BAB IV
KELEMAHAN KELEMAHAN
PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SAAT INI
A. inkOnsistensi MuAtAn MAteRi dAlAM uu HAk tAnGGunGAn
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor- kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang telah dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.
Konstruksi hukum Pasal 20 UU Hak Tanggungan tersebut memberikan pemahaman bahwa terdapat 3 (tiga) cara eksekusi yang dikenal dalam UU Hak Tanggungan, di mana ketiga mekanisme eksekusi obyek hak tanggungan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Adapun ketentuan mengenai ketiga jenis eksekusi hak tanggungan dalam Pasal 20 UU Hak Tanggungan ini adalah:
1. Apabila debitur cidera janji, maka kreditur berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat menjual obyek Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan, obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum (Parate Eksekusi).
2. Apabila debitur cidera janji, berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum (Eksekusi Grosse Akta).
3. Atas kesepakatan pemberi dan pemenang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan. Setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar.
Dengan demikian maka esensi dari unsur-unsur yang terdapat dalam parate eksekusi tersebut, adalah:
1. Debitor cidera janji;
2. Kreditor pemegang Hak Tangungan pertama diberi hak;
3. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekhususan sendiri;
4. Syarat penjualan melaui pelelelangan umum;
5. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
dan
6. Hak kreditor mengambil pelunasan piutangnya sebatas hak tagih.
Pasal 6 UU Hak Tanggungan memberikan kewenangan secara tegas kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri, meskipun tidak terdapat janji dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atau yang dikenal dengan sebutan beding van eigenmatig verkoop. Menurut Herowati Pusoko, hal tersebut menunjukkan penyatuan suatu kewenangan, yang sekalipun diawali dari lahirnya suatu kesepakatan (janji), namun tetap menjadi sebuah norma yang mengikat karena diberikan oleh undang-undang (ex lege)249.
Karakteristik parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan dengan demikian memiliki perbedaan bilamana hendak dibandingkan dengan
249 Lihat Herowati Pusoko, Op.,Cit, hlm. 250.
ketentuan parate eksekusi Hipotik. Perbedaan ini dapat dilihat dari lahirnya kewenangan untuk melakukan parate eksekusi, di mana hak untuk melakukan parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan didasarkan pada perintah undang-undang, sementara ketentuan parate eksekusi Hipotik didasarkan ada atau tidaknya janji yang pada pokoknya mengatur kewenangan kreditur untuk melakukan parate eksekusi.
Menurut Pasal 1178 KUH Perdata, parate eksekusi Hipotik baru dapat menjadi hak kreditur pemegang hipotik apabila diperjanjikan terlebih dahulu sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1178 KUH Perdata, yang mengatur bahwa:
“Segala perjanjian yang menentukan bahwa kreditur diberi kuasa untuk menjadikan barang-barang yang dihipotikkan itu sebagai miliknya adalah batal. Namun kreditur hipotik pertama, pada waktu penyerahan hipotik boleh mensyaratkan dengan tegas, bahwa jika utang pokok tidak dilunasi sebagaimana mestinya, atau bila bunga yang terutang tidak dibayar, maka ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual persil yang terikat itu di muka umum, agar dari hasilnya dilunasi, baik jumlah uang pokoknya maupun bunga dan biayanya. Perjanjian itu harus didaftarkan dalam daftar-daftar umum, dan pelelangan tersebut harus diselenggarakan dengan cara yang diperintahkan dalam Pasal 1211”.
Secara jelas dapat dilihat bahwa, ketentuan parate eksekusi dalam hipotik mirip dengan apa yang ada pada parate eksekusi hak tanggungan.
Secara norma, parate esekusi hipotik sama sebagaimana parate eksekusi hak tanggungan berjalan bilamana debitur cidera janji, baik itu yang berkaitan dengan ketiadaan prestasi debitur, maupun keterlambatan dalam hal pelaksanaan prestasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian utang atau perjanjian kredit. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan di mana karena kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian250.
Selain itu, dalam hipotik juga terdapat syarat di mana pelaksanaan parate eksekusi tetap harus di muka umum (lelang) sebagaimana halnya pada hak tanggungan. Hal ini agar mendapatkan nilai atau hasil
250 Lihat Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hlm. 221.
penjualan tertinggi sehingga asas keadilan dan kepatutan akan dapat diwujudkan. Bahwa terhadap hasil lelang hipotik digunakan untuk pelunasan piutang, bunga, denda dan biaya lain, sebatas hak tagih dari kreditur, sedangkan bilamana terdapat sisa hasil penjualan maka akan diberikan atau menjadi hak dari debitur. Hal yang membedakan adalah bahwa parate eksekusi hipotik hanya dapat dilaksanakan bilamana telah diperjanjikan sebelumnya, bukan secara otomatis atas perintah undang-undang. Dengan demikian maka kekuatan mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri didalamnya akan sangat bergantung pada konteks apa saja kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perikatan dimaksud.
Sebagaimana terdapat dalam Buku III KUH Perdata, di mana hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht – aanvullendrecht).
Pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Namun yang penting untuk diperhatikan bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana ada dalam Pasal 1338 KUH Perdata tetaplah harus dikaitkan dengan kerangka pemahaman pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang lain, yaitu:
1. Pasal 1320 KUH Perdata, tentang syarat sahnya perjanjian (kontrak);
2. Pasal 1335 KUH Perdata, tentang larangan dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi tidaklah mempunyai kekuatan;
3. Pasal 1337 KUH Perdata, tentang larangan suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusialaan baik atau ketertiban umum;
4. Pasal 1338 (3) KUH Perdata, tentang kontrak yang harus dilaksanakan dengan itikad baik;
5. Pasal 1339 KUH Perdata, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang; dan
6. Pasal 1347 KUH Perdata, mengatur tentang hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding).
Sebagai dasar konstruksi, norma yang ada pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan dan Penjelasannya terjadi pergeseran makna yang dapat menimbulkan tafsir berbeda. Pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan diatur bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pada Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan dinyatakan bahwa hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditor kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan di atas, didapatkan beberapa pokok kesimpulan:
1. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama;
2. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan;
3. Penjualan obyek Hak Tanggungan harus tetap melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan; dan
4. Hak atas hasil Penjualan Obyek Hak Tanggungan digunakan untuk mengambil pelunasan piutang pada pemegang hak tanggungan pertama, dan sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
Perbedaan dalam hal hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri, menurut Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan diatur berdasarkan pada janji. Hal tersebut berbeda dengan konstruksi pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan yang memberikan hak menurut undang-undang (ex lege). Adanya perbedaan makna terhadap lahirnya hak kreditor untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri ini secara jelas telah menunjukkan bahwa materi muatan dalam UU Hak Tanggungan tidak konsisten, yang menyebabkan kebingungan dan kekecewaan bagi kreditor pada khususnya251 sebab penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan tersebut justru memberikan penjelasan yang berbeda dengan konstruksi aslinya.
Perbedaan makna antara Pasal 6 UU Hak Tanggungan sebagai konstruksi dasar dari lahirnya hak pemegang hak tanggungan dengan Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan seringkali dihubungkan dengan ketentuan yang ada pada Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Pada Pasal 11 ayat (2) diatur bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
1. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
2. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
251 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan”, Majalah Hukum Nasional, No. 2 Tahun 2000, hlm. 19-20.
3. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh sungguh cidera janji;
4. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang undang;
5. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
6. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
7. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
8. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
9. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
10. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; dan
11. Janji yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
Melihat keterkaitan antara Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan dengan Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, pergeseran makna yang
terjadi terkait dengan asal mula lahirnya hak pemegang hak tanggungan dalam hal parate eksekusi menjadi semakin jelas. Pada Penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf e dijelaskan bahwa untuk dipunyainya kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji ini.
Bila dilihat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2), kedudukan janji- janji dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bersifat fakultatif, di mana kaidah hukum tidak secara apriori mengikat, karena kaidah hukum fakultatif ini sifatnya melengkapi, subsidiair atau dispositif252. Dengan demikian maka hal yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) tidaklah menjadikan sah atau tidaknya APHT dimaksud. Namun demikian pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana menentukan kewenangan kreditur dalam hal parate eksekusi bilamana janji yang terdapat khususnya pada Pasal 11 ayat (2) huruf e tidak dicantumkan?
Adanya perbedaan secara makna terkait dengan lahirnya hak dan kewenangan pemegang hak tanggungan untuk melaksanakan parate eksekusi antara Pasal 6, Penjelasan Pasal 6 maupun Pasal 11 ayat (2) nyatanya telah menimbulkan perdebatan, persepsi, dan akibat hukum yang sangat serius. Perdebatan ini tentu akan menimbulkan persepsi buruk, terutama persepsi dari pihak pihak perbankan. Di lain pihak, ketidakseragaman makna dan konsistensi dari UU Hak Tanggungan ini juga akan menimbulkan persoalan dalam hal pemenuhan aspek kepastian hukum dan keadilan baik bagi debitur maupun kreditur.
Di dalam kegiatan ekonomi di dunia perbankan salah satunya selalu mengedepankan efisiensi dan efektivitas. Artinya, dalam hal eksekusi melalui lembaga parate eksekusi bagi pihak perbankan tentunya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan efisiensi dan efektivitas tersebut.
Dengan demikian maka, aspek kepastian hukum merupakan satu hal yang penting dan merupakan salah satu sendi utama dari perundangan yang selalu dijadikan acuan oleh kalangan pelaku ekonomi yang seringkali
252 Hukum yang bersifat melengkapi (fakultatif), kaidah hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan jalan membuat ketentuan khusus dalam perjanjian yang mereka adakan. Lihat Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 64.
menggunakan jasa hukum dalam pelbagai transaksinya253. Maka dari itu kewenangan parate executie dapat dipahami sebagai perwujudan dari salah satu segi dari kedudukan kreditor yang memperjanjikan hak jaminan khusus, atau yang oleh atau yang oleh undang-undang diberikan kewenangan khusus, yaitu memberikan kemudahan kepada kreditor dalam mengambil pelunasan254.
Pergeseran makna (inkonsistensi) ini sendiri sepertinya hendak mempersamakan hak tanggungan dengan hipotik. Padahal sesungguhnya dasar lahirnya UU Hak Tanggungan ini untuk membedakan antara hak tanggungan dengan hipotik, selain merupakan amanat UUPA.
Sejatinya UU Hak Tanggungan merupakan produk hukum yang ingin menciptakan kepastian hukum dalam hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Oleh karenanya, Satjipto Rahardjo berpendapat untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, hukum terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian pula di dalam tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan beban formal yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh konsistensi255. Senada dengan Satjipto Rahardjo, menurut Isnaeni256, perangkat hukum seharusnya memperhatikan konsistensi agar mampu melahirkan kepastian hukum seperti diharapkan oleh khalayak luas.
Sebab, kalau dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak ada konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.
Pertentangan parate eksekusi berdasarkan Pasal 6 jo Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Hak Tanggungan dalam materi muatan UU Hak Tanggungan dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan lainnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
253 Ibid.
254 Lihat J. Satrio, Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.
235-236.
255 Satjipto Rahardio dalam M. Isnaeni, “Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia”, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V, (Agustus 1996), hlm. 34.
256 Ibid.
tabel 1
Pertentangan Parate eksekusi
no Peraturan subtasi kesimpulan
1 Pasal 6 UU Hak
Tanggungan Kewenangan pelaksanaan parate eksekusi dilakukan mutlak perintah undang-undang (ex lege) yang dilakukan secara mandiri melalui pelelangan
Parate eksekusi 1. Ex Lege 2. Mandiri 3. Pelelangan 2 Pasal 11 ayat
(2) UU Hak Tanggungan
Kewenangan pelaksanaan parate eksekusi tidak lagi mutlak perintah undang-undang (ex lege), melainkan juga didasarkan pada perjanjian antar para pihak
Parate eksekusi 1. Perjanjian 2. Fiat Pengadilan 3. Pelelangan Umum 3 Pasal 14 ayat
(2) UU Hak Tanggungan
Pelaksanaan parate eksekusi dipersamakan dengan eksekusi title eksekutorial
(hipotik) dimana eksekusi fiat Ketua Pengadilan Negeri
4 Penjelasan Umum angka 9 UU Hak Tanggungan
Pelaksanaan eksekusi hanya dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg
B. PeRBAndinGAn PARAte eksekusi dAn eksekusi GROSSE AktA