• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRACT

4.2 Gambaran Umum SMA Citra Kasih Jakarta

BAB IV

PEMBAHASAN 4.1 Hasil Persebaran Data yang Terkumpul

Berdasarkan angket yang dirilis pada tanggal 11 April 2023, sampai dengan tanggal 15 April 2023, 68 orang sudah mengisi angket Google Forms dengan persebaran sebagai berikut,

GRAFIK 4.1 PERSEBARAN HASIL DATA ANGKET

Jumlah responden adalah 35, 19, dan 14 peserta didik dari kelas 12, 11, dan 10 SMA Citra Kasih Jakarta secara berurutan. Artinya, jumlah sampel yang terkumpul adalah 68 dari keseluruhan 335 peserta didik; hanya terkumpul 20,29% dari keseluruhan populasi.

GRAFIK 4.2 PERSEBARAN HASIL PERNYATAAN PERTAMA BAGIAN I

Berdasarkan grafik 4.2, kualitas jawaban “sangat kuat” mendukung ulasan Zeng (2018) pada bab 2.1.1 bahwa apresiasi merupakan suatu kebutuhan manusiawi dan sifat kebutuhan ialah sifat terpaksa untuk segera memenuhinya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Dane Ethan yang membawakan dari konteks sifat sosial manusia yang mana itulah yang menjadi asal-muasal kebutuhan manusia untuk menerima validasi, pujian, dan dorongan. Untuk menambahkan poin sebelumnya, Dane juga mengatakan bahwa pemenuhan rasa apresiasi ini juga mendorongnya untuk “membagikan kesenangan ini ke orang lain.”

4.2.2 Iklim Kompetitif Peserta Didik SMA Citra Kasih Jakarta

Pada grafik 4.3 dengan pernyataan kedua “Saya adalah seseorang yang suka mencetak prestasi,” hasil perhitungan menunjukkan total skor 207 dari skor maksimum 272. Dengan menggunakan rumus seperti yang tercantum pada bab III, hasil dari jawaban pernyataan pertama sekuat 76,10% (kuat). Artinya, peserta didik SMA Citra Kasih Jakarta, dengan kuat, suka mencetak prestasi.

GRAFIK 4.3 PERSEBARAN HASIL PERNYATAAN KEDUA BAGIAN I

Berdasarkan angket, peserta didik SMA Citra Kasih Jakarta tergolong sebagai peserta-peserta didik yang suka mencetak prestasi. Namun, Dane juga menjelaskan bahwa ada kelompok peserta didik yang tidak suka pada peserta didik lainnya yang berprestasi, mereka mencap sebagai anak-anak yang sok aktif dan konotasi negatif lainnya. Selain dari itu, Dane juga menambahkan bahwa iklim SMA Citra Kasih Jakarta masih terbagi persepsinya pada pilihan mengejar prestasi, “buat apa sih kamu ikut lomba? Buat apa sih ini? Buat apa sih itu?” Ia menyimpulkan bahwa hal-hal di atas terjadi karena peserta-peserta didik ini tidak sadar akan manfaat dari prestasi. Contohnya, meningkatkan kemungkinan masuk pendaftaran kampus luar negeri. Jadi, gambaran dan iklim peserta didik SMA Citra Kasih Jakarta masih terbagi antara demografi peserta didik yang memandang baik dan mengejar prestasi dengan demografi peserta didik yang memandang sinis mengenai prestasi dan yang masih belum paham faedah-faedah prestasi. Alhasil, kedua Dane Ethan dan Jennifer Saphira secara bulat mengamati bahwa iklim kompetitif peserta didik SMA Citra Kasih Jakarta belum terasa.

Antara lain, Jennifer Saphira menyimpulkan bahwa, “sudah ternormalisasi di SCK untuk tidak begitu memedulikan tentang prestasi-prestasi, setidaknya dari peserta-peserta didiknya, kalau sekolah mungkin mereka akan peduli tentang prestasi peserta didiknya.”

4.2.3 Persepsi terhadap Sikap Sekolah, Peran Guru, dan Kepala Sekolah Pada grafik 4.4 dengan pernyataan ketiga “Saya didorong oleh sekolah untuk berprestasi,” hasil perhitungan menunjukkan total skor 185 dari skor maksimum 272. Dengan menggunakan rumus seperti yang tercantum pada bab III, hasil dari jawaban pernyataan pertama sekuat 68,01% (kuat). Artinya, peserta didik SMA Citra Kasih Jakarta, dengan kuat, merasa didorong oleh sekolah untuk berprestasi.

GRAFIK 4.4 PERSEBARAN HASIL PERNYATAAN KETIGA BAGIAN I

Kedua narasumber mengatakan bahwa ada tiga faktor utama agar peserta didik terdorong untuk mengejar prestasi, yakni investasi sekolah, peran guru-guru yang apresiatif dan penasaran, dan peran kepala sekolah sebagai pemimpin yang kuat.

a. Persepsi terhadap Sikap Sekolah

Sikap sekolah berkaitan dengan investasi sekolah terhadap upaya memaksimalkan keunggulan peserta didiknya. Dane Ethan mengatakan bahwa makin banyak investasi dari sekolah makin baik hasil peserta didik.

Hal ini selaras dengan ulasan Brookover & Lezotte mengenai pengaruh sikap sekolah dengan motivasi peserta didik untuk mengejar prestasi. Ia memberi contoh, “Kalo aku ikut workshop-nya debater-debater yang udah representIndo, pastilah I would fix my script, pastilahI would be able to get specific tips. Infrastructure or more investment would affect my performance.” Dalam hal ini, Dane Ethan mengatakan bahwa ekspektasi gambaran investasi ini belum terasa saat ia menjadi seorang pendebat aktif semasa kelas 10-nya.

Makna investasi mengalami perluasan dimana Dane mendefinisikan nilai dari investasi bukan hanya terletak pada meningkatnya kemungkinan peserta didik untuk mencapai prestasi tetapi jumlah investasi juga mengindikasikan sesuatu yang lebih besar, yaitu, sebuah pernyataan (statement) mengenai sikap sekolah.

Jennifer menambahkan bahwa sekolah-sekolah lain seperti SBM (Sekolah Bunda Mulia) menggencarkan fasilitas-fasilitasnya, “fasilitasnya lengkap, bisa ini-itu.”, dan dari lengkapnya fasilitas itu bisa mengindikasikan sekolah juga, “care of the well-being of the students.” Oleh sebab itu, investasi yang dilakukan sekolah adalah bukti kuat apakah sekolah peduli atau tidak peduli mengenai peserta didiknya. Dalam hal lain, sikap sekolah bisa menunjukkan bahwa “we don’t care whether you do this or not.”

b. Persepsi terhadap Peran Guru

Mengenai peran guru-guru, jawaban kedua narasumber sesuai dengan ulasan Perton pada bab 2.1.3.1 dimana menghargai buah pikiran peserta didiknya merupakan cara untuk meningkatkan motivasi peserta didik terhadap pekerjaan mereka. Dane Ethan membagikan dua hal yang menurutnya menjadi karakteristik guru idealnya. Pertama, seorang guru ideal harus mengapresiasi peserta didiknya. Kedua, meskipun menurutnya sulit dan sangatlah ideal, Dane mengatakan bahwa seorang guru ideal sebaiknya mengetahui secara terkini apa saja yang dilakukan oleh peserta-peserta didiknya, “mereka akan tau dan menyimpan tab-tab mengenai apa saja hal yang dilakukan tiap orang dan mendorong mereka

untuk melakukan yang lebih baik.” Sejauh ini, Dane mengatakan hanya beberapa guru-guru saja yang melakukan hal demikian.

Selain dari itu, Dane juga menambahkan bahwa jika peserta didik terlihat bisa luar biasa dalam suatu bidang, maka guru itu haruslah mendorong peserta didik untuk menekuni dan mendalami bidang itu. Sebab, katanya, universitas seperti Harvard bukan mencari kesempurnaan akademis tetapi hal-hal luar biasa yang dilakukan seorang pendaftar seperti mendirikan organisasi nirlaba, dan sebagainya. Jadi, seorang guru haruslah menyadari dua hal. Pertama, Anda tidak perlu mengejar maha kesempurnaan akademis, tetapi yang lebih penting adalah Anda harus aktif dan melakukan sesuatu yang unik.

Ulasan Perton mengenai pengaruh apresiasi diperkuat oleh jawaban yang diberikan oleh Jennifer. Jennifer mengatakan bahwa guru-guru yang bertanya kemajuan peserta didiknya, dengan penuh rasa penasaran dan bukan sebagai basa-basi belaka, bisa menumbuhkan kembali gairah untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam suatu keterampilan.

Guru-guru yang hanya berbasa-basi dicirikan hanya bertanya pada permukaannya saja dan sifatnya terasa sebagai formalitas aja. Sebaliknya, guru-guru yang betul-betul penasaran akan menanyakan hal spesifik dan bahkan bisa mengingat sampai detail-detail terkecil sekalipun. Jadi, pertanyaan yang betul-betul dilatarbelakangi dengan sebuah niatan bisa menumbuhkan rasa, “Oh, saya harus kembali berlatih dalam keterampilan ini (yang mungkin sudah lama nggak setop.” Jadi, sangatlah penting bagi guru-guru untuk mengubah paradigma soal hal kecil seperti bertanya kemajuan pada peserta didiknya agar tidak hanya menjadi sebuah formalitas dan yang parah, sebuah basa-basi belaka.

Peran guru pun juga memiliki perluasan dari kajian teori di atas sebab Jennifer juga menambahkan guru ideal adalah sosok yang bisa menempatkan diri dengan baik; bisa menjadi seorang teman dan seorang yang tegas dengan peraturan pada waktu yang tepat. Ia memberikan contoh, Mr. Dedy, sebagai figur yang ideal.

c. Persepsi terhadap Kepala Sekolah

Ekspektasi cakupan tanggung jawab seorang kepala sekolah mengalami perluasan dari kajian bab II di atas. Beautiful Plains (bab 2.4.3) memberikan tiga kategori besar, yakni kepemimpinan dan iklim sekolah, pemrograman kurikulum, dan evaluasi peserta didik dan reportase. Dane Ethan mengusulkan dua aspek baru, yaitu investasi dan apresiasi.

dengan baik kalau ada investasi dan kalau ada perbaikan, hal itu harus diakui juga. Ia juga menambahkan bahwa seorang kepala sekolah yang ideal pasti bisa mendorong peserta didiknya untuk berprestasi jika sosok ini mengakui talenta-talenta dalam peserta didik dan talenta ini tidak dipandang sebelah mata.

Ia juga menambahkan bahwa seorang kepala sekolah pasti bisa mendorong peserta didiknya jika figur ini mengapresiasi peserta-peserta didiknya yang berprestasi. Dane memberikan sebuah contoh, “seorang kepsek ideal akan mengenali itu (talenta) dan mengapresiasi anak-anak yang berprestasi. Apresiasi nggak perlu besar jumlahnya, misalnya, dia menang OSN, kepsek bisa beliin dia minuman atau cokelat, itu nggak masif, kan? Secara uang, nggak besar banget jumlahnya, tapi gestur itu dimana seorang kepala sekolah melakukan hal demikian untuk kamu adalah bentuk apresiasi yang sangat-sangat kuat.”

Jennifer Saphira menambahkan dari aspek lain, yakni aspek emosional. Ia mengatakan bahwa persepsi idealnya mengenai seorang kepsek adalah seseorang yang stabil secara emosional, “Mereka harus stabil secara emosi karena kalau mereka tidak stabil, sekolah akan seluruhnya tidak stabil, semuanya pasti akan meniru kepsek.”

Terlebih, kepsek yang ideal adalah sosok yang suportif bagi guru-guru dan peserta-peserta didik. Mereka mengenal apa yang sedang terjadi dan bisa mengikuti apa saja yang sudah dicapai oleh peserta didiknya. Selain dari itu, bertutur kata sopan dan menciptakan lingkungan untuk bertumbuh dan berkembang baik bagi peserta didik maupun bagi guru-guru.

Dokumen terkait