• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN YANG TIDAK SEIMBANG DALAM

Latar belakang masuknya parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan tidak dapat dilepaskan dari konteks kelahiran undang- undang tersebut. Salah satu hal yang mendasar adalah adanya kebutuhan untuk memberikan perlindungan yang cukup bagi pemegang hak tanggungan atau dalam hal ini kreditur selaku pemberi kredit. Hal ini mengingat bahwa kedudukan kreditur di masa sebelum lahirnya UU Hak Tanggungan dianggap sangat lemah, sehingga relatif secara ekonomi riil, penyerapan kredit dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat, yang akhirnya akan berpengaruh pada bangunan makro ekonomi negara. Pemberi kredit selalu dihantui dengan resiko besar, sebab perangkat hukum yang ada pada masa itu sangat tidak memadai dalam melaksanakan eksekusi terhadap obyek jaminan milik debitur bilamana debitur wanprestasi.

Sebagaimana diketahui, sebelum lahirnya UU Hak Tanggungan, pembebanan tanggungan atau jaminan utang bagi tanah hak milik, hak guna usaha dan juga hak guna bangunan diatur melalui ketentuan hipotik dan Credietverband. Aturan mengenai hipotik sebelumnya terdapat dalam KUH Perdata Buku II Bab XII Pasal 1162 s.d Pasal 1232, sebelum akhirnya berlaku UUPA. Dengan berlakunya UU Hak Tanggungan maka ketentuan- ketentuan tentang hak jaminan atas tanah, yang berlaku sebelumnya, terutama ketentuan-ketentuan tentang hipotik dan credietverband kecuali

tentang eksekusi hipotik sepanjang sudah diatur dalam UU Hak Tanggungan menjadi hapus.

Berbeda dengan hipotik, dalam hak tanggungan dikenal beberapa asas di mana memberikan keistimewaan maupun perlindungan hukum secara khusus terhadap kreditur. Asas-asas tersebut tertuang di dalam UU Hak Tanggungan, yaitu190:

1. Hak tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan.

Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Dalam Batang Tubuh UU Hak Tanggungan, ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), maka kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur yang lain.

2. Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang telah ada, dan akan ada.

Pada Pasal 3 ayat (1) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan dapat dijaminkan untuk:

a. Utang yang telah ada.

b. Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu.

c. Utang yang baru akan ada, akan tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.

3. Hak tanggungan dapat menjadi lebih dari satu utang.

Pada Pasal 3 ayat (2) UU Hak Tanggungan menentukan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Pasal 3 ayat (2) UU Hak

190 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Edisi ke-2, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 11-34.

Tanggungan, memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk:

a. Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan satu perjanjian utang piutang.

b. Beberapa kreditor yang memberikan utang kepada satu debitor berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditor dengan debitor yang bersangkutan 4. Hak tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek

hak tanggungan itu berada.

Hal ini yang dikenal sebagai droite de suite di mana ditegaskan dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan. Biarpun obyek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum, jika debitur cidera janji.

5. Hak tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.

Hal ini menyangkut dengan tujuan dari hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri, di mana untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditor- kreditor lain. Bila terhadap Hak Tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, maka berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan.

6. Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu.

Pada Pasal 8, dan Pasal 11 ayat (1) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebani atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Lebih lanjut dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e, menunjukan bahwa obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

7. Hak tanggungan wajib di daftarkan.

Pada Pasal 13 UU Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan.

8. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir).

Pada Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan mengatur bahwa Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cidera janji.

9. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu.

Pada Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa janji tersebut dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, janji-janji tersebut bersifat manasuka karena janji-janji tersebut boleh atau tidak dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya, serta bersifat tidak limitaif karena dapat pula diperjanjikan janji- janji lain selain janji yang telah dicantumkan sesuai dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan.

10. Obyek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila debitor cidera janji.

Larangan pencantuman janji ini, dimaksudkan untuk melindungi debitor, agar dalam kedudukannya yang lemah dalam menghadapi kreditor (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan bagi dirinya.

11. Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan mudah dan pasti (parate exceusie).

Pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan memberikan hak kepada pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Hal ini berarti pemegang Hak Tanggungan bukan saja memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang

debitor dalam hal debitor cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan meminta kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian eksekusi dapat dilakukan dengan eksekusi grosse akta, di mana Sertipikat Hak Tanggungan memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Salah satu keistimewaan dalam hal perlindungan hukum yang diberikan oleh UU Hak Tanggungan kepada kreditur diwujudkan dalam hal pelaksanaan eksekusi atas obyek jaminan hak tanggungan bilamana debitur wanprestasi. Eksekusi obyek jaminan tersebut dapat dilakukan dengan cara:

1. Menurut Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan

a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;

b. Titel esekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului dari pada kreditor- kreditor lainnya.

2. Pasal 20 ayat (2) di mana atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Salah satu ciri Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusi tersebut dapat dilihat dari cara-cara

eksekusi tidak melalui acara gugatan sebagaimana perkara perdata biasa. Selain kemudahan eksekusi melalui grosse akta, adanya parate dapat dijadikan sebagai bukti nyata di mana lahirnya UU Hak Tanggungan memang dikhususkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi kreditur.

Sebagaimana telah diuraikan, dasar dari pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan atas obyek jaminan oleh kreditur didasarkan pada ketentuan Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Pasal 6 UU Hak Tanggungan tersebut menyebutkan bahwa apabila debitur wanprestasi maka kreditur pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu. Artinya, parate eksekusi merupakan senjata yang paling ampuh dan paling cepat dalam memberantas kredit macet, dengan cara mengeksekusi sendiri (melelang) agunan tanpa campur tangan pengadilan191.

Sejalan dengan ketentuan pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan, menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofyan192, parate eksekusi adalah:

“Eksekusi yang dilaksanakan tanpa mempunyai titel eksekutorial (Grosse Akta Notaris, Keputusan Hakim) ialah dengan melalui Parate Eksekusi (Eksekusi Langsung) yaitu pemegang Hak Tanggungan dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau Grosse Akta Notaris”.

Dalam UU Hak Tanggungan istilah parate eksekusi secara implisit tersurat dan tersirat, khususnya diatur dalam Penjelasan Umum angka 9 UU Hak Tanggungan, yang menyebutkan:

“Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitor cidera janji.

Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi

191 Lihat Bachtiar Sibarani, Op.,Cit, hlm. 22.

192 Lihat Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 32.

Hak Tanggungan dalam Undang-Undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg.”

Pembentukan lembaga parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan, selain memberikan sarana yang memang sengaja diadakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kembali pelunasan piutangnya dengan cara mudah dan murah (dengan maksud untuk menerobos formalitas hukum acara), disisi lain tujuan pembentukan parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan juga bermaksud untuk memperkuat posisi dari kreditor pemegang Hak Tanggungan pertama pada pihak-pihak yang mendapat hak dari padanya193.

Dalam rangka melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan pertama (kreditor) sesuai dengan uraian pemahaman tersebut di atas, haruslah dipandang bahwa hak/kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri tersebut diperoleh oleh kreditor/

pemegang Hak Tanggungan pertama tidak semata-mata oleh karena diperjanjikan, tetapi juga karena undang-undang menetapkan demikian (setelah terlebih dahulu diperjanjikan). Hal ini adalah untuk lebih menekankan bahwa undang-undang memberikan jaminan dalam aturan yang konkrit sebagai norma yang mengikat bahwa “hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri” tersebut adalah sarana yang utama bagi kreditor/pemegang Hak Tanggungan pertama untuk mendapatkan kemudahan dalam rangka mendapatkan kembali pelunasan piutangnya.

Pelaksanaan parate eksekusi tidak dapat dilepaskan dari skema penyelesaian utang yang diawali dengan perjanjian kredit antara kreditur dengan debitur melalui lembaga hak tanggungan. Pada Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri tetapi keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian induk. Artinya perjanjian

193 Lihat Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak dan Kesesatan Penalaran dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan ke-2, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008, hlm. 282.

hak tanggungan merupakan perjanjian tambahan (assecoir) yang ada setelah perjanjian hutang kredit antara debitur dan kreditur.

B. PelAksAnAAn PARAte eksekusi yAnG tidAk BeRkeAdilAn