bunga karena angsuran / penundaan pembayaran.

c. Bunga karena terlambat membayar.

d. Bunga karena ada selisih antara pajak yang sebenarnya terutag dan pajak sementara.

Bunga penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak yang ditagih dengan surat tagihan berupa STP, SKPKB, SKPKBT tidak dilakukan dalam batas waktu pembayaran. Bunga penagihan umumnya ditagih dengan STP (lihat pasal 19 ayat 1 KUP).

Bunga ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam surat ketetapan pajak tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan dikenakan maksimum 24 bulan. Bunga ketetapan umumnya ditagih dengan SKPKB.

Tabel 2.2

Sanksi Administrasi Berupa Bunga 2% per Bulan

No Masalah Cara Membayar/menagih

1. Pembetulan sendiri SPT (tahunan atau masa) tetapi belum diperiksa.

SSP/STP 2. Dari penelitian rutin:

a. PPh pasal 25 tidak/kurang dibayar.

b. PPh pasal 21, 22, 23, dan 26 serta PPn yang terlambat bayar.

c. SKPKB, STP, SKPKBT

tidak/kurang dibayar atau terlambat dibayar.

d. SPT salah tulis/hitung.

SSP/STP SSP/STP SSP/STP

SSP/STP 3. Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang

dibayar (maksimum 24 bulan). SSP/SPKB 4. Pajak diangsur/ditunda; SKPKB,

SKKPP, STP. SSP/STP

21 5. SPT tahunan PPh ditunda, pajak kurang

dibayar. SSP/STP

Sumber : Mardiasmo (2011:60)

3. Sanksi Kenaikan 50% dan 100%

Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh Wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.

Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.

Tabel 2.3

Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan 50% dan 100%

No Masalah Cara Membayar/menagih

1. Dikeluarkan SKPKB dengan penghitungan secara jabatan:

a. Tidak memasukkan SPT:

1. SPT tahunan (PPh 29)

2. SPT tahunan (PPh 21, 23, 26 dan PPN)

b. Tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 28 KUP

c. Tidak memperlihatkan buku/dokumen, tidak memberi keterangan, tidak mem- beri bantuan guna kelancaran pemerik- saan, sebagaimana dimaksud dalam

SKPKB ditambah kenaikan 50%

SKPKB ditambah kenaikan 100%

SKPKB

50% PPh pasal 29

100% PPh pasal 21, 23, 26, dan PPN

SKPKB

50% PPh pasal 29

100% PPh pasal 21, 23, 26, dan PPN.

22 Sumber : Mardiasmo (2011:62)

2.3.3. Sanksi Pidana

Menurut ketentuan dalam undang-undang perpajakan, ada 3 macam sanksi pidana, yaitu: denda pidana, kurungan, dan penjara, Mardiasmo (2011: 59-60)

1. Denda Pidana

Sanksi berupa denda pidana dikenakan kepada Wajib Pajak dan diancamkan juga kepada pejabat pajak atau pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan.

2. Pidana kurungan

Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditujukan kepada Wajib Pajak, dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan diancamkan kepada si pelanggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurunga selama-lamanya sekian.

pasal 29

2. Dikeluarkan SKPKBT karena: ditemukan data baru, data semula yg belum terungkap setelah dikeluarkan SKPKB.

SKPKBT 100%

3. Khusus PPN:

Dikeluarkan SKPKB karena pemerik-saan, dimana PKP tidak seharusnya mengompensasi selisih lebih, meng-hitung tariff 0% diberi restitusi pajak.

SKPKB 100%

23 3. Pidana penjara

Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara diancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada Wajib Pajak.

Ketentuan mengenai sanksi pidana di bidang perpajakan diatur/ditetapkan dalam UU No.6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Tabel 2.4

Unadang-Undang No.12 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Yang

dikenakan sanksi pidana

Norma Sanksi Pidana

I. Setiap Orang

1. Kealpaan tidak

menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi tidak benar/tidak lengkap atau

melampirkan keterangan yg tidak benar.

2. Sengaja tidak

menyampaikan SPT, tidak meminjamkan pem-bukuan, catatan, atau dokumen lain, dan

Didenda paling sedikit 1 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4

24 hal-hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 KUP.

3. Melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana me-nyalahgunakan atau menggu-nakan tanpa hak NPWP atau PPKP sebagaimana, atau me- nyampaikan Surat

Pemberi-tahuan dan/atau keterangan yg isi nya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka menga-jukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak.

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Pidana tersebut ditambahkan 1 kali menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, terhitung sejak selesainya men-jalani pidana penjara yang dijatuhkan.

Pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun dan denda pa-ling sedikit 2 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 kali jumlah restitusi yang di-mohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

25 Sumber : Mardiasmo (2011: 62-64)

4. Sengaja tidak

menyampaikan SPOP atau menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar sebagaimana dimaksudkan da-lam pasal 24 UU PBB.

5. Dengan sengaja tidak me- nyampaikan SPOP, mem- perlihatkan/meminjamkan surat/dokumen palsu, dan hal-hal lain sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat 1 UU PBB.

Pidana kurungan selama-lamnya 6 bulan dan atau setinggi-tingginya 2 kali jumlah pajak terhutang.

a. Pidana penjara selama- lamanya 2 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 5 kali jumlah pajak yang terutang.

b. Sanksi (a) dilipat dua kan jika sebe-lum lewat satu tahun terhitung se-jak selesainya menjalani sebagian/ seluruh pidana yang dijatuhkan me- lakukan tindak pidana lagi.

II. Pejabat Kealpaan tidak memenuhi kewaji-ban merahasiakan hal-hal sebagai-mana dimaksud dalam pasal 34 KUP (tindak pelanggaran).

Pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda setinggi- tingginya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

3.

III. III. Pihak Ketiga

Sengaja tidak

memperhatikan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya dan atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat 1 huruf d dan e UU PBB.

Pidana Kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda setinggi- tingginya Rp. 2.000.000,- (dua jut rupiah).

26 Catatan:

1. Pidana penjara dan atau denda pidana (karena melakukan tindak kejahatan terhadap perpajakan) dapat dilipatduakan, apabila melakukan tindak pidana perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.

2. Penuntunan tindak pidana terhadap pejabat hanya dilakukan apabila pengaduan dari orang yang kerahasiannya dilanggar. Jadi, pidana terhadap pejabat merupakan delik aduan.

3. Tindak pidana perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau 5 tahun.

2.4. Kesadaran Wajib Pajak

2.4.1. Pengertian Kesadaran Wajib Pajak

Bagaimanapun juga, menuju wajib pajak patuh adalah tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan kepatuhan ini hanya akan terwujud jika setiap orang memiliki kesadaran yang baik. Kesadaran merupakan unsur dalam diri manusia untuk memahami realitas dan bagaimana mereka bertindak atau bersikap terhadap realitas.

Definisi kesadaran wajib pajak menurut Nasution (2006:62) adalah sebagai berikut:

Kesadaran wajib pajak merupakan sikap wajib pajak yang telah memahami dan mau melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak dan telah melaporkan semua penghasilannya tanpa ada yang disembunyikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

27 Nurmantu (2005:7) menyatakan bahwa:

Kesadaran wajib pajak menyatakan penilaian positif masyarakat wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh pemerintah akan menggerakan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk membayar pajak.

Kesadaran untuk mematuhi ketentuan (hukum pajak) yang berlaku tentu berkaitan dengan factor-faktor apakah ketentuan hukum tersebut telah diketahui, diakui, dihargai. Bila seseorang hanya mengetahui, berarti kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka yang mengetahui demikian seterusnya. Idealnya untuk mewujudkan sadar dan peduli pajak, wajib pajak meski diajak untuk mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati ketentuan perpajakan yang berlaku.

Nurmantu (2005:7) menyatakan bahwa:

Wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi negara oleh pemerintah akan menggerakan masyarakat untuk mematuhi kewajibannya untuk membayar pajak. Kesadaran perpajakan tumbuh karena rakyat merasa ikut serta dalam menentukan peraturan perpajakan.

Mewujudkan wajib pajak yang sadar dan peduli pajak tidak bisa berlandaskan adagium hukum, semua orang dianggap tahu atas undang- undang yang telah dikeluarkan pemerintah. Pikiran idealisme tidak efektif, karena tidak memperhitungkan kondisi lainnya, seperti kondisi sosiologis agar ia menaati ketentuan yang berlaku. Upaya sosialisasi peraturan menjadi salah satu faktor keberhasilan mewujudkan wajib pajak yang sadar dan peduli pajak.

28

Menurut Nasution (2006:62) dalam mewujudkan wajib pajak yang sadar dan peduli pajak, telah dijalankan berbagai macam cara seperti :

1. Pelayanan prima; memberikan pelayanan yang prima kepada wajib pajak.

Telah menjadi program khusus Direktorat Jenderal Pajak seperti penunjukkan Account Representative (AR) untuk melayani wajib pajak secara khusus, dengan pencepatan pemberian restitusi wajib pajak patuh, pembayaran pajak secara online (online payment), pendaftaran wajib pajak serta pelaporannya melalui e-regristration, segala informasi peraturan terbaru bisa diketahui wajib pajak melalui website: www.pajak.go.id, dll.

2. Penyuluhan pajak; pada dasarnya setiap petugas pajak (fiskus) adalah penyuluh pajak. Sebagai konsekuensi logis Self Assessment System yang dianut, maka wajib pajak mempunyai hak mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus.

3. Pemeriksaan pajak; kegiatan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Harapan meningkatkan efektivitas lawenforcement telah diwujudkan melalui kualitas pemeriksaan, profesionalisme tenaga pemeriksa, metode dan prosedur pemeriksaan dengan sistem informasi manajemen pemeriksaan pajak melalui otomasi computer. Sistem pemeriksaan yang terus disempurnakan ini diharapkan akan menghilangkan tumpang tindih pemeriksaan,

29

sehingga kepastian hukum utang pajak segera dapat diketahui wajib pajak.

4. Penagihan; upaya membangun wajib pajak yang sadar dan peduli pajak dilakukan melalui tindakan menagih utang pajak.

2.4.2. Ketentuan Kesadaran Wajib Pajak

Nurmantu (1992) mengungkapkan bahwa kesadaran wajib pajak tercermin dalam bentuk perilaku :

1. Wajib pajak paham atau berusaha memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Kesadaran bahwa pajak ditetapkan dengan undang-undang dan dapat dipaksakan. Wajib pajak akan membayar karena pembayaran pajak disadari memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan kewajiban.

2. Membayar pajak terutang dengan benar untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Kesadaran bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi dalam menunjang pembangunan negara. Dengan menyadari hal ini, wajib pajak mau membayar pajak karena merasa tidak dirugikan dari pemungutan pajak yang dilakukan. Pajak disadari digunakan untuk pembangunan negara guna meningkatkan kesejahteraan warga negara.

3. Menghitung jumlah pajak terutang dengan benar. Kesadaran bahwa pengurangan beban pajak sangat merugikan negara. Wajib pajak mau membayar pajak karena memahami pengurangan beban pajak

30

berdampak pada kurangnya sumber daya finansial yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembangunan negara.

4. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas

Mengisis formulir pajak dengan lengkap tanpa direkayasa dan penulisan formulirnya harus jelas dan dapat dipahami.

2.5. Kepatuhan Wajib Pajak

2.5.1. Definisi Kepatuhan Wajib Pajak

Nurmantu dalam Devano dan Rahayu (2006:110) mendefenisikan pengertian kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakannya. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Devano (2006) mengemukakan kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut :

1. Wajib pajak memahami dan berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.

3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.

4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Kepatuhann wajib pajak sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Menurut Ismawan (2001) dalam Supadmi (2006) elemen-elemen kunci tersebut adalah sebagai berikut :

31

1. Program pelayaanan yang baik kepada wajib pajak.

2. Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.

3. Program pemantauan kepatuhan dari verifikasi yang efektif.

4. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.

2.5.2. Jenis-Jenis kepatuhan Wajib Pajak

Adapun jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Rahayu dan Devano (2006:110) adalah :

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang- Undang perpajakan.

2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-Undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal.

2.5.3. Upaya Pemerintah untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.

Pemerintah masih terus berupaya untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan baik dari penyampaian SPT, ketepatan pembayaran pajak, dan perhitungan/

pelaporan yang seharusnya agar penerimaan Negara dari sektor pajak meningkat. Rendahnya tingkat kepatuhan memberikan beberapa dampak negatif antara lain :

1. Penerimaan Negara menurun karena hilangnya potensi pendapatan Negara.

32 2. Sistem perpajakan kurang prospektif.

3. Sistem perpajakan kurang diandalkan sebagai sumber pendapatan.

Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk terus meningkatkan kepatuhan wajib pajak baik dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi antara lain (www.pajak.go.id) :

1. Menerbitkan dan mengirimkan surat teguran, imbauan, surat tagihan pajak.

2. Memberikan sosialisasi perpajakan yang menyangkut pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.

3. Menyampaikan ucapan terimakasih kepada wajib pajak yang mengirimkan SPT tahunan tepat waktu.

4. Menjadikan masyarakat sadar pajak merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya, sehingga akan berdampaka pada peningkatan penerimaan Negara dari sektor pajak.

2.5.4. Kriteria kepatuhan wajib pajak

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/pmk.03/2007; Bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penetapan

Dokumen terkait