• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Defenisi Operasional

3. Teori yang Relavan

a) Teori Interaksi Simbolik

Ada banyak teori dan persfektif yang dapat digunakan untuk menganalisis masyarakat. Ada yang menggnakan persfektif evolusionisme,fungsionalisme, interaksionisme simbolik, teori konflik, teori sistem, dan sebagainya yang masing- masing pendekatan memiliki karateristik, tujuan dan manfaat yang berbeda-beda.

Persfektif teori Interaksionisme Simbolik merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan apabila kita ingin meneliti mengenai fenomena- fenomena interaksi simbolik yang terjadi di dala suatu masyarakat.

Persfektif Inteaksionisme Simbolik sering dikelompokkan ke dalam 2 aliran (school)(Sobur 2004;200), yakni : Chicago School yang dimotori oleh Hrbert Blumer dengan berpedoman pada ajaran George Herbert Mead, dan Iowa School yang dimotori oleh Manford H. Kunh dan Carl Couch.

Meskipun sama-sama menganut teori interaksionisme simbolik, namun terdapat banyak perbedaan pendapat dianara kedua aliran tersebut. Jika Blumer menjurus pada pemaknaan idiografi dan mengkritik metodologi kuantitatif sebagai gagal menangkap makna, maka Kuhn mengarah ke pencarian standarisasi dan bjektivitas serta mentransfromasikan interaksionisme simbolik ke dalam variabel-variabel (Sobur 2004;200-201).

Esensi ineraksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana dalam Sobur 2004;197). Pendekatan inteaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kkreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoriti lainnya.

Teori inteaksionisme simbolik yang dimaksud Blumer bertumpu pada tiga premis utama (Soeprapto dalam Sobur 2004;199):

a. Pemaknaan (meaning)

Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada sesuatu itu bagi mereka. Maksudnya, manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lainnya pada dasarnya dilandasi atas pemaknaan yang mereka kenakan kepada pihak lain tersebut. Pemaknaan tentang apa yang nata bagi kita pada hakikatnya berasal dari apa yang kita yakini sebagai kenyaaan itu sendiri.

Karena kita yakin bahwa hal tersebut nyata, maka kita mempercayainya sebagai kenyataan.

b. Bahasa (language)

Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang diilakukan dengan orang lain. Artinya, pemaknaan muncul dari interaksi ssial yang dipertukarkan atau suatu objek secaa alamiah. Makna tidak bisa muncul ‘dari sananya’. Makna berasal dari hasl pproses negosiasi melalui penggunaan bahasa (language) dalam persfektif interksionisme simbolik. Di sini, Blumer menegaskan tentang pentingnya penamaan dalam proses pemaknaan.

Kita memperoleh pemaknaan dari proses negsiasi bahasa. Makna dari sebuah kata tidaklah memiliki arti dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial di mana simbolisasi bahasatersebut hidup. Makna kata tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah. Pemaknaan dari suatu bahasa pada hakikatnya terkonstruksi secara sosial.

c. Pikiran (thought).

Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaki social sedang berlangsung. Interaksionisme simbolik menggambarkan proses berfikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Prosses berfikir ini sendiri bersifat refleksi. Sebelum manusia bias berfikir, kita butuh bahasa. Kiita perlu untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa pada dasarnya barat software yang dapat menggerakkan pikiran kita. Cara bagaimana manusia berfikir banyak ditentukan oleh praktek bahasa. Bahasa sebenarnya bukan sekedar dilihat sebagai ‘alat pertukaran pesan semata, tapi ineraksionisme simbolik melihat posisi bahasa lebih sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada piak lain secara simbolik.

Komunikasi secara simbolik. Perbedaan penggunaan bahasa ada akhrnya juga

menentukan perbedaan cara berfikir manusia tersebut. Akan teapi walaupun pemaknaan suatu bahasa banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi social, seringkali interpretasi individu sangat berperan di dalam modifikasi simbol yang kita tanggakap dalam proses berfikir. Simbolisasi dalam proses interaksi tersebut tidak secara mentah-mentah kita terima dari dunia social, karena kita pada dasarnya mencernanya kembali dalam proses berfikir sesuai dengan preferensi diri kita masing-masing.

Pada perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang prilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting didalam interaksi simbolis.

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik yaitu : (1) prilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala, (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga, (4) perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran penomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis, (5) konsep mental manusia itu berkembang dialektik dan (6) prilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang mengatur interaksi antar manusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku

manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain yaitu: (1) aturan mengenai ruang : (2) aturan mengenai waktu : (3) aturan mengenai gerak dan sikaf tubuh.

“Teori ini lebih dari sisi proses komunikasi. Dalam komunikasi itu ada dua hal yang penting, yaitu isyarat dan simbol, kemudian diperlukan proses pemikiran dalam menggunakan dan menerjemahkan simbol-simbol tersebut. (Menurut Paul Johnson)”

Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai salah satu simbol yang terpenting dan isyarat (decoding). Akan tetapi, simbol bukan merupakan faktor-faktor yang telah terjadi (Given), melainkan merupakan suatu proses yang berlanjut. Maksudnya, ia merupakan suatu proses penyampaian

“makna”. Penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subjek matter dalam teori interaksi simbolik.

Dimikian pula halnya, teori interaksionalisme simbolik yang dibangun dari paradigma definisi sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blummer sebagai self indication (Poloma, 2010;264).

Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Kemampuan itu diperlukan untuk komunikasi antar pribadi dan pikiran subjektif. George Herbert Mead (2010) menyatakan, bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi Darwinis. Berpikir, bagi Mead, sama artinya setara dengan melakukan perjalanan panjang yang berlangsung dalam masa antargenerasi manusia yang bersifat subhuman. Dalam

“perjalanan” ia harus terus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan

lingkungannya, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perubahan bentuk atau karakteristiknya.

Guna memandang proses dan relativitas bentuk-bentuk yang ada, maka Mead selanjudnya menggunakan tiga perspektif yang berbeda : evolusionisme Darwin, idealism dialektis Jerman dan pragmatisme Amerika, meskipun Mead

“menolak” dikatakan hanya menyintesis ketiga perspektif itu.

Mead sendiri memandang perspektifnya sebagai perspektif behaviorisme social. Lewat perspektif ini dia ingin melengkapi perspektif Watson. Kelompok idealis dan behavioris dinilai Mead mengabaikan dimensi social, sebab mereka memisahkan antara proses komunikasi dan interaksi antar-individu di satu kutub dengan tidak berpikir di kutub lainnya. Padahal, dua hal itu ibaratnya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Maka menurut Mead, pikiran atau kesadaran itu harus muncul dalam proses tindakan. Hal ini terjadi apabila adaptasi individu terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi, bukan sekedar bentuk kegiatan yang merupakan respons reflektif terhadap rangsangan dunia luar.

Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling pokok dalam berkomunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi ini. Bentuk yang lain adalah komunikasi simbol.

Karakteristik khusus dari komunikasi simbol manusia adalah tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, menggunakan kata-kata dan simbol-simbol suara yang mengandung arti yang dipahami bersama dan bersifat standar. Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan

perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisisk saja.

Simbol juga digunakan dalam (proses) berpikir subjektif, terutama simbol- simbol bahasa. Hanya saja simbol-simbol itu tidak diapakai secara nyata (covert), yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri mengenai diri atau identitas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai objeknya.

Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses berpikir subjektif digunakan dalam bahasa berupa nyanyian yang memiliki makna tersendiri dalam Ma’badong berupa doa-doa yang ditujukan bagi orang yang telah meninggal dan adapula simbol yang digunakan adalah adanya beberapa ekor kerbau yang dipotong sebagai simbol diadakannya Ma’badong. Mereka saling berpegangan dan bergandengan tangan meskipun telah ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi namun tetap menjunjujung persatuan.

b) Teori Fungsionalisme Struktural

Teori Fungsionalisme Struktural, yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons, merupakan teori dalam paradigm fakta social dan paling besar pengaruhnya dal ilmu social di abad sekarang, sehingga dapat disinonimkan denga sosiologi (Ritzer, 2009: 117).

Teori ini merupakan sebuah sudut pandang yang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur

dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya, terutama norma, adat, tradisi dan institusi.

Teori fungsionalisme structural Parsons berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan antar hubungan berbagai struktur tersebut yang dilihat saling mendukung menuju keseimbangan dinamis. Perhatian dipusatkan pada bagaimana cara keteraturan dipertahankan diantara berbagai elemen masyarakat. Pemerhatian teori ini pada unsur struktur dan fungsi dalam meneliti proses social dalam masyarakat dan pandangannya pada masyarakat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau subsistem yang saling tergantung, teori ini menganggap integrasi social merupakan fungsi utama dalam sistem social.

Integrasi social ini mengonseptualisasikan masyarakat ideal yang di dalamnya nilai-nilai budaya diinstitusionalisasikan dalam sistem social dan individu (sistem kepribadian) akan menuruti ekspektasi social. Maka, kunci menuju integrasi social menurut Parsons adalah proses saling bersinggungan antara sistem kepribadian sistem budaya dan sistem social, atau dengan kata lain, stabilitas sistem (Ritzer 2011: 280-281).

Setiap struktur dalam sistem social fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.

(Ritzer, 2011: 25)

Posisi individu dalam sistem sosial selalu memiliki status dan perannya masing-masing. Dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat atau status dan bertindak sesuai norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem yang ada.

Parsons mengkaji perilaku individu dalam organisasi sistem sosial. Ia menekankan bahwa sistem tersebut mengalami saling pertukaran dengan lingkungannya sehingga terjadi aksi sosial. Dalam menjalankan peran tersebut, terjadi kesepakatan dan berlangsung interaksi atau hubungan berpasangan antar- ego dan alter yang telah dikembangkan. Pola pelembagaan tersebut akan menjadi sistem sosial.

Ada dua mekanisme dalam proses ini, yaitu: (1) mekanisme sosialisasi; (2) mekanisme control social. Pertama, mekanisme sosialisasi merupakan proses social melalui mediasi antarpola kultural (nilai-nilai, kepercayaan, bahasa dan simbol-simbol). Seluruh nilai, kepercayaan, bahasa dan simbol ditanamkan pada sistem personal. Lewat proses ini individu akan menerima dan memiliki komitmen terhadap norma-norma yang ada.

Kedua, mekanisme kontrol, mencakup proses status dan pesan yang ada di masyarakat yang diorganisasi ke dalam sistem sosial. Tujuan mekanisme ini adalah mereduksi ketegangan yang muncul. Mekanisme kontrol ini meliputi pelembagaan, sangsi, aktivitas ritual, penyelamatan keadaan kritis, pengintegrasian menuju keseimbangan dan pelembagaan kekuasaan.

Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur sosial berfungsi sebagai penegas identitas yang dimiliki oleh sebuah kelompok yang anggotanya memiliki kesamaan dalam latar belakang ras, sosial dan budaya akan

mengembangkan struktur sosialnya sendiri sebagai pembeda dari kelompok lainnya. Seperti pada masyarakat toraja yang memiliki kebudayaan yang unik salah satu di antara kebudayaan itu yaitu Ma’badongdalam Rambu Solo.

Dokumen terkait