• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Rumah Sakit

Dalam dokumen DALAM TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT (Halaman 30-39)

BAB II KARAKTERISTIK PERBUATAN KELALAIAN

A. Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Rumah Sakit

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penye- lenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.46

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang sifatnya memang sangat kompleks, saat ini seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi makin lama makin bertambah kompleks pula tantangannya serta tuntutannya menyesuaikan dinamika kehidupan masyarakat. Jika dahulu dalam manajemen rumah sakit yang dipentingkan adalah terutama disiplin kedokteran, maka saat ini ditambah dengan disiplin hukum, ekonomi, sosial dan manajemen. Karena masing-masing disiplin ilmu mempunyai prinsip dan sudut pandang yang berlainan, maka seringkali berbenturan satu sama lain. Spencer pernah mengutip ucapan salah seorang manajer dari St Thomas’s Hospital yang

46 Lihat Konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

mengatakan bahwa :“Running a big business is a piece of cake compared with running a hospital. A hospital is about the most complex institution there is”47.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit memberikan pengertian dalam Pasal 1 angka 1 yaitu Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menye- lenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit bukan lagi sekedar menjadi sarana tempat diselenggara- kannya pelayanan kesehatan. Namun, juga sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang menyatakan tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna.

Hubungan hukum adalah hubungan antara sesama manusia, badan hukum dengan manusia, serta badan hukum dengan badan hukum lainnya sebagai subyek hukum yang terikat oleh suatu hubungan kontraktual maupun undang-undang secara luas, yang telah disepakati sehingga menimbulkan hak dan kewajiban dari hubungan hukum tersebut. Apabila dikaitkan hubungan antara pasien dan rumah sakit merupakan suatu hubungan yang lebih mengarah pada pelayanan kesehatan/tindakan medis atau yang sering dikenal dalam dunia medis sebagai health provider dan health receiver.

Kedudukan hukum seseorang berstatus sebagai pasien tidak timbul dalam kondisi serta merta yang timbul dari pengaturan undang- undang yang memberikan label pasien. Namun, kedudukan hukum seseorang sebagai pasien timbul karena adanya hubungan awal berbentuk perikatan kontraktual dengan pihak rumah sakit selaku penyelenggara pelayanan kesehatan atau penyedia tenaga medis serta tenaga kesehatan lainnya untuk melakukan pelayanan di bidang medis.

47 J.A.Spencer, Management in Hospital, Faver and Faber,24 Russel Square London,1969, dikutip dari Amir Ilyas, Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah Sakit, Rangkang Education,Yogyakarta,2014,hlm. 3.

22

Pasien membutuhkan rumah sakit sebagai tempat berobat sesuai dengan keinginannya. Hal ini sesuai dengan hak dasar pasien yaitu : 1) Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan yang bermutu, sesuai dengan standar profesi kedokteran dan standar profesi keperawatan; 2) Hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, kehendak untuk meminta pertolongan untuk mengatasi masalah penyakitnya merupakan inisiasi dari individu yang sakit tersebut (pasien) atau pihak ketiga yang mewakili pasien. Aksi pertolongan yang dilakukan oleh penyelenggara fasilitas kesehatan (rumah sakit) merupakan respon atas permintaan yang diminta oleh pasien atau pihak ketiga yang mewakili pasien tersebut. Pada konteks ini hubungan kontraktual pasien yang berobat ke rumah sakit timbul sejak individu yang sakit mulai mendaftarkan diri sebagai pasien di rumah sakit, yang kemudian selanjutnya mendapat pelayanan kesehatan/tindakan medis sesuai dengan kebutuhan atas pengobatan penyakitnya.

Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien di rumah sakit diawali dengan hubungan kontrak awal, yaitu berupa kontrak perawatan medis antara pasien dengan pihak rumah sakit.

Selanjutnya pasien sepakat dengan dokter untuk dilakukan serangkaian tindakan medis mulai dari diagnostik sampai ke pengobatan dan pemulihan kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Kontrak perawatan medis di rumah sakit merupakan kontrak yang luas. Menurut Aline Leischner, Claudia Zeinhover, Christina Lindner, Christian Kopetzki 48 : Medical treatments in hospitals are principally based on the medical contract between the legal entity of the hospital and the patient or his legal representative. The contract not only creates the hospital ‘s obligation to treat the

48 Medical Law In Austria, Aline Leischner, Claudia Zeinhover, Christina Lindner, Christian Kopetzki, Wolters Kluwer, The Netherlands, 2011, hlm. 56.

patient according to the current state of medical science and experience, but also to supply the patient with adequate in-patient care, icluding pre- and post intervenstional supervision and appropriate accomodation and maintanance of the general safety of the patients premises and equipment. Due to the wide scope of this treatment contract it is also called total hospital ( admission) contract.

Bertolak pada definisi tersebut, maka tindakan medis di rumah sakit merupakan hal utama dalam substansi kontrak perawatan medis di rumah sakit, baik dari aspek hubungan hukum antara rumah sakit dengan pasien maupun kedudukan tanggungjawab hukum yang melekat pada perangkat rumah sakit. Kontrak perawatan medis mengandung aspek yang luas. Kontrak perawatan tidak hanya meliputi pelaksanaan ilmu kedokteran maupun pengalaman yang terkandung dalam kewajiban tindakan medis, namun juga dukungan yang cukup dalam perawatan pasien termasuk sebelum dan sesudah dilakukan intervensi medis, pengawasan terhadap keselamatan pasien selama perawatan dan peralatan kesehatan yang digunakan juga merupakan bagian dari kontrak. Hal ini juga dapat mempengaruhi gambaran identifikasi kelalaian medis yang terjadi pada tindakan medis di rumah sakit.

Hubungan kontraktual yang terjadi secara hubungan hukum akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat, kontrak perawatan medis memiliki sifat atau ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian pada umumnya. Kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan. Objek yang diperjanjikan ini adalah berupa ikhtiar/upaya rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan untuk membantu pasien mengetahui diagnosa penyakitnya serta modalitas terapi yang ditawarkan oleh dokter rumah sakit dalam rangka upaya perawatan medis untuk mengurangi simptomatis/keluhan pasien atas penyakitnya atau pemulihan kesehatannya. Perlu diketahui, penulis menggunakan istilah hubungan kontraktual antara pasien dengan

24

rumah sakit berupa kontrak perawatan medis karena istilah ini maknanya lebih komprehensif dan digunakan pula dalam aturan perundang-undangan yang berlaku yaitu permenkes, standar prosedur operasional, standar pelayanan rumah sakit, serta standar profesi yang diatur oleh kolegium maupun ikatan profesi dokter. Selain itu, saat ini dengan kemajuan teknologi informasi tentang kesehatan maka pasien datang ke rumah sakit tidak hanya untuk berobat saja melainkan bertujuan sebagai upaya pencegahan terhadap penyakit seperti medical check up, pemeriksaan echocardiografi, Magnetic Resonancy Imaging (MRI) dan lain sebagainya. Dalam kontrak perawatan medis ini tidak sekedar menyangkut modalitas terapi, tetapi juga meliputi diagnostik serta pola rujukan, dimana hal tersebut merupakan keinginan atau harapan pasien saat datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 disebutkan bahwa paripurna meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sehingga perjanjian atau transakasi terapeutik adalah kelanjutan dari kontrak perawatan medis setelah adanya kesepakatan antara pasien dengan dokter yang akan melakukan serangkaian tindakan medis terhadapnya. Jadi menurut hukum, objek perjanjian ini bukan kesembuhan pasien, melainkan serangkaian upaya perawatan/tindakan medis yang tepat sesuai dengan kondisi kesehatan pasien.

Sebagaimana umumnya suatu perikatan, dalam kontrak perawatan medis juga terdapat para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perikatan atau perjanjian. Yaitu rumah sakit sebagai pihak yang memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai pihak yang menerima pelayanan medis. Jadi secara umum, apa yang diatur dalam perjanjian menurut Buku III BW, berlaku pula dalam kontrak perawatan medis.

Hanya saja dalam kontrak perawatan medis, ada kekhususan tertentu yaitu tentang ikrar atau cara mereka mengadakan perjanjian. Sebab dalam kontrak perawatan medis dijelaskan bahwa dengan kedatangan

pasien ke rumah sakit tempat dokter bekerja, dengan tujuan untuk memeriksakan kesehatannya atau untuk berobat, telah dianggap adanya suatu perjanjian perawatan medis.

Hubungan hukum antara pasien dan rumah sakit terjadi manakala pasien ini mempunyai kepercayaan terhadap pelayanan dan perawatan medis dirumah sakit tersebut, sehingga pasien bersedia memberikan data pribadi untuk melakukan registrasi sebagai pasien di rumah sakit serta niat untuk berobat/mendapat perawatan medis sesuai dengan keluhan yang dideritanya, selanjutnya pihak rumah sakit memasukkan data pasien tersebut dalam data rekam medik, hal ini disebut kontrak perawatan medis.

Selanjutnya apabila dilihat dari hubungan hukum akibat kontrak perawatan medis yang timbul antara pasien dan rumah sakit, dapat dibedakan pada dua macam perjanjian, yaitu :

a. Perjanjian pelayanan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan jenis layanan kesehatan mulai dari diagnostik sampai rehabilitatif meliputi aspek fasilitas layanan dan tenaga kesehatan.

b. Perjanjian perawatan/tindakan medis dimana terdapat kesepakat- an antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk melakukan perawatan/

tindakan medis terhadap pasien sesuai dengan kondisinya (Inspanning Verbintenis).

Hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit termasuk dalam perjanjian pada umumnya yang dalam Pasal 1234 KUH Perdata ditentukan bahwa : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk mem- berikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam perjanjian ini kewajiban rumah sakit adalah memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar

26

pelayanan rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf b Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit.

Sebagai suatu perjanjian, maka hubungan antara pasien dengan rumah sakit harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :49

a. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan / melakukan kesepakatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dengan adanya ketentuan diatas maka proses terhadap kepastian perlindungan hukum bagi pasien dan rumah sakit terjadi dengan lahirnya kata sepakat yang disertai dengan kecakapan untuk bertindak dalam perjanjian, diantara pasien dengan dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit . Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang- undang tidak dinyatakan tak cakap”. Pasal 1330 ayat (1) KUH Perdata menyatakan “ Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang- orang yang belum dewasa”. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan “Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya”. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”. Contoh perikatan/kontrak tersebut berisi perjanjian untuk melakukan abortus tanpa indikasi medis, euthanasia merupakan sebab yang tidak diperbolehkan (dilarang) oleh undang- undang untuk diperjanjikan, sehingga bila hal ini diperjanjikan maka

49 Sri Paptianingsih, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,hlm. 30.

perjanjian ini tidak sah, karena tidak memenuhi persyaratan Pasal 1320 KUH Perdata. Dari hubungan hukum atas kontrak perawatan medis yang disepakati antara pasien dengan rumah sakit, maka kemudian melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Sebagaimana diatur dalam Bab VIII Pasal 29-32 Undang-Undang No 44/2009 tentang Rumah Sakit. Pasien dapat mengajukan gugatan secara perdata maupun tuntutan pidana atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh rumah sakit sesuai dengan Pasal 32 huruf q Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan “Pasien berhak menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana”.

Dalam hal hubungan antara rumah sakit dengan pasien yaitu rumah sakit menawarkan upaya pelayanan kesehatan dengan menyedia- kan sarana, prasarana, dan sumber daya kesehatan. Rumah sakit memikul beban tanggung gugat apabila pelayanan kesehatan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan rumah sakit dan standar profesi tenaga kesehatan.

Rumah sakit merupakan organ yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, rumah sakit dipandang sebagai badan hukum (recht person) juga dibebani hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Karena dipandang sebagai badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban, maka rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terjadi suatu perbuatan melawan hukum. Rumah sakit secara institusional bertanggungjawab terhadap segala konsekuensi yang

28

timbul berkenaan dengan pelanggaran terhadap kewajibannya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.50

Secara garis besarnya tanggungjawab rumah sakit jika dilihat dari sudut pelakunya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :51

a. Tanggungjawab bidang rumah sakit, penanggungjawabnya adalah kepala rumah sakit.

b. Tanggungjawab bidang medik, penanggungjawabnya adalah masing-masing tenaga medis di rumah sakit tersebut.

c. Tanggungjawab bidang keperawatan, penanggungjawabnya adalah masing-masing perawat, bidan, dan para medik non perawatan di rumah sakit tersebut.

Sehubungan dengan tanggungjawab rumah sakit yang berkaitan dengan personalia dikenal tiga doktrin, yaitu:52

a. Vicarious Liability atau Respondent Superior

Prinsip utama doktrin ini adalah atasanlah yang bertanggungjawab atas semua kerugian yang ditimbulkan oleh bawahan.Rumah sakit bertindak sebagai atasan dari staf rumah sakit yang bertindak sebagai bawahan.

b. Hospital Liability

Menurut doktrin ini rumah sakit bertanggungjawab atas semua kejadian atau peristiwa di dalam rumah sakit. Dalam hal kesalahan seorang dokter, maka tanggungjawab akan diambil alih oleh rumah sakit. Pihak rumah sakit kemudian akan menggunakan hak regresnya untuk meminta ganti rugi kembali kepada dokter yang melakukan kesalahan tersebut.

50 Indar, Tanggungjawab Hukum Rumah Sakit dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Perspektif Hukum Kesehatan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Amanagappa Vol.12, Juni, 2004, hlm. 205

51 Ibid, hlm. 207.

52 Ibid, hlm. 207-208.

c. Strict Liability

Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggungjawab atas semua kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut.

Disini berlaku asas “ Res Ipsa Loquitor” yaitu fakta yang berbicara.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah menjelaskan hubungan antara tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) dengan rumah sakit, didalam Pasal 46 yang menyatakan :

“Rumah sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”.

B. Tanggung Jawab Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya

Dalam dokumen DALAM TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT (Halaman 30-39)