• Tidak ada hasil yang ditemukan

Generasilasi dan Pemilihan Perilaku Respons

Dalam dokumen Modifikasi perilaku anak usia dini (Halaman 41-46)

yang sudah terkondisikan tersebut shingga respons yang sudah terkondisikan sebelumnya jadi punah. Proses ini disebut pengondisian tandingan. Secara teknis, CS akan kehilangan kemampuannya untuk memunculkan CR jika CS dipasangkan dengan stimulus yang memuculkan sebuah respons yang tidak cocok dengan CR.

Untuk mengilustrasikan proses ini, coba kita ambil contoh seorang anak yang mendapatkan ketakutan dari melihat anjing.

Anggaplah anak tersebut suka bermain dengan seorang teman yang telah menjadi CS yang memunculkan rasa senang sebagai CR-nya, dan anggaplah teman itu memiliki anjing ramah yang tidak menggonggonng keras. Ketika si anak bermain dengan temannya dan anjing sang teman, beberapa emosi positif yang dimunculkan oleh teman akan menjadi terkondisikan negatif yang sudah dimunculkan anjing-anjing sebelumnya. Cara ini lebih cepat dan lebih efektif menghilangkan respons negatif, atau pengondisian respons pada umumnya.

daging. Anda seolah kembali merasakan sakitnya gigi bor. Di titik ini anda sedang mengalami generalisasi stimulus respons.

Namun, ketika sudah beberapa kali anda mendengar suara bor gigi yang disertai rasa sakit, dan suara mesin pemotong daging yang tidak disertai rasa sakit, anda mulai bisa membedakan keduanya, sebuah kondisi yang disebut pemilihan stimulus respons. Ketika sebuah stimulus yang berfungsi sebagai CS dapat memunculkan CR karena stimulus dipasangkan dengan US, maka stimulus lain yang serupa tidak berfungsi sebagai CS sebagai CR tersebut karena stimulus kedua dipasangkan dengan percobaan pemunahan. Kamu memadukan dua jenis respon ini karena memiliki nilai adaptif yang tinggi bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.

Contohnya, terkait generalisasi stimulus respons, di hari-hari awal umat manusia, jika setelah digigit seekor ular maka seseorang menunjukkan rasa takut pada ular lain, terkait pemilihan stimulus respons, meski melihat serigala liar memunculkan rasa taku pada anak, namun tidak demikian saat anak melihat anjing penjaga rumah orangtuanya, dan ini pun memiliki nilai kelangsungan hidup yang tinggi.

I. Aplikasi-Aplikasi Pengondisian Respons dan Pemunahan

Aplikasi pengondisian respons dan pemunahan telah terlibat di dalam pengontrolan alergi, sistem kekebalan tubuh, reaksi-reaksi obat, rangsangan seksual, tekanan darah, pemikiran dan emosi. Di bagian ini kami aka menguraikan aplikasinya kepada 4 jenis masalah.

1. Mengenai Rasa Takut Pada Pemain Ice-Skating Muda Susan, seorang atlet pemuda ice-skating berusia 12 tahun, sedang melatih lompatan axel gandanya. Ia berseluncur mengelilingi arena lalu bersiap mengambil posisi untuk lompatan axwl ganda, dan mulai

melompat. Saat berputar di udara Susan tiba-tiba sadar ia berada di kemiringan dan jatuh (US). Ia segera merasa takut (UR) dan kemudia ia keras menumbuk landasan es. Ini ketiga kalinya Susan jatuh saat mencoba lompatan axel gandanya selama seminggu terakhir. Namun setiap kali ia mendekati posisi lompat (sekarang menjadi CS), ia mengalami perasaaan takut yang sangat kuat (CR) dan tidak lagi berani mencoba di sisa jam latihan tersebut.

Sebuah pertemuan dilakukan bagi Susan untuk berbicara dengan psikolog olahraga timnya. Psikolog mengajari Susan teknik relaksasi yang berbentuk mengambil napas dalam-dalam dengan mengandalkan perut daripada dada. Menarik napas dalam-dalam ini menjadi US untuk menghasilkan rasa relaksasi sebagai UR-nya. selain itu, saat melatih pernapasannya, Susan diminta untuk mengajari dirinya sendiri rileks dengan mengatakan “riiiiiiiiii” saat menarik napas dan mengatakan “leeeeeeeeks” saat menghembuskannya.

Mengatakan rii-leeeks ini kalau begitu menjadi CS bagi perasaan rileks yang merupakan CR-nya.

Di latihan berikutnya, saat Susan merasa siap untuk mencoba lompatan axel ganda. Psikolog yang berdiri dipinggir arena meminta untuk mulai mengambil napas dalam-dalam sembari mengatakan “rii- leeeks”. Susan melakukannya dan ia mulai bergerak menuju landasan untuk melompat, namun kemudian berbelok dan berputar kembali mengelili lapangan. Ini dilakukannya lima kali seolah mengukur kesiapan dirinya, dan setelah merasa siap, maka di upaya keenam ia pun melompat sambil terus mengambil napas dalam-dalam sambil sembari mengatakan “rii-leeeks”. Karena berkonsentrasi kepada metode pernapasan dalam yang buatnya lewat perkataannya. Ia menjadi rileks bukan hanya saat melakukan lompatatan, tetapi juga saat menyiapkan kaki dan tubuhnya saat mendarat, seolah paham bagiamana posisi terbaik untuk melakukan lompatan axel ganda.

Di titik itu ketakutannya berkurang drastis dan Susan pun berhasil dalam percobaannya itu. Ia sangat senang dan jadi

bersemangat untuk mencobanya lagi. Susan menjadi percaya diri untuk terus melanjutkan latihan bahkan meski di lompatan pertama itu ketakutannya masih separuh. Setelah beberapkali mencoba lagi di beberapa latihan berikutnya. Susan akhirnya merasa tidak takut lagi, bahkan meski beberapa kegagalan dialaminya: ia hanya tersenyum senang saat jatuh dan melihat kegagalan itu semakin membuatnya paham posisi kaki dan tubuh yang paling tepat bagi lompatan itu.

2. Terapi Keengganan Untuk Menangani Alkoholisme

Di hari-hari awal lahirnya terapi behavioral, pengondisian respons digunakan untuk menangani alkoholisme. Di lingkup klinik atau rumah sakit, klien diberikan minuman alkohol yang mengandung obat disulfiram. Obat ini menjadi US yang menghasilkan rasa mual dan efek yang ekstrim tidak menyenangkan lainnya sebagai UR-nya.

Setelah beberapa kali memasangkan minuman alkohol dengan rasa mual akibat di sulfiram, maka melihat, membau atau mengecap minuman beralkohol menjadi CS yang menyabkan rasa mual sebagai CR. Efek dari pengondisian respons ini adalah klien tidak lagi mengalami keinginan untuk meminum apa pun yang mengandung alkohol, minimal di lingkup perawatan (Lubetkin, Rivers &

Rosenberg, 1971).

Proses memasangkan sesuatu yang tidak menyenangkan (seperti rasa mual) dengan perilaku yang tidak diinginkan (seperti yang menenggak minuman beralkohol bagi yang kecanduan alkohol), dengan tujuan menurunkan perilaku yang tidak diinginkan tersebut, disebut sebagai terapi keengganan. Meskipun terapi keengganan sepertinya dapat menjadi komponen yang bernilai untuk perogram peenanganan bagi jenis-jenis masalah tertentu seperti kecanduan alkohol (Azrin, Sisson, Meyers & Godley, 1982) dan ketagihan nikotin pada perokok (Tiffany, Martin & Baker, 1986), namun sekarang sudah tidak lagi digunakan. Seperti yang ditemukan Wilson (1991), batasan penggunaannya berjangkauan dari isu-isu etis seperti

penggunaan zat/obat bagi pembentukan stimulasi keengganan, hingga penurunan drastis efektivitasnya setelah klien meneggunakan terapi keengganan ini (80% klien kembali meneggak miras dan merokok setelah beberap bulan mengikuti program tersebut).

3. Penangan Sembelit Kronis

Contoh pengondisian respons bagi respons yang diinginkan adalah penanganan sembelit kronis yang dikembalikan Quarti &

Renaud (1964). Buang air besar, respons yang diinginkan untuk kasus sembelit, dapat dimunculkan lewat pemberian obat pencahar. Namun mengandalkan obat ini demi meraih keteraturan buang air besar bukan solusi yang sehat lantaran efek-efek samping yang dimunculkannya. Quarti & Renaud memberikan klien mereka stimulus listrik yang lembut dan tidak menyakitkan sebelum mereka hendak buang air besar. Buang air besar (UR) awalnya dimunculkan dengan obat pencahar (UR), kemudian jumlah dikurangi secara bertahap hingga buang besar (CR) dapat memunculkan lewat stimulus sengatan listrik (CS). Kemudian dengan mengaplikasikan stimulus listrik di jam yang sama setiap hari, beberapa klien akhirnya mampu melepaskan stimulus ini karena stimulus lingkungan alamiah yang hadir di jam itu setiap hari menjadi kontrol atas perilaku buang air besar klien tercapai tanpa harus menggunakann terus obat pencahar.

4. Menangani Enuresis Nokturnal (Mengompol di Tempat Tidur)

Contoh lain pengondisian respons bagi respons yang diinginkan adalah penanganan enuresis nokturnal atau mengompol di tempat tidur di malam hari (Friman & Piazza, 2011; Scott, Barclay & Houts, 1992; Williams, Jackson & Friman, 2007). Satu penjelasan yang paling memungkinkan untuk perilaku yang umum pada anak kecil ini adalah tekanan di kandung kemih anak saa tidur yang membuatnya harus

buang air kecil tidak menyediakan cukup stimulasi untuk membangunkan si anak. Sebuah alat yang spertinya efektif untuk banyak kasus anak mengompol di tempat tidur ini adalah sebuah bel yang dihubungkan dengan sebuah kasur khusus yang diletakkan di bawah spreinya. Alat ini disambung kabel sehingga bel akan berbunyi (US) dan membangunkan (UR) si anak sesegera tetesan pertama urine menyentuh kasus khusus tersebut. Akhirnya, di banyak kasus, anak pun terjaga sebelum urinenya keluar lantaran respons terbangunkan (sekarang menjadi CR) yang dikondisikan bagi stimulus tekanan di kandung kemih (CS). Ketika hal ini terjadi, urutan perilaku dari bangun, berlajan ke kamar mandi dan buang air kecil di toilet mestinya dikuatkan. Namun, penguatan bagi rankaian tindakan ini membutuhkan tipe pembelajaran lain yang disebut pengondisian operan, dan tidak lagi bisa ditangani lewat pengondisian respons.

Dalam dokumen Modifikasi perilaku anak usia dini (Halaman 41-46)