BAB II PEMBAHASAN DAN ANALISIS
D. Implementasi WasiatWajibah
96
pelaksanaan sistem pembagian tirkah (harta peninggalan) pada ruang lingkup kekerabatan yang lebih luas. Metode yang ditawarkan dalam melengkapi beberapa kasus yang terjadi dalam hukum waris, maka Allah mensyari‟atkan manusia untuk melakukan wasiat, suluh dan hibah. Posisi wasiat, suluh dan hibah bertujuan untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, Penulis akan memjabarkan tentang wasiat, suluh dan hibah perspektif hukum Islam dan implementasinya di Indonesia.
97
Dalam wasiat sebagaimana dalam kitab-kitab fiqih maupun para pakar hukum Islam adalah mempunyai maksud yang sama dengan menentukan syarat dan rukun dalam wasiat, adapun syarat dan rukun wasiat adalah sebagai berikut:
1. Orang yang memberi wasiat (Mushi)
Dalam hukum Islam, orang yang berwasiat disyariatkan agar seorang Mushi hendaknya mempunyai kesanggupan untuk melepaskan hak milik kepada orang lain. Dengan ketentuan syarat mushi yaitu: baligh (dewasa), berakal sehat (aqli), bebas menyatakan kehendaknya merupakan tindakan tabarru‟ (sukarela) dan beragama Islam.109
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih Sunnah menyatakan bahwa orang yang berwasiat itu disyariatkan agar yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini berdasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelainan.110
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 194 Ayat 1 mensyariatkan pewasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan dari pihak lain.24 2. Orang yang menerima wasiat (Musha Lahu)
2022
109M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama dan Menurut Undang- Undang Hukum Perdata (BW) (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1992), 140.
110Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,242
98
Para ulama‟ mazhab sepakat bahwa penerima wasiat adalah mereka yang bukan termasuk dalam golongan ahli waris dari si mayit (Mushi), kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya.111
Dalam hadis ini meskipun khabar ahad, akan tetapi diterima oleh para ulama dan disepakati oleh orang banyak.
3. Barang atau Sesuatu yang diwasiatkan (Musasbihi)
Dalam mushbih terdapat syarat harta yang diwasiatkan, yaitu:
a. Objek yang diwasiatkan bisa berupa semua harta yang nilai, baik berupa barang ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau kesenangan.
b. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi separtiga dari harta peninggalan/warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujinya.
c. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakanhak dari pewaris.
d. Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
e. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benta ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu
f. Harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, karena suatu sebab yang sebelum terjadi yang kerusakan atau penyusutan
111Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih lima Mazhab, 507
99
mengalami sah meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.112
Dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemikiran setelah pemberi wasiat mati, maka sah wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat.
Dan sah pula wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina, sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan.113
4. Ucapan Wasiat (Sigot)
Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Rofik, bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (sigot) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat, dan bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu sharih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan jawaban (qabul) penerima secara langsung. Sementara hibah memerlukan adanya jawaban penerima dalam suatu majlis.
Wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami, akan tetapi menurut ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali ketentuan ini hanya bisa diterima apabila orang yang berwasiat bisu dan tidak bisa tulis baca. Apabila yang berwasiat mampu tulis baca,
112Muhammad Jawad Mugniyah,Fiqih lima Mazhab,113-115
113Sayyid sabiq, Fiqih Sunnah, 243
100
maka wasiat melalui isyarat tidak sah. Setelah, ulama Mazhab Malik dan Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipin orang yang berwasiat mampu untuk berbicara dan
Dalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyariatkan bahwa orang yang menerima wasiat bukan salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris lainnya membolehkannya.114
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahui bahwa hak manusia dalam wasiat dibatasi, yakni separtiga harta peninggalan mayit, dengan nash hadits Nabi SAW., “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak,” Maka, ukuran wasiat adalah sepertiga.
Implementasi wasiat wajibah ini didasarkan kepada firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat Al-Mai‟idah: 106 “
اَََذ ِِا َنْ ثا ِةَّي ِصَوْلا َين ِح ُتْو َمْلا ُمُكَد َحَأ َر َضَح اَذِإ ْمُكِن ْيَ ب ُةَداَه َش او ُنَمآ َنيِذ َّلا ا َهُّ يَأ ا َي ُةَبي ِصُم ْمُكْتَ با َصَأَف ِضْرَْلْا ِفِ ْمُتْ بَر َض ْمُت ْ نَأ ِِْإ ْمُكِْيَْغ ْنِم ِِاَرَخآ ََْأ ْمُكْنِم ْدََ
ِتْو َمْلا
( :ةدئالما 301 )
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedangkan ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlaianan agama dengan dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu di timpa bahaya kematian..115
114Ahmad Kamil dan M.Fauzan, Hukum Perlindungan dan pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta, Raja Wali Pres, 2010), 75
115Departen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta, Serajaya Sentra,
101
Dalam QS. Al-Baqarah: 180 telah dijelaskan yang artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan hata yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-oran yang bertakwa”.116
Dalam QS. An-Nisa‟: 11 juga telah dijelaskan yang artinya :
“(Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Bijaksana”.
Di antara orang yang berhak menerima wasiat wadibah ada dua macam adalah sebagai berikut :
a. Anak Angkat (At-Tabanny)
Allah SWT menegaskan tentang persoalan anak angkat kepada Rasulul-lah SAW, agar beliau tidak mengikuti kaum musyrikin, tidak menghiraukan gangguan mereka sampai ada petunjuk dari Allah SWT. Penegasan itu disampaikan setelah menyatakan Al-Quran adalah wahyu Ilahi yang bersumber dari Tuhan pemilik semesta alam, dan agar beliau istiqomah, tidak meragukan Al-Qur‟an. Bertakwalah kepada Allah, tidak patuh kepada ajakan kaum kafir dan munafik, serta mengikuti secara
1988), 180.
116Departen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, 44
102
sungguh-sungguh wahyu yang diturunkan Allah itu.117 Kemudian Allah mengatur tentang hukum yang tegas tentang anak angkat yang sudah dikenal di kalangan bangsa Arab Jahiliyah, dengan sebutan “at-tabanny”. At-tabanny sama dengan adopsi, dan anak yang diadopsi diperlakukan persis sama dengan anak kandung.
Ketegasan hukum at-tabanny dalam Islam atas dasar al- Quran, berupa adanya ketidak bolehan memberlakukan at-tabanny seperti anak kandung dilihat dari sudut pandang dalil al-Qur‟an, dalam al-Quran dimuat beberapa ayat yang memerintahkan orang Islam untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya,118 Ayat yang menghapuskan kedudukan anak angkat seperti anak sendiri dinyatakan dalam QS al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
ََ ِ ِفْوَج ِفِ ِْينَ بََْ ق ْنِم لُجَرِل ُ ََّلا َلَََج اَم َّنُهْ ن ِم ََُِرِها َُِا ي ِئ َِّلا ُم ُكَجاََْزَأ َل َََج ا َم
َّ َْلْا ُ و ُقَ ي ُ ََّلاََ ْمُكِهاَوْ فَأ ِب ْمُكُلْو َ ق ْم ُكِلَذ ْمُكَ ا َنْ بَأ ْمُكَ ا َيَِْدَأ َل َََج ا َمََ ْمُكِاا َهَّمُأ َليِب ََّلا قِد ْهَ ي َو ُهََ
ََّلا َد ْنَِ َُ ََْقَأ َو ُه ْمِهِئا َب ِب ْمُهو َُْدا . ْمُهَ ا َبآ او ُمََََْ ا َْْ ِِْن َف ِ
ا َم ْن ِكَلََ ِ ِب ُْ ْأ َ ْخَأ ا َميِف ٌها َنُج ْمُكْي ََََ َنْي َلََ ْمُكيِلاَو َمََ ِنيِّد لا ِفِ ْمُكُناَوْخِن َف اىميِحَر اىروُفَغ ُ ََّلا َِاَكََ ْمُكُبوَُُ ق ْتَدَّمَََ ا .
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) (4); Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
117 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati. 2002), vol. 11, hlm.
215-216.
118 Q.S. Al-Nisâ: 59, Q.S. Al-Nûr: 51, Q.S. Al-Hasyr: 7, Q.S. Al-Nisâ: 80.
103
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada do- sanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Pe-nyayang (5).
(Q.S. Al-Ahzab:4-5)
Surat al-ahzab ayat 4-5 di atas, membatalkan adopsi Nabi itu, dan semua adopsi yang dilakukan masyarakat muslim. Dengan turunnya ayat ini, Nabi Muhammad SAW. memperingatkan kepada semua orang agar tidak mengaku Mempunyai garis keturunan dengan satu pihak padahal hakikatnya tidak demikian.
Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qardhawi berpandangan bahwa mengangkat anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat adalah haram. Apalagi apabila pembagian warisan bagi anak angkat disamakan dengan anak sendiri.119 Maksudnya adalah mengaku-ngaku bapak yang bukan bapaknya.
Sedangkan memelihara anak orang lain atau anak yatim tentu saja perbuatan mulia, namun memposisikan anak angkat menjadi ahli waris adalah suatu hal yang bertentangan dengan ketentuan nash.
Seluruh ulama tafsir dan ulama fikih sepakat bahwa anak angkat dibolehkan hanya sebatas pemeliharaan, pengayoman, dan pendidikan, kecuali dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung. Sedangkan dalam konteks Indonesia, pengaruh hukum Adat lebih kental, yakni meskipun masyarakat mayoritas beragama
119 Yusuf al-Qaradhawi, al Halâl Wal Harâm fil Islam (Beirut: al Maktab al Islami.
1994), hlm. 206-209.
104
Islam, tetapi dalam masalah anak angkat kebanyakan lebih memilih adat dengan meninggalkan ketentuan nash-nash syara‟ di atas.
Dalam praktiknya anak angkat di Indonesia sama dengan masyarakat jahiliyah Arab, diperlakukan sebagai anak sendiri. Dan dengan dalih si anak banyak berjasa memelihara orang tua angkatnya, maka yang dipakai adalah fiksi hukum tersebut, kemudian diberi porsi wasiat wajibah dari harta warisan.
Sebaliknya dalam putusan-putusan pengadilan negeri, anak angkat sama dengan anak sendiri, atas dasar hukum Adat; sekalipun semua pihak beragama Islam. Dalam hal ini telah terjadi “titik singgung”
yang berkepanjangan dalam menyelesaikan sengketa harta warisan bagi anak angkat antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Dalam fiqih Islam, wasiat wajibah umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar„i tidak memperoleh bagian dari jalur farâ‟idh. Namun di sisi yang lain, keempat imam mazhab mengharamkannya jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris. Mengacu kepada nash-nash dan tafsir di atas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 209 KHI, sesuai dengan teori mashlahah al-ummah, maka anak angkat dapat memperoleh bagian sebagai wasiat wajibah dari harta warisan dengan rekonstruksi pemikiran hukum Islam sebagai berikut:
105
1) Bahwa dalam Islam, anak angkat “dibolehkan” sebatas pemeliharaan, pengayoman, dan pendidikan; dan „dilarang‟
memberi status sebagai layaknya anak kandung. Kalimat ini hendaklah dimuat dalam pertimbangan hukum, setiap putusan/penetapan pengangkatan anak oleh pengadilan agama.
2) Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) harta orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila orang tua angkatnya tidak meninggalkan wasiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibah. Besarnya wasiat wajibah tersebut tidak boleh melebihi bagian ahli waris. Bila harta orang tua angkat hanya sedikit, belum memadai untuk mensejahterakan ahli warisnya, maka tidak ada wasiat wajibah untuk anak angkat;
memaksakan wasiat atau wasiat wajibah kepada anak angkat yang telah dilarang oleh Allah SWT memperlakukan sebagai anak sendiri, sama saja dengan menentang hukum Allah.
Berdasarkan uraian di atas, maka pe-nulis dapat merumuskan bahwa pemberian harta warisan kepada anak angkat dengan menggunakan konsep wasiat wajibah ke da-lam KHI, pada umumnya bukan didasarkan kepada landasan syari„at (qath„iy al-dilâlah), tetapi lebih didasarkan kepada logika hukum dan
106
pertimbangan kemanusiaan ahli waris untuk memberikan sebagian harta waris ke-pada saudara atau anak angkat, meski secara syar„i hal tersebut termasuk zhanniy al-di-lâlah.
Sehingga memberian harta waris se-besar 1/3 dari harta waris kepada anak ang-kat dengan menyandarkan hukum kepada wasiat wajibah, merupakan ijtihad yang ke-liru, bertentangan dengan nash, dan dapat merugikan ahli waris utama.
3) Bahwa pemberian wasiat wajibah tidak boleh merugikan hak- hak dari ahli waris:120
ةرٍسح زاسرضلْا
ةرذز٘ىاب
ًسرَٝ :
ُأ رقٝ
صخرشىا ار قٗ
ٔبزّ اضٝ
ةذز٘ىا دٝدَى
ه٘رسسىا "
لّ
زسرض
ٗ لّ
زاسرض ٜرف
ًلاسلّا
"
خىا
Artinya: Haramnya merugikan ahli waris: seseorang diharamkan untuk memberikan wakaf yang dapat merugikan ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Islam tidak memudharatkan dan dimudharatkan.
b. Cucu Pewaris Yang Sudah Meninggal
Dalam Perspektif Fiqh Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara‟. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang
120 Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dâr al-Fikr. 1991), vol. III, hlm. 983.
107
meninggal dunia. Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru‟.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorangyang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa dikalangan mazhab Syafi‟i, Hanbali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia.121
Sebagaimana dimaklumi, berdasarkan pendapat jumhur fuqaha‟, bahwa mewasiatkan sebagian harta benda kepada
121 Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy. Fiqh Mawaris. (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra). hal. 262
108
seseorang keluarga dekat maupun jauh, tidak diwajibkan oleh syariat. Kecuali bagi orang yang mempunyai tanggungan hak orang lain yang tidak dapat diketahui selain oleh dia sendiri atau mempunyai amanat-amanat yang tidak diketahui orang (saksi).122 Abu Daud, Ibn Hazm dan Ulama salaf antara lai Ibn Jarir, Jabir bin Zaid, Qatadah, Thawus dan Masruq berpendapat bahwa wasiat wajibah tetap berlaku serta dapat diterapkan dan dilaksanakan ketentuannya terhadap mereka yang berhak menerimanya. Orang- orang yang berhak menerima wasiat wajibah adalah walidain dan aqrabin yang tidak termasuk/terkategori ahli waris.123 Adapun yang dimaksud aqrabin, menurut Ibn Hazm adalah mereka yang bertemu mayit dari jalur ayah yang mana darinya dapat diketahui bila dinasabkan. Begitu juga dari jalur ibu yaitu orang yang bertemu mayit dari jalur ibunya yang mana darinya bisa diketahui bila dinasabkna kepadanya, karena mereka semua menurut bahasa disebut kerabat dan selain mereka tidak diperbolehkan disebut kerabat dengan tanpa dasar.124
Pada dasarnya memberikan wasiat itu adalah suatu tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri, dalam keadaan bagaimanapun juga penguasa maupun hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan
122 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 63
123 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, hal. 164.
124 Abu Muhammad Aliy Ibn Hazm, al-Muhalla bi al-As|ar Jilid VIII, hal. 353.
109
wasiat.125 Sebagaiamana penjelasan di atas para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum wasiat akan tetapi menurut mayoritas Ulama hukum wasiat adalah tidak fardhu „ain (kewajiban individu).
Berbeda dengan mayoritas ulama, Abu Daud, Ibn Hazm dan Ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardu ain.126 Menurut Ibn Hazm hukum wasiat adalah wajib bagi setiap orang yang meninggal dan meninggalkan harta sebagaimana diriwayatkan oleh Malik dari Nafi‟ dari Ibn Umar:
اٍَ
قَح ئِسٍْا ٌِيْسٍُ
َُٔى ء َْٜش
ِٜصُ٘ٝ
،ِِٔٞف ُثِٞهَٝ
َِِْٞحَيَْٞى َّلِّإ ُُٔحَِّٞصََٗٗ
ةَبُ٘حْنٍَ
َُٓدِْْع
Artinya: bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selam dua malam, kecuali wasiatnya telah dicatat di sisiNya.
(HR. Imam Bukhari)127
Orang yang meninggal dan belum meninggalkan wasiat maka fardhu hukumnya untuk mensadaqahkan sebagaian hartanya karena hukum dari pada wasiat adalah wajib.128 Kewajiban wasiat bagi seseorang sebagaimana menurut para ulama disebabkan keteledorannya dalam memenuhi hak-hak Allah SWT. seperti tidak menunaikan haji, enggan membayar zakat, melanggar larangan- larangan berpuasa dan lain sebagainnya telah diwajibkan oleh
125Fatchur Rahman, Fiqih Waris, 62.
126Ahmad rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 447.
127Abdullah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari jilid II, (Maktabah dahlan, 1070.
128Abu Muhammad Aliy Ibn Hazm, al-Muhalla bi al-As|ar Jilid VIII, (Bairut: Dar al- Kutub al-Alamiyyah, 2003), 349.
110
syari‟at sendiri bukan oleh penguasa atau hakim.129 Namun demikian penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu ketika orang yang meninggal lupa atau teledor dalam memberikan wasiat kepada orang yang seharusnya menerima harta wasiat darinya.130 Wasiat wajibah menurut Suparman Usman adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal dunia.131
Dikatakan wasiat-wasiat (wajib) disebabkan karena dua hal:
a. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan muncul unsur kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
129Fatchur Rahman, Fiqih Waris, 62.
130Fatchur Rahman, Fiqih Waris, 63.
131Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, 163.
111
b. Ada kemiripan dengan ketentuan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.132
Dasar hukum penentuan wasiat wajibah adalah kompromi dari pendapat pendapat ulama salaf dan khalaf, yang menurut Fatchur rahma jelaskan:
a. Kewajiban berwasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat-pendapat fuqaha‟ dan tabi‟in besar ahli fiqih dan ahli hadis, antara lain Sa‟id ibn Musyyab, Hasan al-Basry. Tawus, Ahmad, Ishaq ibn Rahawaih dan ibn Hazm.
b. Pemberian sebagian harta peninggalan si mayit kepada kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka yang berfungsi wasiat wajibah, bila si mati tidak berwasiat, ini diambil dari pendapat Ibn Hazm yang dinukil dari fuqaha‟
tabi‟in dan pendapat Ahmad.
c. Pengkhususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusaka kepada cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 dari harta peninggalan adalah didasarkan oleh pendapat Ibn Hazm.13353
Ketentuan wasiat wajibah di atas merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan ayat 180 surat al-Baqarah.
132Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 63.
133Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 447.
112
Sebagaimana ulama, dalam menafsirkan ayat tersebut berpendapat bahwa wasiat (kepada ibu-bapak dan kerabat) yang asalnya wajib, sampai sekarang pun kewajiban tersebut masih tetap dan masih dapat diberlakukan. Sedang sebagian ulama lain berpendapat bahwa ketentuan wasiat wajibah tidak dapat diterapkan dan dilaksanakan karena ketetapan hukum mengenai wasiat dalam ayat tersebut sudah di nasakh atau dihapus hukumnya baik oleh al- Quran maupun al-Hadis.134 Menurut beberapa ulama maz|ab seperti Imam Malik bahwa wajibnya wasiat kepada ahli waris sebagaimana penjelasan ayat 180 surat al-Baqarah di atas adalah sudah dihapus hukumnya dengan datangnya ayat mawaris dan juga hadits nabi yang sabit “tidak boleh berwasiat kepada ahli waris kecuali mereka ahli waris mengizini”.135 Pendapat Imam Malik ini sama dengan pendapatnya Hanafiyyah bahwa ayat tersebut sudah dihapus, tetapi para ulama berbeda pendapat dalam cara penghapusannya. Menurut sebagian ulama bahwa ayat tersebut dihapus dengan hadis nabi la wasiyyata li warisi saja, karena menurutnya terkadang al-Qur‟an bisa di hapus hukumnya dengan hadis mutawattir. Sebagian ulama lain berpendapat penghapusan ayat tersebut adalah dengan ayat mawaris dan hadis Nabi la
134Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih mawarits Hukum Kewarisan Islam, 164.
135Malik bin Anas, Hadis Muwatto‟ al-Imam Malik, (Bairut, Dar Ihya‟ at-Turas, 1985), 765.