• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisa tabel silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB Paru memiliki pengetahuan yang baik. Hal tersebut dikarenakan penderita TB Paru sudah sering mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan. Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa petugas kesehatan klinik TB Paru Puskesmas Pamulang selalu memberikan kegiatan penyuluhan melalui pendekatan personal kepada penderita TB Paru ketika melakukan pengobatan sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden. Selain petugas

kesehatan, kegiatan penyuluhan juga dibantu oleh kader TB Paru dengan mendatangi rumah-rumah penderita TB Paru.

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara pengetahun dengan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kurniasari, et al (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru di Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Wenas, et al (2015) juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian TB paru di Desa Wori, Minahasa Utara.

Secara teori, pengetahuan merupakan domain penting untuk terbentuknya perilaku. Sehingga, pengetahuan buruk responden terkait TB paru berpotensi menimbulkan perilaku yang buruk pula baik terkait kewaspadaan penularan maupun perawatan pasien dengan penyakit TB paru. Teori tersebut sejalan dengan hasil penelitian Setiarni, et al (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kejadian TB Paru di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Ruswanto (2010) di Kabupaten Pekalongan juga menyebutkan bahwa pengetahuan yang rendah memiliki risiko 3,716 kali lebih besar terkena TB Paru.

Namun pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena pengambilan data terkait pengetahuan responden dilakukan setelah penderita TB Paru terdiagnosis dan

melakukan pengobatan. Proses pengobatan dimungkinkan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan responden.

Sarwono (2007) menyebutkan bahwa pengetahuan yang positif atau tinggi tidak selamanya diikuti dengan praktik yang sesuai. Selain pengetahuan yang tinggi terdapat faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perubahan perilaku (Herijuliani, et al., 2001). Jadi, disamping pengetahuan yang baik diperlukan pula kesadaran untuk melaksanakan atas apa yang telah diketahui dan juga dukungan dari lingkungan sekitar.

6.3.3 Merokok

Hasil analisa tabel silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi responden TB Paru yang berstatus perokok ringan lebih banyak dibandingkan dengan perokok berat. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sebagian responden mulai mengonsumsi rokok sejak usia remaja dan mengaku sudah lama mengurangi konsumsi rokok dikarenakan alasan kesehatan.

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Kurniasari, et al (2012) di Kabupaten Wonogiri yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru (p value 0,627). Hasil penelitian Sejati dan Sofiana (2015) di Kabupaten Sleman juga

menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru (p value 1,000).

Secara teori, merokok tembakau merupakan faktor penting yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah terserang penyakit.

Namun pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini, merokok bukan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh multifaktor, dimungkinkan terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Kolappan dan Gopi (2002) yang menyebutkan bahwa seseorang yang menghisap rokok

>20 batang/hari memiliki risiko 3,68 kali terkena TB Paru dibanding orang yang tidak merokok dan perokok yang menghisap rokok > 20 tahun memiliki risiko 3,23 kali terkena TB Paru dibanding orang yang tidak merokok. Penelitian Ariyothai, et al (2004) juga menyebutkan bahwa seseorang yang menghisap rokok > 10 batang/hari memiliki risiko 3,98 kali terkena TB Paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan seseorang yang menghisap rokok > 10 tahun memiliki risiko 2,96 kali terkena TB Paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.

Hal tersebut dapat dikarenakan sebagian besar dari responden yang memiliki Indeks Brinkman <600 adalah bukan perokok dan berkemungkinan berstatus sebagai perokok pasif. Selain perokok aktif,

perokok pasif juga merupakan faktor yang juga berperan dalam perkembangan penyakit TB Paru. Menurut Leung, et al (2010), sama halnya dengan perokok aktif, paparan pasif asap tembakau dalam rumah tangga juga merupakan predisposisi perkembangan TB. Janson (2004) mengatakan bahwa merokok secara pasif merupakan faktor risiko yang umum, penting dan dihindari untuk keluhan pernafasan pada anak-anak dan orang dewasa. Mengurangi merokok secara pasif di masyarakat akan memberikan efek positif yang besar terhadap kesehatan pernapasan. Oleh karena itu, pengendalian tembakau harus ada dalam program TB nasional.

6.3.4 Kebiasaan Membuka Jendela

Hasil analisa tabel silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang tidak memiliki kebiasaan membuka jendela lebih banyak dibandingkan dengan penderita TB Paru yang memiliki kebiasaan membuka jendela. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa responden tidak memiliki kebiasaan jendela mempunyai dikarenakan beberapa alasan seperti, hampir setiap hari rumah yang mereka tempati ditinggal pergi bekerja sehingga rumah dalam keadaan kosong, khawatir debu dan bau masuk kedalam rumah, serta terdapat barang yang menutupi bagian depan jendela sehingga jendela tidak bisa dibuka.

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan membuka jendela dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian (Musadad, 2006) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan

membuka jendela dengan kejadian TB paru (p value 0,472). Hasil penelitian lain yang dilakukan Ruswanto (2010) menyebutkan bahwa keberadaan jendela di dalam rumah bukan merupakan faktor risiko namun faktor protektif kejadian tuberkulosis. Keadaan jendela yang tertutup justru dapat memberikan perlindungan terhadap kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam rumah melalui udara.

Secara teori, jendela berfungsi penting untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, yang mana cahaya tersebut berguna untuk membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Wulandari, et al (2015)yang menyebutkan bahwa kebiasaan tidak membuka jendela berhubungan dengan kejadian TB Paru (p-value 0,033). Penelitian yang dilakukan oleh Azhar dan Perwitasari (2013) juga menyebutkan bahwa tidak membuka jendela kamar tidur setiap hari berisiko terinfeksi TB Paru sebesar 1,36 kali. Selain itu, hasil penelitian Khaliq, et al (2015) juga menyebutkan bahwa kondisi ventilasi yang buruk merupakan faktor risiko peningkatan infeksi TB.

Kebiasaan tidak membuka jendela membuat udara tidak mengalir secara bebas sehingga ruangan menjadi lembab. Persyaratan kelembaban yang baik untuk ruangan adalah 40-70%. Kondisi ruangan yang lembab dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri. Namun pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena kebiasaan membuka jendela tidak berpengaruh besar terhadap kejadian TB Paru. Beberapa responden mengaku meskipun tidak memiliki kebiasaan

membuka jendela namun selalu membuka pintu setiap hari. Sehingga pertukaran udara terjadi melalui pintu dibantu dengan lubang angin (ventilasi permanen) rumah responden. Chandra (2006) mengatakan udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu terbuka. Dengan demikian cahaya matahari dan proses pertukaran udara dapat masuk melalui pintu responden yang terbuka. Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dapat mengurangi pertumbuhan kuman tuberkulosis karena sinar matahari mampu merusak struktur materi genetik kuman/bakteri (Setiowati dan Furqonita, 2007). Selanjutnya petukaran udara yang baik mampu membawa kuman tuberkulosis keluar rumah melalui udara. Keadaan tersebut dapat mecegah penularan penyakit tuberkulosis.

Jadi, pada penelitian ini menunjukan bahwa pertukaran udara tidak hanya melalui jendela saja namun kondisi pintu terbuka dan lubang angin yang memenuhi syarat dapat membantu sebagai media penghawaan.

6.3.5 Kebiasaan Menjemur Kasur

Hasil analisa tabel silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang tidak memiliki kebiasaan menjemur kasur jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan penderita TB Paru yang memiliki kebiasaan menjemur kasur. Berdasarkan hasil wawancara hal tersebut disebabkan karena alat tidur yang digunakan adalah springbed sehingga sulit dan berat untuk dijemur, sebagian responden lain mengaku menjemur kasur/bantal/guling sebulan sekali atau lebih, beberapa

responden lain mengaku jarang sekali bahkan tidak pernah menjemur kasur/bantal/guling.

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan menjemur kasur dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Kasur/bantal/guling merupakan alat tidur yang secara rutin digunakan responden untuk beristirahat atau tidur. Ketika responden batuk atau bersin, percikan dahak dapat menempel pada alat tidur yang digunakan responden. Secara teori, sinar matahari atau suhu udara yang panas dapat menyebabkan percikan dahak (droplet nuklei) menguap. Menguapnya percikan dahak (droplet nuklei) ke udara, dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Azhar dan Perwitasari (2013) di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Sulawesi Utara yang menyebutkan bahwa perilaku tidak menjemur kasur berisiko 1,423 kali terinfeksi TB Paru.

Namun pada penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda, tidak ada hubungan antara kebiasaan menjemur kasur dengan kejadian TB Paru.

Hal tersebut dapat dimungkinkan karena intensitas cahaya matahari dan lama penjemuran kasur yang dilakukkan responden belum sesuai. Artinya tidak semua responden menjemur kasur dibawah sinar matahari langsung dengan lama penjemuran minimal lima menit.

Menurut Widoyono (2008) kuman tuberkulosis tahan selama 1-2 jam di udara, sedangkan ditempat yang lembab dan gelap kuman

tuberkulosis dapat bertahan selama berbulan-bulan. Kuman tuberkulosis tidak tahan terhadap sinar matahari dan aliran udara. Kuman tuberkulosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari (Kurniasari, et al., 2012).

Bakteri tuberkulosis juga akan mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit (Widoyono, 2008).

Jadi, kebiasaan menjemur kasur penting dilakukan dengan cahaya matahari langsung dan lama penjemuran yang sesuai. Hal tersebut dikarenakan sinar matahari dapat membantu membunuh kuman TB sehingga penularan penyakit TB Paru dapat dicegah.

Dokumen terkait