• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi (Evaluation)

Dalam dokumen Manajemen Keperawatan (Halaman 74-91)

Autonomy dan Informed Concent

Tahap 6: Evaluasi (Evaluation)

Tahap ini merupakan tahap yang penting, walaupun sudah terlihat jelas. Tahap ini diperlukan untuk mengevaluasi dampak dari keputusan yang telah dibuat. Perawat harus mengetahui apakah implementasi tindakan telah sesuai dengan yang diinginkan.

Bukti bahwa intervensi telah berhasil di antaranya penurunan tingkat kecemasan Ny.

Gift dan perasaat negatif tentang peluang hasil operasi.

This step is important, eventhough it may seem obvious. It is necessary to evaluate the implications of the decision that was made. The nurse must determine if the action implemented accomplished what was intended. Evidence that the intervention was succesfull would include a decrease in Mrs. Gift’s anxiety level and negative feelings about the probable outcome of the surgery.

Contoh: Penerapan

Ethical and Clinical Decision Making (Pengambilan Keputusan Etik dan Klinik) dalam Keperawatan

KASUS

Tn. A, 65 tahun, seorang profesor dalam bidang musik menderita penyakit Parkinson yang progresif. Beliau memulai perawatan lanjut sejak musim panas tahun 1999 dikarenakan istrinya yang berusia 40 tahun tidak sanggup merawatnya sendirian. Tn.

A mengalami inkontinensia feses dan urine, kesulitan berjalan serta tidak mampu makan sendiri. Postur tubuh Tn. A pendek dan sedikit kurus (130 lbs = mungkin sekitar 59 kg). Semakin lama kondisi kesehatan Tn. A semakin memburuk. Dia semakin putus asa dan merasa dirinya telah mengecewakan keluarganya. Terlebih lagi ketika dia melihat istrinya harus menempuh perjalanan yang cukup jauh setiap kali datang untuk menjenguk dan merawat dirinya di rumah sakit. Di akhir musim panas, Tn. A menjalani pengobatan antidepresan dan hal ini menyebabkan beliau mengalami penurunan berat badan sebanyak 15 pon( 6,8 kg). Tanpa alasan yang jelas Tn. A mengurangi frekuensi dan porsi makannya bahkan beliau selalu memuntahkan makanan yang dikonsumsi. Suatu hari Tn. A dirawat di ICU karena hipokalemi dan dehidrasi, dia mendapatkan nutrisi total parenteral dan cairan intravena. Beliau menolak untuk dipasang slang gastrointestinal. Dalam beberapa bulan kemudian berat badannya turun menjadi 100 lbs (45 kg). Tim dokter yang merawat Tn. A memutuskan untuk melakukan PEG (percutaneus endoscopy gastrotomy) untuk memasukkan slang nutrisi langsung ke dalam lambung. Namun, Tn. A menerima pelaksanaan tindakan tersebut hanya jika makanan yang dimasukkan ke dalam slang nutrisi adalah minuman soda kesukaannya. Maka tim dokter menyetujui hal itu dengan harapan beliau dapat berubah pikiran sehingga dapat diubah dengan nutrisi yang lebih dibutuhkan. Namun, selama 21 hari Tn. A tetap menginginkan soda sebagai nutrisinya sehingga kondisi kesehatannya semakin memburuk. Pasien semakin letargi, dan mengalami ulkus lambung. Pada akhirnya Tn. A masuk ke

ICU untuk kedua kalinya karena gangguan irama jantung. Perawat dan tim dokter mengalami dilema apakah tindakan pemberian nutrisi dengan soda tetap dilakukan sesuai dengan keinginan pasien ataukah melakukan tindakan lain untuk memperbaiki kondisi kesehatannya?

Opini Kasus

Kasus tersebut dapat ditinjau dari aspek hukum, kode etik, asas etik, dan dari segi norma budaya.

Aspek Hukum

Dari kasus Tn. A di atas, jika ditinjau dari aspek hukum maka ada beberapa dasar hukum yang berkaitan dengan kasus di atas, antara lain sebagai berikut.

a. Dasar hukum yang melindungi tim kesehatan (termasuk perawat) jika tetap melakukan tindakan sesuai dengan keinginan Tn. A.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor HK.02.02/MenKes/148/

I/2010 pasal 12 dalam melaksanakan praktik, perawat wajib untuk:

1) menghormati hak pasien;

2) melakukan rujukan;

3) menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4) memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/pasien dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan;

5) meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan;

6) melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis;

7) mematuhi standar:

a) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 5 ayat (3)

Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 56 ayat (1)

Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Pasal 8

Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Pasal 7

Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Dari beberapa dasar

hukum di atas, pasien dan keluarga berhak mengambil keputusan yang terbaik atas tindakan yang akan dipilih setelah tim kesehatan termasuk perawat memberikan informasi mengenai tindakan yang akan diterima pasien secara lengkap. Hak pasien sepenuhnya untuk memutuskan apakah akan menggunakan PEG (Percutaneus Endoscopy Gastrotomy) atau tidak. Ketika ada persyaratan yang diajukan, pasien memiliki tanggung jawab atas dirinya dalam keputusan tersebut. Sesuai permenkes, perawat wajib untuk menghormati apapun keputusan ataupun persyaratan yang diajukan oleh pasien.

b) Dasar hukum yang melindungi tim dokter dan perawat jika melakukan tindakan untuk memperbaiki kondisi Tn. A agar membaik. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:

Pasal 56

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada:

a) penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;

b) keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau c) gangguan mental berat.

Ketika Tn. A dalam keadaan tidak sadarkan diri (dalam kasus disebutkan beberapa hari setelah pemasangan PEG, pasien mengalami letargi atau penurunan kesadaran), tim kesehatan (termasuk perawat) dibenarkan untuk melakukan tindakan penyelamatan.

Salah satunya menghentikan pemberian soda yang diduga memengaruhi keadaan pasien. Hal ini dibenarkan sesuai UU No. 36 Tahun 2009.

Kode Etik Keperawatan

Kode etik keperawatan Indonesia yang berkaitan dengan kasus di atas adalah tentang tanggung jawab perawat terhadap tugas yang bunyinya “Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.”

Dalam kasus yang dialami Tn. A, perawat dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, apakah menghentikan pemberian minuman soda untuk menyelamatkan nyawa Tn. A atau tetap memberikannya atas dasar permintaan Tn. A. Jika kode etik keperawatan yang menjadi dasar pengambilan keputusan, tentu yang lebih dipentingkan adalah keselamatan nyawa Tn. A.

Asas Etik Keperawatan

Dari enam asas etik keperawatan yang ada, maka asas etik yang berkaitan dengan kasus di atas adalah sebagai berikut.

a. Asas autonomy (asas menghormati otonomi).

Perawat dituntut untuk menghormati apa yang menjadi hak pasien. Tn. A memiliki hak penuh untuk memutuskan segala sesuatu yang berkenaan dengan kesehatannya secara mandiri. Peran perawat dalam hal ini adalah melaksanakan dan menghormati keputusan yang diambil oleh Tn. A.

b. Asas beneficence (asas manfaat).

Dengan berdasar asas manfaat ini, perawat dapat mempertimbangkan tindakan apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi Tn. A tanpa melakukan tindakan yang bukan kewenangannya, jika keputusan yang diambil oleh Tn. A tidak memberikan manfaat untuk proses kesembuhannya atau bahkan telah memperburuk kondisi kesehatannya.

Norma Budaya

Dalam kasus di atas berdasarkan norma dan budaya, apabila dokter, perawat, serta tim medis yang lain tetap melakukan tindakan tersebut maka ini bertentangan dengan norma sosial di masyarakat yang memiliki pengertian:

“Segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai dengan harapan sebagian besar warga masyarakat.”

Semakin buruknya keadaan pasien, seharusnya menjadi bahan pertimbangan tim medis untuk menentukan langkah selanjutnya. Apabila tindakan ini tetap dilanjutkan, maka seharusnya perawat menyampaikan pada keluarga pasien (mengingat pasien sudah mengalami penurunan kesadaran) tentang dampak positif dan negatif yang akan dialami pasien. Jika tidak, selamanya pihak yang tidak tahu apa-apa akan menganggap perawat melakukan tindakan yang merugikan pasien dan keluarga, karena melakukan tindakan yang tidak diharapkan dan dianggap tidak wajar.

EDM dan CDM

1. Klarifikasi dilema.

Kasus Tn. A memiliki beberapa permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan berdasarkan etik. Berikut pertimbangan-pertimbangan tersebut.

a. Tn. A dengan usia yang lanjut menderita penyakit Parkinson yang menimbulkan kecacatan secara permanen (irreversible) sehingga mengurangi kualitas hidupnya. Pasien tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri, sehingga sangat bergantung pada orang lain.

b. Tn. A merasa menjadi orang yang tidak berguna setelah menderita penyakit Parkinson ini. Dia merasa telah mengecewakan keluarganya karena hanya menjadi beban bagi mereka. Kondisi harga diri rendah inilah yang menyebabkan Tn. A tidak bersemangat untuk sembuh.

c. Secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas Tn. A menolak untuk makan, selalu mengurangi frekuensi dan porsi makannya sehingga terjadi penurunan berat badan yang drastis. Kondisi ini semakin buruk ketika Tn. A dirawat di ICU karena hipokalemi dan dehidrasi.

d. Ketika tim dokter menyarankan kepada Tn. A untuk memasang PEG sebagai upaya untuk memperbaiki status nutrisinya, pasien tidak menghendaki tindakan tersebut jika tidak menggunakan minuman soda kesukaannya.

Setelah 21 hari berjalan, kondisi pasien semakin memburuk bahkan jatuh ke kondisi aritmia.

Dari keempat hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan Tn. A terkait keputusan terhadap tindakan perawatan yang akan dilakukan dan perilaku serta pola pikirnya, mengarah pada self destruction. Pengambilan keputusan atau permintaan pasien yang mengarah kepada self destruction sangat tidak dibenarkan. Perawat dan tim dokter perlu mempertimbangkan asas manfaat dari setiap tindakan yang akan diberikan, apakah akan semakin membahayakan kesehatan pasien atau semakin membaik. Sebagaimana prinsip etik yaitu “doing good avoiding harm”. Namun, di sisi lain, jika para tenaga kesehatan mengambil keputusan yang sebaliknya, yaitu memperbaiki kondisi dengan mengabaikan permintaan pasien, ketika keadaan umum pasien tersebut membaik, belum tentu diiringi dengan peningkatan kualitas hidupnya. Selain itu, semangat hidup yang rendah juga memungkinkan upaya tersebut gagal untuk meningkatkan status kesehatan pasien. Secara psikologis, pasien sudah lemah sehingga memperburuk kondisi fisiknya.

a. Permasalahan klinis apa yang terjadi (what is clinical judgement?) Dari mana asalnya (where does it come from)?

Pasien (Tn. A), penderita Parkinson yang disertai depresi, menolak tindakan pemasangan PEG (percutaneous endoscopy gastrotomy) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pasien akhirnya menyetujui tindakan dengan syarat bahan makanan yang dimasukkan hanya minuman soda. Setelah pemberian selama beberapa hari, Tn. A semakin letargi dan mengalami ulkus lambung hingga Tn. A masuk Ruang ICU dikarenakan aritmia. Permasalahan yang dihadapi oleh tim medis dan perawat adalah mengenai penetapan pemberian nutrisi soda apakah dilanjutkan sesuai keinginan pasien atau dihentikan.

Apa yang dapat saya lakukan sebagai mahasiswa paramedis untuk mengatasi permasalahan klinis (what can I do as a paramedic student to improve my clinical judgement)?

Berdasarkan kasus di atas, sebagai mahasiswa keperawatan, pengambilan keputusan dalam kasus etik haruslah mengarah pada tujuan untuk memperbaiki kondisi kesehatan pasien, meskipun hal tersebut bertentangan dengan keinginan pasien. Otonomi pasien akan gugur jika keinginan pasien dapat membahayakan kondisi kesehatannya. Pemberian soda pada PEG akan mengikis lapisan mukosa lambung dan memperburuk ulkus, sehingga akan meningkatkan ketidaknyamanan pasien akibat rasa nyeri yang diberikan, bahkan dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Maka dari itu, keputusan yang sebaiknya diambil adalah menghentikan pemberian soda pada PEG dan menggantinya dengan cairan nutrisi lain yang lebih bermanfaat, misalnya susu.

b. Faktor apa saja yang memengaruhi?

a) Lingkungan dan tempat (environment and setting).

Kasus ini terjadi di Ruang ICU suatu rumah sakit. Sebelumnya, Tn. A dirawat di bangsal namun pada akhirnya Tn. A mengalami aritmia karena mengonsumsi soda. Tim dokter dan perawat pada awalnya mengabulkan permintaan pasien tersebut dengan alasan untuk menghormati otonomi pasien dan berharap agar Tn. A berubah pikiran. Prognosis kondisi yang dialami Tn. A cukup buruk terkait dengan adanya depresi yang berpengaruh pada afektif Tn. A. Sejak kejadian aritmia, keluarga pun menghendaki agar nutrisi soda tersebut diganti.

b) Data-data diagnosis (diagnostic data).

• Data subjektif : pasien menyatakan hanya ingin soda yang dimasukkan melalui PEG.

• Data objektif : pasien mengalami letargi, ulkus lambung, dan aritmia.

• Diagnosis medis : Parkinson, depresi, dan postaritmia.

c) Patient acuity.

Three general classes: Potentially Life Threatening

• What do I need to know in order to differentiate between patients with varying acuity?

Kasus di atas tergolong kasus yang potensial mengancam kehidupan.

Kejadian aritmia yang terjadi diduga akibat pemberian soda ditunjang dengan kondisi pasien yang mengalami letargi dan ulkus lambung. Pasien juga mengalami depresi sehingga hal tersebut memengaruhi nafsu makan pasien dan keinginan dalam melakukan aktivitas. Kondisi pasien saat ini pascaaritmia perlu ditunjang dengan pemenuhan nutrisi yang tepat, sehingga pemberian soda lebih baik dihentikan dengan mengabaikan permintaan pasien dan menggantinya dengan nutrisi yang lain untuk meningkatkan status kesehatan pasien.

d) Lingkup praktik (scope of practice).

Dalam kasus di atas tim medis termasuk di dalamnya adalah perawat seharusnya mengganti minuman pasien yang diinginkan pasien dengan minuman yang lebih bernutrisi seperti jus atau susu. Hal ini dilakukan berdasarkan asas beneficence (asas manfaat). Dengan berdasar asas manfaat ini, perawat dapat mempertimbangkan tindakan apa yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi Tn. A tanpa melakukan tindakan yang bukan kewenangannya, jika keputusan yang diambil oleh Tn. A tidak memberikan manfaat untuk proses kesembuhannya atau bahkan telah memperburuk kondisi kesehatannya. Artinya, perawat berhak menganti minuman soda dengan jus atau susu tanpa izin terlebih dahulu kepada pasien. Tindakan ini dilakukan dengan melihat kondisi pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Soda yang masuk tidak membantu banyak dalam memenuhi kebutuhan nutrisi Tn. Antonio sehingga perlu disubstitusi dengan minuman yang lain demi perbaikan kondisi pasien. Secara hukum, tindakan yang perawat ambil tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran atas hak pasien yang tertulis dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 56 ayat (1): “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap”.

Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya, pada pasal yang sama, hak ini tertolak saat pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri.

e) Hubungan interpersonal (interpersonal relationship).

Dalam kasus ini perawat perlu melakukan komunikasi yang asertif kepada pasien terkait tindakan tenaga kesehatan yang bertentangan dengan keinginan pasien. Perawat harus menjelaskan sebaik mungkin dan mengarahkan pasien agar bersedia menerima pemberhentian minuman soda. Perawat juga perlu melibatkan keluarga untuk mempermudah pelaksanaan intervensi tersebut terutama dalam hal penerimaan pasien terhadap tindakan penggantian soda dengan nutrisi yang lain. Dengan demikian, keluarga dapat berperan aktif serta memotivasi pasien untuk meningkatkan status kesehatannya.

2. Pengumpulan Data 5W dan 1H.

a. What.

Perawat dan tim dokter mengalami dilema apakah tindakan pemberian nutrisi dengan soda tetap dilakukan sesuai dengan keinginan pasien ataukah melakukan tindakan lain untuk memperbaiki kondisi kesehatannya.

b. Who.

Dalam kasus ini, yang bersangkutan adalah Tn. A, perawat, dan dokter.

c. When.

Setelah Tn. A menjalani tindakan PEG untuk memasukkan slang nutrisi langsung ke dalam lambung.

d. Where: Terjadi di ICU e. Why.

Oleh karena makanan yang dimasukakan ke dalam slang PEG hanya berupa minuman soda yang merupakan minuman kesukaan Tn. A. Kemudian setelah 21 hari pemasangan PEG, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Beliau semakin letargi, dan mengalami ulkus lambung. Pada akhirnya Tn. A masuk ke ICU untuk kedua kalinya karena gangguan irama jantung.

f. How.

Tim medis harus menyadari bahwa tindakan atau pengobatan yang akan dilakukan benar-benar bermanfaat bagi kesehatan pasien. Kesehatan pasien senantiasa harus diutamakan oleh perawat. Risiko yang mungkin timbul dikurangi sampai seminimal mungkin dan memaksimalkan manfaat bagi pasien.

3. Resume Kasus.

a. Pengkajian.

1) Identitas Pasien.

Tn. A berusia 65 tahun, telah menikah. Bertempat tinggal di Surabaya yang merupakan asli keturunan Jawa. Tn. A seorang profesor di bidang musik dan beragama Islam.

2) Riwayat penyakit sekarang.

Tn. A menderita penyakit Parkinson yang progresif dan telah menjalani perawatan lanjut sejak 11 tahun yang lalu. Selama proses perawatan lanjut, kesehatan Tn. A kian menurun. Tn. A mengalami inkontinensia urine dan feses, kesulitan berjalan dan tidak mampu makan sendiri. Maka istri Tn.

A memutuskan agar Tn. A dirawat di rumah sakit. Tn. A sendiri sangat pesimis akan kesembuhan dari penyakitnya, dia tidak ingin menyusahkan istrinya. Oleh karena penyakitnya yang kian memburuk dan tidak tega melihat kesusahan istrinya, Tn. A mengalami stres sehingga Tn. A mendapat terapi antidepresan. Efek samping terapi ini adalah penurunan nafsu makan. Oleh karena efek samping terapi dan kesengajaan Tn. A yang tidak mau makan dan malah memuntahkan makanan. Makan berat badan Tn. A semakin turun. Sampai akhirnya Tn. A harus masuk ICU dikarenakan mengalami hipokalemia dan dehidrasi. Tn. A mendapatkan nutrisi total parenteral dan cairan intravena. Tim dokter memutuskan untuk memasang gastrointestinal tube, tapi Tn. A menolaknya. Alternatif lain yang ditawarkan tim dokter adalah pemasangan PEG. Tn. A menyetujui dilakukan PEG tapi dengan syarat bahwa makanan yang

akan dimasukkan melalui PEG adalah soda. Tim dokter menyetujui hal tersebut dengan harapan Tn. A nanti akan berubah pikiran. Setelah beberapa hari soda dimasukkan melalui PEG pada Tn. A, kondisi Tn. A semakin memburuk. Tn. A mengalami letargi dan ulkus lambung yang mengakibatkan Tn. A mengalami gangguan irama jantung.

3) Riwayat kesehatan dahulu.

Tn. A pada usia 40 tahun pernah mengalami tabrakan dan terkena cedera otak sedang.

4) Pemeriksaan fisik.

a) Keadaan Umum.

TB = 144 cm BB = 40 kg T = 37,6 ºC

TD = 110/80 mmHg RR = 22×/menit N = 86×/menit b. Tinjauan sistem (review of system).

1) Pola pernapasan (B1).

Tn. A tidak mengalami sesak napas, batuk. Irama napas teratur, tidak memakai alat bantu napas.

Masalah keperawatan: Tidak ditemukan masalah.

2) Sistem sirkulasi (B2).

Tn A mengalami gangguan irama jantung, aritmia.

Masalah keperawatan: PK Disritmia.

3) Sistem persarafan (B3).

Tn. A mengalami penurunan kesadaran, letargi.

Masalah keperawatan: Tidak ditemukan masalah.

4) Sistem perkemihan (B4)

Tn. A mengalami inkontinensia urine.

Masalah keperawatan: Inkontinensia urine.

5) Sistem pencernaan (B5).

Tn. A mengalami penurunan nafsu makan, mual muntah, sehingga Tn. A dipasang PEG sebagai jalan masuk makanan. Makanan yang dimasukkan melalui PEG hanya soda.

Masalah keparawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan.

6) Sistem integumen, penginderaan, dan muskuloskeletal (B6).

• Tn. A mengalami kesulitan bergerak/berjalan.

• Terdapat luka pascapemasangan PEG di abdomen kiri.

Masalah keperawatan: Gangguan mobilitas fisik, risiko infeksi.

c. Pengkajian psikososial.

1) Pola pikir dan persepsi: Tn. A merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi dan menyusahkan orang-orang di sekitarnya.

2) Suasana hati: Tn. A merasa sedih dan putus asa akan penyakitnya.

3) Hubungan atau komunikasi: Tn. A kurang kooperatif terhadap tindakan medis yang akan dilakukan padanya.

4) Kehidupan keluarga: Tn. A hidup berdua dengan istrinya. Semua keputusan rumah tangga ada pada Tn. A.

Masalah keperawatan: Koping tidak efektif.

b. Diagnosis keperawatan.

1) Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia sekunder akibat penyakit Parkinson.

2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan dan kelemahan otot.

3) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan, kehilangan kontrol otot atau koordinasi.

4) Koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi dan disfungsi karena perkembangan penyakit.

5) Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder akibat pemberian nutrisi parenteral total.

c. Intervensi keperawatan.

Diagnosis: Gangguan pemenuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia sekunder akibat penyakit Parkinson.

Tujuan: dalam waktu 1 × 24 jam pasien dapat makan dan tidak ada penurunan berat badan.

Kriteria hasil:

1) mempertahankan berat badan stabil/menunjukkan kemajuan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal;

2) bebas dari tanda malnutrisi.

INTERVENSI RASIONAL

1. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium,

misal Hb/Ht dan elektrolit. 1. Indikator kebutuhan cairan/nutrisi dan kefektifan terapi dan terjadinya komplikasi.

2. Atur agar mendapatkan nutrisi yang

berprotein/kalori sangat tinggi. 2. Protein tambahan dapat membantu perbaikan dan penyembuhan jaringan.

3. Awasi toleransi terhadap masukan cairan dan makanan, catat distensi abdomen, laporkan peningkatan nyeri atau kram, mual muntah.

3. Komplikasi paralitik ileus, obstruksi, pengosongan lambung lambat, dan dilatasi gaster dapat terjadi.

4. Monitor berat badan. 4. Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.

Diagnosis: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan dan kelemahan otot.

Tujuan: dalam waktu 2 × 24 jam pasien mampu melakukan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.

Kriteria hasil:

1) pasien dapat ikut serta dalam program latihan;

2) tidak terjadi kontraktur sendi;

3) bertambahnya kekuatan otot dan pasien menunjukkan tindakan untuk meningkatan mobilitas.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji mobilitas yang ada dan observasi

terhadap peningkatan kerusakan. 1. Mengetahui tingkat kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.

2. Lakukan program latihan untuk

meningkatan kekuatan otot. 2. Meningkatkan koordinasi dan ketangkasan, menurunkan kekakuan otot, dan mencegah kontraktur bila otot tidak digunakan.

3. Anjurkan mandi air hangat dan masase

otot. 3. Mandi air hangat dan massase membantu

otot-otot rileks pada aktivitas pasif dan aktif mengurangi nyeri otot yang mengakibatkan kekakuan otot.

4. Bantu pasien melakukan latihan ROM,

perawatan diri sesuai toleransi. 4. Memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.

5. Kolaborasi ahli fisioterapi untuk latihan

fisik pasien. 5. Peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi.

Diagnosis: Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskular, menurunnya kekuatan, kehilangan kontrol otot atau koordinasi.

Tujuan: dalam waktu 2 × 24 jam keperawatan diri pasien terpenuhi.

Kriteria hasil:

1) pasien dapat menunjukkan perubahan hidup untuk kebutuhan merawat diri;

2) pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesaui dengan tingkat kemampuan, dan mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan

dan skala 0–4 untuk melakukan ADL. 1. Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan keburuhana individual???.

2. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan

pasien dan bantu bila perlu. 2. Mencegah frustasi dan penurunan harga diri pasien.

3. Kolaborasi pemberian pencahar dan konsultasikan ke dokter tentang terapi okupasi.

3. Pertolongan pertama terhadap fungsi usus atau defekasi, untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus.

4. Ajarkan dan dukung pasien selama

aktivitas. 4. Meningkatkan perawatan diri.

5. Modifikasi lingkungan. 5. Mengompensasi ketidakmampuan fungsi.

Diagnosis: koping individu tidak efektif berhubungan dengan depresi dan disfungsi karena perkembangan penyakit.

Tujuan: dalam waktu 1 × 24 jam koping individu menjadi efektif.

Kriteria hasil:

Dalam dokumen Manajemen Keperawatan (Halaman 74-91)