• Tidak ada hasil yang ditemukan

RekonstRuksi PaRate eksekusi Hak tanggungan - Unissula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "RekonstRuksi PaRate eksekusi Hak tanggungan - Unissula"

Copied!
283
0
0

Teks penuh

Kesulitan untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan ketika terjadi kredit macet melalui pranata parate eksekusi hak tanggungan atas tanah dari waktu ke waktu membawa kajian dalam buku ini mengerucut pada 3 (tiga) akar permasalahan. Kedua, apa yang menjadi kelemahan dalam pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan atas tanah saat ini.

LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam hal ini Kreditor pemegang hak tanggungan merupakan kreditor separatis yang mempunyai preferensi terhadap Hak Tanggungan yang dipegangnya. Disamping itu, pada penjelasan umum angka 9 dari UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa konsep Parate Eksekusi Hak Tanggungan yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) tetap mengacu kepada Pasal 224 Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR).

URGENSI REKONSTRUKSI PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Selain disebabkan adanya inkonsistensi materi muatan dalam UU Hak Tanggungan, praktik pelaksanaan parate eksekusi semakin dipersulit dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (selanjutnya disebut SEMA No 7 Tahun 2012). Kondisi yang sangat sulit untuk melaksanakan parate eksekusi membuat nilai kepastian hukum parate eksekusi menjadi hilang.

TUJUAN DAN KEGUNAAN BUKU REKONSTRUKSI PARATE

KERANGKA PEMIKIRAN BUKU

Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Hal ini terlihat dari diadaptasinya parate eksekusi sesuai dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 9 UU Hak Tanggungan.

REKONSTRUKSI TEORI PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanahnya) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda- tanahnya) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu (droit de suite). Rekonstruksi hukum utamanya dalam konteks parate eksekusi perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan nilai keadilan yang paralel dengan nilai kepastian hukum dalam UU Hak Tanggungan.

HUKUM JAMINAN

Sebagai bagian dari hukum jaminan yang secara khusus ada pada bagian dari hukum benda dan hukum perikatan, hukum jaminan juga diatur dalam Buku II dan Buku III KUH Perdata. Dalam hal kelemahan-kelemahan dalam hak jaminan yang bersifat umum, KUH Perdata sebagai norma general dari hukum perdata khususnya hukum jaminan menyediakan perangkat yang lebih menguntungkan bagi para pihak yang bergelut dengan aspek hukum jaminan. Sesungguhnya hak jaminan kebendaan ini bertujuan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam jaminan umum sebagaimana yang diatur pada Pasal 1131 KUH Perdata, maupun hak jaminan perseorangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUH Perdata.

KUH Perdata merupakan lex generalis dari seluruh ketentuan mengenai hukum jaminan di Indonesia selain KUHD. Ketentuan hukum jaminan ini dapat dijumpai dalam Buku II KUH Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan, dan juga pada Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan. 103 Sebelum adanya UU Hak Tanggungan, ketentuan mengenai hipotik dan creditverband masih menggunakan ketentuan dalam KUH Perdata.

LEMBAGA JAMINAN

HAK TANGGUNGAN

Lahirnya UU Hak Tanggungan merupakan amanat dari UUPA, di mana hal tersebut dinyatakan pada Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. Barulah setelah lahirnya UU Hak Tanggungan, berdasarkan ketentuan Pasal 29, ketentuan mengenai hipotik dan creeditverband sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang berdasarkan ketentuan KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan pengaturan hak tanggungan mengenai hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diatur dalam UU Hak Tanggungan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 UU Hak Tanggungan dengan dihubungkan dengan Penjelasannya, maka dapat ditarik kesimpulan di mana ketentuan-ketentuan mengenai credietverband seluruhnya tidak berlaku lagi. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.”. Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diaturdengan undang-undang”.

Memiliki asas specialitet dan asas publicitet yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU Hak Tanggungan sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan. Secara sederhana dapat dilihat bahwa subyek hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan, dan pemegang hak tanggungan. Mengenai sebab sebab hapusnya hak tanggungan diatur dalam ketentuan pada Pasal 18 UU Hak Tanggungan, sebagai berikut : a.

Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam ketentuan pada Pasal 20 UU Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:.

EKSEKUSI DAN PARATE EKSEKUSI

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (mengenai pelaksanaan putusan pengadilan); . 7) Pasal 1155 dan Pasal 1175 ayat (2) KUH Perdata, Pasal 6 Undang UU Hak Tanggungan yang berkaitan tentang Parate Eksekusi. Bahkan, sejak lahirnya UU Hak Tanggungan dan UU Jaminan Fidusia, kedudukan lembaga parate eksekusi semakin dilegitimasi sebagai salah satu cara eksekusi diluar hukum acara biasa. Berdasarkan penjelasan tersebut, tentu pemahaman parate eksekusi tidak dapat didudukkan dalam ruang lingkup hukum perdata formil.

Ketentuan parate eksekusi sebagai kewenangan untuk menjual atas kekuasaaan sendiri pada Pasal 1155 KUH Perdata pada obyek gadai dan ketentuan pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan merupakan kewenangan yang. Sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986, pada praktik pelaksanaan parate eksekusi masih dapat dijalankan dengan baik. Dualisme pemahaman substansi parate eksekusi ini sebenarnya sudah diusahakan untuk diselesaikan dengan lahirnya UU Hak Tanggungan dan UU Jaminan Fidusia.

KEDUDUKAN YANG TIDAK SEIMBANG DALAM

Hal ini yang dikenal sebagai droite de suite di mana ditegaskan dalam Pasal 7 UU Hak Tanggungan. Hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cidera janji. Pada Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan disebutkan bahwa janji tersebut dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, janji-janji tersebut bersifat manasuka karena janji-janji tersebut boleh atau tidak dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya, serta bersifat tidak limitaif karena dapat pula diperjanjikan janji- janji lain selain janji yang telah dicantumkan sesuai dalam Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan memberikan hak kepada pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau;.

PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI YANG TIDAK BERKEADILAN

Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan parate eksekusi hak tanggungan didasarkan pada ketentuan Pasal 20 jo Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Menurut Pasal 20 ayat (1) huruf (a) jo Pasal 6 UU Hak Tanggungan, apabila debitur wanprestasi maka kreditur pemegang hak tanggungan pertama. Dengan demikian maka bilamana debitur telah cidera janji (wanprestasi) dalam hal melakukan kewajibannya kepada kreditur sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian antara kedua belah pihak, Kreditor atau pemegang Hak Tanggungan dapat langsung meminta kepada KPKNL untuk melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan tersebut.

Akibat dari adanya klausul eksekusi barang jaminan dalam APHT yang telah disepakati antara kreditur dengan debitur, maka bilamana debitur cidera janji (wanprestasi), prasyarat untuk melaksanaan parate eksekusi oleh kreditur yang diatur oleh UU Hak Tanggungan telah matang. Celah inilah yang sering digunakan oleh pemegang hak tanggungan untuk memanipulasi tujuan awal dari pelaksanaan parate eksekusi demi kepentingan kreditur semata. Batasan cidera janji yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 20 jo Pasal 6 UU Hak Tanggungan tidak memberikan parameter yang jelas tentang limitatif yang terjadi.

LEMBAGA LELANG BERSIFAT PASIF

214 Lelang Noneksekusi Wajib adalah Lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh peraturan perundang-undangan diharuskan dijual secara lelang (Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang). 220 Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela (Pasal 1 angka 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang). Pemandu Lelang terdapat dalam Pasal 63 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang di mana dalam pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang dapat dibantu oleh Pemandu Lelang (Afslager).

Bea Lelang sebagaimana diatur dalam Pasal 72 s.d Pasal 73 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Pembeli, sebagaimana diatur dalam Pasal 74 s.d Pasal 78 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Risalah Lelang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 85 s.d Pasal 96 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

INKONSISTENSI MUATAN MATERI DALAM UU

Apabila debitur cidera janji, maka kreditur berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan Pertama dapat menjual obyek Hak Tanggungan. Karakteristik parate eksekusi dalam UU Hak Tanggungan dengan demikian memiliki perbedaan bilamana hendak dibandingkan dengan. Perbedaan dalam hal hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri, menurut Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan diatur berdasarkan pada janji.

Hal tersebut berbeda dengan konstruksi pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan yang memberikan hak menurut undang-undang (ex lege). Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;. Melihat keterkaitan antara Penjelasan Pasal 6 UU Hak Tanggungan dengan Pasal 11 ayat (2) UU Hak Tanggungan, pergeseran makna yang.

PERBANDINGAN PARATE EKSEKUSI DAN EKSEKUSI GROSSE AKTA

Pasal 224 HIR dan Pasal 258 RBg yang menjadi rujukan baik pada Penjelasan Umum Nomor 9 dan Penjelasan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UU Hak Tanggungan menyatakan:. Dengan demikian maka pelaksanaan parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 6 UU Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan melalui izin dan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri. Dengan demikian maka, eksekutor dari parate eksekusi berdasarkan norma Pasal 6 UU Hak Tanggungan ini adalah Kantor/Balai Lelang.

Norma yang berasal dari Pasal 6 UU Hak Tanggungan jelas menyandarkan pada doktrin parate eksekusi pada. Sifat eksekutorial parate eksekusi pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan terletak pada perintah undang-undang (ex lege), sementara itu sifat eksekutorial dari Pasal 224 HIR/258 RBg pada dasarnya berasal dari adanya irah-irah, sehingga dipersamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga pelaksanaan eksekusinya tetap harus melalui (fiat) Pengadilan. Pemegang Hak Tanggungan Pertama menjual obyek Hak Tanggungan (jaminan) atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sesuai Pasal 6 UU Hak Tanggungan.

KELEMAHAN OBYEKTIF PELAKSANAAN PARATE EKSEKUSI

Salah satu hal yang menghambat pelaksanaan parate eksekusi terhadap jaminan berupa tanah dan bangunan adalah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986. Logika yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memberikan landasan hukum terkait pelaksanaan parate eksekusi membuat posisi Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201/K/Pdt/1984 ini sebagai norma baru yang menegasikan norma pada Pasal 1178 KUH Perdata. Sekalipun kedudukan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201/K/Pdt/1984 dalam sistem civil law tidak sebagaimana kedudukan “yurisprudensi” dalam sistem common law, namun akibat hukum yang ditimbulkan dalam hal pelaksanaan parate eksekusi cukup serius.

Mahkamah Agung Nomor 3201/K/Pdt/1984, dan pandangan kedua tetap berpedoman pada konstruksi Pasal 1178 KUH Perdata maupun Pasal 6 UU Hak Tanggungan270. Selain Putusan Mahkamah Agung Nomor 3201/K/Pdt/1984, mandulnya pelaksanaan parate eksekusi yang didasarkan pada Pasal 6 UU Hak Tanggungan juga disebabkan dari dikeluarkannya SEMA No 7 Tahun 2012. Dengan demikian, seharusnya parate eksekusi tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung kecuali pelelangan ke Kantor Lelang harus melalui fiat Pengadilan.

KONSEP INDIVIDUALISME DALAM PARATE EKSEKUSI

PERGESERAN DARI INDIVIDUALISME MENUJU SOCIAL JUSTICE

MENJAWAB PERBEDAAN SUBSTANSI PARATE EKSEKUSI

PERBANDINGAN PARATE EKSEKUSI DI INDONESIA DENGAN BELANDA

REKONSTRUKSI PARATE EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

KESIMPULAN

SARAN

IMPLIKASI

Referensi

Dokumen terkait

“ Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan sebagai hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah

Debitor : Pihak yang berutang ke pihak lain, biasanya dengan menerima sesuatu. dari kreditur yang dijanjikan debitor untuk dibayar kembali

Definisi Hak Tanggungan Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan

Demikian pula halnya dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa apabila debitur cidera janji maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual

Hasil penelitian menunjukkan (1) konsistensi pengaturan parate eksekusi oleh Kantor Pelayanan Keuangan Negara dan Lelang dikaitkan dengan Undang- Undang Hak

Hak Tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5