• Tidak ada hasil yang ditemukan

tuberkulosis dapat bertahan selama berbulan-bulan. Kuman tuberkulosis tidak tahan terhadap sinar matahari dan aliran udara. Kuman tuberkulosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari (Kurniasari, et al., 2012).

Bakteri tuberkulosis juga akan mati pada pemanasan 100oC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60oC selama 30 menit (Widoyono, 2008).

Jadi, kebiasaan menjemur kasur penting dilakukan dengan cahaya matahari langsung dan lama penjemuran yang sesuai. Hal tersebut dikarenakan sinar matahari dapat membantu membunuh kuman TB sehingga penularan penyakit TB Paru dapat dicegah.

kontak serumah dengan kejadian TB Paru di Indonesia (p value 0,012).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitriani (2013) juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian Tuberkulosis Paru (p value 0,001).

Kuman TB berada di udara ketika seseorang dengan penyakit tuberkulosis paru batuk, bersin, berbicara, dan bernyanyi sehingga orang terdekat dapat menghirup dan kemudian terinfeksi. Responden pada penelitian ini adalah usia produktif (15-50 tahun), sehingga penyakit TB Paru dapat mengurangi produktivitas seseorang dalam melakukkan pekerjaan atau kegiatan lain. Selain kondisi fisik yang sedang sakit, penderita TB Paru juga khawatir dapat menularkan penyakitnya ke orang lain sehingga sebagian penderita TB Paru yang bekerja lebih memilih untuk berhenti atau sementara tidak bekerja. Dengan demikian, penderita TB Paru lebih sering berada dirumah dan berinteraksi dengan anggota keluarga lain yang juga berada dirumah baik berbicara, bersin, atau bahkan tidur sekamar dengan anggota keluarga lain. Keadaan seperti itu, sangat berpotensi menularkan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga lain mengingat TB Paru menular melalui udara. Penelitian Guwatudde, et al (2003) di Uganda menyebutkan bahwa kontak dengan penderita TB Paru dengan intensitas lebih dari 18 jam berhubungan dengan kejadian TB Paru.

6.4.2 Kepadatan Hunian

Luas lantai bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuni agar tidak overload. Selain menyebabkan kurangnya oksigen, overload juga bisa menyebabkan penularan penyakit infeksi (Suryo, 2010). Menurut Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor:

403/KPTS/M/2002, persyaratan kepadatan hunian memenuhi syarat adalah 9 m2/orang. Kepadatan hunian dihitung dengan membagi luas bagunan rumah dengan jumlah anggota keluarga.

Hasil analisa tabel silang menyebutkan bahwa jumlah penderita TB Paru yang memiiki kepadatan hunian memenuhi syarat lebih banyak dari pada penderita TB Paru yang memiiki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukan bahwa luas rumah responden masih sebading dengan jumlah penghuninya sehingga kebutuhan oksigen tercukupi.

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Hasil tersebut sejalan dengan peneliitian Mahpudin dan Mahkota (2007) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di Indonesia (p value 0,78).

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Sejati dan Sofiana (2015) mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis (p value 0,422). Selain itu hasil penelitian Kurniasari, et al (2012) juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru (p velue 1,000). Hasil ini menunjukkan bahwa penyakit TB Paru tidak selalu disebabkan oleh kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat.

Secara teori, kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat.

Menurut Achmadi (2008) semakin banyak manusia didalam ruangan, kelembabannya semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanus, et al (2014) yang menyebutkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di kab Bangli (p value 0,015). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ayomi, et al (2012) juga menyebutkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian kamar tidur dengan kejadian TB Paru (p value = 0,004).

Namun pada penelitian ini menunjukan hasil yang berbeda. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh sehingga meskipun telah memiliki kepadatan memuhi syarat, masih bisa terkena penyakit TB Paru. Berdasarkan teori HAE (host, agent, environmental), selain kondisi lingkungan juga terdapat faktor host dan agent yang dapat mempengaruhi kejadian TB Paru. Faktor host yang dapat mempengaruhi adalah kondisi imun dan juga kebiasaan hidup responden.

Sedangkan faktor agent yang mempengaruhi adalah keberadan kontak serumah.

Jadi, kepadatan hunian bukan faktor utama terhadap kejadian TB Paru. Diperlukan kombinasi dari faktor lingkungan lain dan faktor manusia yang baik untuk mencegah penularan penyakit TB Paru.

6.4.3 Luas Ventilasi

Hasil analisa tabel silang pada penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru yang memiliki luas ventilasi memenuhi syarat jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki luas ventilasi tidak memenuhi syarat. Hal tersebut menunjukan bahwa pertukaran udara didalam rumah responden dapat terjadi secara baik.

Kondisi ventilasi dikatakan memenuhi syarat jika jumlahnya minimal 10%

dari luas lantai rumah.

Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rosiana (2013) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian TB Paru (p value 0,569). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahpudin dan Mahkota (2007) juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara ventilasi kamar dengan kejadian TB Paru (p value 0,242).

Secara teori, ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain dapat membantu mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Kurniasari, et al (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi

dengan kejadian TB Paru (p value 0,005). Penelitian lain yang dilakukan oleh Wulandari (2012) juga menyebutkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi ruang tamu dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Budiharjo, Semarang.

Namun pada penelitian ini menujukan hasil yang berbeda. Hal tersebut dapat dipengaruhi karena meskipun responden memiliki luas ventilasi memenuhi syarat namun tidak selalu dibuka setiap hari. Pada penelitian ini, responden yang memiliki kebiasaan membuka jendela dan memiliki ventilasi memenuhi syarat hanya 27,8%. Keadaan tersebut mengakibatkan proses dilusi udara tidak terjadi dengan baik sehingga kondisi ruangan menjadi lembab. Kondisi ruangan yang lembab merupakan media pertumbuhan bakteri. Lygizos (2013) mengatakan meningkatkan ventilasi alami dapat menurunkan risiko penularan TB rumah tangga, namun perlu dikombinasikan dengan strategi lain untuk meningkatkan upaya pengendalian TB.

Jadi, luas ventilasi yang memenuhi syarat penting untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Namun perlu dikombinasikan dengan kebiasaan membuka jendela serta faktor-faktor lain yang berpengaruh seperti peningkatan status gizi dan mengurangi kontak dengan penderita TB paru sebagai upaya mencegah penularan penyakit TB Paru

74

Dokumen terkait