BAB III METODE PENELITIAN
J. Jadwal Penelitian
Triangulasi sangat diperlukan untuk menyakinkan validitas data. Dimana dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Artinya membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu sumber informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal ini dapat dicapai dengan jalan: a). Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b). Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. c). Membandingkan apa yang dikatakan orang-orng tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. d). Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang yang berpendidikan tinggi, orang yang berada dan orang yang berada dalam pemerintahn. e). Membandingkan hasil wawancara dengan suatu dokumen yang diberikan.
7. Penyusunan Hasil Penelitian 8. Bimbingan Hasil Penelitian 9. Ujian Tutup (Skripsi)
Dari jadwal penelitian yang dilakukan oleh peneliti, terdapat perbedaan waktu. Peneliti menggunakan waktu dalam tempo kurang lebih dari 6 bulan untuk mendapatkan keabsahan data. Dalam penelitian pertama, peneliti melakukan Survey awal dan penentuan lokasi penelitian, agar saat penelitian berlangsung peneliti tidak susah dalam menentukan lokasi yang cocok dengan masalah yang telah ditentukan. Kedua, penyusunan proposal, setelah penentuan tempat peneliti kembali melakukan penyusunan proposal untuk menjelaskan atau merumuskan masalah yang sedang terjadi pada tempat yang dimaksud dan mempersiapkan cara yang dilakukan pada saat penelitin berlagsung. Ketiga, seminar proposal yaitu memaparkan hasil proposal yang disusun kurang lebih satu bulan. Keempat, perbaikan proposal, yaitu merevisi kembali hal-hal yang harus diperbaiki atau ditambahkan dalam proposal tersebut. Kelima, pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan penelitian pada lokasi yang termaktub pada proposal tersebut.
Keenam, setelah melakukan penelitian peneliti melakukan pengolahan dan menganalisis data. Ketujuh penyusunan hasil penelitian yaitu menyususn secara sistematis hasil dari penelitian tersebut. Kedelapan, peneliti melakukan bimbingan hasil penelitian agar hasil yang didapatkan dilapangan dapat tersusun secara sistematis. Kesembilan, ujian tutup (skripsi), yaitu memaparkan atau menjelaskan
secara keseluruhan hasil atau kesimpulan dari penelitian yang dilaksanakan kurang lebih dari 6 bulan.
BAB IV
GAMBARAN DAN HISTORIS LOKASI PENELITIAN
A. Historis Kabupaten Tana Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dhar
Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah
“orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat
49
diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku Toraja adalah salah satu dari empat suku yang terdapat di Sulawesi Selatan. Keempat Suku tersebut, Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.
masyarakat Toraja tinggal di Tondok Lepongan Bulan Tondok Matarik Allo sebagai nama negeri mereka sebelum penggunaan nama Toraja oleh para penyiar agama Nasrani.
Suku Toraja mendiami wilayah bagian utara jazirah Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan Sulawesi Tengah. Daerah Tana Toraja berbatasan dengan Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Enrekang bagian Selatan,
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Polewali, dan bagian utara berbetasan Propinsi Sulawesi Tengah.
Secara administratif mereka bermukim di daerah Kabupaten Enrekang, daerah Suppiran di kabupaten Pinrang, Mamasa di kabupaten Polewali-Mamasa, daerah galumpang dan Makki di kabupaten Mamuju sedangkan daerah inti pemukiman mereka adalah Kabupaten Tana Toraja.
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah :
1. Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Mamuju 2. Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
3. Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang 4. Sebelah Barat : Kabupaten Polma
Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km2 atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas) kecamatan.
Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68%
pertahun.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Tana Toraja, curah hujan yang terjadi pada tahun 2001 yang terjadi sekitar 9 mm sampai 417 mm dan banyaknya hari hujan yang terjadi pada tahun 2001 berkisar 2 sampai 27 hari hujan.
Kondisi topografi kabupaten Tana Toraja terdiri dari pegunungan 40%, dataran tinggi 20%, dataran rendah 38%, rawa dan sungai 2%. Kondisi tanah cenderung agak curam, yaitu kemiringan 0% – 8% (datar) seluas 26.992,26 ha, kemiringan 9%–15% (landai) seluas 36.129,00 ha, kemiringan 16% - 25% (agak curam) seluas 59.659,40 ha, kemiringan 26% - 40% (curam) seluas 85.497,90 ha, dan kemiringan >40% (sangat curam) seluas 112.298,10 ha. Kabupaten Tana Toraja berada pada ketinggian 300 m –2.880 m diatas permukaan laut. Bagian terendah di kecamatan Bonggakaradeng dan bagian tertinggi di kecamatan Rindingallo. Temperatur rata-rata berkisar antara 16ºC sampai 26ºC dengan kelembaban udara rata-rata berkisar antara 82% - 86%.
Gambar IV.I Peta Kabupaten Tana Toraja
B. Gambaran Umum Lokasi
Sejarah berdirinya Lembang Buntudatu yang terdiri dari 4 (empat) RK atau kampung sampai tahun 2008 dan setelah kepala Lembang bapak Zen Saleh terpilih maka kampung terbagi 3 (tiga) yaitu RK Matana , RK Sendeng dan RK Mambura dan 9 RT yaitu RT Mambura, RT Kadinginan, RT Kanan, RT Buntuissong, RT To’Pasa’, RT Balombong, RT Pa’bolongan, RT Matana dan RT Rante. Namun setelah kepala Lembang terpilih tahun 2013, oleh kepala Lembang terpilih bersama BPL, Tokoh masyarakat, Tokoh agama, Tokoh Adat, lewat musyawarah Lembang Buntudatu yang dulunya hanya 3 (tiga) kampung dijadikan kembali 4 (empat) kampung dan 10 RT termasuk yang disepakati dan ditetapkan lewat musyawarah antara lain :
1. Pemekaran Dusun/Kampung Sendeng jadi 2 yaitu Dusun Sendeng sendiri dan Dusun Lembang.
2. Perubahan nama Dusun/Kampung yaitu Kampung Matana menjadi Kampung Palangka.
3. Pemekaran RT Matana dan RT Kadinginan masing-masing menjadi 2 RT.
4. Perubahan nama RT yaitu RT Tobo’ne menjadi RT Matana, RT Mambura menjadi RT Tangdilembang.
Dengan ditetapkannya pemekaran Lembang dan perubahan nama kampung dan RT maka Lembang Buntudatu sekarang terdiri dari 4 (empat) kampung dan 10 (sepuluh) RT.
C. Keadaan Georafis dan Demografis 1. Geografis
Lembang Buntudatu terletak 22 Km dari Ibukota Tana Toraja atau 8 Km dari Ibukota Kecamatan Mengkendek baru dengan luas wilayah 5,26 Km2dengan batas-batas sebagai berikut :
a) Sebelah utara berbatasan denga kelurahan mebali
b) Sebelah selatan berbatasan dengan lembang buntu limbong c) Sebelah timur berbatasan dengan lembang pa’tengko d) Sebelah barat berbatasan dengan lembang buntu limbong 2. Iklim
Keadaan iklim di Lembang Buntudatu terdiri dari musim hujan , kemarau dan musim pancaroba. Dimana musim hujan biasanya terjadi antara bulan Januari s/d April, musim kemarau antara bulan Juli s/d November sedangkan musim pancaroba antara bulan Mei s/d Juni.
3. Keadaan Pendidikan
Dalam kehidupan ini untuk menunjang agar hidup bisa lebih baik atau mapan maka salah satu yang dibutuhkan adalah Pendidikan disebabkan karena pendidikan merupakan suatu hal yang penting, karena sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan ummat manusia bahwa Allah tidak akan merubah nasib kaum apabila mereka tidak mau merubah nasib mereka sendiri. Dimana untuk mengetahui hal-hal di muka bumi ini maka dibutuhkan suatu hal yang mampu membedakan manusia dengan mahluk hidup lainnya, maka tentu hal ini adalah melalui pendidikan.
Di era yang modern ini untuk menguasai suatu teknologi, sebagai penunjang dalam mengembangkan diri, seluruh lapisan Masyarakat di Lembang Buntudatu percaya bahwa hanya dengan memiliki ilmu pengetahuan maka mereka dapat meraih itu semua, sehingga para orang tua yang ada di daerah ini berupaya untuk menyekolahkan anak-anak mereka setinggi-tingginya dengan harapan lewat pendidikan mereka dapat merubah keadaan keluarga.
Untuk partisipasi warga terhadap pendidikan dapat dikatakan cukup menggembirakan, dengan melihat jenis dan berbagai jenis sekolah yang ada di wilayah ini, mulai dari play group sampai dengan Sekolah Menengah Atas atau sederajat. Sehingga dengan melihat keberadaan sarana pendidikan ini, cukup memberikan gambaran bahwa partisipasi masyarakat yang cukup tinggi terhadap pendidikan.
4. Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian adalah salah satu faktor penunjang dalam melaksanakan tugas-tugas individu, baik tugas kepada Sesama manusia, maupun tugas kepada Tuhan Yang Esa. Manusia sebagai mahluk hidup yang mempunyai kebutuhan yang kompleks pasti membutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka syarat untuk memenuhinya adalah dengan memiliki mata pencaharian. Pada umumnya penduduk di Lembang Buntudatu bermata pencaharian di bidang, pertanian yaitu bersawah, dan berkebun yang tersebar di setiap Dusun dengan luas lahan yang berbeda-beda.
Berkat hadirnya tenaga penyuluh dari dinas pertanian, dan ditambah kemajuan teknologi perlahan-lahan sistem pertanian tradisional mulai
ditinggalkan diganti dengan sistem pertanian yang lebih maju, seperti penentuan bibit unggul, penggunaan pupuk dan vestisida, serta teknologi pertanian penunjang lainnya seperti mesin pemotong rumput dan mesin traktor tangan sehingga menghasilkan panen yang jauh lebih banyak. Kondisi wilayah di Lembang Buntudatu yang merupakan wilayah yang produktif merupakan penunjang untuk pertanian.
Di samping mata pencaharian di bidang Pertanian, sebagian penduduk di Lembang Buntudatu masih memiliki mata pencarian lainnya seperti tukang kayu, tukang batu, usaha makanan kecil, pedagang, dan sebagian lainnya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
5. Sistem Religi
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai
"hukum". Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.
Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di
Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan.
Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.
Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Wilayah kabupaten Tana Toraja merupakan wilayah yang dari dulu terkenal sebagai daerah yang cukup religius. Agama atau kepercayaan yang di anut penduduk Lembang Buntudatu Kabupaten Tana Toraja mayoritas agamanya adalah islam dan non islam dimana agama non islam terbagi lagi yang terdiri atas agama Kristen, Kristen protestan dan agama katolik. Adapun lainnya misalkan orang yang masih menganut sistem animisme yang hanya di anut oleh para orang-orang terdahulu atau orang yang lanjut usia.
6. Sistem Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo', Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja. Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ , Toala’ , dan Toraja- Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
7. Sistem Kesenian
a. Seni Musik tradisional, antara lain:
1) Passuling: Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa’suling, semua lagu-lagu yang diiringi dengan suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang.
2) Pa’pelle/Pa’barrung: Suku Toraja juga mempunyai alat musik Pa’pelle, yang dibuat dari daun palem atau batang padi dan disambung hingga mirip terompet dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
3) Pa’pompang/pa’bas: musikbamboo
4) Pa’karobi: alat kecil dengan benang halus pada bibir
5) Pa’tulali’: bambu kecil dimainkan sehingga menimbulkan bunyi 6) Pa’geso’geso’ : alat musik gesek, terbuat dari kayu dan tempurung b. Seni Tari
Kesenian Tari di Tana Toraja, senantiasa diapresiasikan berkaitan dengan Aluk Rambu Tuka’ dan Aluk Rambu Solo’, yang antara lain:
1) Tarian Ma’gellu: dipentaskan pada upacara kegembiraan
2) Tarian Boneballa’ / Ondo Samalele’: digelar dalam upacara syukuran 3) Tarian Pa’gellu: dipentaskan pada acara pesta Rabu Tuka
4) Tarian Burake: pemujaan kepada Puang Marua dan Deata 5) Tarian Dau Bulan: Sama dengan Tarian Burake
6) Tarian Madandan: pemujaan dan doa-doa kepada Puang Ma’tua dan Deata (Aluk Todolo)
7) Tarian Manimbong: Tarian pemujaan dan doa pada upacara syukuran 8) Tarian Pa’randing: untuk menghormati para pahlawan perang
9) Tarian Pa’pangngan: tarian selamat dating
10) Tarian Manganda’ ditampilkan pada ritual Ma’Bua’.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.
11) Tarian Ma’bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur 12) tarian Ma’gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk
beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma’dandan oleh perempuan.
13) Ma’bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma’bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Gambar IV.II Peta Lembang Buntudatu Kabupaten Tana Toraja
BAB V
BENTUK KAJIAN TELAAH SOSIAL MA’BADONG MASYARAKAT TANA TORAJA
A. Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan hasil penelitian yang berupa hasil dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap beberapa narasumber yang telah menguraikan tentang beberapa hal yang dianggap perlu dan berhubungan dengan penelitian ini. Informan dalam hal ini adalah seseorang yang dianggap mampu memberikan segala informasi yang benar sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalam adat istiadat masyarakat suku Toraja yang terdiri dari informan kunci (pemangku adat), informan ahli (pelaku To Ma’badong)dan informan biasa (tokoh masyarakat) yang mempunyai pengetahuan yang cukup berkaitan dengan prosesi adatMa’badong yang ada di Tana Toraja.
Masyarakat Tana Toraja sangatlah terkenal dengan upacara kematiannya jika dibandingkan dengan upacara pernikahan, karena bagi masyarakat Tana Toraja mereka hidup untuk memenuhi kebutuhan kehidupan berikutnya. Pada prosesi pemakaman ada beberapa ritual yang harus dilakukan sampai keritual puncaknya. Dalam upacara kematian orang Tana Toraja mempunyai beberapa tingkatan-tingkatan upacara yanag diatur atau ditentukan oleh adanya kasta-kasta yang dinamakan Tana’ dalam masyarakat Toraja, serta selain dari hal tersebut, juga karena adanya dasar perbedaan kasta dan kemampuan seseorang dalam pelaksanaan upacara pemakaman. Kemampuan seseorang serta kasta yang ada,
62
hanya dibatasi oleh persyaratan yang sifatnya normal saja, karena yang tidak berkemampuan tidak diatur lagi oleh kedudukan Tana’, sementara yang diatur adalah hanya orang yang memiliki kemampuan dalam menyediakan kurban- kurban pemakaman yang dalam hal ini utamanya kerbau.
1. Ma'Badong, Perpaduan Tari dan Nyanyian Dukacita dalam Upacara Kematian di Toraja
Ma' Badong adalah sebuah perpaduan antara tarian dan nyanyian kedukaan berisi syair dukacita yang diadakan di upacara kematian (Rambu Solo') di Toraja, Sulawesi Selatan.
Ma’ berarti ‘melakukan’ dan pa’ berarti pelaku, sehingga Ma’badong berarti melakukan tarian dan nyanyian Badong, dan Pa’badong berarti penari Badong. Ma'Badong dilakukan secara berkelompok oleh pria dan wanita setengah baya atau tua dengan cara membentuk lingkaran besar dan bergerak sambil menyanyikan syair-syair duka cita.
Badong dilakukan di dalam ritual upacara kematian di Toraja, dan dilakukan di tanah lapang atau pelataran yang cukup luas, yaitu di tengah-tengah lantang (pondokan yang hanya dibuat untuk sekali pakai berfungsi sebagai tempat melaksananakan upacara kematian).
Pa’badong memakai baju seragam, biasanya hitam-hitam dan memakai sarung hitam atau memakai pakaian adat Toraja. Jumlah penari dapat mencapai puluhan hingga ratusan orang, sehingga pria memakai seragam yang berbeda dengan para penari wanita. Terkadang para pria dan wanita juga mengenakan pakaian adat Toraja. Tetapi, karena badong juga terbuka untuk orang yang ingin
ikut menari, jadi tamu upacara kematian yang ingin ikut Ma’badong diperbolehkan berpakaian bebas.
Pada saat Ma’badong, semua anggota tubuh pada Pa’badong juga bergerak, seperti menggerakkan kepala kedepan dan kebelakang, bahu maju- mundur dan kekiri-kekanan, kedua lengan diayunkan serentak ke depan dan belakang, tangan saling bergandengan lalu hanya dengan jari kelingking, kaki disepakkan kedepan dan belakang secara bergantian.
Lingkaran besar yang diciptakan pada saat Ma’badong dalam beberapa saat dipersempit dengan cara para Pa’badong maju, lalu mundur kembali dan pemperluas lingkaran dan saling berputar dan berganti posisi, tetapi tidak bertukar Pa’badong lain yang di sisi kanan atau kirinya.
Suara yang mengiringi Ma'badong adalah nyanyian para Pa’badong, tanpa iringan suara musik. Nyanyian yang dinyanyikan adalah lagu dalam bahasa Toraja, yang berupa syair (Kadong Badong) cerita riwayat hidup dan perjalanan kehidupan orang yang meninggal dunia, mulai dari lahir hingga meninggal. Selain syair tentang riwayat hidup, Badong pada saat upacara kematian juga berisi doa, agar arwah orang yang meninggal bisa diterima di alam baka.
Pada umumnya, Ma’badong berlangsung selama tiga hari tiga malam, karena pada umumya upacara kematian di Toraja berlangsung selama itu, tetapi tidak dilakukan sepanjang hari. Pada upacara kematian yang berlangsung selama lima hari dan tujuh hari, Ma’badong dilangsungkan dengan waktu yang berbeda pula, sesuai dengan keinginan Pa’badong dan persetujuan keluarga.