Bila Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ditetapkan menjadi Perda RTRWP Riau, akan berdampak pada:
Pertama, pidana bagi masyarakat adat dan tempatan dan konflik berkepanjangan. Pasal 74 Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 Ayat 3 berbunyi: Dalam hal terjadi tumpang tindih terhadap pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum dengan izin usaha pemanfaatan ruang lainnya, maka fungsi peruntukkan pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan kondisi eksisting.
Ayat 4: Apabila terhadap izin usaha pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 telah memili- ki legalitas perizinan secara lengkap dan dapat membuktikan legalitas perizinannnya, maka penyelesaian tumpang tindih dilakukan dengan mendahulukan izin usaha pemanfaatan ruang sampai dengan selesai masa waktu berlaku perizinannya, dengan ketentutan:
a. Masa berlaku izin usaha pemanfaatan ruang tidak akan diperpanjang setelah berakhirnya masa perizinan dan pemanafaatan ruangnya akan digunakan untuk pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum
b. Apabila teradapat aktifitas diluar izin usaha pemanfaatan ruang, maka peruntukan pemanfaatan ruangnya digunakan untuk pusat pemukiman, fasilitas ossial dan fasilitas umum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagaimana bila di dalam korporasi HTI terdapat pemukiman (salah satunya pemukiman tua), fasos dan fasum?
Dengan ditetapkannya Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjadi perda, maka masyarakat dapat dipi- dana oleh UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 69 ayat 1 dinyatakan: Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Selain UU Penataan Ruang, masyarakat adat dan tempatan juga dapat dipidana dengan UU No 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat 3 menjelaskan setiap orang dilarang mengerjakan dan atau meng- gunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah ataupun merambah kawasan hutan.
Fakta dilapangan, konflik masyarakat adat dan tempatan telah berlangsung sejak korporasi HTI masuk ke lahan penghidupan dan kampung masyarakat. Salah satu contoh kasus di lapangan adalah konflik antara PT Rimba Rokan Lestari dengan masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Bengkalis.
Areal yang dibebankan izin milik PT RRL pada 1998 tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat, fasilitas umum bahkan kebun kelapa masyarakat yang sudah ditanam sejak tahun 1991. Sekira lima ribu warga dari 19 Desa di Kecamatan Bantan dan Kecamatan Bengkalis menolak kehadiran PT RRL karena ruang hidup masyarakat berupa pemukiman, rumah, perkebunan kelapa, karet, pinang, sagu dan sawit yang menjadi mata pencaharian mereka masuk dalam konsesi PT RRL.
Dalam catatan Jikalahari, selain konflik antara masyarakat Bengkalis dengan PT RRL, juga ada konflik antara masyarakat Kampar dengan PT Raja Garuda Mas Sejati (RGMS). Masyarakat Desa Lubuk Ogung di Pelalawan dan Desa Buluh Nipis di Kampar berkonflik dengan PT Raja Garuda Mas Sejati. Pasalnya, izin HGU yang dimiliki oleh PT RGMS adalah HGU Kakao dan Karet, namun dilapangan PT RGMS menanam kelapa sawit. PT. RGMS terbukti menanam akasia melalui pihak kedua sebagai kontraktor penanaman yaitu PT. Nusa Prima Manunggal selama dua kali tanam.
Setelah selesai panen akasia yang ke dua pada 2008, PT. RGMS menanam lahan tersebut dengan sawit, dan diduga PT. RGMS tidak memiliki HGU sawit dan amdal yang jelas. Dari 12.270 Ha luas HGU (kakao dan karet) yang didapat PT. RGMS, 5000 Ha merupakan Lahan masyarakat yang terbagi dalam 2500 Ha lahan Masyarakat Lubuk Ogung dan 2500 Ha Lahan Masyarakat Buluh Nipis. Oleh karena itu masayarakat ingin menuntuk perusahaan agar mengembalikan lahan masyarakat yang sudah dikelolanya.
Pidana penataan ruang dan pidana kehutanan bisa dihindari bila SK No 673/MENHUT-II/2014, SK 878/MENHUT-II/2014, SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/
PLA.0/5/2016 dan SK No 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. Menurut SK 903/MENLHK/SETJEN/
PLA.2/12/2016 merujuk pada putusan MK 45/PUU-IX/2011 dan 35/PUU-IX/2012.
Kedua, melegalkan praktik perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 55 korporasi sawit dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK 673 oleh Menteri Kehutan- an Zulkifli Hasan. Pada era Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melepaskan 7 kor- porasi sawit dari kawasan hutan paska terbitnya SK 903.
Dari 62 korporasi, sebelum menjadi APL ada 56,8 persen berada di kawasan HPK, sekitar 23,9 persen bera- da di kawasan Hutan Produksi Tetap (HP), sekitar 18,2 persen berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan 1,1 persen berada di kawasan Hutan Lindung.
Bila korporasi sawit berada di fungsi HPK lalu menjadi APL memang peruntukkannya pembangunan di luar kawasan hutan. Namun bila fungsi HP, HPT dan HL diubah langsung menjadi APL, bertentangan den- gan pasal 42 PP 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Perubahan fungsi kawasan hutan dalam fungsi pokok Hutan Produksi dapat dilakukan dari:
a. HPT menjadi HP/ HPK b. HP menjadi HPT/ HPK
c. HPK menjadi HPT/HP untuk keperluan IUPHHK-HA/HT
Jika ingin melakukan pelepasan kawasan hutan, maka HPT/HP harus berubah fungsi terlebih dahulu menja- di HPK. Selain itu, dalam penjelasan pasal 19 terkait pelepasan kawasan HPK hanya dapat dilakukan pada areal yang tidak produktif berupa semak belukar, lahan kosong atau kebun campuran.
Temuan Eyes on the Forest di lapangan, ke 62 korporasi tersebut sebelum SK 673 dan SK 903 terbit be- rada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Oleh karenanya, menurut UU Kehutanan, ke 62 korporasi telah melakukan tindak pidana kehutanan. Namun paska terbitnya SK 673 dan SK 903, otomatis pidana kehutanannya hilang.
Ketiga, tidak mengakomodir kawasan lindung gambut. Usulan gubernur dalam draft RTRWP 2016 – 2035 pasal 22 ayat (3) menyebut Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Namun dalam Ranperda RTRWP 2017 – 2037, KLG hanya seluas 21.615 ha.
Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hi- drologis Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam draft RTRWP Riau. Jika KLG tidak diakomodir dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037, maka kegiatan restorasi gambut yang dilakukan Badan Restorasi Gambut tidak dapat terlaksana di Riau.
Keempat, memberikan legalisasi bagi cukong dan korporasi. Pasal 74 ayat 1 Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 berbunyi: Pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum dengan kondisi eksisting baik yang sudah termuat dalam peta maupun yang belum termuat dalam peta, tetapi berada dalam kawasan hutan, ber- dasarkan keputusan menteri yang membidangi kehutanan, dilakukan enclave dari kawasan hutan berdasar- kan peraturan perundang-undangan
Sedangkan ayat 2: Pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang telah selesai dilakukan en- clave dari kawasan hutan maka pemanfaatan ruangnya dapat langsung dilaksanakan sesuai dengan fungsi peruntukkannya berdasarkan peraturan perundang-undangan
Enclave dalam pasal 74 perlu dianalisis dan dicermati lebih teliti karena dapat menguntungkan cukong dan korporasi. Fakta lapangan, seperti Dusun Toro Makmur, Toro Jaya, Kuala Onang dan Mandiri Indah Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan. Keempat dusun tersebut masuk dalam Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Dusun ini dibangun oleh perambah terorganisir yang membangun pemukiman dan kebun sawit dalam kawasan hutan. Hasil pendataan Balai Taman Nasional Tesso Nilo pada 2013, keempat dusun tersebut men- guasai lahan seluas 17.583,68 ha dan ditempati lebih dari 2500 KK. Masyarakat membangun sekolah, pasar serta puskesmas di kawasan hutan tersebut.
Selain itu, pasal ini juga memberi dampak buruk pada pelaksanaan Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) yang telah dirambah oleh cukong dengan modus kejahatan terorganisir. Sejak 2016 KLHK mem- bentuk Tim RETN dengan tujuan menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat, meningkatkan kesejahteraan serta mewujudkan kepastian usaha yang berbasis hutan dan lahan dengan harmonisasi hubun- gan besar dan kecil.
Fokus kerja pada penegakan hukum dan perluasan ruang kelola rakyat. Tim ini melibatkan pemerintah pu- sat, daerah dan CSO. Sepanjang 2017, KLHK melalui kegiatan ini berhasil melakukan pencegahan karhutla di sekitar TNTN dan CSO melakukan pendampingan pada masyarakat untuk memperoleh ruang kelola den- gan skema PS.
Areal kerja RETN mencakup kawasan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 81.793 ha, Eks HPH PR Siak Raya Timber 38.560 ha dan PT Hutani Sola Lestari 45.990 ha serta 13 areal konsesi HTI serta 11 HGU sawit. Revitalisasi ini dilakukan untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa yang telah banyak dirambah.
Dari hasil identifikasi diketahui TNTN telah dirambah seluas 44.544 ha dan eks HPH PT SRT dan PT HSL seluas 55.834 ha.
Dari identifikasi keadaan lapangan ditemukan 64 cukong di eks HPH PT HSL, 36 cukong di eks PT SRT dan 150 cukong di TNTN. Menghindari cukong-cukong menguasai lahan, tim RETN mendorong me- kanisme PS dengan hutan desa di areal RETN, namun dengan adanya pasal 74 ayat 1 dan 2 desa akan di enclave dan akan semakin memperkuat kedudukan dan menguntungkan cukong di TNTN untuk menguasai lahan secara legal—sebelumnya illegal karena berada dalam kawasan hutan—karena telah di enclave dari kawasan hutan.
Selain di RETN, perambahan kawasan hutan oleh cukong dan korporasi juga terjadi di Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Zamrud dan Hutan Lindung Bukit Betabuh, SM Balai Raja dan SM Rim- bang Baling70.
Footnote:
70. eyesontheforest.or.id/uploads/default/report/Eyes-on-the-Forest-Laporan-Investigatif-Harimau-di-dalam-tangki-mobil-anda-Sep- tember-2014.pdf