• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Sediaan Injeksi Volume Besar

C. EVALUASI BIOLOGI

1. Uji Sterilitas (suplemen FI IV, 1512-1519)

Tujuan : menetapkan apakah sediaan yang harus steril memenuhi syarat berkenaan dengan uji sterilitas seperti tertera pada masing-masing monografi.

Prinsip : Menguji sterilitas suatu bahan dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan mikroba pada inkubasi bahan uji menggunakan cara inokulasi langsung atau filtrasi secara aseptik. Media yang digunakan adalah Tioglikonat cair dan Soybean Casein Digest

Hasil : memenuhi syarat jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba setelah inkubasi selama 14 hari. Jika dapat dipertimbangkan tidak absah maka dapat dilakukan uji ulang dengan jumlah bahan yang sama dengan uji aslinya.

2. Uji Endotoksin Bakteri (suplemen FI IV, 1527-1532)

Tujuan : mendeteksi atau kuantisasi endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam suatu sediaan.

Prinsip : pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate (LAL). Teknik pengujian dengan menggunakan jendal gel dan fotometrik.

Teknik Jendal Gel pada titik akhir reaksi dibandingkan langsung enceran dari zat uji dengan enceran endotoksin yang dinyatakan dalam unit endotoksin FI.

Teknik fotometrik (metode turbidimetri) yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan.

Hasil : bahan memenuhi syarat uji jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang ditetapkan pada masing-masing monografi.

3. Uji Pirogen untuk volume sekali penyuntikan > 10 mL (FI IV, 908-909)

Tujuan : untuk membatasi resiko reaksi demam pada tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.

Prinsip : pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan larutan uji secara IV dan ditujukan untuk sediaan yang dapat ditoleransi dengan uji kelinci dengan dosis penyuntikan tidak lebih dari 10 mL/kg bb dalam jangka waktu tidak lebih dari 10 menit.

Hasil : setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat bila tak seekor kelinci pun dari 3 kelinci menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih.

Jika ada kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih lanjutkan pengujian dengan menggunakan 5 ekor kelinci. Jika tidak lebih dari 3 ekor dari 8 ekor kelinci masing-masing menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih dan jumlah kenaikan suhu maksimum 8 ekor kelinci tidak lebih dari 3,3°

sediaan dinyatakan memenuhi syarat bebas pirogen.

4. Penetapan Potensi Antibiotik (khusus jika zat aktif antibiotik) (suplemen FI IV, 1519- 1527)

Aktivitas (potensi) antibiotik dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya hambatnya terhadap mikroba.

Tujuan : untuk memastikan aktivitas antibiotik tidak berubah selama proses pembuatan larutan dan menunjukkan daya hambat antibiotik terhadap mikroba.

Prinsip : penetapan dengan lempeng silider atau “cawan” dan penetapan dengan cara “tabung” atau turbidimetri.

Hasil : Potensi antibiotik ditentukan dengan menggunakan metode garis lurus transformasi log dengan prosedur penyesuaian kuadrat terkecil dan uji linieritas.

LATIHAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi praktikum di atas, kerjakanlah latihan berikut!

1) Mengapa dalam pembuatan sediaan infus tidak boleh ditambahkan pengawet antimikroba?

2) Apa yang dimaksud dengan tonisitas?

3) Apakah yang dimaksud dengan osmolaritas?

4) Mengapa uji pirogen hanya dilakukan pada sediaan infus, dan tidak pada sediaan injeksi, salep dan obat tetes?

5) Apa sajakah evaluasi sediaan steril injeksi volume besar itu?

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Dalam sediaan infus tidak boleh ditambahkan pengawet karena infus diberikan dalam volume besar (>100ml) sekali injeksi (bolus). Dengan demikian, dengan kadar yang sama akan mengandung pengawet dengan bobot yang cukup besar yang akan melebihi jumlah maksimum penggunaan pengawet sehingga dapat menyebabkan toksisitas.

2) Tonisitas adalah ukuran gradien tekanan osmotik dua larutan yang dipisahkan oleh membran semipermeabel.

3) Etiket pada larutan yang diberikan secara intravena untuk melengkapi cairan, makanan bergizi, atau elektrolit dan injeksi manitol sebagai diuretika osmotik, disyaratkan untuk mencantumkan kadar osmolarnya. Keterangan kadar osmolar pada etiket suatu larutan parenteral membantu untuk memberikan informasi pada dokter apakah larutan tersebut hipo-osmotik, iso-osmotik, atau hiper-osmotik.

Satuan kadar osmolar = miliosmol (disingkat mOsm) = zat terlarut per liter larutan.

4) Evaluasi pirogen baru dilakukan jika volume larutan suntik sebanyak 10 ml atau lebih.

terhadap volume total (b/v), kemudian dipanaskan pada suhu 60-70 °C selama 15 menit sambil sesekali diaduk kemudian disaring menggunakan kertas saring ganda selagi panas.

5) Lihat Kegiatan Praktikum 4.

RINGKASAN

Infus merupakan sediaan steril berupa larutan atau emulsi dengan air sebagai fase kontinu dan biasanya dibuat isotonis dengan darah. Prinsipnya infus dimaksudkan untuk pemberian dalam volume yang besar. Infus tidak mengandung tambahan berupa pengawet antimikroba. Larutan untuk infus diperiksa secara visibel pada kondisi yang sesuai adalah jernih dan praktis bebas partikel-partikel.

1) Persyaratan Infus Intravena

2) Sediaan (dapat berupa larutan/emulsi) harus steril (FI IV, hlm. 855)

3) Injeksi harus memenuhi syarat Uji Sterilitas yang tertera pada Uji Keamanan Hayati.

4) Bebas pirogen (FI IV, hlm.908)

5) Untuk sediaan lebih dari 10 ml, memenuhi syarat Uji Pirogenitas yang tertera pada Uji Keamanan Hayati.

6) Isotonis (sebisa mungkin).

7) Isohidris.

8) Larutan untuk infus intravena harus jernih dan praktis bebas partikel.

9) Infus intravena tidak mengandung bakterisida dan zat dapar.

10) Penyimpanan dalam wadah dosis tunggal.

11) Volume netto / volume terukur tidak kurang dari nilai nominal 12) Penandaan : (FI Ed. IV hlm. 1020)

Etiket pada larutan yang diberikan secara intra vena untuk melengkapi cairan, makanan bergizi, atau elektrolit dan injeksi manitol sebagai diuretika osmotik, disyaratkan untuk mencantumkan kadar osmolarnya. Jika keterangan mengenai osmolalitas diperlukan dalam monografi masing-masing, pada etiket hendaknya disebutkan kadar osmolar total dalam miliosmol per liter.

TES 4

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Infus dapat dibuat dalam bentuk sediaan sebagai berikut, yaitu:

A. Emulsi air dalam minyak B. Emulsi minyak dalam air

C. Larutan dengan volume kurang dari 50 ml

D. Suspensi

E. Suspensi dalam ukuran mikrometer

2) Berikut ini adalah evaluasi sediaan yang dilakukan untuk sediaan infus, yaitu:

A. Uji isi minimum B. Uji permisahan fase C. Uji ukuran globul D. Uji ukuran partikel

E. Uji kejernihan dan warna

3) Berdasarkan volume sekali injeksi, apakah uji pirogen perlu untuk dilakukan?

A. Tidak, karena volume injeksi > 10 ml B. Ya, karena volume injeksi > 10 ml C. Tidak, karena volume injeksi < 10 ml D. Ya, karena volume injeksi < 10 ml E. Tidak, karena diberikan secara bolus

4) Apakah semua sediaan steril injeksi volume besar harus selalu dilakukan penetapan potensi antibiotik?

A. Ya, karena merupakan syarat evaluasi sediaan injeksi volume besar

B. Tidak, karena bukan merupakan syarat evaluasi sediaan injeksi volume besar C. Tidak selalu, apabila bahan aktif bukan merupakan antibiotik

D. Selalu dilakukan, untuk bahan aktif antibiotik maupun non-antibiotik E. Tidak dilakukan, karena merupakan syarat sediaan injeksi volume kecil

5) Apabila pada sediaan infus tertentu dilakukan proses sterilisasi akhir, maka proses pembuatan sediaan dilakukan pada ruang bersih dengan kelas:

A. Kelas A/B B. Kelas B C. Kelas C D. Kelas D E. Kelas E

Kunci Jawaban Tes

Tes 1 1) A 2) B 3) A 4) C 5) B Tes 2 1) D 2) A 3) B 4) C 5) D Tes 3 1) D 2) B 3) A 4) A 5) C Tes 4 1) B 2) E 3) B 4) C 5) C

Glosarium

BP : British Pharmacope FI : Farmakope Indonesia mOsm/L : Mili osmol per liter

BM : Bobot molekul

⁰C : Derajat Celcius

LAL : Limulus Amebocyte Lysate E : Ekivalensi terhadap NaCl

Bioburden : Jumlah mikroorganisme awal sebelum dilakukan sterilisasi sediaan

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional Edisi Kedua.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 323.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 173-174; 519-521; 1044.

Lachman, Leon.(1993) Pharmaceutical Dosage Forms: Parenteral Medications Volume 2, 2nd edition, New York: Marcell Dekker Inc. hal: 561

Lukas, Stefanus. 2006. Formulasi Steril. Yogyakarta: Andi Offset. Halaman 61, 81.

Lund, W. 1994. The Pharmaceutical Codex 12th Edition. London: The Pharmaceutical Press.

Halaman 101.

Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Quinn, Marian E.. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition. London: The Pharmaceutical Press. Halaman 637-639.

Sweetman, Sean C., 2009. Martindale 36th Edition. London: The Pharmaceutical Press.

Halaman 2414.

Syamsuni .2007. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta

The Council of The Pharmaceutical Society of Great Britain. The Pharmaceutical Codex, 12thed, Principles and Practice of Pharmaceutics., 1994. London: The PharmaceuticalPress (hal 164)

The Department of Health, Social Service and Public Safety. British Pharmacopoeia 2002.

London. Halaman 1889.

Wendy L. Hulsea, Robert T. Forbes A, Michael C. Bonner a, Matthias Getrost

Hulsea, W.L., Forbes, R.T., Bonner, M.S., Getrost, M. (2009). Influence of protein on mannitol polymorphic form produced during co-spray drying. International Journal of Pharmaceutics 382 (2009) 67–72

Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5.Jakarta:Balai Penerbit FKUI

MODUL IV

PEMBUATAN SEDIAAN OBAT STERIL

Dalam dokumen Buku Praktikum teknologi sediaan steril (Halaman 96-103)

Dokumen terkait