perkawinan. Sehingga, rukun perkawinan yang dirumuskan bertahun-tahun silam oleh para ilmuan hukum Islam bisa bertambah dan bisa berkurang, sesuai dengan tingkat kebaikan dari sebuah masyarakat.55 Jika masyarakatnya negara bangsa atau negara modern, maka pola-pola perkawinan yang ideal bagi ajaran agama, kemaslahatan dalam berbangsa dan bernegara, dan ajaran hukum adat atau nilai-nilai luhur bangsa Indonesia harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
(hubungan horizontal antar sesama manusia dan alam/
قولمخ وا لماعلا و سانلا نم لبح), maupun dalam mebangun harmonisitas dengan sang Pencipta (hubungan vertikal/
قلاخ وا للها نم لبح). Kesepakatan para ulama tentang persolan itulah yang dikenal sebagai Ijma’ dalam tradisi hukum Islam. Pada awalnya, konsep atau gagasan tentang Ijma ini muncul dari inisiasi dan ijtihadi para shahabat, dan kemunculannya dipicu oleh beragamnya persoalan sosial masyarakat dan keagamaan yang muncul setelah meninggalnya Rasulullah Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, persoalan keagamaan dan sosial masyarakat Islam terus berkembang dan semakin hari semakin kompleks, yang mengharapkan ada jawaban dan solusi yang konstruktif terhadap persoalan sosial masyarakat dan keagamamaan yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Sebelum Rasulullah Muhammad SAW wafat, seluruh persoalan sosial masyarakat dan keagamaan umat Islam diserahkan sepenuhnya kepada Rasulullah Muhammad SAW, baik dalam persoalan legislasi, yudikasi, eksekusi, dan lain sebagianya.56
Melihat kopleksitas persoalan masyarakat yang muncul setelah Rasulullah Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat kemudian menyelesaikan dan menjawab berbagai persoalan dan pertanyaan sosial masyarakat dan keagamaan masyarakat Islam berdasarkan Alquran dan Sunnah. Apabila ada persoalan sosial masyarakat dan pertanyaan keagamaan yang tidak itemukan dalam
56 Murdan, “Hukum Islam dalam Kerangka Hukum Masyarakat Modern”, dalamPetita: Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 1 Nomor 1, April 2016, hlm. 15-31.
Alquran dan Sunnah, para sahabat merundingkan persoalan tersebut, dan dalam perundingan atau musyawarah mufakat itu muncul kesepatan bersama tentang persoalan sosial masyarakat dan keagamaan yang dipertanyakan tersebut. Kesepakatan para sahabat itulah yang awalnya disebut sebagai Ijma. Seiring waktu, Ijma terus mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga terjadi kesimpang siuran sendiri atau perbedaan pendapat dari cendikiawan muslim tentang Ijma itu sendiri. Ketika masyarakat Islam beragama dengan semangat hegomoni Mazhab Fikih, Ijma pun ditafsirkan sebgai Ijma para Ulama Fikih. Ketika masyarakat Islam hidup dalam negara modern yang bercorak negara bangsa (nation state), masyarakat Islam membetuk institusi khusus yang bernama Majlis Ulama, yang di Indonesia sendiri dikenal dengan Majlis Ulama Indonesia, dan mengeluarkan produk ijtihadi yang disebut sebagai Fatwa Majlis Ulama Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, puluhan tahun terakhir terjadi pergeseran arti dari kata ulama, lebih-lebih setelah masa Reformasi yang sangat identik dengan liarnya sistem politik di Indonesia. Kata ulama ditujukan hanya kepada orang-orang yang paham ajaran agama, dan memiliki jamaah pengajian di Masjid atau Pesantren. Tentu pergeseran makna ini cukup disayangkan.57 Jika kata ulama digali dari
57 Munurut Muhyar Fanani, penyempitan kata ulama itu sangat disayangkan, karena akan berimlikasi terhadap produk ijtihadi. Jika yang diartikan para ulama hanya sebatas pada ahli agama, maka sudah pasti bisa ditentukan bahwa produk ijtihad yang dihasilkan pasti tidak akan nyambung dengan perkembangan masyarakat Islam yang sangat cepat ini, lebih-lebih di era yang super kompleks persoalan sosial masyarakat dan keagamaan hari ini, dan ditambah oleh pluralitas masyarakata Islam
hadis yang mengatakan bahwa ulama merupakan pewaris para nabi (ءايبنلأا ةثور ءامملعلا ), maka dapat dikatakan bahwa ulama tidak saja sebatas pada pewaris nabi ya’kub semata yang terkenal dengan sufistik dan kesabarannya. Namun orang yang paham ajaran agama, taat menjalani ajaran agama, dan ahli dalam bidang tehnik, juga merupakan ulama, karena dia mewarisi ilmunya nabi Nuh yang terkenal sebagai nabi tehnik perkapalan. Begitu juga bagi orang yang paham ajaran agama, taat menjalaninya, dan ahli dalam bidang peternakan dan pertanian, lebih-lebih sukses menjadi pebisnis besar seperti Rasulullah dan para Sahabatnya, maka layak dikatakan sebagai ulama yang mewarisi Sunnah Nabi Muhammad dan Nabi-Nabi lainnya.
Singkatnya, sesorang layak untuk dikatakan sebagai ulama atau Tuan Guru, setidaknya yang bersangkutan harus memiliki beberapa kriteria: Pertama, harus paham ajaran agama Islam. Ajaran pokok agama Islam ada di Al-Quran dan Al-Hadis, karena Al-Quran dan Hadis Bahasa Arab, maka yang bersangkutan wajib dan harus fasih dan paham bahasa Arab. Kedua, taat kekada ajaran agama Islam. Ketiga, harus ada ilmu para nabai dan rasul yang diwarisi, dan ilmu itu mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
yang disokong dan dimanjakan dengan berbagai lompatan keilmuan dan tehnologi masyarakat global hari ini. Untuk tetap menjaga adaptabilitas kata Ulama, Fanani lebih setuju jika kata ulama diartikan berdasarkan pandangan Syahrur, yang mengatakan bahwa Ijma bagi masyarakat modern adalah kesepakatan manusia modern dalam berbagai majlis dalam menyetujui atau bersepakat tentang hukum yang akan dipilih dan diberlakukan bersama-sama, baik majlis dalam bentuk perwakilan, parlemen, komunalistik dan lain sebagainya. lihat Fanani, Fiqh Madani:
Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: Lkis, 2010), hlm.
214-215.
umat manusia dan alam semesta.58Melalui kriteria ini, maka generasi Tuan Guru Sasak akan mampu mencetuskan para filsuf baru seperti Alfarabi baru, Ibnu Sina baru, Ibnu Rush baru, Ibnu Khaldun baru, Al-Ghazali baru.Dalam hukum Islam akan dapat menghasilkan Imam Hanafi baru,Imam Maliki baru,Imam Syafii baru, dan Imam Hambali baru, dan lain sebagianya. Dalam Ilmu Hadis akan menghasilkan Imam Bukhari baru, Imam Muslim baru, Sunan Ibnu Madjah, Sunan Abu Daud, Sunan Nasai, Sunan Tirmidzi, dan lain sebagainya.