• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor pendorong dan kondisi kritis yang terkait dengan urbanisasi

Dalam dokumen Java Water Resources Strategy Study (Halaman 40-46)

Laporan Akhir JWRSS

3. Faktor-faktor yang memperburuk kerentanan terhadap keamanan air

3.3. Faktor pendorong dan kondisi kritis yang terkait dengan urbanisasi

Jawa 2012

12

3.3. Faktor pendorong dan kondisi kritis yang terkait dengan

Jawa 2012

Deltates, DHV, MLD dan Wiratman 12

menjadi 22 m3/dtk pada tahun 2030. Perlu dicatat bahwa norma-norma Cipta Karya diikuti, yang membutuhkan hingga 190 l/kap/hari untuk daerah metropolitan, sementara saat ini biasanya berkisar antara 100 - 130 l/kap/hari. Hal ini menunjukkan adanya ruang untuk pengurangan melalui manajemen permintaan. JWRSS memperkirakan kebutuhan DMI dengan asumsi cakupan 100% dan penerapan standar Cipta Karya. Pengurangan kebutuhan merupakan salah satu opsi yang menjanjikan untuk meningkatkan ketahanan air, sebagaimana dibahas pada bagian 4.3.

8 Hanya irigasi dan DMI yang dibandingkan. Aliran lingkungan dibahas di 3.4. Tuntutan lainnya sangat minim.

Jawa 2012

13

Air tanah dalam di sebagian besar wilayah perkotaan dieksploitasi secara berlebihan.

Karena cakupan yang rendah atau kinerja perusahaan penyedia air yang buruk, banyak industri dan perumahan menggunakan air tanah dalam. Air tanah dalam ini diambil dari akuifer dalam, yang biasanya tidak terisi kembali, dan secara bertahap habis. Hal ini menyebabkan penurunan muka air tanah yang cepat dan penurunan permukaan tanah.

Dampak yang serius dirasakan di beberapa daerah tertentu di Jakarta Utara, Bandung dan Semarang, dan di sini penggunaan air tanah dalam harus dihentikan, atau pengisian ulang harus ditingkatkan. Alternatif untuk air tanah dalam harus disediakan melalui percepatan koneksi ke perusahaan penyedia air bersih, namun hal ini berarti perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan rencana pengolahan dan pipa tambahan. Dalam analisis kami, kami mengasumsikan bahwa semua penggunaan air tanah di daerah-daerah kritis harus diubah menjadi penggunaan air permukaan.

3.3.3 Berkurangnya potensi pertanian dan ketahanan pangan dari beras Urbanisasi memiliki dampak yang besar terhadap pertanian: lebih banyak orang membutuhkan lebih banyak makanan, dan konversi lahan yang sangat produktif

membutuhkan lebih banyak produksi di lahan yang lebih sedikit. Permintaan per

kapita untuk makanan akan meningkat karena kekayaan yang lebih tinggi, namun, untuk beras mungkin lebih sedikit sebagai

hasil dari kekayaan yang lebih tinggi, karena orang akan mengubah pola makan dari beras ke gandum dan kentang, seperti yang terlihat di Taiwan. Namun untuk Indonesia, diperkirakan9 bahwa kedua dampak tersebut (lebih banyak makanan, lebih sedikit beras) akan saling menyeimbangkan dan tetap konstan untuk tahun-tahun berikutnya.

Berkurangnya lahan pertanian akan berdampak pada berkurangnya produksi pertanian, terutama beras. Kaitannya dengan ketahanan air adalah bahwa berkurangnya lahan pertanian harus dimitigasi dengan meningkatkan produksi di lahan pertanian yang tersisa;

dan meningkatkan produksi hanya mungkin dilakukan jika potensinya tidak dibatasi oleh berkurangnya ketersediaan air. Hal ini akan dibahas lebih lanjut sebagai bagian dari tema ketahanan pangan di bagian 5.1. Gambar 3.2 menunjukkan situasi ketahanan pangan yang memburuk untuk beras di Jawa:

produksi tetap kurang lebih sama, tetapi populasi meningkat dengan cepat. Hal ini berarti bahwa Jawa tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan penduduknya pada tahun 2030. Swasembada pangan menurun dari 108% pada tahun 2010 menjadi 85% pada tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050.

Berkurangnya lahan pertanian tidak secara langsung mengakibatkan berkurangnya kebutuhan air di musim kemarau. Telah diketahui bahwa ketika lahan pertanian dikonversi untuk tujuan lain, intensitas tanam meningkat lebih dari yang dapat diharapkan dari

2050 2045 2040 2035 2030 2025 2020 2015 2010 0.0%

20.0%

40.0%

Banten Jawa 60.0%

Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur 80.0%

DKI Jakarta Jawa Barat 100.0%

120.0%

140.0%

Jawa 2012

Deltares, DHV, MLD dan Wiratman 13

peningkatan

teknologi. Diasumsikan bahwa pada musim kemarau Gambar 3.2 Bayangan swasembada beras di musim kemarau di Jawa, para petani akan menggunakan air yang

awalnya ditujukan untuk lahan yang dikonversi untuk memperluas areal pertanian mereka. Hal ini meningkatkan intensitas tanam, tetapi tidak menyebabkan kebutuhan air yang lebih rendah di musim kemarau yang kritis.

9 Prospek Pertanian OECD-FAO 2009 - 2018

Jawa 2012

14

Tabel 3.1 menyajikan perkiraan perubahan beberapa indikator produksi untuk berbagai kelas pemanfaatan air. Tabel tersebut menunjukkan bahwa distribusi wilayah dengan kelas pemanfaatan air yang berbeda tidak akan berubah secara signifikan. Sebagian besar penduduk akan tinggal di wilayah dengan penggunaan air yang cukup (meningkat dari 50% pada 2010 menjadi 56% pada 2030), tetapi indikator lainnya tetap hampir sama.

Tabel 3.1 Ikhtisar faktor produksi untuk JAU dan kelas pemanfaatan air yang berbeda.

Pemanfaatan air

Cukup Stres Kekurangan

2010 2030 2010 2030 2010 2030

Faktor produksi % % % % % %

Populasi (Juta) 68.9 50 92.5 56 35.7 26 37.4 23 32.3 24 33.8 20

Pop. Pertumbuhan ('00-

'10) 24% 17% 11%

Pop Tahunan.

Pertumbuhan 1.5% 0,2% 0.2%

PDB (Triliun

Rupiah/tahun) 926 61 2735 62 305 20 854 19 300 19 844 19

Pertumbuhan PDRB

Tahunan 5.6% 5.3% 5.3%

% dipekerjakan di bidang

pertanian 21% 34% 32%

Kemiskinan (%) 4% 10% 10%

Beras (Gabah Kering Giling)

Produksi (M Ton/tahun) 12.9 42 12.9 42 8.3 27 8.3 27 9.7 31 9.7 31

Area Teririgasi (M ha) 1.06 43 1.0 43 0.66 27 0.64 28 0.74 30 0.68 29

Pengurangan tahunan -0.32% -0.16% -0.45%

Hasil panen

(ton/ha/tahun) 12.1 12.9 12.5 13.1

Intensitas Pemangkasan

(%) 175% 175% 169%

3.3.4 Polusi

Beban polusi yang lebih tinggi merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk. Hal ini dapat dinyatakan dalam beban BOD atau COD standar per orang.

Selain itu, industri juga berkontribusi, tetapi beban COD sangat berfluktuasi, dan perkiraan polusi memerlukan informasi yang lebih rinci tentang jumlah, jenis, dan volume industri.

Polusi mengurangi daya tarik lingkungan dan bahkan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Tetapi juga, jika air lebih kotor, biaya untuk pengolahan air menjadi lebih tinggi, atau terkadang perusahaan penyedia air bahkan tidak dapat menerima air karena akan merusak fasilitas pengolahan. Dengan demikian, polusi juga menyebabkan berkurangnya ketersediaan air, tetapi hubungan ini lebih sulit untuk diukur, dan membutuhkan lebih banyak penelitian.

3.3.5 Degradasi Daerah Tangkapan Air

Degradasi daerah tangkapan air juga secara langsung berkaitan dengan peningkatan populasi dan urbanisasi. Degradasi daerah tangkapan air meliputi penggundulan hutan dan/atau perluasan permukaan keras di bagian atas daerah tangkapan air. Hal ini memperburuk kerentanan terhadap ketahanan air karena:

1. Hal ini berkontribusi terhadap erosi, yang mengakibatkan sedimentasi di bagian hilir, dan hal ini mengurangi kapasitas penyimpanan waduk dan kapasitas debit banjir. Oleh karena itu, hal ini berkontribusi pada berkurangnya ketersediaan air

Jawa 2012

Deltates, DHV, MLD dan Wiratman 14

dan meningkatnya banjir.

2. Hal ini mengurangi kapasitas infiltrasi dan penyimpanan sementara di daerah tangkapan air. Oleh karena itu, hal ini berkontribusi pada berkurangnya ketersediaan air di musim kemarau dan meningkatnya banjir di musim hujan.

Oleh karena itu, semua strategi yang berkaitan dengan peningkatan ketersediaan air dan pengurangan banjir harus memiliki sejumlah langkah untuk mitigasi atau pencegahan degradasi daerah tangkapan air.

Jawa 2012

15

3.3.6 Kerusakan Akibat Banjir

Urbanisasi menyiratkan peningkatan kepadatan penduduk dan biasanya meningkatkan nilai tanah dan properti. Jika terjadi banjir, hal ini akan menyebabkan kerusakan yang lebih tinggi. Jika memungkinkan, frekuensi banjir di lokasi tersebut dapat dikurangi dengan investasi dalam perlindungan banjir, mengalihkan banjir ke lokasi lain yang tidak terlalu bernilai, atau meningkatkan kapasitas pembuangan. Jika investasi semacam itu tidak (belum) memungkinkan, fokus dapat dialihkan untuk mengurangi kerusakan.

Sebagian besar dari kerusakan yang lebih tinggi ini dapat dicegah tanpa mempengaruhi frekuensi banjir, tetapi dengan mengurangi efek kerusakannya. Hal ini membutuhkan persiapan dari penduduk dan pihak berwenang untuk menghadapi banjir, dan mencegah dampak negatifnya. Contohnya adalah: memindahkan barang-barang berharga satu lantai ke atas, atau menyimpannya di lokasi yang berbeda, melindungi switchboard elektronik dari banjir atau memasangnya di lokasi yang lebih tinggi, mencegah air banjir masuk ke ruang bawah tanah dengan menyediakan kusen, meninggikan jalan utama di atas ketinggian banjir, melindungi penyimpanan bahan berbahaya (bahan bakar, limbah), dan lain-lain.

3.3.7 Peluang untuk perencanaan tata ruang yang ade quate

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa memilih lokasi yang tepat untuk pembangunan baru dapat mencegah banyak masalah terkait ketahanan air, Perencanaan tata ruang yang memadai merupakan alat yang penting, dan upaya saat ini di tingkat Kabupaten dan Kota untuk merumuskan rencana detail tata ruang (RDTR) untuk memandu pembangunan baru dan perubahan tata guna lahan harus digunakan untuk hal tersebut. Karena wilayah perkotaan akan meningkat 100% dalam 25 tahun ke depan, maka ada peluang besar untuk mencegah munculnya masalah di masa depan.

Dalam dokumen Java Water Resources Strategy Study (Halaman 40-46)

Dokumen terkait