• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Hukum Qishâsh di Indonesia

دوادوبأَهاورَ(

C. Implementasi Hukum Qishâsh di Indonesia

99

dan beradab, sesuai dengan pancasila. Hanya Allah SWT yang boleh mencabut nyawa seseorang, jika hakim salah dalam menjatuhkan hukuman maka tidak dapat diperbaiki lagi. Masyarakat yang menolak adanya hukuman mati atau qishâsh juga mengatas namakan Hak Asasi Manusia, salah satu cara mereka adalah mengampanyekan anti hukuman mati dengan istilah HATI (Himpunan Anti Hukuman Mati).

Namun menurut Ahmad Zahro (guru besar hukum Islam), sangat muskil jika alasan pembela Hak Asasi Manusia menolak hukuman mati, karena sadar atau tidak sesungguhnya mereka hanya membela hak yang bersalah (pembunuh) dan mengabaikan hak asasi manusia yang dibunuh.72

Pihak yang pro hukuman mati menganggap bahwa hukuman mati pantas dijatuhkan kepada penjahat yang sadis dalam melakukan aksinya, karena jika tidak dihukum mati ia akan mengulang kejahatannya. Keberadaan pidana mati itu setimpal dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dan dapat menimbulkan jera bagi masyarakat, sehingga pidana mati masih relevan untuk dilaksanakan.73

Namun pokok pikiran tentang dasar pemidanaan sampai saat ini tetap merupakan ajaran yang paling sulit di dalam hukum pidana.

Saat ini penegakkan hukum masih jauh dari jangkauan perasaan keadilan masyarakat. Selain itu, keberadaan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia beberapa kalangan masyarakat masih merasa perlu diterapkan. Karena keberadaan hukuman mati adalah bagian dari upaya pencegahan kejahatan bukan sebagai pembalasan dendam.74

72 Ahmad Zahro, Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2017), Cet. I, h. 324

73 Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia, Cet. I, h.105

74 Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia, Cet. I, h. 110

Opini publik seringkali menjadi faktor penentu dari keputusan, apakah suatu negara akan mempertahankan, mengahapus, atau memberlakukan kembali pidana mati. Langkah-langkah kebijakan hukum tanpa disertai dukungan publik akan merusak kepercayaan terhadap hukum dan kemungkinan akan memicu pembalasan pribadi serta dianggap anti demokrasi apabila undang- undang mengabaikan sentimen publik yang kuat. Kebijakan hukum semacam ini tidak lepas dari ideologi politik dan sumber dari mana kepercayaan terhadap kewenangan hukum berasal.

Negara Timur Tengah dan Afrika Utara, kegigihan untuk mempertahankan pidana mati karena berpegang pada firman Allah yang jelas dalam Al-Qur`an. Sebaliknya di negara-negara demokrasi liberal parlementer Barat dimana hukum didasarkan atas mandat yang diberikan pada wakil-wakil yang dipilih rakyat. Beberapa negara bagian Amerika Serikat (Oregon, California) penentuan tentang kebijakan pidana mati dilakukan dengan referendum. Ada juga yang melakukannya melalui survey seperti negara Jerman dan Spanyol pada saat menentukan pidana mati bagi teroris disertai kekerasan.75

Menurut Tina Asmarawati (ahli hukum), pada hakikatnya penerapan hukuman mati tidak sebagai tujuan pokok untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Hukuman mati saat ini diupayakan sebagai sarana terakhir terhadap pelaku setelah melalui pertimbangan-pertimbangan hukum. Pemerintah Indonesia masih tetap menerapkan sanksi tersebut, walaupun mendapat protes dari beberapa pemimpin dunia maupun pengamat Internasional. Selain

75 Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia, Cet. I, h. 57

101

itu, hukuman mati juga bertentangan dengan pasal 28 A dan terutama pasal 281 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Dari ketidak seimbangan di atas dapat dikatakan Indonesia pada saat ini ambigu.76

Maka dari itu, harus diketahui apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat implementasi hukum qishâsh di Indonesia secara jelas. Berikut terdapat beberapa alasan dari faktor pendukung implementasi hukum qishâsh di Indonesia diantaranya;

1. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Islam dan Eksistensi Hukum Islam di Indonesia

Fakta dan sejarah bahwa jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda menginjakkan kaki di Indonesia, telah terbentuk masyarakat Islam yang kuat. Dibeberapa daerah di Indonesia, Islam bukan saja menjadi agama yang resmi tetapi merupakan hukum yang berlaku.

Sejumlah konsep tindak pidana dan sanksinya telah diterapkan di wilayah-wilayah Indonesia saat itu. Namun ketika Belanda datang, politik hukum Belanda mulai secara padu hendak menyingkirkan hukum Islam dari masyarakat Indonesia.77

Berdasarkan fakta sejarah ini, maka upaya implementasi hukuman qishâsh bukan suatu yang baru. Justru merupakan upaya melanjutkan perjuangan ulama dulu dalam bidang hukum.

2. Banyaknya Dukungan terhadap Upaya Revisi KUHP

Kehadiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang ideal sangat ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karenanya upaya pembaruan dan penyempurnaan

76 Asmarawati, Hukuman Mati dan Permasalahannya di Indonesia, Cet. I, h. 121

77 Paisol Burhan, Implementasi Hukum Qishash di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 106

KUHP tersebut terus dilakukan untuk mengganti KUHP warisan kolonial Belanda. KUHP yang berlaku sekarang dianggap tidak memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat dan peradabannya yang sudah sangat jauh berbeda.78

3. Kuantitas Umat Islam Indonesia

Umat Islam Indonesia adalah unsur paling mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar. Berkaitan dengan jumlah mayoritas Islam dan kaitannya dengan gagasan transformasi hukum qishâsh di Indonesia, juga dapat dilihat dari segi ilmu negara.

Dijelaskan bahwa bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi.79

Adapun beberapa faktor penghambat implementasi hukum qishâsh di Indonesia adalah;

1. Kurang Kuatnya Political Will di Kalangan Elit Islam

Menurut Amin Suma (Guru besar ilmu fikih) hukum pidana adalah produk politik, oleh karena itu harus ada kemauan politik dalam mekanisme program legislasi nasional. Mereka adalah pelaku politik yang beragama Islam ditingkat birokrasi pemerintah dan lembaga legislatif.

Hukum tidak bisa lepas dari kekuasaan, karena hukum dibuat oleh penguasa dengan tujuan utamanya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat, dan mengatur bagaimana para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Berkaitan dengan kekuasaan, Indonesia dengan mayoritas sebagiannya adalah para ulama dan pakar hokum, mereka menduduki berbagai jabatan strategis dalam

78 Paisol Burhan, Implementasi Konsep Hukum Qishâsh di Indonesia, h. 118

79 Paisol Burhan, Implementasi Konsep Hukum Qishâsh di Indonesia, h. 127

103

bidang politik, namun suara untuk memperjuangkan hukum qishâsh dan diat dalam hukum pidana nasional dikatakan jarang terdengar dari mereka. Padahal angka kematian akibat kriminalitas semakin meningkat.80

2. Kekhawatiran terhadap Disintegritas Bangsa

Faktor kekhawatiran terhadap disintegritas bangsa juga menjadi penghambat implementasi qishâsh. Alasannya karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku dan agama. Dalam masyrakat Islam sendiri masing-masing daerah terkadang mempunyai kondisi berbeda yang menyebabkan upaya pengintegrasian pidana qishâsh kedalam hukum nasional masih harus diseleksi di antara hukum pidana Islam lainnya.

3. Kendala Efektifitas Hukuman Mati di Indonesia

Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukuman mati tidak dapat dilaksanakan secara efektif menurut undang-undang. Hal itu disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan hak kepada terpidana mati untuk melakukan upaya hukum tertinggi yaitu kasasi hingga peninjauan kembali. Proses upaya hukum itu memerlukan waktu lama bahkan bertahun-tahun. Sedangkan ketentuan undang- undang menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati baru dapat dilaksanakan setelah 30 hari dari keputusan berkakuatan hukum tetap dan tidak memungkinkan lagi ada upaya hukum lain.81

Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia bisa menyebabkan tujuan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai.

80 Paisol Burhan, Implementasi Konsep Hukum Qishâsh di Indonesia, h. 146

81 Paisol Burhan, Implementasi Konsep Hukum Qishâsh di Indonesia, h. 154

Terlepas dari itu semua, penerapan hukum qishâsh di Indonesia, umat Islam Indonesia dituntut kearifannya untuk bisa mempertimbangkan secara proporsional berbagai aspek mengenai nilai positif (mashlahat) maupun nilai negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi sebagai konsekuensi dari masing-masing pendapat.

Tujuannya adalah agar bentuk pemberlakuan hukum pidana qishâsh yang nantinya dipilih, dapat benar-benar mencerminkan dan sekaligus berada dalam koridor mashlahat bagi kehidupan manusia, khususnya bangsa Indonesia.82

Hal ini mengingat esensi dari tujuan disyariatkan hukuman qishâsh adalah untuk menciptakan kemashlahatan dan mencegah kerusakan kehidupan manusia.