BAB IV HASIL ANALISIS
D. Uji Hipotesis
54
Skor Posttest
Levene Statistic df1 df2 Sig.
1.499 1 35 .229
Gambar 4.10 Print Screen Uji Homogenitas Posttest
Gambar 4.10 menunjukkan hasil penghitungan data kemampuan berpikir kreatif pertemuan terakhir (posttest). Data uji homogenitas kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun berasal dari 37 anak yang menghasilkan nilai Sig. sebesar 0,229. Berdasarkan dasar pengambilan
keputusan dimana data berasal dari varian yang homogen jika nilai Sig.> 0,05.
Diketahui bahwa nilai Sig. pada posttest adalah 0,229>05 maka disimpulkan bahwa varian data kemampuan berpikir kreatif adalah homogen.
55
Independent t-test dilakukan dengan membandingkan rata-rata data kemampuan berpikir kreatif kedua kelompok. Pada gambar 4.11 diperoleh skor sig. (2-tailed) adalah 0,078 > 0,05 yang artinya “tidak ada perbedaan yang signifikan dari hasil pertemuan pertama (pretest) kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen”. Pengujiaan hipotesis dilakukan kembali setelah kedua kelompok diberikan perlakuan. Pada gambar berikut disajikan hasil uji independent t-test saat posttest kedua kelompok.
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. df Sig. (2-tailed)
Skor Equal variances assumed 1.499 .229 35 .000
Equal variances not
assumed 33.038 .000
Gambar 4.12 Print Screen Uji Hipotesis Independet t-test Posttest
Berdasarkan gambar 4.12 diketahui bahwa antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan.
Pernyataan ini didukung oleh hasil Sig. (2- tailed) yang menunjukkan angka 0,000 < 0,05 yang artinya kedua rata-rata tidak identik yang dengan demikian terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (kelas B2) dan kelompok eksperimen(kelas B1) ketika pertemuan terakhir (posttest).
Penghitungan rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (kelas B2) dan kelompok eksperimen (kelas B1) saat pretest dan posttest memiliki hasil yang berbeda. Ketika rata-rata kemampuan berpikir kreatif untuk pretest diujikan, kedua kelompok tidak memiliki perbedaan kemampuan
berpikir kreatif yang signifikan. Pernyataan ini dibuktikan dengan hasil uji independent t-test saat pretest yang menunjukkan angka 0,078> 0,05 artinya kedua kelompok memiliki rata-rata kemampuan berpikir kreatif yang identik atau hampir sama. Keadaan ini dinilai wajar sebab kedua kelompok belum menerima perlakuan sama sekali. Sebaliknya, perbedaan kemampuan berpikir kreatif antara kelompok kontrol (kelas B2) dan kelompok eksperimen (kelas
56
B1) diperoleh ketika kemampuan berpikir kreatif diuji saat pertemuan terakhir (posttest). Pernyataan ini dibuktikan dengan hasil uji hipotesis Independent t- test yang menunjukkan angka 0,000<0,05 yang artinya kedua kelompok memiliki rata-rata kemampuan berpikir kreatif yang berbeda/tidak identik.
Perbedaan rata-rata yang diperoleh ketika uji hipotesis membuktikan bahwa H0
yang menyatakan “tidak ada pengaruh pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun” ditolak dan menerima H1 yang menyatakan “ada pengaruh strategi pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun.
Uji hipotesis dilakukan untuk menguji hipotesa yang dirumuskan.
Berdasarkan hasil analisis data pretest dan posttest kedua kelompok terdapat perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kreatif yang diperoleh kelompok kontrol (kelas B2) maupun kelompok eksperimen (kelas B1).
Pretest0 Posttest
2 4 6 8 10 12 14 16 18
11 11.35
9.47
16.23
Rata-rata Kemampuan Bepikir Kreatif
Kelompok Kontrol (Kelas B2)
Kelompok Eksper- imen (Kelas B1)
Gambar 4.13 Kurva Perbedaan Rata-Rata Kedua Kelompok
Perolehan rata-rata kelompok ditunjukkan oleh gambar 4.13 dimana kurva biru sebagai representatif kelompok kontrol (kelas B2) memiliki lajur yang landai dan kurva merah sebagai kelompok eksperimen (kelas B1) memiliki lajur yang menanjak. Kelompok kontrol (kelas B2) diketahui
memiliki rata-rata kemampuan berpikir kreatif awal sebesar 11 > dari rata-rata kelompok eksperimen yang hanya 9,47. Setelah diberikan treatment strategi pembelajaran berbasis proyek kemudian posttest dilakukan, rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok eksperimen (kelas B1) berhasil
57
meningkat hingga 16,23 lebih besar dari kelompok kontrol (kelas B2) yang hanya memperoleh rata-rata 11,35.
BAB V PEMBAHASAN
A. Berpikir Kreatif pada Kelompok Kontrol (Kelas B2)
Kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (kelas B2) saat pretest hingga pertemuan akhir (posttest) belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan.
Perbedaan hasil yang diperoleh kelompok eksperimen (Kelas B1) dan kelompok kontrol (Kelas B2) disebabkan karena tidak semua kelompok menerima pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran di kelompok kontrol (kelas B2) dilaksanakan dengan strategi pembelajaran konvensional dimana peran guru lebih mendominasi.
Gambar 5.1 Penjelasan Guru Pada Kelompok Kontrol (Kelas B2)
Pada kelompok kontrol (Kelas B2) peneliti menyajikan berbagai alat dan bahan yang diatur dan dibagi sama rata pada setiap anak. Adapun alat dan bahan yang digunakan antara lain: balok kayu, benang wol berbagai warna, lem, pensil warna, kapas, cup, diorama pohon, kertas lipat, spidol, plastisin dan bahan bahan yang lain dipergunakan sebagai stimulan kemampuan berpikir kreatif.
59
Gambar 5.2 Alat Dan Bahan Dalam Pembelajaran Berbasis Proyek
Pemahaman pengetahuan di kelas kontrol dilaksanakan dengan mengikuti perintah guru, ketika anak membuat maket rumah dengan membuat halaman
beberapa kali pendidik mengatakan “ayo si A kolam ikannya mana? Perbaiki!”, ayo si B coba buat seperti si A agar terlihat bagus, biar nanti dapat nilai bagus”. Pengadaan alat dan bahan yang bervariataif belum cukup mengembangkan kemampuan berpikir kreatif tanpa penyediaan situasi yang menyenangkan. Menurut Amabile (dalam Sternberg & Lubart, 1995) pengembangan kemampuan berpikir kreatif perlu dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan sehingga dapat menstimulasi imajinasi anak ketika mengekspresikan pengetahuannya.
Pembatasan alat dan bahan serta penyampaian materi pembelajaran dengan didominasi oleh penjelasan secara verbal menjadikan anak kesulitan menghubungkan materi pembelajaran dengan memori otak anak. Hal ini menyebabkan kurang
berkembangnya aspek-aspek yang terdapat dalam creative thinking. Menurut Amabile (dalam Sternberg & Lubart, 1995) pemberian kesempatan anak untuk berinteraksi dengan dunia luar untuk berekplorasi dan memilih materi dan aktivitas yang akan dilaksanakan mempengaruhi berkembangnya creative thinking.
60
Gambar 5.3 Hasil Proyek Kelompok Kontrol Ketika Pretest (Kelas B2)
Pembelajaran yang dilaksanakan pada kelompok kontrol (kelas B1) bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan (Hardika, dkk., 2018) bahwa “Student learning creativity can be developed through the process of exploration and reconstruction of learning models…”. Kebaruan dan inovasi dalam pelaksanaan model pembelajaran yang sesuai dengan era dan tuntutan zaman perlu dilaksanakan guru untuk menunjang perkembangan kreativitas anak. Teori ini sejalan dengan bunyi Permendikbud nomor 22 tahun 2016 mengenai implementasi K-13 untuk menggunakan strategi pembelajaran yang relevan agar dapat membentuk perilaku saintifik, mengembangkan rasa sosial serta keingintahuan. Montessori (dalam Masganti, 2016) menyatakan bahwa, perkembangan berbagai potensi yang dimiliki anak dapat berkembang jika disediakan lingkungan eksploratif yang mampu
menciptakan rasa senang bagi diri anak.
Perlakuan yang diberikan pada kelompok kontrol berdampak pada aktivitas berpikir anak yang kurang bisa bereksplorasi. Hal ini nampak ketika tes akhir (posttest) dimana kurva rata –rata kelompok kontrol yang cenderung tetap (lihat gambar 4.13 kurva perbedaan rata-rata kelompok). Tetapnya skor kemampuan berpikir kreatif yang diperoleh kelompok kontrol dikarenakan penerapan strategi pembelajaran konvensional yang diterima kelompok kontrol ketika pertemuan awal (pretest) sampai pertemuan akhir (posttest).
Gambar 5.4 Hasil Proyek Kelompok Kontrol (Kelas B2) Ketika Posttest
61
Penerapan strategi pembelajaran konvensional yang diterapkan pada kelompok kontrol (Kelas B2) ternyata membawa dampak pada aspek keaslian (originality) dan elaborasi (elaboration). Pendidik yang terlalu mendominasi dan mengharuskan anak membuat maket sesuai dengan penjelasan menyebabkan sebagian besar anak membuat karya yang sama dengan komponen yang seragam.
Keadaan ini berberbanding terbalik dengan apa yang dinyatakan oleh Sukmadinata (2004) bahwa, kreatifitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi atau unsur yang ada.
B. Berpikir Kreatif pada Kelompok Eksperimen (Kelas B1)
Kelompok eksperimen (kelas B1) yang menerima perlakuan strategi
pembelajaran berbasis proyek terbukti mengalami perubahan rata-rata kemampuan berpikir kreatif yang signifikan. Perbedaan rata-rata kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (kelas B1) dan kelompok eksperimen (kelas B2) pada pertemuan akhir (posttest) membuktikan bahwa teori yang dinyatakan sebelumnya adalah benar.
Sternberg & Lubart (1995) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif di sekolah dilakukan dengan menghargai dan membebaskan anak untuk bereksplorasi dengan pikiran dan lingkungannya.
Kelancaran dalam kemampuan berpikir kreatif akan terwujud jika disediakan variasi media yang dapat menstimulasi anak menuangkan daya pikirnya.
Ketersediaan alat dan bahan yang bervariatif diduga dapat membawa pengaruh positif pada kemampuan berpikir kreatif anak (Amabile dalam Sternberg, 1995). lingkungan yang ideal untuk memupuk kemampuan berpikir kreatif
merupakan suatu keadaan yang bebas dari tekanan suatu standar. Kedua teori ini membuktikan bahwa, tidak perlu ada tolok ukur yang ketat mengenai interpretasi dan kuantitas bahan yang digunakan anak. Misalnya ketika diberikan sebuah bentuk kerucut beberapa anak menganggap adalah kerucut tersebut atap, beberapa yang lain menganggap kerucut adalah sebuah tenda, dan ada pula yang mengaggap kerucut tersebut sebagai sebuah topi. Anak dibebaskan memanfaatkan dan mendefinisikan alat dan bahan yang tersedia sesuai imajinasinya. Tumardi (2015) menambahkan
62
bahwa, kegiatan belajar akan menjadi bermakna jika isi pengalaman belajar sesuai dengan lingkungan pebelajar.
Penyediaan alat dan bahan bervariatif serta lingkungan yang mendukung menjadikan aspek aspek dalam creative thinking dapat berkembang dengan baik.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas eksperimen (Kelas B1) dikemas dengan strategi pembelajaran berbasis proyek dengan pendekatan student centered. Guru, dalam strategi pembelajaran berbasis proyek bertindak sebagai fasilitator yang memfasilitasi terjadinya transformasi pengetahuan anak. Knowles (dalam Tumardi &
Sopingi, 2013) mengemukakan bahwa, kegiatan belajar sebenarnya merupakan proses ego dari pebelajar (anak), sehingga pembelajaran harus mengupayakan peningkatan dalam nalar, pengetahuan, keterampilan serta sikap.
Pendekatan student-centered yang diterapkan pada kelompok eksperimen menjadikan anak dapat berpartisipasi aktif sehingga mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Segala alat dan bahan yang ada dihadapan anak tidak dibatasi penggunaannya dan tidak diberikan aturan ketat mengenai produk apa yang wajib dibuat. Anak secara bebas menciptakan atau memodifikasi alat dan bahan yang ada sesuai keinginan dan imajinasinya. Melalui perlakuan ini, terciptalah berbagai variasi produk yang berhasil diciptakan kelompok eksperimen (kelas B1).
Keberhasilan kelompok eksperimen (kelas B1) dalam menciptakan proyek yang unik menjadikan skor kelompok eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Sutama, dkk (2018) menambahkan, pemberian kesempatan untuk bereksplorasi dan mengamati langsung berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu dan kreativitas anak.
63
Gambar 5.5 Hasil Proyek Kelompok Eksperimen (Kelas B1)
Ketika diberikan tugas proyek menciptakan rumah, terdapat anak yang menciptakan rumah dengan dipenuhi salju, anak yang lain menyatakan bahwa hari ini menciptakan proyek rumah hantu. Apa yang dinyatakan beberapa anak tersebut adalah benar, sesuai imajinasi dan daya kreatif dalam pikiran mereka. Aktivitas ini sejalan dengan pendapat Guilford (dalam Lubart, 2016) dan Munandar (1987) bahwa kreativitas adalah kemampuan berpikir divergent (kecakapan dalam menghasilkan pemikiran berbeda, menciptakan banyak ide dari berbagai kategori, bereksplorasi dalam arah dan ragam ruang pikir).
Gambar 5.6 Antusiasme Kelompok Eksperimen (Kelas B1)
Strategi pembelajaran berbasis proyek menjadikan anak lebih antusias ketika diberikan tugas proyek. Sehingga memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran dan transformasi pengetahuan. David (2017) menambahkan, pengetahuan diperoleh dari kombinasi pemahaman dan transformasi pengalaman. Pembelajaran berbasis proyek dengan pendekatan student centered berorientasi pada refleksi pengalaman untuk diterapkan pada situasi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak mengekang.
64
Kondisi yang menekan, membatasi disinyalir menyebabkan rasa takut yang berakibat pada kurangnya produktivitas serta menurunnya ekspresi kreatif.
Berdasarkan hasil posttest, diketahui bahwa sebagian besar anak pada kelompok eksperimen memiliki kemampuan berpikir kreatif yang baik. Hal ini dibuktikan dengan beberapa karya anak, yaitu membentuk kerucut menjadi bentuk tenda, mengkombinasikan cup dan kerucut menjadi bentuk rumah serta produk lain yang menurut anak memiliki makna tersendiri untuk proyek yang dibuat. Ketika pembelajaran berlangsung, sebagian besar anak dapat memanfaatkan dengan baik alat dan bahan yang disediakan. Keberagaman bahan dalam menciptakan proyek
membuktikan bahwa aspek fleksibilitas dalam kelompok eksperimen berkembang dengan baik.
Gambar 5.7 Kreasi Proyek Oleh Kelompok Eksperimen
Hasil analisis data ini sekaligus mengakui apa yang dikemukakan Dewey mengenai learning by doing dimana sekolah dan ruang kelas sejatinya adalah perwakilan dari situasi kehidupan nyata yang memungkinkan anak untuk
berpartisipasi dalam kegiatan belajar dan bertukar informasi. Belajar paling efektif, menarik, bermakna dan bernilai jika anak mendapat pengalaman langsung dalam situasi asli (Dewey dalam (Tumardi, 2015)).
C. Pengaruh Strategi Pembelajaran Berbasis Proyek Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Anak Usia 5-6 Tahun
Pembelajaran berbasis proyek terbukti berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif. Hal ini dibuktikan dari kelancaran anak dalam menggunakan bahan
65
dan menceritakan karya, fleksibilitas anak dalam menggunakan berbagai alat dan bahan, keberhasilan anak menciptakan suatu produk baru serta keberhasilan anak dalam mengembangkan bahan bahan yang disediakan.
29.00%
18.00%
27.00%
26.00%
Persentase Aspek
Kemampuan Berpikir Kreatif
Kelancaran Keluwesan
Keaslian Elaborasi
Gambar 5.8 Presentasi Masing-masing Aspek Kemampuan Berpikir Kreatif
Berdasarkan keempat aspek yang terkandung dalam kemampuan berpikir kreatif. Aspek kelancaran (fluency) memiliki presentase paling tinggi sebesar 29%, disusul aspek keaslian (originality) sebesar 27 %, kemudian elaborasi (elaboration) 26% dan yang terakhir adalah aspek keluwesan (flexibility) sebesar 18%. Terlihat bahwa kelompok eksperimen dapat dengan lancar mengungkapkan ide kreatif dalam proyek yang sedang dibuat. Pernyataan ini dibuktikan dengan proyek bertemakan rumah yang mampu mereka lengkapi dengan berbagai komponen seperti: kandang, taman, kolam, tenda, dan komponen lain yang memiliki keterkaitan. Munandar (1987) menambahkan, salah satu ciri keterampilan berpikir lancar (fluency) adalah kemampuan dalam mencetuskan banyak ide.
Gambar 5.9 Kreasi Proyek Oleh Kelompok Eksperimen
66
Posisi kedua setelah aspek kelancaran adalah aspek keaslian. Melalui topik yang dihadirkan, sebagian besar anak diketahui mampu menciptakan berbagai ide unik. Mengambil tema lingkungan dengan proyek membuat maket rumah, sebagian besar anak mampu menciptakan karya yang bervariatif. Kemampuan ini ditemukan ketika anak menceritakan hasil proyek di akhir kegiatan. Beberapa anak mampu mendefinisikan rumah bukan sekedar tempat tinggal, ada yang menciptakan rumah hantu, anak lain menciptakan rumah yang halamannya dipenuhi salju warna warni ada pula yang menciptakan halaman rumah dilengkapi dengan tenda dan kandang ular. Keaslian merupakan kemampuan anak dalam menciptakan sesuatu yang unik (Torrance dalam Kim, 2017). Berpikir kreatif sama halnya dengan berpikir divergent.
Berpikir kreatif atau berpikir divergen adalah kemampuan menemukan banyak kemungkinan jawaban di mana penekanannya ketepat gunaan dan keragaman jawaban (Munandar, 1987).
Elaborasi pada kelompok eksperimen sebagai kelompok yang menerima perlakuan terjadi saat anak mampu mengembangkan suatu bahan menjadi bentuk baru yang indah. Ciri khas dari aspek elaborasi adalah keterampilan dalam
memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau menambahkan suatu objek.
Misalnya ketika anak merubah cup kue menyerupai bentuk kandang ular dengan menambahkan plastisin berwarna gelap yang diletakkan di tengahnya. Penambahan detail yang dilakukan pada cup mampu menciptakan pemahaman dan apresiasi yang lebih baik dari bentuk cup asli. Detail tambahan ini mengubah ide lama menjadi baru yang membuat cup memiliki kebermaknaan lebih besar.
Gambar 5.10 Kemampuan Elaborasi Kelompok Eksperimen
67
Keluwesan dalam berpikir kreatif dicirikan dengan kemampuan memikirkan macam macam solusi yang berbeda ketika anak menghadapi suatu masalah. Saat pertemuan terakhir, diketahui bahwa seorang anak ingin menggunakan kertas lipat untuk membuat bagian dasar kolam pada proyeknya. Kemudian pada saat tersebut sang anak tidak dapat menemukannya, anak kemudian memakai bahan yang lain untuk membuat kolam ikan tersebut. Selain itu, ditemukan juga anak yang
menggunakan cuttonbud bahkan jari mereka untuk melukis ketika mendapati bahwa kuas kuas yang tersedia dipakai oleh teman yang lain. Saat inilah aspek fleksibilitas dalam berpikir kreatif anak muncul. Tindakan beberapa anak tersebut
menggambarkan perkembangan kemampuan fleksibilitas mereka dalam memanfaatkan alat yang lain sebagai solusi dari permasalahan yang terjadi.
Gambar 5.11 Kegiatan Mewarnai Oleh Kelompok Eksperimen
Faktor lingkungan menjadi faktor utama yang mempengaruhi kemampuan berpikir kreatif. Kegiatan pembelajaran yang diciptakan dengan nyaman, tidak mengekang serta secara penuh memfasilitasi kemampuan berpikir kreatif anak memudahkan anak mengekspresikan ide kreatif yang ada dalam imajinasi mereka.
Kebebasan berekspresi yang dilakukan terbukti dapat menstimulasi berbagai pengalaman anak.
Anak secara lancar dapat menuangkan pengalaman mereka melalui berbagai alat dan bahan yang disediakan. Faktor lain yang menyebabkan strategi pembelajaran berbasis proyek berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif adalah
serangkaian langkah kerja pembelajaran berbasis proyek yang disinyalir membantu anak berimajinasi terhadap dunia nyata. Meskipun kelompok kontrol (kelas B2) dan kelompok eksperimen (kelas B1) diberikan materi dan waktu yang sama, namun
68
kedua kelompok diberikan perlakuan berbeda. Kelas B1 selaku kelompok eksperimen diberikan pembelajaran berbasis proyek, sedangkan pada kelompok kontrol (kelas B2) pembelajaran dilaksanakan dengan strategi pembelajaran konvensional dimana pendidik lebih banyak mengambil peran dalam kegiatan pembelajaran. Perlakuan tersebut menjadikan skor kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (kelas B2) lebih rendah dibandingkan kelompok eksperimen (kelas B1)
Pendidik pada kelompok eksperimen memberikan kesempatan anak untuk memanfaatkan dan bereksplorasi dengan alat dan bahan yang disediakan serta menghadirkan topik bahasan dalam pembelajaran dengan menampilkan beberapa video yang relevan. Melalui beberapa cara ini, memori anak dapat mengulas kembali pengetahuan didapatkan. Secara lancar anak sudah bisa membayangkan proyek apa yang akan dibuat melalu berbagai alat dan bahan yang disediakan.
Berdasarkan beberapa uraian yang telah peneliti paparkan, dapat disimpulkan bahwa H0 yang menyatakan “tidak terdapat pengaruh positif strategi pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun” ditolak dan menerima H1 yang menyatakan “terdapat pengaruh positif strategi pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun”.
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran berbasis proyek terbukti berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun. Kemampuan berpikir kreatif diwujudkan pada hasil karya kelompok eksperimen yang mampu memenuhi indikator berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun. Penerapan strategi pembelajaran berbasis proyek dengan memberikan situasi nyaman dan kesempatan untuk bereksplorasi memberikan pengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun. Pernyataan ini didukung dengan skor kemampuan berpikir kreatif pertemuan awal kelompok eksperimen (Kelas B1) yang memiliki perbedaan signifikan dengan kemampuan berpikir kreatif pada pertemuan akhir.
Berbanding terbalik dengan kelompok eksperimen. Penerapan strategi pembelajaran konvensional belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol (Kelas B2). Baik kelompok kontrol (Kelas B2) maupun kelompok eksperimen (Kelas B1) diberikan waktu dan sarana yang sama. Namun, alat dan bahan pada kelompok kontrol dibagi sama rata dengan guru sebagai sumber belajar. Pengadaan alat dan bahan yang
bervariatif tanpa diimbangi dengan kondisi yang mendukung belum dapat menstimulus kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun. Hal ini
mengakibatkan skor kemampuan berpikir kreatif kelompok kontrol cenderung tetap dari pertemuan awal sampai pertemuan akhir.
Hasil uji hipotesis kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol digunakan sebagai acuan untuk menentukan hipotesis. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima dengan nilai sig = 0,00<0,05.
Artinya, terdapat pengaruh strategi pembelajaran berbasis proyek terhadap kemampuan berpikir kreatif anak usia 5-6 tahun.
B. Saran
Kegiatan pembelajaran dengan strategi pembelajaran berbasis proyek yang diterapkan untuk anak usia 5-6 tahun terbukti berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif anak. Adapun saran yang peneliti
rekomendasikan antara lain.
1. Bagi guru, disarankan untuk lebih memperhatikan aspek psikologis anak ketika melakukan suatu tindakan dalam kegiatan pembelajaran.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan guru di TK An-Nur dalam menerapkan strategi pembelajaran yang dapat menunjang kemampuan berpikir kreatif.
2. Bagi sekolah, pemenuhan sarana dan prasarana perlu dipertimbangkan pihak sekolah termasuk dengan memperbanyak alat dan bahan yang memacu perkembangan kemampuan berpikir kreatif.
3. Bagi peneliti lain yang berkeinginan mengkaji tentang pembelajaran berbasis proyek, diharapkan dapat meneliti kemampuan atau aspek perkembangan yang lain dari adanya penerapan strategi pembelajaran berbasis proyek.
DAFTAR RUJUKAN
Aini, W. N. (2013). Teacher Student Interaction in a Project Based Learning Classroom. Indonesia University of Education, (1972), 196–205. (online), https://media.neliti.com/media/publications/192358-EN-teacher-student- interaction-in-a-project.pdf
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Aris Priyanto. (2014). Jurnal Ilmiah Guru “COPE”, No. 01/Tahun XVIII/Mei 2014.
Pengembangan Kreativitas Pada Anak Usia Dini Melalui Aktivitas Bermain, (01). (online), https://journal.uny.ac.id/index.php/cope/article/view/2913 Ariyana, Y. M., Pudjiastuti, A., Reisky, B., & Zamroni. (2019). Buku Pegangan
Pembelajaran Berorientasi pada Keterampilan Berfikir Tingkat Tinggi. In Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hak. Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hak.
B. Hurlock, E. (1980). Psikologi Perkembangan (5th ed.; R. Max Sijabar, Ed.).
Cahyono, T. (2018). Statistika Terapan dan Indikator Kesehatan. Yogyakarta: CV Budi Utama. (online), https://books.google.co.id/books
Creswell, J. W. (2014). Research Design. In V. K. Editorial (Ed.), SAGE. London.
Dahlan, S. M. (2011). Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan (3rd ed), Ciracas:
Salemba Medika. (online), https://books.google.co.id/books
David, Y. K. A. & K. J. (2017). Experiential Learning Theory as a Guide for Experiential Educators in Higher Education. ELTHE: A Journal For Engaged Educators, 1, 7–44. (online),
https://learningfromexperience.com/downloads/research-library/experiential-