• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikator Stres Kerja

Dalam dokumen KABUPATEN PANGKEP (Halaman 35-48)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

L. Indikator Stres Kerja

Hasibuan (2014) menyatakan bahwa, adapun model stres kerja yang menjadi indikator stres kerja adalah sebagai berikut:

1. Beban kerja

diukur dari persepsi responden mengenai beban kerja yang dirasakan berlebihan.

2. Sikap pemimpin

diukur dari persepsi responden mengenai sikap pemimpin yang kurang adil dalam memberikan tugas.

3. Waktu kerja

diukur dari persepsi responden mengenai waktu kerja yang dirasakan berlebihan.

4. Konflik

diukur dari persepsi responden mengenai konflik antara karyawan dengan pimpinan.

5. Komunikasi

diukur dari persepsi responden mengenai komunikasi yang kurang baik antara karyawan.

6. Otoritas kerja

diukur dari persepsi responden mengenai otoritas kerja yang berhubugan dengan tanggung jawab.

M. Faktor Penyebab Terjadinya Stres Kerja

Menurut Hasibuan (2012) faktor-faktor penyebab stres, antara lain sebagai berikut

1. Beban kerja yang sulit dan berlebihan.

2. Tekanan dan sikap pemimpin yang kurang adil dan wajar.

3. Waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai.

4. Konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja.

5. Balas jasa yang terlalu rendah.

6. Masalah-masalah keluarga seperti anak, suami, mertua, dan lain-lain.

Sedangkan Menurut Munandar (2008), Mengelompokkan faktor-faktor penyebab stres dalam pekerjaan yaitu sebagai berikut:

1. Faktor – faktor instrinsik dalam pekerjaan

Faktor – faktor instrinsik dalam pekerjaan meliputi tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik berupa bising, vibrasi (getaran), higene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup kerja shift atau kerja malam. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Selanjutnya peran terhadap resiko dan bahaya yang dikaitkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber stres. Makin besar

kesadaran akan bahaya dalam pekerjaannya makin besar depresi dan kecemasan pada karyawan.

2. Peran individu dalam organisasi

Setiap karyawan mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan – aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya. Namun karyawan tidak selalu berhasil memainkan perannya sehingga timbul: konflik peran dan ketaksaan peran. Ketaksaan peran dirasakan jika seseorang karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya atau tidak mengerti atau tidak merealisasikan harapan – harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

3. Pengembangan karir

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan promosi yang kurang.

4. Hubungan dalam pekerjaan

Harus hidup dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang penuh stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi.

5. Kepuasan dan iklim organisasi

Kepuasan dan ketidakpastian kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang ditemui terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dalam organisasi.

6. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupanseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa– peristiwa kehidupan dan kerja didalam satu organisasi dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu.

7. Ciri individu

Stres ditentukan oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya. Individu yang berpikiran positif tidak rentan akan stres.

N. Stres kerja di Masa Pandemi Covid-19

Di saat pandemi ini yang menjadi sumber stres (stressor) adalah berita mengenai Covid-19 dan pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah.

Oleh sebab itu masyarakat dituntut untuk bijak dalam membaca berita. Harus dari sumber yang valid karena sering kali berita hoax yang ada. Informasi yang ada harus dipilih dan dipilah. Mencari informasi dari sumber yang terpercaya, adalah salah satu solusi, tidak gampang percaya berita-berita yang mengakibatkan semakin cemas, khawatir dan gelisah. Karena mempercayai berita yang membuat kecemasan, kekhawatiran dan kegelisahan menjadi salah satu pemicu stres.

Dalam mengelola stres perlu diketahui faktor penyebab stres. Dalam buku Kesehatan Mental karya Prof Dr. Zakiah Daradjat (2003) disebutkan ada 3 hal yang menyebabkan kondisi tidak stres seseorang, yaitu: frustrasi, konflik dan kecemasan. Yang dimaksud dengan frustrasi yaitu kenyataan yang ada tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Kondisi demikian sangat mungkin dialami oleh siswa/mahasiswa. Dalam kondisi pandemi Covid-19 semua serba

terbatas. Hampir seluruh proses belajar mengajar dilakukan secara daring (online). Bagi siswa/mahasiswa yang mempunyai fasilitas untuk dapat mengakses PBM secara online tidak ada masalah. Akan tetapi faktanya tidak seluruh wilayah di bumi Nusantara ini dapat mengakses fasilitas berbasis IT tersebut. Anak akan stres, karena apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan.

Tidak ada alat komunikasi (HP) dan paket data atau jaringan internet yang bagus dapat menjadi penyebab tidak lancarnya proses belajar mengajar, sehingga harapan siswa/mahasiswa tidak sesuai dengan kenyataan.

Frustrasi bisa juga dialami oleh mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir. Kondisi Covid-19 mengharuskan social distancing, sehingga penelitian yang harusnya bisa dilakukan harus ditunda atau harus ganti topik penelitian.

Sosial distancing juga dapat memicu frustrasi para pekerja atau pengusaha.

Harapan akan mendapatkan pemasukan atau keuntungan, malah merugi.

Bahkan dalam beberapa kasus terjadi proses PHK, yang sangat mungkin akan menimbulkan frustrasi seseorang. Kondisi tersebut dapat terjadi dalam keluarga, sehingga memicu stres dalam keluarga.

Adanya pertentangan antara dua kepentingan atau lebih dapat membuat orang mengalami kecemasan. Sebagai contoh bagi pekerja, apakah dia harus WFH atau WFO, keduanya bisa memunculkan konflik. Perpaduan antara konflik dan frustrasi dapat mengakibatkan kecemasan. Kondisi inilah yang ditemukan pada beberapa kasus pemicu stres. Sebagai contoh adanya deadline tugas yang harus diselesaikan membuat siswa/mahasiswa merasa tertekan dalam menghadapi kesehariannya yang akan berakibat timbulnya stres.

The National Institute of Mental Helath (NIMH) menyebutkan beberapa hal yang pada umumnya menyebabkan stress di kalangan pelajar mahasiswa:

a) Meningkatnya tuntunan akademik b) Sendiri dalam lingkungan yang baru c) Perubahan dalam hubungan keluarga d) Tanggung jawab keuangan

e) Perubahan dalam kehidupan sosial

f) Menghadapi orang asing, ide-ide dan cobaan yang baru g) Kesadaran akan identitas dan orientasi seksual

h) Persiapan untuk kehidupan setelah wisuda

Menurut Robbins (2008:370) ada tiga kategori potensi pemicu stres kerja yaitu:

1. Faktor-faktor Lingkungan, Selain mempengaruhi desain struktur sebuah perusahaan, ketidakpastian lingkungan juga mempengaruhi tingkat stres para karyawan dalam perusahaan. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi. Kondisi pandemi covid saat sekarang relevan bila disebutkan sebagai salah satu faktor penyebab stress. Perubahan lingkungan kerja yang biasanya WFO menjadi WFH, dan kemudian perpaduan antar keduanya menjadikan kerja tidak optimal yang terjadi.

2. Ketidakpastian politik juga merupakan pemicu stres di antara karyawan.

Sebagaimana wawancara Najwa Shihab kepada Presiden Jokowi, memilih Kesehatan atau ekonomi. Kebijakan WFH yang ambil oleh pemerintah berisiko pada perkembangan ekonomi. Akan tetapi kesehatan yang buruk mengakibatkan orang tidak produktif dan membebani ekonomi, oleh karena faktor kesehatan yang diutamakan, meskipun bidang ekonomi tetap dijalankan dengan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin.

3. Perubahan teknologi adalah faktor lingkungan ketiga yang dapat menyebabkan stress, karena inovasi-inovasi baru yang dapat membuat bentuk inovasi teknologi lain yang serupa merupakan ancaman bagi banyak orang dan membuat mereka stres. Pada masa pandemi Covid-19 perusahaan yang bergerak di bidang IT mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sementara para karyawan dituntut untuk lebih melek dan menguasai pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.

4. Faktor-faktor Perusahaan

a. Tuntutan tugas merupakan faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang.

b. Tuntutan peran adalah beban peran yang berlebihan dialami Ketika karyawan diharapkan melakukan lebih banyak daripada waktu yang ada. Ambiguitas peran manakala ekspektasi peran tidak dipahami secara jelas dan karyawan tidak yakin apa yang harus ia lakukan.

Saat diterapkan WFH dan social distancing tuntutan peran dan beban peran dirasakan oleh karyawan/pekerja.

c. Tuntutan antarpribadi yaitu tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain, tidak adanya dukungan dari kolega dan hubungan antarpribadi yang buruk dapat menyebabkan stress.

5. Faktor-faktor Pribadi, Faktor-faktor pribadi ini terutama menyangkut masalah keluarga, masalah ekonomi pribadi serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam diri seseorang. Berbagai kesulitan dalam hidup berumah tangga, retaknya hubungan dan kesulitan masalah disiplin dengan anak-anak merupakan masalah hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan yang lalu terbawa sampai ke tempat kerja. Masalah

ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stress bagi karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja mereka. Masalah pribadi semakin rumit dimasa pandemi Covid-19, bahkan berdampak pada keretakan dalam rumah tangga. Sebagai contoh: selama pandemi Covid-19 terjadi peningkatan perceraian 5% di Kota Tangerang Selatan.(kompas TV, 2020).

Ada banyak sumber stres, dan untuk mengelola stres dengan baik, perlu memahami penyebab stres, sumber-sumber stres dan memahami akar masalahnya. Stres terjadi karena faktor internal maupun eksternal. Pemicu stress biasa disebut dengan stressor. Meskipun beberapa kejadian dapat dikategorikan sebagai faktor yang mempengaruhi stres seperti perceraian, bencana alam, meninggalnya sanak saudara, namun respons dan reaksi orang yang mengalaminya berbeda-beda sesuai dengan daya tahan dan kemampuannya dalam menghadapi stres. (Sumampouw & Mundzir: 2011)

Tekanan yang dihadapi seseorang tidak hanya menimbulkan stres yang negatif (distress), akan tetapi bisa juga menjadi stres yang positif (eusstres). Butuh pengendalian jiwa yang matang (dewasa) agar kondisi yang ada menjadi hal yang positif. Stres dapat dikonseptualisasikan dari berbagai macam sudut pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai respons, dan stress sebagai interaksi antara individu dan lingkungan.

Pendekatan ini menitikberatkan pada lingkungan dan menggambarkan stres sebagai suatu stimulus dengan keseluruhan

perlawanan perilaku coping Kondisi pandemi Covid-19 menjadi stimulus seseorang mengalami stres. Akan tetapi tidak sedikit dijumpai kondisi tersebut sebagai titik awal yang mendorong untuk berpikir kritis, logis dan realistis, sehingga muncul ide-ide cemerlang dan menciptakan karya- karya inovasi.

Pendekatan ini menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian. Kemampuan adaptasi menjadi prasyarat untuk bertahan di masa pandemi Covid-19. Daya tahan masyarakat Indonesia kuat, karena dibarengi dengan keyakinan agama yang kuat. Kondisi Covid-19 dapat dimaknai positif sebagai ujian dari Tuhan untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan.

Stres dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosi seseorang. Maka dari itu penting bagi setiap orang untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan mengatasi stres. Dengan memahami teori dan konsep stres, seseorang dapat memiliki kuasa penuh dalam mengontrol diri dan emosinya sehingga ia dapat mengoptimalkan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya. (In The Know:2014) Yang perlu ditekankan juga dalam mengatasi stress ialah bahwa kita tidak memiliki kendali terkait penyebab stres, tetapi kita mampu mengontrol bagaimana kita bereaksi terhadap stres tersebut. (U.S. Department of Veterant Affairs,: 2014)

WHO merumuskan strategi untuk menghadapi stres selama pandemi Covid-19:

1. Merasa sedih, tertekan, bingung, takut dan marah adalah hal yang lumrah selama krisis terjadi. Berbincang dan berbagi cerita dengan orang-orang yang dapat dipercayai bisa membantu mengurangi rasa tertekan yang dialami.

2. Selama pandemi ini, berdiam di rumah lebih dianjurkan untuk meminimalisir penyebaran virus dan kontak fisik dengan orang banyak. Menjaga gaya hidup sehat dengan asupan gizi yang cukup, pola tidur yang baik, olahraga dan berinteraksi dengan orang-orang yang disayang bisa dilakukan selama berdiam di rumah.

3. Menghindari rokok, alkohol dan narkotika untuk menyelesaikan masalah emosi.

4. Mencari fakta-fakta dan info terbaru yang dapat membantu dalam menentukan tahap pencegahan yang tepat dan menghindari berita- berita yang tidak valid dan kredibel.

5. Mengurangi kecemasan dengan membatasi media yang menyebarkan informasi yang membuat semakin cemas dan takut.

6. Mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mengatur emosi selama masa pandemi ini.

Setiap orang memiliki cara mengatasi stres yang berbeda-beda, cara ini perlahan berubah menjadi kebiasaan jika dilakukan terus menerus. Ada yang menghadapi stress dengan cara yang sehat, atau justru memperburuk keadaan dengan melakukan hal-hal di luar batas.

Masyarakat Indonesia yang religius memandang Covid-19 sebagai ujian yang harus dilalui. Berpikir positif dengan selalu menjaga imunitas tubuh dan spiritualitas menjadi salah satu cara agar terhindar dari stres. Memanfaatkan waktu yang sebaik-baiknya untuk beraktivitas secara positif dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan menjadi solusi dalam menghadapi stres di masa pandemi Covid-19.

O. Hubungan Beban Kerja dan Work-Family Conflict dengan Stres Kerja Menurut Doelhadi (2017), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu ketidakmampuan tenaga kerja untuk menghadapi tuntutan tugas dengan akibat suatu ketidaknyamanan dalam bekerja. Pada pekerjaan sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan akan timbul rasa bosan dan monoton. Beban kerja baik secara kuantitas dimana tugas - tugas yang harus dikerjakan terlalu banyak/sedikit maupun secara kualitas dimana tugas yang harus dikerjakan membutuhkan keahlian. Bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia maka akan menjadi sumber stres (Doelhadi, 2017). Kecepatan dalam bekerja juga dapat mempengaruhi stres kerja karyawan. Karyawan dituntut untuk bekerja dengan cepat dan sigap, terutama dalam menangani pasien yang sedang kritis. Jika waktu yang tersedia tidak dapat mengimbangi kecepatan dalam bekerja, maka akan menjadi sumber stres.

Faktor-faktor yang memunculkan terjadinya stres yaitu, beban kerja yang sulit dan berlebihan, tekanan dan sikap pemimpin yang kurang adil dan wajar, waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, konflik antar pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja, balas jasa yang terlalu rendah, masalah-masalah

keluarga seperti anak, suami, mertua. (Hasibuan, 2012). Dan dari faktor inilah yang dapat memicu timbulnya beban kerja dan work-family conflict (konflik peran ganda).

Beban kerja adalah keadaan atau kondisi dimana pekerja diberikan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu atau waktu yang telah ditentukan. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, kemampuan atau skill fisik yang baik maupun keahlian (kepandaian) dan waktu yang ada bagi karyawan dapat menjadi sumber stres jika banyaknya tugas tersebut tidak sebanding dengan, (Margiati, 2011).

Work-Family Conflict (Konflik Peran Ganda) merupakan tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran dipekerjaan dengan peran didalam keluarga ini merupakan salah satu dari bentuk interrole conflict (Greenhaus &

Beutell, 2003). Beban kerja dan work-family conflict (konflik peran ganda) mempengaruhi stres kerja dikarenakan jika beban kerja yang berlebihan dan tugas yang menumpuk sehingga karyawan tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya (Munandar, 2008), serta work-family conflict (konflik peran ganda) atau masalah pekerjaan keluarga pada karyawan baik itu tuntutan atau tugas peran dari pekerjaan ataupun tuntutan peran dari keluarga dan karyawan tidak dapat menyeimbangkan ke dua tuntutan tersebut maka ke dua hal tersebut yaitu beban kerja dan work-family conflict (konflik peran ganda) pada karyawan akan mengalami stres kerja.

P. Tinjauan Empiris

Tinjauan empiris merupakan salah satu bagian indikator dalam persyaratan karya tulis ilmiah, dimana dalam tinjauan empiris menjelaskan tentang hasil penulisan karya tulis ilmiah terdahulu, sebagai salah satu penarikan interpretasi dari karya tulis ilmiah dan berfungsi sebagai landasan untuk memperoleh hasil penulisan karya tulis ilmiah yang relevan dan objektif. Maka dari itu tinjauan empiris sebagai berikut :

Tabel 2.1

PENELITIAN TERDAHULU

NO NAMA, JUDUL, TAHUN,

METODE ANALISIS Hasil Penelitian

1. Diah Ambarwati, Pengaruh beban kerja terhadap stres perawat IGD dengan dukungan sosial sebagai variabel moderating, (2014), Metode penelitian kuantitatif

variabel beban kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja perawat dan variabel selisih nilai mutlak beban kerja dengan dukungan sosial berpengaruh negatif dan signifikan yang artinya dukungan sosial dapat memoderasi pengaruh beban kerja terhadap stres kerja perawat. hasil analisis menggunakan uji t dapat diketahui beban kerja dan nilai selisih mutlak antara beban kerja dengan dukungan sosial berpengaruh signifikan terhadap stres kerja.

2. Kurnia Maharani, Hubungan Antara Beban Kerja Dan Work- Family Conflict Dengan Stres Kerja Pada Perawat Wanita Yang Sudah Menikah Di RSUD Dr. H Abdul Moeloek Provinsi Lampung, (2019), Metode penelitian Kuantitatif

Hasil penelitian pertama menunjukkan Rx1.2y = 0,362 nilai F=7,739 dan p = 0,002

(p<0,01) yang berarti terdapat hubungan positif signifikan antara beban kerja dan work-family conflict dengan stres kerja pada perawat wanita yang sudah menikah.

Beban kerja dan work-family conflict memberikan sumbangan efektif sebesar 28,2%. Hasil kedua dengan rx1-y = 0,260 dan R2 = 0,068 dan p=0,002 (p<0,01) yang menunjukan

beban kerja dengan stres kerja pada perawat wanita yang sudah menikah.

Hasil ketiga dengan rx2-y = 0,314 dan R 2 = 0,098 dan p=0,000 (p<0,01) yang menujukan hubungan positif signifikan antara work-family conflict dengan stres kerja pada perawat wanita yang sudah menikah.

3. Giovanny Anggasta, Buhali Meily Margaretha,pengaruh work family conflick terhadap komitmen organisai :kepuasan kerja sebagai variabel mediasi, (2013).

Metode penelitian kuantitatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa work family conflik berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi 4 Adintya Nabila, Hamidah Nayati

Utami, Edly Khurotul Aini, pengaruh work family conflik terhadap kinerja karyawan melalui stress kerja, (2019), metode penelitian kuantitatif

Hasil penelitian menunjukka bahwa work family conflik berpengaruh positif signifikan pada stress kerja pada karyawan divisi operasional dan servis.

5 Dian Permata Hati, Pengaruh Work Family Conflict Pada Stres Kerja Ibu Karir Pada Masa Pandemi Covid-19, 2021, metode penelitian kuantitatif.

Hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh positif work family conflict terhadap stres kerja ibu karir pada masa pandemi ini. Artinya semakin tinggi work family conflict maka semakin tinggi pula stres kerja yang dirasakan dan juga sebaliknya semakin rendah work family conflit maka semakin rendah pula stres kerja yang dirasakan oleh ibu karir pada masa pandemi covid-19.

Dalam dokumen KABUPATEN PANGKEP (Halaman 35-48)

Dokumen terkait