• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggapan Para Ulama Tentang Hadis Maudhu’

Dalam dokumen Buku Ulumul Hadis-Kompilasi (Halaman 165-171)

BAB XIV HADIS MAUDHU’

C. Realitas Hadis Maudhu’

1. Tanggapan Para Ulama Tentang Hadis Maudhu’

157

Jika dilihat dari tujuannya, itu merupakan suatu kebaikan, tetapi alangkah bijaknya jikalau kita mempertimbangkannya bahwa hal itu bukan merupakan Hadis yang datang dari Rasulullah saw. tetapi merupaka kata- kata bijak yang dapat dijadikan motivasi untuk meningkatkan amaliyah ibadah kita.

7. Menjilat penguasa

Cara ini digunakan untuk menarik simpatisan dari penguasa karena ingin mendapatkan sesuatu yang berharga seperti yang dilakukan oleh Giyas bin Ibrahim.

Menurut Mudasir (2008:178) pada dasarnya ada beberapa motif pembuatan Hadis palsu diatas, dapat dikelompokan sebagai berikut:

a. Ada yang disengaja,

b. Ada yang disengaja merusak agama,

c. Ada yang karena merasa yakin bahwa membuat Hadis palsu

diperbolehkan,

d. Ada yang karena tidak tahu gila dirinya membuat Hadis palsu.

Dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya mereka membuat Hadis maudhu (palsu) itu mempunyai kepentingan dan maksyud tersendiri yang motifnya berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang mereka butuhkan saat itu.

158

a. Menurut Ahmad Amin bahwa Hadis maudhu terjadi sejak masa

Rasulullah saw. masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah saw. Kandungan dari Hadis tersebut menggambarkan bahwa kemungkinan pada zaman Rasulullah telah terjadi pemalsuan Hadis.

Pendapat itu hanya berupa dugaan semata karena tidak terdapat pula dalam kitab-kitab hadis standar seperti Asbabul Wurud. Jadi kebenarannya disangsikan.

b. Shalah Ad-Din Ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan Hadis

berkenaan dengan masalah keduniawian telah terjadi pada masa Rasulullah saw. Alasan yang dia kemukakan berlandaskan pada Hadis AtThawi dan Tabrani yang kandungannya menceritakan ada seseorang yang mengaku diutus nabi padahal nyatanya ia berbohong. Tetapi Hadis tersebut memiliki sanad dhaif (lemah) jadi riwayat tersebut masih diragukan.

c. Menurut jumhur ulama Al-Muhaddisin, pemalsu Hadis terjadi pada

masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Menurut mereka, Hadis-Hadis zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan masih terhindar dari pemalsuan, begitupun ketika masa shabat Khulafaur Rasyidin yang sebelumnya.

Jadi intinya Hadis maudhu itu menurut jumhur ulama terjadi ketika masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang pada ujunngnya bermotifkan kepentingan politik.

Menurut Abuy Sodikin (2000:64) dalam bukunya yang berjudul

“Metodologi Studi Islam” menyatakan bahwa perlu dikemukakaan dalam berpegang kepada Hadis, untuk menentukan suatu hukum terhadap sesuatu masalah, perlu dilihat bahwa kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam, tidak sekuat Al-Qur‟an. Mengingat bahwa hukum dalam Al-Qur‟an adalah qath‟i, sedangkan Hadis adalah dzhanny, kecuali Hadis itu mutawatir.

Karena itu menurut tim penulis sangat perlu sekali untuk mengidentifikasi

159

Hadis supaya jelas apakah Hadis itu shahih, hasan, dha‟if atau bahkan maudhu.

Berdasarkan hasil membaca dan pemahaman kami setelah membaca beberapa buku sumber bahwa Hadis maudhu itu dapat diidentifikasi dengan kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para ulama ahli Hadis.

Menurut Fathur Rahman (1974:169) menerangkan bahwa ciri-ciri Hadis maudhu sebagaimana para ulama menciptakan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan untuk mengetahui sahih, hasan, atau daifnya suatu Hadis, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui kemaudhuan satu Hadis. Mereka menentukan ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan ciri- ciri yang terdapat pada matan hadis, yaitu sebagai berikut:

a. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad

Ciri-ciri yang terdapat pada sanad, ialah:

1. Pengakuan dari pembuat Hadis itu sendiri

Hal ini seperti pengakuan seorang guru Tashawuf, ketika ditanya oleh Ibnu Isma‟il tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur‟an, serentak menjawab:

ث ُْٛفِشْصَ١ٌِ َظْ٠ِذَحٌْث ثَزَ٘ ٌَُُْٙ جَْٕعَضََٛف ِْآْشُمٌْث َِٓع ثُْٛذِغَس ْذَل َطجٌَّٕث جَْٕ٠أَس جَِّٕىٌََٚ ٌذَحَث ِْٕٝعِّذَحُ٠ ٌَُْ

ِْآ ْشُمٌْث ٌَِٝث ُُُْٙدٍُُْٛل Artinya: “Tidak seorang pun yang meriwayatkan Hadis kepadaku. Akan tetapi serentakkami melihat mansia-mansia sama membenci Al-Qur‟an, kamiciptakan untuk mereka Hadis ini (tentangkeutamaan ayat-ayat Al- Qur‟an), agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur‟an”.

2. Qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat Hadis

maudhu

Misalnya seorang rawi mengaku menerima Hadis dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut. Atau menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahirkan.

160

3. Qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah-lakunya.

Seperti apa yang pernah dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, di kala ia berkunjng ke rumah Al-Mahdy yang tengah bermain dengan burung merpati. Katanya:

ٍاجََٕج َْٚث ٍشِفجَح َْٚث ٍفُخ َْٚث ًٍْصَٔ ِْٝف لاِث َكَذَعلا Artinya: “Tidak sah perlombaan itu selain: mengadu anak panah, mengadu unta, mengad kuda, atau mengadu burung”.

Perkataan au janahin atau mengadu burung adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang dengan sepontan ia tambahkan di akhir Hadis yang ia ucapkan, dengan maksud untuk membesarkan hati, atau setidak-tidaknya, membenarkan tindakan Al-Mahdy yang sedang melombakan burung.

b. Ciri-ciri yang terdapat pada Matan

Ciri-ciri yang terdapat pada matan itu, dapat ditinju dari segi makna dan dari segi lafadhnya. Dari segi maknanya, maka makna Hadis itu bertentangan dengan: Al-Quran, dengan Hadis mutawatir, dengan ijma‟ dan dengan logika yang sehat.

Contoh Hadis maudhu yang maknanya bertentangan dengan Al-Quran, ialah Hadis:

ٍءجَْٕدَث ِزَعْذَع ٌَِٝث َزَِّٕجٌْث ًُُخْذَ٠لا جَِّٔضٌث ُذٌََٚ

Artinya: “Anak zina itu,tidak dapat mask surga, sampai tujuh keturunan.”

Makna Hadis ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An‟am ayat 164, yang berbunyi:

َٜش ْخُأ َسْصِٚ ٌرَسِصثَٚ ُسِضَص لاَٚ

Artinya: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Kandungan ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain,sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.

161

Contoh lain seperti Hadis yang menjelaskan umur dunia:

ِزَعِدجَّغٌث ِفٌْلاْث ِٝف ُبِجَ٠َٚ ، ٍزََٕع ِفٌْلاآ ُزَعْذَع جَ١ُّْٔذٌث ُسثَذْمِِ

Artinya: “Umur dunia itu 7000 tahun, dan sekarang datang pada ribuan yang ketujuh”.

Hadis tersebut adalah sedusta-dusta Hadis. Sebab andaikata Hadis itu benar, niscaya orang sekarang ini tinggal beberapa puluh tahun saja.

Padahal Allah telah menjelaskan bahwa hanya beliau sendiri yang mengetahi kapan datangnya hari kiamat itu. Firman-Nya:

َُٛ٘ لاِث جَِٙضْلٌَِٛ جَٙ١ٌْ ّ ِ َ ُ٠لا ِّٝدَس َذِْٕع جٍَُِّْٙع جََِّّٔث ًُْل ،جَ٘جَعْشُِ َْجَّ٠َث ِزَعجَّغٌث َِٓع َهٍََُْٔٛتْغَ٠ Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang hari kiamat. „Bilakah terjadinya‟? sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kedatangan hari kiamat, selain dari Dia”. (Al-A‟raf:187)

Contoh Hadis maudhu yang bertentangan dengan Sunnah Mutawatirah ialah Hadis yang memuji orang-orang yang memakai nama Muhammad atau Ahmad:

ِءجَّْعلاْث ِِٖزَِٙد ََّّٝغُ٠ َِْٓ ًَُّو َِّْثَٚ(ذّحثٚ ذّحِ) َسجٌَّٕث ًُُخْذَ٠لا Artinya: “Bahwa setiap orang dinamakan dengan nama-nama (Muhammad, Ahmad dan semisalnya) ini, tidak akan dimasukkan di neraka”.

Hadis tersebut adalah bertentangan dengan sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang menerangkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari mereka itu karena keimanan dan amal saleh.

Contoh Hadis-Hadis maudhu yang bertentangan dengan ijma‟, ialah Hadis-Hadis yang dikemukakan oleh golongan Syi‟ah, tentang wasiat Rasulullah kepada „Ali r.a. untuk menjadi Khalifah, yang menurut mereka bahwa sahabat bersepakat untuk membekukan wasiat tersebut.

162

َِِٓ ٍشَض ْحَِّد َُْٕٗع ُالله َِٝضَس ٍخٌِجَط ٜ ِ ِحَث ِْٓد ٍَِٝع ِذَ١ِد َزَخَث ٍَََُّعَٚ ِْٗ١ٍََع ُالله ٍََٝص َُّٗٔ َ َث ِٝصَٚ ثَزَ٘ َيجَل ،ِعْ١َِّجٌْث َُٗفَشَع َّٝضَح َْ ْ َُْٕٗ١َد َُِٗجَلَجَف ،ِاثَد َ ٌَْٛث ِزَّجُح ِِْٓ َُْْٛعِجثَس َُُْ٘ٚ ، ٍُُِِّْٙو ِزَدجَحَّصٌث ث ُْٛعْ١ِطَثَٚ ثُْٛعَّْعجَف ِٜذْعَد ُر َ َفْ١ٍَِخٌْثَٚ ِٝخَثَٚ

Artinya: “Bahwa Rasulullah saw memegang tangan „Ali bin Abi Thalib r.a.

di hadapan para sahabat seluruhnya, yang baru kembali dari haji wada‟.

Kemudian Rasulullah saw membangkitkan „Ali, sehingga para sahabat mengetahui semuanya. Lalu beliau bersabda: „Ini adalah wasiatku (orang yang saya beri wasiat) dan saudaraku, serta khalifah setelah saya nanti.

Oleh karena itu dengarlah dan taatilah ia”.

Hadis tersebut adalah maudhu, karena bertentangan dengan ijma‟

seluruh umat, bahwa Rasulullah SAW tidak menetapkan (menunjuk) seorang pengganti sesudah beliau meninggal dunia. Dari segi lafadhnya.

Yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik serta tidak fasih. Termasuk dalam hal ialah susunan kalimat yang sederhana, tetapi isinya berlebih-lebihan.

Umpamanya berisikan pahala yang besar sekali bagi amal perbuatan yang sedikit (kecil). Misalnya Hadis maudhu:

ٍعِِجَج ِفٌَْث ِءجَِٕد ِِْٓ ًَُضْفَث ٍعِةجَج ِْٓطَد ِٝف ٌزَّْمٌُ

Artinya: “Sesuap makanan di perut si lapar, adalah lebih baik daripada membangun seribu mesjid Jami”.

Dan seperti Hadis maudhu, yang berbunyi:

ٍْجَغٌِ ًُِّىٌِ ٍْجَغٌِ ِفٌَْث َُْْٛعْذَع ٌَُٗ ثًشِةجَط ِزٍََِّىٌْث َهٍِْص ِِْٓ ُالله َكٍََخ ُالله لاِث ٌََِٗث لا َيجَل َِْٓ

ٌَُٗ َْ ُْٚشِفْغَضْغَ٠ ٍزَغٌُ ِفٌَْث َُْْٛعْذَع Artinya: “Barang siapa mengucapkan tahlil (la ilaha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya”.

163

Kalau ketidakfasihan itu, hanya terletak pada redaksinya saja, sedang isinya tidak kacau, menurut pandapat Ibnu Hajar, tidak dapat dipastikan sebagai Hadis maudhu, sebab ada kemungkinan bahwa rawi hanya meriwayatkan maknanya saja, sedang redaksinya yang ia susun sendiri kurang fasih.

Shalahuddin Maqbul Ahmad (1994:297) menjelaskan bahwa telah banyak beredar dikalangan umat Islam beberapa buku yang berisikan Hadis- Hadis dha‟if dan maudhu, khabar-khabar palsu dan syathahat (ucapan yang keluar ketika estase) yang merusak keindahan Islam.

Dalam dokumen Buku Ulumul Hadis-Kompilasi (Halaman 165-171)