• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya dalam

Dalam dokumen DALAM TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT (Halaman 39-82)

BAB II KARAKTERISTIK PERBUATAN KELALAIAN

B. Tanggung Jawab Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya dalam

c. Strict Liability

Dalam doktrin ini dianut bahwa rumah sakit bertanggungjawab atas semua kejadian terlepas dari kesalahan rumah sakit tersebut.

Disini berlaku asas “ Res Ipsa Loquitor” yaitu fakta yang berbicara.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit telah menjelaskan hubungan antara tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan) dengan rumah sakit, didalam Pasal 46 yang menyatakan :

“Rumah sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”.

B. Tanggung Jawab Dokter dan Tenaga Kesehatan Lainnya

30

Gambar 1

Pelayanan Kesehatan oleh tenaga kesehatan

Sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, tenaga kesehatan dikelompokkan ke dalam tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis), tenaga psikologis klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian (apoteker dan tenaga teknis kefarmasian), tenaga kesehatan masyarakat (epidemiolog kesehatan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku, pembimbing kesehatan kerja, tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan, tenaga biostatik dan kependudukan, serta tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga), tenaga kesehatan lingkungan (tenaga sanitasi lingkungan, entomolog kesehatan, dan mikrobiologi kesehatan), tenaga gizi (nutrisionis dan dietisien), tenaga keterapian fisik (fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara, dan akupuntur), tenaga keteknisian

medis ( perekam medis dan informasi kesehatan, teknik kardiovaskuler, teknisi pelayanan darah, refraksionis optisien/optometris, teknisi gigi, penata anestesi, terapis gigi dan mulut dan audiologis), tenaga teknik biomedika (radiografer, elektromedis, ahli teknologi laboratorium medik, fisikawan medik, radioterapis, dan ortotik prostetik), tenaga kesehatan tradisional.

Sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 39 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 bahwa Praktik Kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Maka, hubungan hukum antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien di rumah sakit timbul dari adanya kesepakatan antara pasien dengan dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ada di rumah sakit saat akan dilakukan perawatan/tindakan medis. Jadi hubungan ini bersifat kelanjutan dari hubungan kontraktual atau perjanjian perawat- an medis antara pasien dengan pihak rumah sakit. Sepakat ini merupakan persetujuan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dimana kedua belah pihak mempunyai persesuaian kehendak yang dalam transaksi terapeutik dapat diartikan sebagai pihak pasien setuju untuk diobati oleh dokter dan dokter pun setuju untuk mengobati pasiennya.

Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan) terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak dan tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medis.54

Perjanjian terapeutik atau transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada

54 Anny Isfandyarie, Op.Cit, hlm. 60.

32

dokter untuk melakukan kegiatan memberikan perawatan medis/

tindakan medis kepada pasien berdasarkan keahlian dan ketrampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, menimbulkan konsekuensi adanya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak serta berimplikasi adanya tanggung jawab masing-masing antara dokter dan tenaga kesehatan dengan pasien yang dilakukan perawatan/tindakan medis di rumah sakit. Mukadimah Kode etik Kedokteran Indonesia dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 221/PB/A.4/04/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia mencantumkan tentang hubungan kesepakatan terapeutik antara dokter dengan pasien sebagai berikut “ Yang dimaksud dengan hubungan kesepakatan terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfi- densial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”.

Menurut Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Nomor 111/PB/A.4/02/2013 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam Mukadimahnya tidak lagi men- cantumkan terminologi “transaksi maupun kesepakatan terapeutik”

untuk mendiskripsikan tentang hubungan dokter dengan pasien.

Namun lebih mengedepankan hubungan kepercayaan (fiduciary relationship) antara dokter dengan pasien dengan menitikberatkan kepada aspek bio-psiko-sosio-kultural-spiritual dengan berpijak pada fundamental etika dan disiplin profesi. Penulis berpendapat hubungan pasien dengan dokter di rumah sakit dapat menggunakan terminologi

“Perjanjian Tindakan Medis”. Hal ini untuk menyelaraskan perikatan hukum antara dokter dengan pasien sesuai dengan terminologi dalam KUH Perdata maupun lex spesialis Undang-Undang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Rumah Sakit. Perikatan hukum tersebut sebagai awal pintu masuknya untuk menentukan pertanggungjawaban pidana

dokter akibat dari tindakan medis yang dilakukannya di rumah sakit.

Karena tidak akan ada pertanggungjawaban hukum manakala tidak ada perikatan/perjanjian dari para pihak atau perikatannya bersifat tidak sah. Hal ini sesuai dengan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 yang menyatakan “ Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. Pada Pasal 68 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 menyatakan “ Setiap tindakan Tenaga Kesehatan yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan”.

Karena inform consent atau persetujuan tindakan medis merupakan perjanjian, maka terhadap perjanjian tindakan medis juga berlaku hukum perikatan yang diatur dalam KUH Perdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan akibat yang ditimbul- kannya diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.55 Syarat adanya kecakapan dalam membuat perikatan/perjanjian harus sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1330 dan 330. Ada perbedaan dalam menentukan batas kecakapan antara yang diatur oleh KUH Perdata dan Peraturan Menteri Kesehatan RI. Dalam KUH Perdata menyatakan yang dimaksud tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang yang belum dewasa, yaitu orang yang umurnya belum genap dua puluh satu tahun atau tidak kawin sebelumnya. Sedangkan sesuai Permenkes RI Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran menyatakan bahwa Pasien dianggap kompeten berdasarkan usianya apabila pasien dewasa yaitu telah berusia 21 ( dua puluh satu ) tahun

55 Veronica D. Komalawati, Peranan Inform Consent dalam Transaksi Terapeutik : Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridis, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.139

34

atau telah/pernah menikah dan Pasien telah berusia 18 tahun, tidak termasuk anak berdasarkan peraturan perundangan (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Menurut pendapat Penulis, batasan umur yang dikatakan kompeten/cakap atau dewasa untuk membuat suatu perjanjian terapeutik adalah pasien yang umurnya telah genap 21 ( dua puluh satu ) tahun dan sudah pernah menikah sebelumnya karena untuk menentukan hak pada subyek hukum harus berdasarkan Undang-Undang (KUH Perdata Pasal 330). Adapun bila pasien berusia 18 tahun, maka keputusan pasien harus mendapat arahan/bimbingan dari orang tua atau pengampu/wali dengan pengawasan dari dokter demi kebaikan perawatan medis dan meminimalisir resiko tanggung jawab hukum.

Tanggung jawab profesi kedokteran dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum.

Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.

Awalnya pola hubungan antara dokter dengan pasien bersifat paternalistik/vertikal yang mengedepankan hubungan kepercayaan, dimana dokter dan tenaga kesehatan lainnya dianggap paling superior (father know best), karena dokter dianggap paling tahu tentang seluk- beluk penyakit, sedangkan pasien dianggap tidak tahu apa-apa tentang penyakit tersebut dan menyerahkan sepenuhnya pada dokter. Hal ini disebut activity-passivity relationship, yaitu dokter dan pasien tidak terdapat adanya interaksi komunikasi karena pasien tidak mampu untuk memberikan kontribusi aktivitas pendapatnya, sehingga pasien tersebut menyerahkan sepenuhnya kepada dokter yang ia ketahui dan percaya akan bertindak sebagai bapak yang baik.

Hubungan activity passivity relationship dalam kepustakaan dilukiskan sebagai hubungan”...where there is no interaction between

physician and patient because the patient is unable to contribute activity. This is the characteristic pattern in an emergency situation when the patient is unconscious”56 Pada saat ini bentuk hubungan hukum ini bergeser ke bentuk yang lebih demokratis, yaitu hubungan horisontal kontraktual atau partisi- pasi bersama, hubungan hukum kesederajatan antara pasien dan dokternya, segala sesuatunya dikomunikasikan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini lazim disebut dengan informed consent of medical treatment atau persetujuan tindakan medis. Sehingga tuntutan kehati- hatian dan profesionalitas dari kalangan dokter semakin mengemuka. 57 Dokter yang melaksanakan profesinya di rumah sakit tidak saja berhubungan dengan pasien yang mampu menyatakan kehendaknya, akan tetapi juga berhubungan dengan pasien yang tidak mampu atau tidak mungkin memberikan partisipasi dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Oleh karena itu selain hubungan hukum didasarkan pada adanya perjanjian (ius contracto) atau kesepakatan yang dalam hukum merupakan sumber perjanjian, maka hubungan hukum tersebut dapat pula didasarkan atau bersumber pada undang-undang (ius delictoi).

Undang-undang yang memberi kewajiban kepada dokter dan tenaga kesehatan di rumah sakit untuk memberi bantuan perawatan/tindakan medis terhadap pasien yang tidak dapat melakukan perjanjian atau memberikan persetujuannya karena keadaan emergency atau darurat, misalnya pada kasus kecelakaan lalu lintas atau pasien yang tidak sadarkan diri dan harus segera dilakukan intervensi tindakan medis untuk menyelamatkan jiwa pasien. Pada Penjelasan Pasal 45 Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan “ Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan

56 Hermien hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran(Studi tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter sebagai Salah Satu Pihak), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 124

57 Syahrul machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 40

36

atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.

Namun, apabila pasien yang bersangkutan berada di bawah pengampu- an (under curatele) persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Dalam hal pasien adalah anak-anak atau orang yang tidak sadar maka penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarga- nya sedangkan tindakan medis medis harus dilakukan maka penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan pertama pasien sudah sadar”. Pada Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 menyatakan “ Pelayanan Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan program pemerintah tidak memerlukan persetujuan tindakan”.

Perjanjian antara dokter dengan pasien bersifat ikhtiar, yaitu dokter berupaya maksimal didasarkan pada keilmuan, ketrampilan, peralatan kedokteran serta peraturan yang ada di rumah sakit dalam rangka mengetahui penyakit, mengurangi penderitaan pasien terhadap penya- kit yang dideritanya (simptomatis), memperpanjang kualitas hidup (paliatif) maupun eradikasi sumber penyakitnya/penyembuhan pasien (kuratif). Perjanjian ini lazim disebut perjanjian ikhtiar (inspanning verbintenis). Maka dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit, namun perjanjian tersebut bersifat upaya atau usaha maksimal yang telah dilakukan oleh dokter tersebut.

Dari hubungan hukum tersebut diatas, maka menimbulkan konsekuensi berupa tanggungjawab hukum bagi dokter dan tenaga

kesehatan lainnya terhadap pasien yang mendapat tindakan medis di rumah sakit. Beban tanggungjawab tersebut timbul akibat adanya hak dan kewajiban antara dokter dan tenaga kesehatan yang melaksanakan tindakan medis terhadap pasien di rumah sakit.

Menurut Leenen58 sebagaimana dikutip oleh Danny Wiradharma, kewajiban dokter dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Kewajiban yang timbul dari sifat perawatan medik dimana dokter harus bertindak sesuai dengan standar profesi medis atau menjalankan praktik kedokterannya secara lege artis.

2. Kewajiban untuk menghormati hak-hak pasien yang bersumber dari hak-hak asasi dalam bidang kesehatan.

3. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan. Disini dokter misalnya harus mempertimbangkan penulisan resep obat-obatan yang harganya terjangkau dengan khasiat yang kira-kira sama dengan obat yang harganya lebih mahal.

Dokter dan tenaga kesehatan yang melaksanakan tindakan medis terhadap pasien di rumah sakit harus mengikuti standar pelayanan di rumah sakit tempat dokter dan tenaga kesehatan tersebut bekerja.

Standar tersebut merupakan pengaturan teknis klinis yang sifatnya lebih detail dan berpedoman pada standar pelayanan medis, standar praktik keperawatan, dan standar pelayanan rumah sakit itu sendiri sesuai dengan kondisi rumah sakit yang bersangkutan. Penamaan tentang standar pelayanan kesehatan untuk setiap rumah sakit berbeda-beda, ada yang menamakannya dengan standar dan prosedur tetap konsultasi medis, dan ada juga yang menggunakan nama prosedur tetap rumah

58 Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1996,hlm. 74

38

sakit. Masing-masing rumah sakit mempunyai standar pelayanan berbeda-beda, perbedaan ini sangat tergantung pada kondisi rumah sakit dan latar belakang pendidikan para staf medisnya. Penerapan standar ini dimaksudkan agar tenaga medis seragam dalam memberikan diagnosa , dan setiap diagnosa harus memenuhikriteria minimal yang terdapat dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan rumah sakit tersebut.

Profesi dokter merupakan kelompok fungsional yang bekerja atas dasar profesionalisasinya, tetapi secara administratif mereka adalah pegawai rumah sakit. Mereka dalam melakukan tugasnya digaji oleh pemerintah ataupemilik rumah sakit untukkeahlian profesionalnya.

Atas dasar hubungan kerja yang demikian, secara hukum perbuatan staf medis adalah tanggungjawab rumah sakit. Sebagai bawahan rumah sakit, tenaga medis tetap mempunyai otonomi profesi. Pimpinan rumah sakit sebagai atasan tidak berhak untuk memerintah seorang dokter agar melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan profesinya atau yang dianggap bertentangan dengan profesinya, misalnya melakukan abortus atau mengabulkan permintaan seseorang untuk euthanasia, sebab yang dapat memerintah seorang dokter untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang dianggap tidak profesional tersebut hanyalah profesinya. Namun demikian kemandirian dokter dalam melakukan tugasnya di rumah sakit perlu dikendalikan sesuai peraturan yang berlaku. Karena itu rumah sakit harus mempunyai standar atau prosedur operasional dan diorganisasikan melalui suatu kelompok yang dapat mengarahkan dan mengkoordinasi kegiatanseluruh tenaga medis.

Kelompok inilah yang dinamakan komite medis.

Komite medis mempunyai tugas membantu direktur rumah sakit menyusun standar pelayanan dan memantau pelaksanaannya, melaksanakan pembinaan etika profesi, mengatur kewenangan profesi anggota staf medis fungsional serta mengembangkan program pelayanan, pendidikan, pelatihan serta pengembangan. Hal ini untuk

mencegah terjadinya kelalaian medis yang akan merugikan pasien di rumah sakit.59

Apabila terjadi tindakan dokter dan tenaga kesehatan lainnya dianggap merugikan pasien di rumah sakit, maka rumah sakit mempertanggungjawabkan tindakan dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menjadi bawahannyatersebut kepada pasien, hal ini sesuai dengan Pasal 1367 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa per- tanggungjawaban karena kesalahan dalam gugatan perbuatan melawan hukum termasuk perbuatan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya. Dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 yang menyebutkan “ Rumah Sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang di- lakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit”. Hal ini dikenal dengan teori atau doktrin respondeat superior, dimana antara dokter dengan rumah sakit terdapat hubungan kerja sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Doktrin respondeat superior ini menyatakan bahwa atasan atau majikan bertanggungjawab atas hasil pekerjaan bawahan atau pekerja apabila pekerjaan tersebut dilakukan untuk memenuhi kepentingan atasan atau majikan. Oleh karena lembaga-lembaga derma bukan organisasi yang bertujuan mencari keuntungan, maka rumah sakit tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan bawahannya.

Dengan demikian, maksud Pengadilan untuk membatasi tang- gungjawab hukum rumah sakit dilandaskan atas kepentingan umum. 60 Hal ini mengandung makna bahwa seorang majikan adalah orang yang berhak untuk memberikan instruksi dan mengontrol tindakan bawahannya, baik atas hasil yang dicapai maupun tentang cara yang digunakan. Disamping itu dengan perkembangan hukum kesehatan dan kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit tidak dapat

59 Bahder Jihan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hlm. 46-47

60 Syahrul Macmud, Op.cit,hlm. 106

40

melepaskan diri dari tanggungjawab pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya atas perintahnya, termasuk apa yang diperbuat oleh tenaga medis sepanjang merupakan tugasnya.61 Pola Tanggungjawab tersebut terlebih dahulu harus ada hubungan kerja antara atasan dengan bawahan. Kecuali itu sikap tindakan bawahan haruslah dalam ruang lingkup pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hubungan kerja dianggap ada apabila atasan mempunyai hak untuk secara langsung mengawasi dan mengendalikan aktivitas bawahannya dalam melakukan tugas-tugasnya.62

Dalam kaitan antara hubungan dokter dan rumah sakit, Menurut Rietveld63 telah mencoba menyusun suatu kategori rumah sakit yang dikaitkan dengan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit serta pasien yang dirawat (baik di dalam maupun di luar rumah sakit).

Kategorisasi itu adalah sebagai berikut :

1. Rumah sakit terbuka (open ziekenhuis), yang merupakan suatu rumah sakit dimana setiap dokter secara bebas dapat merawat pasien-pasiennya secara pribadi. Keadaan denmikian dijumpai pada masa lalu, pada waktu rumah sakit masih terlindung oleh doktrin charitable community;

2. Rumah sakit tertutup (gesloten ziekenhuis), yaitu suatu rumah sakit dimana yang bekerja disitu adalah tenaga kesehatan (terutama tenaga medis) yang telah diizinkan oleh rumah sakit, izin tersebut tercantum dalam suatu kontrak (toelatingscontract);

3. Rumah sakit tertutup mutlak (volkomen gesloten ziekenhuis), yang merupakan rumah sakit yang hanya memperkerjakan tenaga kesehatan yang telah membuat kontrak kerja (arbeidscontract) dengan rumah sakit.

61 Ibid,hlm. 72

62 Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadia Karya, Bandung, 1987,hlm. 141

63 Ibid, hlm. 139

Untuk mengajukan gugatan terhadap sebuah rumah sakit, dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan alasan berdasarkan melakukan perbuatan melawan hukum, maka harus dipenuhi 4 (empat) unsur sebagai berikut :64

1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodik kepada dokter atau tenaga kesehatan yang bersangkutan;

2. Majikan atau dokter mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang harus ditaati oleh bawahannya;

3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan;

4. Ada kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, di mana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien.

Keterbatasan pasien dan keluarganya karena kekurangpahaman tentang diagnosa dan terapi yang telah dilakukan dokter pada dirinya, akan sangat menyulitkan untukpasien ataukeluarganya dalam melaku- kan gugatannya. Maka demi melindungi kepentingan pasien tersebut para pakar hukum mengusulkan adanya pembuktian terbalik, dokterlah yang harus membuktikan bahwa diagnosa dan terapi yang telah dilakukannya tidak salah. Cara lain dnegan penerapan doktrin “Res ipsa loquitor”, doktrin ini bertitik tolak pada “The think speaks for it self” yaitu fakta-fakta sudah berbicara sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.65

64 Bahder Johan Nasution, Op.cit,hlm.16

65 Syahrul Macmud, Op.cit.hlm, 109

42

C. Standar Ukur Perawatan Medis yang Baik di Rumah Sakit Menurut Catherine Tay Swee Kian66, pemikiran modern tentang etika biomedis dalam memberikan perawatan medis yang baik terhadap pasien didasarkan pada asas-asas sebagai berikut :

a. Asas Otonom ( Autonomy ) yaitu menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional setelah diberikan informasi yang adekwat sesuai dengan kondisi penyakitnya dengan memperhatikan aspek mental/psikis- sosial ekonomi-edukasi-kultur, sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri ( self determination ).

b. Asas Murah hati ( Beneficence ) yaitu menganjurkan dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam memberikan pertolongan kepada pasiennya.

c. Asas tidak menyakiti ( Non Maleficence ) yaitu dalam melakukan pengobatan terhadap pasien, dokter hendaknya mengupayakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut.

d. Asas Keadilan ( Justice ) yaitu Dokter dalam memberikan perawatan medis kepada pasien dilakukan secara adil, tidak diskriminatif / tidak memandang status sosial ekonominya.

e. Asas Kesetiaan ( Fidelity ) yaitu Dokter harys dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepada dirinya.

f. Asas Kejujuran ( Veracity, Honesty ) yaitu menghendaki adanya kejujuran dari para pihak baik dokter maupun pasiennya.

Pelayanan kesehatan di rumah sakit tentunya mempunyai standar ukur sehingga dapat menjamin mutu layanan demi keselamatan pasien.

Standar ukur pelayanan dapat mencakup tentang standar dokter dalam

66 Catherine Swee Kian, Op. Cit, hlm. 34-40

menjalankan profesinya yaitu standar profesi dan standar pelayanan profesi medis, maupun standar pelayanan fasilitas rumah sakit tersebut yaitu berupa standar prosedur operasional. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 58 ayat (1) huruf a menyebutkan “ Tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi , Standar Prosedur Operasional dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan”.

Dan pada Pasal 66 ayat (1) menyebutkan “Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi dan Standar Prosedur Operasional”. Pada Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 menyebutkan “Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien”.

Walaupun dokter dalam memberikan pelayanan medis/tindakan medis di rumah sakit mempunyai otonomi profesi, tetapi kemandirian dokter berdasar otonomi tersebut tetap harus dipagari oleh peraturan yang berlaku yaitu standar pelayanan medis dan standar prosedur operasional.67 Komalawati memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang digunakan adalah standar pelayanan medik yang terutama dititik beratkan pada proses tindakan medik. 68

Standar profesi dalam bentuk standar pelayanan medik ini juga harus dipakai acuan oleh rumah sakit, karena standar prosedur

67 Bahder Johan Nasution, Op.cit, hlm. 41

68 D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktik Kedokteran, PT.

Pustaka Sinar, Jakarta, 1989, hlm. 177

Dalam dokumen DALAM TINDAKAN MEDIS DI RUMAH SAKIT (Halaman 39-82)